Krisis Kompetensi

Krisis Kompetensi

Bersama Prof. H. Moh. Nasir, Ph.D (Stafsus Wapres)

Sering kali dalam obrolan ringan di warung kopi, saya mendengar banyak orang meremehkan gelar akademik. Mereka berpandangan, kultur pendidikan formal dari SD hingga SMA, bahkan hingga perguruan tinggi, tidak punya kemampuan untuk mencetak lulusan yang sesuai dengan kompetensinya.

Lho, sejak SMP belajar Bahasa Inggris, tapi hingga keluar SMA masih belum juga bisa bahasa inggris, begitupun lulusan Perguruan tinggi, masih nihil. Itu paling tidak adalah salah satu argumentasi untuk “mendelegitimasi” sistem pendidikan formal.

Pada akhirnya, mereka berpikir, intinya sekolah itu bukan mencari ilmu, tapi cukup orientasikan saja untuk mencari gelar dan mendapatkan ijazah, dimana ijazah bisa digunakan sebagai prasyarat untuk melamar pekerjaan. Semua pembelajaran sekolah “tidak penting”, yang penting ijazahnya.

Maka belakangan, banyak fenomena orang mencari tempat kuliah gratis, atau bahkan kuliah berbayar, tapi langsung skripsian, parahnya lagi, skripsinya dikerjakan oleh seorang joki, kita tinggal duduk manis dan menikmati hasilnya. Mirisnya, hal ini banyak dinormalisasi, paling tidak dalam obrolan-obrolan kecil sirkel warung kopi atau masyarakat kecil. Saya tidak bisa berword-word jika menemukan hal seperti ini.

Sebenarnya, ini semua tidak sepenuhnya salah dari masyarakat. Sistem pendidikan di Indonesia yang masih carut marut, kesejahteraan pendidik, mahalnya biaya pendidikan, conflict of interest, politisasi, perubahan aturan yang sporadis, melengkapi mendungnya masa depan pendidikan di Indonesia. Namun, meski dengan banyak kekurangan, seperti dalam adagium populer santri, “ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh,”, sesuatu yang tidak dapat kita raih sepenuhnya, jangan kita tinggalkan sepenuhnya pula.

Artinya, meski pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata ideal, kita tak boleh menggeneralisir bahwa semua tahapan pendidikan yang ada itu tidak berguna, sehingga kita menganggap semuanya tidak penting dan tidak berharga, gelar akademik hanya berguna untuk melamar kerja, bodo amat dengan beban pengetahuan yang diemban.

Kita harus paham, bahwa gelar yang kita punya mengandung beban moral dan beban pengetahuan. Orang dengan gelar dr. didepan namanya tentu akan dianggap cakap dan kompeten untuk mendiagnosis penyakit dan mengobati orang, terlepas ia tak serius saat kuliah. Orang dengan gelar S.Pd akan dianggap cakap dan kompeten dalam mengajar dan mendidik, terlepas ijazahnya hasil beli jutaan maupun skripsinya hasil jokian.

Maka ketika kita memiliki gelar, namun tak punya kompetensi yang sepadan, kita telah membohongi publik dan masyarakat, kita telah dzolim kepada diri sendiri dan orang lain. Kita tidak bersikap adil (menempatkan sesuatu pada tempatnya), dan bisa dikatakan, standar moral kita sangatlah rendah dan tak tahu malu. Eh, bukankah ini memang lumrah ada di konoha?

Terlepas dari ketidaksempurnaan sistem pendidikan nasional kita, mari kita tingkatkan kompetensi keilmuan, mari kita pantaskan diri kita atas gelar yang kita punya, mari kita hargai ilmu pengetahuan, mari kita muliakan kedudukan ilmu, terlepas dari carut marut yang ada. Dan, untuk kaum santri, berhenti untuk mendikotomi ilmu agama dan ilmu umum, mergo wes ora usum. Semua harus sama-sama serius dipelajari dan dipahami, karena pada dasarnya, semua ilmu adalah ilmu Allah, memiliki nilai kemanfaatan untuk masing-masing bidangnya. Jangan mendiskreditkan satu sama lain.

Jangan biarkan Indonesia menjadi krisis kompetensi. Banyak orang memiliki gelar akademik, namun nihil kompetensi. Sudah mah orang indonesia yang mampu menyelesaikaย  pendidikan tinggi hanya 10%, misal 30% diantaranya inkompeten, ini akan jadi kiamat akademik dan krisis kompetensi. Serius masih yakin Indonesia Emas 2045?

Memegang Tongkat Komando Wisuda

Memegang Tongkat Komando Wisuda

Saya sudah dua kali di Wisuda, tentu yang saya hitung adalah wisuda sarjana dan magister. Wisuda TK, meski dulu saya juga pakai toga, tidak saya masukkan hitungan. Konon, wisuda ini berasal dari bahasa Sanskerta, ‘visuddha’ yang berarti selesai. Lulus dari TK masa iya sekolahnya udahan, hahaha.

Perbedaan dari dua wisuda yang saya ikuti, seperti yang saya tulis di tulisan lama, wisuda sarjana terkesan biasa saja, namun saat magister, rasanya memang emosional! Terlepas dari itu, ada satu kesamaan dari kedua wisuda yang pernah saya ikuti, saya tak benar-benar mengikuti dan memahami rangkaian prosesinya! Yang penting saya duduk manis, lalu hape-an, dan tentu saja, nundutan, wkwkwk. Apalagi saat wisuda S2, beuuuh, daring bosss, atasan toga, bawahan kolor, ngenes!

Sialnya, kira-kira dua bulan yang lalu, di Kampus tempat saya mengajar, saya didapuk menjadi Ketua Panitia Wisuda, dan rumitnya lagi, itu adalah Wisuda Perdana untuk lulusan angkatan pertama dimana kampus belum pernah sekalipun menyelenggarakan wisuda. Tentu saja saya tak punya modal legacy, misal draft-draft atau pedoman wisuda yang bisa saya pegang. Saya dan tim panitia harus berupaya keras merancang konsep dan atribut wisuda dari nol, bahkan kami mendadak merancang Mars dan Hympe Kampus! Bagaimana susunan acaranya, bagaimana toga wisudanya, untuk mahasiswa, pimpinan, siapa saja yang diundang, dan tetek bengek lainnya.



Syukurlah, panitia bentukan kami bermental baja. Dengan semangat “Kami adalah perintis, bukan pewaris” seperti sabda bokong truk, kami jalan terus, segala aral merintang kita hadapi. Persiapan demi persiapan kita jalani. Dan alhamdulillah, tepat pada hari kamis, 18 Juli 2024 lalu, kegiatan wisuda itu rampung terlaksana, sukses, meriah dan menggelegar! Beruntunglah saya dikelilingi tim yang kompak dan keren. Tim kesekretariatan yang gercep, tim media yang professional, tim protokoler yang sigap, dan tim keamanan, konsumsi dan lainnya yang siaga dan rela ngelembur-ngelembur demi kesuksesan acara perdana ini.

Wisuda perdana yang diselenggarakan di Sapphire Grand Ballroom, Aston Hotel Cirebon itu menjadi catatan sejarah epik, dimana wisuda perdana kampus kami berjalan dengan lancar dan meriah. InsyaAllah tidak memalukan untuk dijadikan barometer pada pelaksanaan wisuda berikutnya. Legacy yang cukup layak! Terimakasih kepada seluruh panitia, dosen, petugas acara, wisudawan, dzurriyah KHAS Kempek yang senantiasa kompak bekerja bersama. Karena tentu saja, ketua panitia tanpa anggota yang solid tak akan bisa mensukseskan suatu acara. Dan yang paling penting, terimakasih untuk inisiatif penyewaan Handy-Talky di H-1 yang sangat-sangat berguna. Hahaha.



Selamat untuk 70 wisudawan wisudawati Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan KHAS Kempek dari Program Studi Farmasi dan Gizi. Seperti kata banyak orang, wisuda itu bukan akhir, justru awal untuk anda semua memulai langkah hidup dengan gelar yang menempel dibelakang nama. Gelar itu menyimpan beban moral yang berat. Semoga anda semua dapat menjadi orang yang adil, dapat mengaplikasikan dan mempertanggungjawabkan gelar yang anda miliki dengan keterampilan dan pengetahuan yang sepadan. See all of you on top! Semoga Allah senantiasa merahmati dan membimbing kita semua. Amin ya robb.

Menambah Kesibukan dengan Mengajar

Menambah Kesibukan dengan Mengajar

“Nak, kalau kamu jadi guru, dosen, atau kyai harus tetep usaha. Harus punya usaha sampingan, biar hati kamu gak selalu mengharap pemberian ataupun bayaran dari orang lain. Karena usaha dengan keringatmu sendiri itu barokah.”, Almaghfurlah KH. Maimun Zubair.

Tipikal manusia didunia ini bermacam-macam, ada yang dalam hidupnya ia nyaman ketika sibuk bekerja, ada juga yang nyaman ketika sibuk menganggur, mencintai kegabutan dan mager. Tapi kedua tipikal manusia ini bersepakat, bahwa tjuan adalah koentji, hahaha. Ya, karena selepas quarter life, kebutuhan akan cuan itu keniscayaan. Memang cuan bukan segalanya, tapi segalanya butuh cuan, begitu kira-kira ungkapan masyhur di negeri Wakanda.

Kalo saya dimasukkan kedalam 2 kategori itu, saya ambil tengah-tengahnya. Terlepas dari aspek tuntutan mencari nafkah, saya benci ketika terlalu sibuk, saya juga jengah ketika gabut tanpa pekerjaan, hahaha. Jadi memang yang tengah-tengah ini justru menjadi assawadul a’dzom, kelompok mayoritas di wakanda ini, termasuk saya.

Kesibukan saya berjualan daring, membantu orang tua jualan luring itu sudah cukup padat. Ditambah sekarang menjadi mandornya mandor di proyek pembangunan rumah sendiri, ya lumayan lah. Sejak bangun pagi hingga terlelap lagi, kesibukan selalu ada, tentu termasuk dengan waktu yang terdistraksi akibat scrolling medsos dan nonton film di layanan streaming, itu juga saya masukkan hitungan.

Sejak dahulu, berjualan ini “bukan passion saya”, tapi karena tuntutan ekonomi, ya tentu saya jalani dengan penuh khidmat, karena seperti ungkapan diatas, tjuan adalah koentji. Namun, tentu passion saya harus tetap dipenuhi dan dikejar demi kepuasan. Karena ada bagian dari diri saya yang menginginkannya. Ya, saya sejak dahulu sedikit banyaknya ingin terlibat dalam dunia pendidikan.

Saya kadang-kadang melirik info cpns, pppk dosen, lowongan dosen tetap PTN , dll, tapi memang seperti kata Fiersa Besari dalam satu kesempatan, “Kita tidak perlu melihat superhero jauh-jauh ke luar negeri, karena superhero itu bisa dilihat dari seorang laki-laki yang rela mimpi-mimpinya diinjak didepan mata demi kepentingan keluarga.”. Idealisme saya tentang menjadi dosen di salah satu PTN bergengsi itu saya kubur dulu di halaman belakang rumah. Saya ambil opsi-opsi yang lebih realistis dengan jalan kehidupan saat ini sembari sedikit berharap ada saatnya nanti saya bisa gali kembali.

Beberapa bulan yang lalu, bagian dari diri saya ini akhirnya bisa menancapkan diri di dunia pendidikan, dengan menjadi guru di sekolah milik pesantren. Sekolah ini adalah satuan pendidikan baru dengan nama Pendidikan Diniyah Formal (disingkat PDF) yang berada dibawah naungan Kemenag. Porsi pelajarannya 75% kitab kuning dan 25% umum. Tentu saya tidak mengambil porsi yang 75%, karena disamping banyak pengajar alumnus Lirboyo yang hebat-hebat, pengetahuan kitab kuning saya sudah “volatil”, sehingga saya mengambil porsi pelajaran umum.

Setelah menjadi Guru, tentu itu masih saya rasa bagian kecil dari mimpi yang tercapai, karena saya memang lebih ingin mengajar di level mahasiswa, karena saya kira belajar bersama mahasiswa ini akan lebih fleksibel, cair dan komunikatif. Konon di level mahasiswa, mereka ini sedang dalam fase pencarian jati diri, hematnya saya ingin berperan sebagai pengantar bagi mereka untuk menemukan jati dirinya, wuih, saha aing? Hahaha. Engga lah, intinya sih karena saya sudah sekolah sampe S2, kalaulah keilmuan yang saya dapatkan ini tidak disalurkan, saya khawatir “volatilitas” keilmuan saya terulang lagi. Salah satu jalan untuk menjaga ilmu adalah dengan mengamalkannya. Dan mengajarkannya adalah salah satunya.

Selanjutnya, Alhamdulillah saya diterima untuk mengajar di perguruan tinggi kesehatan swasta di Cirebon, dan milik pesantren juga. Bisa dibilang, saat ini saya harus banyak bersyukur. Selain memang dari segi bisnis tetap berjalan, passion saya sedikit banyaknya tetap bisa saya kejar. Sudah sekitar 2 pertemuan mengajar di level mahasiswa, rasanya menyenangkan bertemu dengan calon generasi penerus bangsa, wehehehe. Tapi mengajar di PDF juga tak kalah menyenangkan, karena banyak pelajaran yang sudah banyak saya lupakan saat SMP dan SMA dulu, saya bisa mempelajarinya kembali.

Agaknya, kondisi sekarang ini bagi saya paling tidak bisa dianggap sebagai kondisi ideal bagi saya untuk menjalani hidup. Berperan dalam pendidikan sudah saya dapatkan, bisnis sudah berjalan, tinggal bagaimana saya dan istri terus melebarkan sayap untuk ekspansi bisnis untuk lebih mandiri secara ekonomi agar saya bisa jadi Kaya secara finansial. Bukan berarti saya hubbuddunya, tapi jika kita miskin juga kan gak bisa sedekah, hahaha. Seperti dawuh Buya Said Aqil Siroj, kita orang Islam harus kaya, harus ada orang Rajagaluh yang jadi orang paling kaya se Indonesia. Toh, pada dasarnya, ketika kita mengejar sesuatu yang sifatnya duniawi tapi dibarengi dengan niat yang baik, maka akan terkonversi menjadi sesuatu yang bernilai ukhrowi, begitupun sebaliknya.

Sebetulnya dalam kehidupan ini, tidak terlalu penting kita jadi apa dan siapa, yang penting apa yang kita lakukan ini bermanfaat bagi sesama. Tapi jika menjadi apa dan siapa itu adalah wasilah menuju kemanfaatan, tentu harus kita kejar. Karena intinya adalah ketika kita menjadi apa dan siapa itu kita harus menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Yang penting, jangan terlalu sibuk, jangan juga terlalu mager, yang sedang-sedang saja, hahaha.

Wallahu a’lam.