Saya tercengang ketika melihat susunan acara masa orientasi santri baru yang tertulis bahwa saya harus mengisi materi “Menjadi Wirausahawan Muda”. Bagaimana tidak, saya hanyalah pedagang daring kecil yang terombang-ambil dengan persaingan yang semakin sengit. Disamping itu, 90% perdagangan itu telah dihandle oleh istri saya. Saat ini saya lebih dominan menyibukkan diri dengan menjadi dosen dan guru dengan segala beban administrasinya.Â
Praktis, saya memutar otak untuk mencoba mencari landasan-landasan pemikiran yang unik guna memberikan sudut pandang yang baik agar santri punya geliat mengembangkan jiwa enterpreneurshipnya. Minimal jangan seperti saya lah, hehehe.
Disamping dari beberapa pengajian yang saya ikuti, dalam pencarian, saya mendapatkan sudut pandang yang unik tentang bagaimana Islam memandang kekayaan materiil yang mungkin berbeda dari pandangan umum. Mari kita runut dari hulunya.
Tugas Manusia
Terdapat 2 tugas dari Allah swt bagi manusia di muka bumi ini, yaitu abdullah dan khalifatullah. Abdullah berlandaskan pada ayat “Wamaa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun.”, sedangkan khalifatullah berlandaskan pada ayat, “Waidz qoola robbuka lil malaikati inni jailun fil ardli kholifah”, kholifah disini diartikan sebagai “penugasan Allah kepada manusia untuk memakmurkan bumi.”. Singkatnya, abdillah mewakili hablumminallah (dimensi peribadatan), khalifatullah mewakili habluminannas dan hablumminal alam (dimensi sosial-lingkungan).
Sebagai abdullah, ini sudah non-debatable, paling tidak laksanakan sebaik-baiknya 5 rukun islam, yakini sepenuh hati akan 6 rukun iman, maka kita sudah dianggap sebagai abdullah ya baik. Namun khalifatullah ada aspek yang cukup rumit dan dapat menjadi diskursus yang sangat menarik untuk dibahas.
Menjadi khalifatullah, memakmurkan bumi, bisa dibilang bagaimana kita sebagai manusia bersosial, berinteraksi dengan sesama manusia. Selain itu juga bagaimana kita mengelola anugerah alam dengan sebaik-baiknya. Dari sini kita dapat mengambil benang merah bahwa menjadi khalifatullah berarti kita harus mengambil peran dalam kehidupan dimuka bumi ini. Kita masing-masing pribadi harus memiliki profesi sebagai pengejawantahan dari tugas manusia sebagai khalifatullah fil ardl.
Profesi dalam kehidupan manusia ini kita tahu bermacam-macam dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Salah satu profesi yang masih eksis hari ini adalah menjadi seorang enterpreneur, pebisnis, pedagang, dan sejenisnya. Dalam islam, bisnis adalah sesuatu yang tergolong mu’amalah dan hukumnya boleh dengan kaidah-kaidah tertentu. Profesi berdagang jika sukses, maka kita akan memiliki jumlah kekayaan materiil atau uang yang berlimpah, sehingga kita akan dikenal sebagai konglomerat, OKB, atau bahkan istilah saat ini, Crazy Rich.
Disisi lain, dalam pembahasan dibanyak pesantren bahkan madrasah, seringkali kita diberi tahu untuk tidak perlu mengejar kekayaan materiil yang “sifatnya duniawi”, lebih baik kejarlah hal-hal yang “sifatnya akhirat.”. Pada prinsipnya, pernyataan seorang ustadz (misal) demikian itu tak dapat disalahkan. Namun terkadang, statemen itu malah dijadikan dalih dan tameng akan ketidakmampuan kita dalam mencapai kekayaan materiil. “Sudahlah, dalam hidup kita tidak perlu menjadi kaya, banyak uang, yang penting barokah, perbanyak ibadah, mati husnul khotimah, toh, harta gak dibawa mati!”, tegas seorang ustadz di Kampung.
Bagi saya, dari statemen ini kita dapat menggarisbawahi dua hal. Pertama adalah kita tidak perlu menjadi kaya. Kedua, harga tidak dibawa mati. Temuan saya akan mencoba memunculkan diskursus akan kedua hal tersebut, karena ternyata, Islam menganjurkan kita untuk menjadi orang kaya, dan Islam juga menyatakan bahwa harta itu dibawa mati!
Kita Harus Jadi Orang Kaya
Pertama, kita dianjurkan menjadi kaya secara finansial, paling tidak, seorang Muslim harus mandiri secara finansial. Kita dapat mencontoh Rasulullah soal kemandirian, sudah yatim sejak kecil, Rasulullah muda berjualan hingga ke syam (suriah), hingga akibat dari aktivitas niaganya, bertemu dengan Siti Khadijah yang kemudian menjadi istrinya. Mahal Rasulullah kepada Khadijah juga tidak main-main, 20 ekor unta betina dan 350 gram emas, yang jika dirupiahkan nominalnya setara 1,4 Miliar! Apakah mahar demikian bisa kita kategorikan sebagai mahar dari seorang mempelai miskin? Tentu tidak! Maka Rasulullah adalah juga seorang yang kaya dan mandiri secara finansial.
Ada satu ayat menyatakan, “waidza qudhiyati sholatu, fantasyiru fil ardl, wabtaghu min fadlillah”, artinya silahkan manusia bertebaran di muka bumi untuk mencari rezeki. Disamping itu, dengan kita memiliki harta yang melimpah, kita dapat bersedekah di jalan dakwah, berkontribusi dalam banyak hal untuk kebaikan agama, misal memberikan sumbangsih pengembangan pesantren, beasiswa pendidikan, santunan yatim dan dhuafa, dan lain-lain. Tanpa kekayaan, dapatkah kita melakukan itu semua? Sahabat Rasulullah saja, macam Utsman bin Affan, Abdurrohman bin auf dan yang lainnya adalah konglomerat, sultan, alias crazy rich, sehingga beliau-beliau ini dapat banyak membantu dakwah Rasulullah, khususnya yang terkait dengan sokongan finansial.
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj menyatakan, nafsu ghodobiyah itu jangan dibuang, tapi harus dikelola hingga menjadi Himmah. Nafsu ghodobiyyah, jika di manage, diganti niatnya menjadi niat-niat kebaikan, motivasi-motivasi kebajikan, maka itu bisa menjadi Himmah atau Cita-cita. Himmah untuk kita menjadi Kaya, Himmah untuk menjadi Sukses. “SAYA HARUS KAYA, SAYA HARUS NOMOR 1, dll.”
Harta Ternyata Dibawa Mati
Kedua, harta itu ternyata dibawa mati! Dari mana saya simpulkan itu? Dari hadits “Idza matabnu adama, inqothoa amaluhum, illa tsalatah, shodaqotun jariyatun, wailmu ….. dst.”. Menurut hadits yang diriwayatkan Imam Muslim ini, jika seorang manusia mati, maka terputuslah semua amalnya. Ia sepenuhnya akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di dunia. Jika sering berlaku buruk, maka amal buruk dominan, siksa kubur menanti. Begitupun sebaliknya. Manusia tersebut tidak bisa lagi menambah amalnya untuk menutupi kekurangan-kekurangan amal baik di dunia agar dapat meringankan hukuman yang di terimanya.
Untungnya, kita adalah ummat kanjeng Nabi Muhammad SAW, dimana banyak diskresi yang diberikan, termasuk dalam perihal ini. Jika kita sudah tidak punya opsi memperbanyak amal. Kita harus pandai melakukan cheating, yaitu berinvestasi dengan portofolio keuntungan 100%. Bentuk investasinya ada 3, yakni shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat secara kontinyu, dan anak sholih yang senantiasa mendoakan.
Dari ketiga profil investasi tersebut, yang mungkin kinerjanya berada dalam kontrol kita adalah shodaqoh jariyah. Mengapa? Ilmu yang bermanfaat dan doa anak sholeh itu lebih dominan berada di luar kontrol kita. Kita mengajarkan ilmu agar bermanfaat, belum tentu murid kita memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti saya contohnya, tidak semua murid saya mengamalkan ilmu kimianya dalam kehidupan sehari-hari bukan? Yang mungkin manfaat adalah mengajarkan ilmu agama untuk ibadah praktis. Sayangnya tak semua orang punya waktu dan kapasitas mengajarkan ilmu agama.
Doa anak sholeh yang mendoakan. Yakinkah kita bahwa anak kita tak akan lupa untuk senantiasa mendoakan? Tentu harapan kita begitu. Tapi lagi-lagi, itu diluar kontrol kita. Kita boleh mendidik dan mengajarkan anak kita sebagai birrul walidain, tetapi lagi-lagi, itu bergantung kepada anak kita, di luar kontrol kita.
Maka, satu-satunya investasi amal dengan return yang dapat terprediksi dengan baik adalah shodaqoh jariyah, alias shodaqoh yang memberikan kemanfaatan berkelanjutan bahkan hingga kita telah meninggal dunia. Membantu pembangunan masjid, pengembangan lembaga pendidikan pesantren, mensupport kegiatan keagamaan adalah bentuk jariyah yang tepat selama anda memilih profil masjid, sekolah, pesantren dan organisasi keagamaan yang tepat. Ya tentu anda harus lihat, siapa pemimpinnya, siapa pelaku-pelakunya, siapa yang mendapat manfaatnya, dan bagaimana portofolionya, serta “return per year” nya.
Sepanjang dan sejauh saya memperhatikan, belum pernah saya temui masjid bangkrut. Dari 500 lembaga pendidikan, paling hanya 1-2 saja yang tak berlanjut, karena banyak sekali ustadz-ustadz kampung yang ikhlas mengajar tanpa meminta kontribusi dalam bentuk uang kepada orang tua muridnya. Organisasi keagamaan? Jika ia telah eksis hingga puluhan tahun bahkan satu abad macam NU dan Muhammadiyah, anda tak perlu ragu untuk jariyah melalui mereka. Maka, investasi jariyah demikian adalah pilihan tepat.
Sayangnya untuk bershodaqoh jariyah, kita harus menjadi seorang yang mapan secara finansial. Bagaimana anda bisa jariyah dengan nyaman jika untuk menyambung hidup saja anda kesulitan. Yang ada anda tervonis hadits “Kaadal faqru an yakuna kufron”, kefakiran mendekatkan diri kepada kekafiran. Entah faqir disini mau dianggap faqir harta maupun faqir hati. Saya sulit melepaskan keyakinan bahwa yang faqir harta akan lebih banyak yang faqir hati. Maka, menjadi kaya seperti pada poin pertama adalah salah satu prasyarat penting sebelum kita bisa shodaqoh jariyah.
Dengan manajemen nafsu ghodobiyah menjadi himmah, ambisi dan keinginan untuk meraih kemapanan finansial untuk mendukung aktivitas dakwah islam adalah hal yang dianjurkan. Maka silahkan anda-anda semua “fantasyiru fil ardl”, jangan termakan dawuh bahwa harta tidak penting. Karena jika kita orang yang kaya secara finansial, kita akan lebih leluasa untuk shodaqoh jariyah, untuk pesantren A 10 M, untuk masjid 20 M, untuk NU 10 M. Dimana shodaqoh jariyah pahalanya mengalir hingga kita mati. Dengan beginilah, dapat kita asumsikan bahwa harta yang kita investasikan sebagai shodaqoh jariyah, pahala jariyahnya akan dibawa mati, dan senantiasa menemani kita selama kemanfaatan dari jariyah itu masih terus berlanjut dari generasi ke generasi. Sebaliknya, harta yang anda investasikan dalam perbuatan-perbuatan buruk juga akan dimintai pertanggungjawaban. Pada intinya, semua harta akan dibawa mati, dipertanyakan oleh Sang Maha Kaya.
Maka, mari kita berlomba-lomba menjadi pribadi yang memiliki kekayaan finansial, tentu dengan motivasi dan tujuan yang baik, dengan sebuah himmah. Kita jangan terjebak dalam pengkotak-kotakan duniawi dan ukhrowi yang rigid. Bahwa harta adalah duniawi, sholat adalah ukhrowi. “Kam min amalin yatashowwaru bisuroti a’amaliddunya, fashoro min a’malil akhiroh bihusninniyyat, wakam Kam min amalin yatashowwaru bisuroti a’amalil akhiroh, fashoro min a’maliddunya bisu’inniyyat.”
Kemarin adalah pertama kali saya mengikuti agenda musyawarah tertinggi di tingkatan PCNU, Konferensi Cabang VIII Nahdlatul Ulama Kabupaten Majalengka. Seperti tertuang pada AD ART, agenda Konferensi digelar untuk suksesi pergantian kepemimpinan NU di berbagai tingkatan, memilih Rais Syuriyah & Ketua Tanfidziyah.
Saya datang bukan sebagai peninjau, tetapi sebagai delegasi MWCNU Rajagaluh yang diberi mandat melalui Surat Mandat yang dikeluarkan Pengurus MWCNU Rajagaluh, artinya saya punya hak suara dan hak bicara dalam forum tersebut. Saya memang tercatat di SK sebagai pengurus harian MWC. Sebagai bocil atau newbie dalam forum tersebut, tentu saya lebih banyak memperhatikan dinamika yang terjadi dalam forum tersebut, tak ikut berkomentar, disitu forum kyai-kyai bos, isin aku, wkwkwk.
Saat mahasiswa, saya cukup akrab dengan forum seperti ini, misal saat dulu di PMII Kota Malang, ditingkatan paling bawah level rayon, saya mengikuti beberapa kali RTAR (Rapat Tahunan Anggota Rayon), RTK (Rapat Tahunan Komisariat), bahkan Konfercab (Konferensi Cabang) PMII Cabang Kota Malang. Terbaru di akhir 2020, saya ikut menjadi panitia Konferensi MWCNU Kec. Rajagaluh. Artinya secara mekanisme, saya sudah cukup paham, ada beberapa sidang pleno dan komisi, dan diakhiri sidang pleno terpanas, tentu saja pemilihan nahkoda baru organisasi.
Forum tertinggi seperti ini biasanya sarat kepentingan, panas, penuh gengsi, adu tensi, dan bahkan bisa jadi menentukan kedewasaan berorganisasi masing-masing insan organisasi. Posisi ketua, atau bahkan rois adalah posisi yang biasanya diperebutkan dan diinginkan oleh beberapa orang. Dalam kasus tertentu, isu money politics berhembus, biasanya mentarget pemilik hak suara dalam forum. Siapa yang punya hak suara memilih ketua, akan diincar dan digoda oleh mereka yang punya ambisi menjadi ketua. Janjinya macam-macam, nominalnya pun macam-macam. Tentu ini bukan tuduhan, karena sampai saat inipun saya hanya tau isu ini sekedar kabar burung saja, saya tak pernah investigasi sendiri, kebenarannya hanya diketahui oleh pemainnya saja, hehe.
Mencermati Konfercab VIII PCNU Majalengka, satu per satu mekanisme saya coba pahami, adakah yang menurut saya tidak ideal? Adakah yang melenceng? Adakah yang kurang tepat? Daaaan, saya menemukan bahwa agenda konfercab di NU cukup rapi dan tertib. Terlebih, saya melihat ada political will dari PBNU untuk berbenah dan mengawal secara aktif prosesi konfercab ini, agar sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan NU. Reformasi struktural dan peningkatan peofessionalitas organisasi coba ditegakkan PBNU. Dibuktikan dengan diharuskannya sidang langsung dipimpin oleh delegasi dari PBNU, khususnya pada pleno terakhir yang biasanya panas.
Agenda pleno I tentang Tata Tertib berlangsung dinamis, namun tetap santun dan santuy. Tidak ada gontok-gontokan karena tarik ulur kepentingan yang biasanya kentara kalo di forum mahasiswa, hehe. Artinya forum berjalan cukup konstruktif dan tentu saja, cepat. Hahaha.
Yang cukup saya sayangkan adalah di pleno komisi. Poin yang cukup saya kritisi adalah ruangan pleno komisi yang tidak representatif untuk sidang komisi. Sidang dilakukan di aula yang besar dan bersebelahan dengan sidang komisi lain. Tentu suara dari para peserta menggema dan bersahutan tidak jelas. Akibatnya, forum menjadi tidak kondusif dan tidak dinamis. Hasilnya saat dilaporkan, tak banyak perubahan dari rancangan draft yang telah dibuat. Hanya dilaporkan bahwa draft yang dibuat sudah cukup bagus, dan tinggal bagaimana pemimpin NU kedepan bisa benar-benar merealisasikannya. Ini cukup disayangkan karena saya kira, salah satu agenda penting dari konfercab ada disini. Kita bertukar pikiran, gagasan hingga strategi bagaimana untuk menjalankan NU ke depan sesuai dengan tantangan zaman. Memang draft yang ada sudah bagus, tapi jika kita lebih niat lagi untuk membahas, itu bisa lebih maksimal. Saya cukup paham juga sih, kadangkala kita sudah maksimal menggagas ide yang dituangkan di pleno komisi, pada akhirnya, hasil-hasil sidang itu berakhir dalam tumpukan draft yang tidak pernah dibuka lagi, atau bahkan dikilokan hingga menjadi bungkus nasi uduk. Soft file nya hanya ada di laptop operator saat sidang, atau bahkan hilang. Tak ada mekanisme bagaimana mempublikasi draft hasil konfercab tersebut.
Selanjutnya dalam LPJ, pleno nya terkesan buru-buru, komentar dari peserta sidang dibatasi dan sudah diatur untuk orang-orang yang akan mengomentari hasil LPJ. Dan semuanya berakhir mengafirmasi dan mengapresiasi saja. Ada yang mengkritisi, hanya mengkritisi terkait draft LPJ yang disebar soft file nya saja tanpa versi cetak. Bagi saya itu tak substansial. Seharusnya forum LPJ bisa lebih banyak mengkritisi kinerja kepengurusan, dan dalam jawaban ketua PCNU demisioner, ia pun berharap kritik demikian.
Di sidang pleno IV yang merupakan bagian terpanas, justru terlihat sangat elegan. Mekanisme pemilihan di NU memang memilih 2 pimpinan, rois syuriyah dan ketua tanfidziyah. Pemilihan rois dilangsungkan melalui mekanisme sidang ahlul halli wal aqdi, semacam sidang 5 ulama sepuh yang dipilih dari suara yang diusulkan MWC-MWC, yang akan bermusyawarah menentukan siapa yang layak menjadi rois syuriyah. Hasilnya terpilih 5 kyai sepuh yaitu KH. Anwar Sulaeman, KH. Harun Bajuri, KH. Aliyudin, K. Yusuf Karim, dan KH. Abdurrosyid, dimana melahirkan keputusan yang memilih KH. Anwar Sulaeman sebagai Rois syuriyah terpilih PCNU Kabupaten Majalengka masa khidmat 2023-2028. Pemilihan dengan mekanisme ahwa ini saya sangat menyukainya dibanding mekanisme voting seperti pada pemilihan ketua tanfidziyah, dengan beberapa alasan pribadi, hehe.
Sampailah kepada agenda terakhir dalam pleno terakhir, yakni pemilihan ketua tanfidziyah, dengan 1 hak suara dari masing-masing MWC. Mekanisme nya dengan penjaringan bakal calon, kemudian yang memiliki 30% suara akan lanjut ke putaran kedua. Syahdan, dalam pemungutan suara pertama, KH. Muhammad Umar Sobur mendapatkan 19 suara mengungguli KH. Dedi Mulyadi (incumbent) yang mendapatkan 5 suara dari 25 suara, 1 suara tidak sah. Dengan hasil tersebut secara otomatis Kyai Umar terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Majalengka karena Kyai Umar mendapatkan lebih dari 50%+1 suara dan suara Kyai Dedi tidak mencapai 30% suara.
Sesaat setelah penghitungan suara berakhir, Kyai Dedi menghampiri langsung Kyai umar, mengucapkan selamat dan berpelukan. Sebuah sikap keteladanan yang harus kita tiru sebagai generasi muda. Selanjutnya, berkumpul pula disitu kader-kader PMII Majalengka berfoto. Dibrowsing-browsing, lha ternyata Kyai Umar ini Ketua Mabincab PC PMII Kab. Majalengka. Ealaaaaah. Saya baru tau. Pantes pengkondisian suaranya mantap, wkwkwkwk. Overall, selamat mengemban amanah untuk KH. Anwar Sulaeman dan K. Muhammad Umar Sobur sebagai nahkoda baru PCNU Kabupaten Majalengka 5 tahun kedepan. Doa terbaik untuk panjenengan berdua. Semoga NU di Majalengka semakin maju. Ami ya robbal alamin. Dan, terimakasih untuk kesempatan yang diberikan kepada newbie seperti saya untuk mengikuti dengan seksama agenda Konfercab ini, sok sokan ngasih catatan pula. Songong.
Menjadi pimpinan dalam suatu organisasi adalah hal yang lebih sering saya hindari. Meski sebetulnya ambisi itu terkadang ada, tapi konsekuensinya lah yang seringkali lebih saya pikirkan. Tanggungjawab moral dan menjadi pengambil keputusan final adalah hal yang cukup berat bagi saya, sehingga saya lebih nyaman menjadi orang nomor 2 atau nomor 3, atau bahkan anggota yang biasa saja.
Maka, jika dilihat dari track record berorganisasi sejak di sekolah, saya mengambil peran yang tidak terlalu menjadi pusat perhatian, atau paling tidak bukan yang paling disorot membawa organisasi tersebut. Satu-satunya jabatan ketua yang pernah saya emban adalah saat menjadi ketua himpunan mahasiswa prodi kimia saat S1 dulu. Itupun saya putuskan berdasarkan desakan keadaan yang mengharuskan saya mengambil keputusan itu. Setelah itu, hanya peran yang biasa-biasa saja.
Saya sadar betul, saya adalah orang yang cukup sulit bergaul dengan orang baru, atau dalam bahasa populer saat ini, saya adalah orang yang introvert. Lebih suka menghabiskan waktu sendiri, tidak terlalu menyukai keramaian, dan tidak hobi nongkrong, apalagi pembahasannya gak penting-penting amat. Meski begitu, seringkali sikap yang menurut saya cukup asosial itu seringkali saya lawan, agar saya punya teman, karena terkadang, tak punya teman sama sekali juga membosankan.
Sejak kembali dari studi S1 di Malang, dalam beberapa kesempatan saya mencoba untuk mencari ruang aktualisasi berorganisasi di kampung halaman. Karena saya berasal dari lingkungan dengan kultur NU, maka saat ada informasi tentang PKD GP Ansor, saya ikuti. Kemudian, PKPNU juga saya ikuti, nebeng dengan saudara. PKPNU ini mengantarkan saya mengenal aktivis-aktivis NU di kampung halaman saya, dan selepas Konferensi MWCNU, saya didapuk menjadi sekretaris MWCNU . Jika dianalogikan dengan game Mobile Legends, saya adalah pemain dengan rank MASTER yang diajak mabar dengan pemain rank MYTHIC. Tapi dalam istilah NU, sam’an wathoatan harus dikedepankan, apa boleh buat, saya menerima dan menjalaninya meski berat.
Kemudian karena saya ini tergolong usia milenial, tentu saya juga menjalin pertemanan dengan aktivis NU dari kalangan milenial juga, dimana jika dirunut secara keorganisasian di NU, mereka masih dalam rentang usia yang harusnya aktif di GP Ansor. Sehingga saya pun bisa dianggap ikut aktif di GP Ansor menjadi anggota biasa.
Hingga hari itu tiba, dimana tanpa saya duga, dengan suasana forum yang sangat menyebalkan itu, konferancab GP Ansor Kec. Rajagaluh menetapkan saya sebagai Ketua PAC GP Ansor Kec. Rajagaluh. Jabatan yang paling saya hindari itu pada akhirnya hinggap di pundak saya. Ini tak diduga, karena seharusnya saya aman dari pencalonan, apalagi dari keterpilihan. Karena saya sudah menjadi pengurus harian di MWCNU, pikir saya tak mungkin ada yang mencalonkan saya dalam kontestasi itu. Dengan demikian, peran sebagai pengurus harian di dua organisasi menabrak aturan rangkap jabatan. Hasil konsultasi menghasilkan mundurnya saya dari sekretaris MWCNU, konon, saya lebih dibutuhkan di Ansor. Habislah sudah.
Dengan berat hati, mau tidak mau saya terima keputusan forum itu. Ya, seperti yang sudah dijelaskan diawal tulisan, bagi saya menjadi ketua itu adalah amanah yang berat, apalagi memimpin organisasi kepemudaan Islam di level kecamatan, saya merasa tidak pantas. Saya seringkali terngiang-ngiang bahasa para senior saat masih aktif di PMII dulu, menjadi aktivis itu sejatinya harus sudah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga ia bisa totalitas berproses dalam organisasi tersebut. Dan masalahnya, saya bukan orang yang sudah selesai dengan diri saya sendiri, masih sangat jauh.
Itu masih hanya soal aspek kepatutan internal pribadi, belum dilihat dari aspek eksternal yang lebih kompleks, banyak PR yang harus diselesaikan. Pada akhirnya, saya meminta doa dari pembaca sekalian, semoga saya bisa menjadi pimpinan yang mampu mengemban amanah yang berat ini, mampu menyelesaikan tanggungjawab keorganisasian yang tidak mudah, melakukan apa yang bisa dilakukan, dan mengambil pengalaman maksimal dari peran menjadi supir organisasi yang baik ini, amin ya robbal alamin.
Jagat maya saat ini, khususnya media sosial memang sedang gencar-gencarnya mempertontonkan perang pengaruh, saling merebut klaim kemayoritasan, klaim paling agamis, tuding menuding, dan sejenisnya. Propaganda sekejam apapun dihalalkan. Goreng menggoreng terus dipraktekkan dalam kehidupan bermedsos sehari-hari. Banyak dugaan bermunculan apakah sebetulnya kegaduhan yang terjadi di dunia medsos kita hari ini adalah bagian dari operasi intelejen dari negara adidaya untuk menancapkan pengaruhnya di negara lain? atau bahkan menghancurkan eksistensi sebuah negara seperti yang terjadi di timur tengah? Barangkali ini bisa jadi diskursus yang menarik untuk dibahas sambil ngopi.
Salah satu organisasi yang saat ini terus menerus menjadi target serangan adalah Nahdlatul Ulama. Sebagai organisasi keagamaan islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, NU jelas telah menjadi sasaran empuk propaganda dan fitnah. Tujuannya jelas untuk melemahkan posisi NU sebagai salah satu pondasi penting yang berperan besar dalam memperjuangkan, mengisi dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlebih, catatan-catatan sejarah hari ini mulai membuka kiprah besar Nahdlatul Ulama yang sebelumnya banyak tertutupi, khususnya akibat dari tekanan pemerintah orde baru yang mengerdilkan peran NU dan kader-kadernya, salah satunya? Resolusi Jihad.
Media sosial menjadi medan fitnah yang luar biasa terhadap NU dan bagian-bagian yang terkait dengannya, salah satu yang paling kencang mendapatkan serangan adalah Gerakan Pemuda Ansor dan Bansernya. Anda bisa kroscek sendiri bagaimana narasi-narasi negatif terus dilontarkan, baik di facebook, twitter, instagram, youtube, tiktok dan tak ketinggalan, grup-grup whatsapp. Propaganda yang masif itu mau tidak mau harus diakui memiliki pengaruh dalam mendistorsi persepsi terhadap NU, Ansor, Banser dan yang lainnya disebagian kalangan, meskipun saya yakini tidak banyak. Bahkan kalangan santri pun ada yang ikut nyinyir dan “membenci Ansor dan Banser”.
Saya memang belum terlalu lama berkecimpung di Nahdlatul Ulama. Saat mahasiswa, tergabung di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Kemudian saat kembali ke kampung halaman, tiba-tiba saya langsung ditunjuk menjadi Sekretaris MWC NU Kec. Rajagaluh (saya merasa sangat tidak layak), disusul dengan diberi mandat sebagai Wakil Ketua di PAC GP Ansor Kec. Rajagaluh. Dan beberapa hari ini, saya aktif mempublikasikan keterlibatan saya dalam acara DIKLATSAR BANSER yang merupakan gerbang awal bagi masyarakat yang ingin bergabung dengan Satuan Banser. Komentar yang masuk ke saya cukup beragam. Ada yang mempertanyakan, ada yang mengernyitkan dahi, terheran-heran, kenapa orang seperti saya, yang mungkin menurut mereka seperti “orang lurus” masuk ke dalam organisasi “nyeleneh” macam GP Ansor dan NU. Lagian, anda juga “nyeleneh” juga menuduh saya orang lurus, hahaha.
Lalu bagaimana posisi saya menanggapi banyaknya ujaran negatif terhadap NU? Mengenai ini, saya punya keyakinan. Bahwa NU adalah rumah besar para Ulama, khususnya beliau-beliau yang telah membimbing saya saat di Pesantren dulu. Tidak ada satupun kyai dari Pondok Pesantren almamater saya yang tidak memiliki keterlibatan dan keterkaitan dengan Nahdlatul Ulama. Jadi, jelaslah bahwa keterlibatan saya di NU adalah merupakan suatu upaya ta’dziman, takriman, taqlidan kepada Guru-guru saya di Pesantren dulu. Saya meyakini bahwa guru-guru saya di Pesantren ini tidak akan salah pilih organisasi dan tidak akan asal-asal dalam menentukan wasilah berdakwah, dari mulai di Ciamis, Pati, Brebes, Tasikmalaya dan Malang semua sama, NU!
Kenyelenehan yang mungkin terlihat dari para kyai atau tokoh NU yang seringkali menjadi bahan ‘gorengan haneut’ itu saya yakin memiliki argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak hanya asal ingin beda atau ingin menciptakan sensasi. Keyakinan begini tidak berarti menumpulkan daya kritis saya kepada satu dua persoalan ya, karena pasti saya memiliki persepsi dan pendapat terhadap persoalan itu. Setuju dan tidak. Suka dan tidak. Nyaman dan tidak. Tapi persepsi saya itu tidak akan bisa mendorong saya untuk menjauhi NU. Karena sederhana saja, secara hakikat, saya sudah meyakini bahwa garis perjuangan NU dan para Kyai didalamnya merupakan suatu kebenaran yang patut saya perjuangkan. Jadi, apapun serangan cacian fitnahan yang diarahkan kepada NU, saya akan tetap mengkhidmahkan diri saya untuk ikut berpartisipasi dalam ngurip-nguripi NU, minimal di daerah tempat saya tinggal, termasuk Ansor dan Banser yang juga bagian dari keluarga besar NU, semampu saya tentunya.
Nulis judulnya juga emang agak berat sih. Menyandingkan manajemen waktu dan nahdliyyin itu macam menghadapkan dua magnet dengan kutub yang sama, pasti saling tolak menolak, hahaha. Ngapunten, niki guyon nggeh. Saat saya ke bekasi untuk jalan-jalan bersama istri, anak dan orang tua sabtu (23/10/21) lalu, saya memang wajib menyempatkan waktu untuk mengisi pelatihan keorganisasian di almamater saya, HIMASKA “Helium” UIN Maliki Malang via daring. Materinya? Manajemen Waktu.
Manajemen waktu ini sebetulnya materi yang sederhana, namun dalam prakteknya, dibutuhkan keteguhan hati untuk merealisasikannya. Dalil-dalil qur’an, hadits, kalam ulama, kata-kata dosen, nasihat orang tua tentang waktu ini sudah sangat banyak, tapi dalam praktiknya, sulitnya bukan main. Makanya saya pas diminta ngisi materi ini agak bingung. Kalo ditolak, saya gak enak. Sudah beberapa kali ada yang minta saya ngisi pelatihan via daring, saya tolak. Yang terakhir kalo tidak salah, diminta mengisi MAPABA di PMII, saya tolak karena saat itu sedang terserang flu berat. Kalo diterima, materi Manajemen Waktu ini sebetulnya kurang pas, ya karena memang saya sendiri masih belajar untuk benar-benar bisa efektif dalam memanajemen waktu. Tapi akhirnya saya terima juga, meskipun dalam forum berkali-kali saya tegaskan, disitu jangan anggap saya pemateri, tapi sekedar pemantik diskusi dan sharing bersama.
Sepengalaman saya nih ya, memang ketika berkegiatan di lingkungan Nahdlatul Ulama, baik yang kultur maupun yang struktur. Manajemen waktu saya cenderung kacau. Sebagai contoh, ada panggilan rapat kegiatan bakda maghrib, mayoritas jam 9 atau jam 10 malam baru kumpul. Pernah juga saya memenuhi undangan rapat di PCNU tertera jam 13.00, dan rapat baru mulai pukul 15.00, mantaaaap. Masalahnya, jam 15.00 ini saya sudah ada agenda lain, jadi ya, kacau.
Saya sendiri memang lahir di keluarga dengan kultur NU. Dan sebetulnya juga gak aneh-aneh amat dengan fenomena demikian. Cuma memang, fenomena itu justru tak terlihat ketika saya mondok. Di Pesantren, semua serba tersistem, baik dari segi waktu dan kegiatan apa yang dilakukan. Telat sedikit saja, misal sholat jamaah, siap-siap aja ta’ziran menanti. Kalo zaman saya mondok dulu, persinggungan antara telapak kaki dan kayu rotan adalah harmoni yang indah, haha. Kayaknya kalo zaman sekarang, orang tua santri mungkun sudah bikin laporan ke polisi.
Fenomena jam ngaret ala NU ini cukup kental terasa saat berkecimpung di organisasi saat kuliah dulu, tepatnya di PMII. Sebetulnya di PMII dibilang parah gak parah-parah amat lah. Misal acara direncanakan pukul 13.00, paling parah ngaretnya sejaman lah, jam 14.00. Kecuali rapat-rapat tahunan itu, ngaretnya bisa naudzubillah. Sebetulnya ngaret di PMII ini masih bisa ditolerir. Mungkin ada beberapa yang memang masih ada perkuliahan di kelas, praktikum, dan lain lain. Tapi tetap saja, WINU (Waktu Indonesia NU) ini bukan hanya terkenal di internal kalangan nahdliyyin saja, tapi sudah lintas organisasi, bahkan lintas iman. Begini ceritanya, teman saya suatu ketika mengundang seorang aktivis lingkungan, namanya Pak Daniel S. Stephanus, dosen Universitas Ma Chung, Malang yang beragama Kristen. Ketika saya dan teman saya nyowani beliau untuk ngisi materi pelatihan tertentu, beliau nanya begini, “Jam 8-nya ini jam 8 NU apa Muhammadiyyah? Soalnya kalo jam 8 NU, nanti saya datangnya jam 9 saja.”. Benar saja, saat acara itu digelar, pak Daniel yang sudah rawuh sejak pukul setengah 9, baru bisa menyampaikan materi pukul 9. Bagaimana tidak, saat pak Daniel datang itu, baru ada 5 kepala yang hadir di forum termasuk panitia. Jadi tak bisa kita pungkiri bahwa WINU begini ini memang sudah dikenal hingga lintas iman.
Selain di lingkup mahasiswa, ya di keluarga saya sendiri. Malam jum’at adalah waktu dimana rutinan yasinan keluarga besar. Undangannya bakda maghrib, jam 9 baru kumpul dan mulai. Hehe. Jika dibanding-bandingkan dengan kultur Muhammadiyah yang katanya sangat tepat waktu itu, tenang dulu, saya punya pembelaan untuk kaum nahdliyyin, yang didalamnya termasuk saya nih. Jadi mereka-mereka yang jadi pengurus Muhammadiyah ini rata-rata memiliki pekerjaan dengan jam kerja yang tetap setiap harinya, seperti guru, dosen, pegawai kementrian, PNS, dll. Sehingga ketika ada rapat-rapat, lebih mudah menentukan jadwalnya, karena memang jam istirahat dan pulangnya mayoritas sama. Lain halnya dengan pengurus-pengurus NU, ada yang mengurus pesantren, jadi guru ngaji, ustad, pedagang, petani, dan pekerjaan lain yang jam kerjanya notabene tidak teratur. Lebih proletar. Jadi semisal pagi-siang pengurus NU yang pedagang dan petani sibuk, yang jadi guru ngaji longgar. Sedangkan malam, pedagang-petani longgar, guru ngaji, kyai dan ustad yang sibuk. Konsekuensinya, rapat-rapat seringkali efektif diatas jam 10 malam. Begitu kira-kira alibinya. Hehe.
Intinya, stigma jam ngaret NU ini tidak semerta-merta kita bisa salahkan kepada pengurus bahkan warga nahdliyyin pada umumnya, melainkan ini adalah taqdir dari Allah Subhanahu wata’ala, yang menjadikan warga nahdliyyin ini sangat banyak dan heterogen dalam hal kesibukan dan profesi. Sehingga, ketika saya bahkan anda adalah warga nahdliyyin, kita punya tugas yang lebih berat dalam memanajemen waktu, minimal harus punya toleransi jam ngaret sekitar 2 jam perkegiatan di lingkungan NU, itu standar minimal ya, haha.
Tapi, mau bagaimanapun, jam ngaret ini bukan hal positif dan tidak boleh terus diwariskan dari generasi ke generasi. Ke depan, persaingan dalam berbagai bidang sangat terkait dengan kecepatan dan ketepatan waktu. Jadi kita tidak bisa leyeh leyeh untuk bersaing dengan yang lainnya. Maka saya selalu ‘sok bijak’ mengajak teman-teman saya di lingkungan GP Ansor Rajagaluh untuk mengadakan kegiatan dengan ketepatan waktu yang baik. Buang jauh-jauh budaya ngaret itu. Minimal itu bisa dipupuk di generasi muda macam Ansor dan IPNU-IPPNU. Karena dengan manajemen waktu yang baik, kita bisa lebih bisa produktif dan bahagia. Caranya bagaimana? Kita harus menghapus stigma macam begini, “Kalo undangan jam 8, berarti saya berangkatnya jam 9 aja, toh, kalo berangkat jam 8, pasti belum ada siapa-siapa.”. Jika semuanya berfikir demikian, jelaslah budaya ngaret ini akan senantiasa eksis hingga hari kiamat.
Untuk menjadi pribadi yang pandai mengatur atau memanajemen waktu, saya bahkan anda pasti sudah punya banyak dalil dan teorinya. Begitupula dengan motivasinya yang tinggal digali saja masing-masing. Dan sebetulnya, banyak tokoh-tokoh NU yang meraih sukses karena kepandaiannya dalam mengatur waktu. Pesantren-pesantren besar yang ada juga saya yakin dipimpin oleh kyai-kyai dengan kedisiplinan waktu yang tinggi dan banyak hal positif lainnya.
Sekali lagi ngapunten, bukan maksud saya menghina atau men-judge warga nahdliyyin atau pengurus NU. Karena yang punya budaya ngaret di NU ini juga gak semua, cuma banyak aja. Selain itu, gak masuk akal juga lah kalo saya dianggap menghina, bagi saya ini adalah otokritik, minimal untuk saya pribadi. Toh, saya juga pengurus NU yang belum bisa amanah dan seringkali tidak mampu memanajemen waktu dengan baik, sehingga saya malu kepada kyai saya karena saya masih belum bisa berkhidmat dengan maksimal di Nahdlatul Ulama. Contoh lainnya adalah di urusan nulis ini. Diawal sebetulnya saya ingin pertiga hari ada tulisan yang terpublikasi di website, tapi ternyata, hanya bisa satu tulisan saja perminggu, bahkan per dua minggu. Apalagi dalihnya selain karena memang saya belum bisa memanajemen waktu dengan baik. Makanya saya gak berani nulis dalil satupun di tulisan ini. Ketok’ekok bakal wagu. Wallahu alam bisshowab.
TENTANG SAYA
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi. Saya berasal dari Majalengka, Jawa Barat. Jualan daring adalah profesi saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.