Laporan Tracer Study Alumni Pengepul Asap

Laporan Tracer Study Alumni Pengepul Asap

Kecepatan penyebaran informasi saat ini memang bukan main. Saking cepatnya bahkan dalam satu hari, ada 1-2 isu nasional yang muncul, belum clear itu isu, sudah switch ke isu lainnya. Mantapnya lagi, bahkan ada sebuah isu yang udah lewat “greng”nya kemarin, dan saya ketinggalan info padahal mantengin hape udah 7 jam perhari sesuai laporan riwayat mingguan. Gendeng memang zaman medsos ini.

Pernjataan ngawoer anggauta DPR memang mendjadi satoe hal jang ditunggu oleh khalayak masjarakat. Setelah demo besar akhir agustus yang dipicu statemen anggota DPR, kemaren-kemaren ini ada statemen tentang rokok yang sebenernya bener, tapi gabener. Duh, gimana ya, intinya begitulah.

Persoalan statemen blio ini sebenernya sudah banyak ditanggapi oleh banyak ahli bahwa ada perbedaan antara faktor resiko, dan penyebab langsung. Korelasinya rokok dengan kanker, sakit jantung, dan penyakit paru ini permainan 3-4 premis nih, bukan 2 premis doang.

Saya berdiri dalam argumentasi-argumentasi ini. Sehingga 3 bulan lalu ketika saya mulai meletakkan korek dan memberikan sebungkus Sampoerna Mild yang baru kalong 2 itu ke orang lain, saya berangkat dari pemahaman ini. Yes, menjawab tulisan saya sebelumnya, dengan penuh kerendahan hati, saya mudah-mudahan akan selalu menjadi alumni perokok.

Sejujurnya keinginan berhenti merokok itu sudah muncul sejak zama penjajahan. Tapi menghetikan aktivitas ternikmat setelah makan dan pas boker itu sangat-sangatlah tidak mudah bagi saya. Butuh 2 tahun dari sejak perencanaan ke pelaksanaan, hehe. Tapi, bermodalkan alasan yang sama saat saya melakukan penurunan berat badan, alhamdulillah sekarang sudah sampe di BAB IV, semoga segera nyampe ke Bab V, sehingga bisa memberikan kesimpulan dan saran-saran untuk mereka yang punya niat berhenti merokok.

Oh iya, menyoal bahaya kesehatan rokok, sebagai orang kimia yang ngajar farmasi, sulit bagi saya menjadi orang yang denial atas bahaya rokok. Maka, meskipun dulu adalah perokok, saya bukan tipe orang yang ngeyel ketika ada orang yang menasihati bahaya merokok, apalagi beretorika mencari pembenaran merokok dengan mentauhidkan sampoerna A mild, ampuuuun.

Tapi memang urusan rokok ini bukan urusan kesehatan bloko. Ada faktor ekonomi yang perlu dipikirkan. Perlu dipertimbangkan rokok sebagai sebuah industri yang menghasilkan cukai dan penerimaan negara yang besar. Ada banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya dari industri ini. Jika tiba-tiba industri ini dihabisi tanpa pemilik usaha diberi waktu untuk melakukan diversifikasi, tentu bahaya bagi keberlangsungan hidup banyak keluarga.

Saya sepakat bahwa rokok lebih banyak madhorotnya dibanding maslahatnya. Tapi seperti kata sebuah kaidah, “dar’ul mafasid muqoddamun ala jalbil masholih”, menghindari kerusakan harus didahulukan daripada menciptakan kemaslahatan. Menyelamatkan penghidupan keluarga pekerja industri rokok harus didahulukan daripada memberangus industri rokok.

Kunci utamanya pasti di pemerintah. Pemerintah harus berpikir dan memiliki perencanaan yang baik dalam menangani industri rokok dan perokok muda yang megancam masa depan bangsa. Yaaah, saya masih percaya ada hal-hal baik yang akan terjadi pada masa depan kita semua.

Dan untuk semua teman, keluarga, pembaca yang masih merokok. Silakan merokok, karena saya tahu, berhenti merokok itu tantangannya luar biasa sulit. Kalo boleh saya spill laporan tracer study alumni pengepul asap seperti saya ini, ada peningkatan intensitas membuka kulkas tanpa tujuan, clingak clinguk abis makan, dan planga plongo saat di jamban. Meski begitu, ditemukan peningkatan signifikan dalam durasi tidur, rasa apresiasi diri, dan uang jajan yang lebih awet.

Jadi gini ajalah, paling tidak kita harus berhenti menjadi perokok yang bebal dan banyak berdalih bahwa rokok tidak berbahaya, merokok berpahala, atau bahkan merokok mengandung nilai tauhid. Mari kita sudahi itu. Akuilah bahwa merokok itu berbahaya bagi kesehatan, tapi memang untuk berhenti dari kebiasaan itu, perlu sesuatu yang lebih dari sekedar ilmu dan pengetahuan.

Cermin Kita pada Retuntuhan Bangunan Pesantren

Cermin Kita pada Retuntuhan Bangunan Pesantren

Pergulatan duniawi akhir-akhir ini sungguh unik. Berbagai peristiwa, masifnya informasi diproduksi yang pada awalnya diharapkan menjadi landasan kecermatan dalam decision making dan menarik konklusi, malah menjadi semacam rasa takut bagi seseorang mengambil keputusan. Tetapi untuk hal-hal yang berada di luar “kepentingan”-nya, narasi dan komentar bisa lebih sadis dari peristiwa yang diinformasikan.

Fenomena ini tampak jelas dari cara kita menanggapi tragedi yang baru-baru ini menimpa dunia pesantren. Minggu ini kita disuguhkan sebuah musibah yang menyayat hati: sebuah bangunan pesantren di Sidoarjo roboh pada hari pengecoran. Nahas, sekitar 100 santri yang sedang berjamaah di lantai dasar terjebak dan tertimbun reruntuhan. Saat saya menulis ini, puing-puing sedang diangkat karena sudah tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Data mengenai korban dan kerusakan bisa dengan mudah ditemukan di berbagai media.

Sebagian netizen kemudian menghakimi pihak pesantren telah abai terhadap standar konstruksi bangunan. Para ahli pun menyatakan bahwa memang ada kegagalan struktur di sana. Pada titik ini, saya sepakat bahwa pesantren memang perlu memberi perhatian serius terhadap keamanan bangunan dan standar konstruksinya. Apakah ada yang harus dipidanakan? Saya bukan ahli hukum, jadi saya menyerahkannya pada pihak yang berwenang.

Sebagai seseorang yang sepertiga hidupnya dihabiskan di bilik pesantren, saya hanya ingin menyampaikan satu hal bahwa keikutsertaan santri dalam kegiatan seperti mengecor, mengaduk, atau kerja bakti bukan bentuk eksploitasi, melainkan wujud rasa khidmah kami sebagai santri. Di sana kami hanyalah “laden”, bukan “tukang”, apalagi “mandor” atau “arsitek” yang menentukan konstruksi bangunan.

Kami sama sekali tidak menganggap semua itu sebagai perbudakan atau ekploitasi tenaga kerja gratis. Mayoritas aktivitas kami tetap belajar dan mengaji. Ngecor hanya bagian kecil dari rutinitas; ngala batu cuma sepotong dari hari-hari panjang kami. Selebihnya, kami dididik untuk menjadi manusia yang percaya kepada Tuhan dan mencintai ilmu pengetahuan.

Maka ketika ada kerja bakti, gotong royong, atau santri membantu pembangunan, itu bukan eksploitasi, melainkan ekspresi kebersamaan dan rasa memiliki terhadap lembaga tempat mereka menuntut ilmu.

Perlu dipahami juga bahwa tidak semua hal bisa diukur dengan kalkulator untung-rugi. Banyak netizen menilai pesantren dengan logika efisiensi, padahal pesantren salaf seperti “Alkhoziny” justru berjuang agar pendidikan bisa dijangkau semua kalangan. Biayanya sangat terjangkau, bahkan banyak wali santri yang tetap menunggak karena kesulitan ekonomi.

Jika ini terjadi di sekolah umum, mungkin saja mereka sudah diultimatum atau bahkan dikeluarkan. Tapi dunia pesantren berbeda, para Kiai sering kali tidak tega mengeluarkan santri yang kesulitan. Beliau justru memutar otak agar pesantren tetap berjalan dengan dana seadanya, menguras rekening pribadi, menjual aset, dll.

Maksud saya, mari kita menjaga sikap. Jangan tergesa menggeneralisir bahwa pendidikan pesantren adalah eksploitasi tenaga kerja, perbudakan, atau pembodohan berbungkus agama. Mari berpikir jernih. Jika memang ada kelalaian dalam konstruksi atau pengawasan, itu kritik yang baik. Bahwa banyak nyawa yang syahid di sana dan harus dipertanggungjawabkan, silakan diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Tidak semua hal bisa dilihat dengan kacamata hitam-putih.

Di sisi lain, ini menjadi tamparan keras bagi dunia pesantren dan kita semua. Di pesantren saya dulu, diajarkan sebuah hadits Rasulullah SAW: “Idza wusidal amru ilaa ghairi ahlihi, fantadziris sa’ah.” — Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu. Maka, ketika kita hendak membangun bangunan, panggillah arsitek; saat sakit, pergilah ke dokter; saat merasa bodoh, belajarlah ke institusi pendidikan. Semua ada ahlinya.

Saya meyakini, banyak masalah di negeri ini bersumber dari kebiasaan menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya. Dan seperti sabda Nabi, kehancuran akan datang bila hal itu terus terjadi. Wallahu a’lam.

Teruntuk para santri korban reruntuhan. Alfaatihah.

Santri, Korupsi dan Kekuasaan

Santri, Korupsi dan Kekuasaan

Beberapa kali saya dengar seorang tokoh berkata kurang lebih begini, “Santri harus masuk dunia politik, karena santri ini sudah biasa hidup sederhana dan serba pas-pasan. Jadi, kemungkinan santri korupsi itu kecil.”

Saya setuju untuk statemen pertama bahwa santri memang harus ada yang berpolitik. Tetapi untuk alasannya, kita semua akan mendapatkan bias jika menelusuri beberapa figur santri yang ternyata juga menjadi terdakwa kasus korupsi, atau bahkan hanya terindikasi dan terbawa-bawa dalam kasus korupsi. Maka, saya pernah ditanya orang yang bukan santri, “Katanya kalo menterinya santri gak mungkin korupsi, lha kok itu ditangkap KPK?”

Mungkin ada yang akan bersilat lidah, bahwa ini kasus kriminalisasi, ataupun agenda untuk menjegal lawan politik, dikasuskan, dan lain sebagainya. Saya meyakini itu ada. Tapi saya lebih ingin mencoba mengkritisi bagian dimana “Kesederhanaan santri mengurangi potensi korupsi.”. Bagi saya, ini tak ada hubungannya.

Saya mencoba mengambil satu kutipan dari Abraham Lincoln yang berbunyi, “Hampir semua manusia bisa bertahan dalam kesulitan, tetapi jika anda ingin menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.”. Nah, bagi saya ini make sense, baik itu santri atau siapapun yang biasa hidup sederhana hingga mlarat, kebanyakan akan bisa survive. Bahkan ada yang bisa sampai melenting menjadi orang berhasil. Meminjam istilah Bambang Pacul, si Korea korea ini.

Jadi, selain santri, banyak juga figur-figur berhasil yang awalnya berangkat dari kemlaratan hidup. Tapi nyatanya saat sudah berhasil, mau santri atau bukan, jika kekuasaan sudah di tangan, itu soal lain. Seperti kata sejarawan Inggris, Lord Acton, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut juga merusak secara absolut.

Jadi, bagi saya, poin plus santri terjun ke politik itu jangan berangkat dari kesederhanaan. Akan tetapi, mungkin bisa berangkat dari keterikatannya dengan moral pesantren tempat ia dididik. “Pesantren adalah benteng moral. Setidaknya hingga sekarang, anggapannya begitu,” dawuh Buya Said Aqil Siroj di podcast AFU.

Pesantren membentuk santrinya untuk mempraktekkan nilai moral yang diajarkan melalui kitab-kitab klasik. Ada berbagai kitab akhlak yang dipelajari, dan memang penekanan banyak pesantren adalah berdasar pada “al adab fauqol ilmi”, adab itu diatas ilmu. Jadi, jangan sok sok an anda menteri, lalu merasa hebat dari kyai yang mengajari anda membaca al-Quran dan kitab kuning.

Disamping itu, figur kyai yang ada di Pesantren, menurut saya, adalah salah satu parameter yang kemungkinan besar akan menentukan perilaku santrinya. Semakin kuat keteladanannya, maka santri tak akan berani macam-macam, walaupun ia sudah alumni, walaupun Kyainya sudah meninggal. Apalagi jika punya kedekatan secara personal pada sang Kyai, itu akan menjadi tambahan kekuatan moral seorang santri untuk tidak berbuat korupsi atau perbuatan keji lainnya (dalam politik).

Saya pribadi, rasa malu terbesar saya adalah ketika berbagai hal yang diajarkan oleh kyai dulu belum bisa saya praktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Saat akan berlaku buruk, saya seringkali takut jika membayangkan raut wajah kecewa guru saya saat melihat saya melakukan hal yang tidak disukainya. Walaupun guru saya sudah tidak lagi di dunia fana ini, al faatihah.

Jadi, bagi saya, yang menjadi kekuatan utama seorang santri untuk tahan godaan kekuasaan dan perilaku koruptif, bukan dari cara hidup mereka yang sederhana. Tapi lebih ke bagaimana mereka menyelami kehidupan di pesantren dengan didikan akhlak yang dominan, terlebih saat para santri punya teladan yang luar biasa dari figur Kyainya.

Maka, saat ada yang skeptis dengan perdebatan mana yang lebih penting? Sistem atau figur? Saya setuju dengan Buya Said Aqil Siroj, keduanya sama penting. Percuma sistemnya dibuat sangat baik dan hampir tanpa celah, tetapi tanpa adanya teladan yang menjalankan sistem tersebut, akan ada saja orang yang mencoba memanfaatkan celah aturan untuk berlaku tidak adil. Jika hanya figur tanpa sistem? Akan terjadi pengkultusan dan fanatisme buta yang membahayakan. Lagi-lagi, jalan tengah itu memang opsi yang lebih baik.

Semoga di masa depan, semakin banyak santri yang mampu mengambil peran dalam urusan publik. Tentu bukan hanya politik, tetapi sektor-sektor lain macam birokrasi, dunia usaha, digital, teknologi, dan lainnya. Semoga kekuatan moral yang dibangun saat di pesantren menjadi pondasi bagi kita semua yang santri untuk berlaku adil di dalam masyarakat.

Wallahu alam.

Menikmati Masa Awal Menjadi Dosen

Menikmati Masa Awal Menjadi Dosen

Belakangan, tagar JanganJadiDosen mengemuka dan viral di jagat maya. Tagar itu menggema disertai dengan banyak skrinsutan slip gaji dosen yang jauh dari kata kategori sejahtera. Untuk dikategorikan sejahtera, slip gaji yang ditunjukkan pada cuitan di tagar JanganJadiDosen itu memang sangat miris. Sudah gaji kecil, ada yang dirapel pula, dan lain-lain. Padahal, menjadi dosen memiliki kualifikasi yang tak main-main. Sejak beberapa tahun yang lalu, untuk menjadi dosen, seseorang diharuskan memiliki minimal strata pendidikan magister (S-2), dan jika ingin berkarir serius di dunia perdosenan, mengejar gelar doktor adalah kewajiban.

Dan, seperti yang anda tahu, biaya studi sarjana di negeri kita ini masih jauh dari kata “terjangkau”, apalagi untuk S-2 dan S-3. Memang ada banyak pilihan beasiswa, itu bisa menjadi topik lain yang tak perlu dibahas pada tulisan ini. Hal ini sangat memprihatinkan saat kita mengetahui satu fakta bahwa persentase warga Indonesia yang berpendidikan tinggi masih dibawah 10%.

Saya sudah berprofesi menjadi dosen selama kurang lebih satu tahun di salah satu kampus swasta di Cirebon. Menjadi dosen atau paling tidak berkecimpung di dunia pendidikan adalah salah satu cita-cita saya. Entah mengapa saat SMA tiba-tiba cita-cita itu muncul, mungkin sistem pembelajaran pesantren tempat saya belajar adalah salah satu yang mempengaruhi diri saya.

Semakin kuat harapan itu saat saya kuliah di Malang. Dunia aktivis mahasiswa adalah salah satu yang memperkuat itu. Dipertemukan dengan orang-orang yang hebat dalam fasilitasi forum, firm saat berbagi cerita, pemikiran, semangat dan keilmuan. Sedikit demi sedikit, ada satu dua forum yang bisa saya coba isi, saya fasilitasi. Meski tak sebaik senior-senior saya, saya merasa berbagi cerita, semangat, pemikiran dan sudut pandang dengan orang lain, berdiskusi, bertukar pikiran itu terasa menyenangkan.

Disamping dari aspek transfer keilmuan yang sesuai dengan disiplin ilmu saya, dari aspek moril, banyak hal yang saya rasa ingin saya bagikan dan ceritakan dengan orang lain, tentang banyak hal dari sisi ideologis, keyakinan, semangat dan sudut pandang yang ingin saya sebarkan kepada sebanyak mungkin orang, meski entah sebetulnya sekuat dan sebaik apa pikiran saya itu. Tapi setidaknya itulah yang saya yakini baik dan perlu disebarkan.

Selepas S-2, saya tentu mencoba mencari lowongan kerja dosen. Singkat cerita, akhirnya saya diterima di salah satu kampus swasta. Awalnya saya cukup idealis, menjadi dosen saya hanya ingin mengajar saja, jadi dosen non tetap. Namun saat saya terjun lebih dalam lagi, saya akhirnya memutuskan untuk menjadi dosen tetap, menikmati tahap demi tahap menjalankan tri dharma perguruan tinggi.

Kelas pertama tentu tak semudah yang dibayangkan, apalagi saat S-1, saya bukan tergolong mahasiswa yang rajin-rajin amat, perlu mutholaah yang sangat mendalam, karena untuk menyampaikan ilmu, tak cukup hanya paham untuk diri sendiri, tapi juga harus mampu memahamkan anak didik kita. Setelah satu tahun lebih, saya cukup menikmati masa-masa awal ini. Penelitian pertama, membimbing mahasiswa pertama, pengabdian pertama, isi BKD pertama, ritme perdosenan pertama, meski masih terbata-bata, saya menikmatinya.

Meski menjadi dosen ini tak menjanjikan secara finansial seperti yang beredar belakangan, saya menikmatinya. Saya berupaya mengisi kebutuhan cuan dari bisnis yang saya jalani bersama istri, dan tak bergantung dari penghasilan saya sebagai dosen. Terdengar ideal bukan? sebenarnya tak seideal itu. Apalagi saat kedua sisi itu menuntut fokus yang sama. Pekerjaan administratif dosen yang seabrek, dan kompetisi jualan onlen yang semakin tak masuk akal terkadang membuat saya cukup pusing. Tapi, bukankah pusing itu tandanya kita berpikir? intinya, saya menikmati semua kepusingan dalam hidup ini, hehehe.

Peluang Kontribusi Santri di Bidang Sains dan Teknologi

Peluang Kontribusi Santri di Bidang Sains dan Teknologi

Beberapa dekade lalu, santri diidentikkan sebagai komunitas masyarakat yang tradisional, kaku dan terbelakang. Masyarakat perkotaan notabene seringkali memandang sebelah kaum santri karena dianggap kolot dan anti kemajuan karena dianggap mendahulukan kepercayaan mistis dibanding tradisi pengetahuan modern. Padahal dalam kesehariannya, santri sangat erat kaitannya dengan tradisi akademik yang progresif. 

Tri Dharma ala Santri

Jika dibandingkan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, santri juga melakukan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Hanya saja Tri Dharma santri tak dilaporkan dalam sister BKD seperti dosen, dan terhitung SKS yang formal seperti mahasiswa. Pengajaran dilakukan santri dengan berbagai metode. Kyai atau ustadz bisa melakukannya dengan Bandongan, atau dalam bahasa akademik disebut metode ceramah satu arah. Bisa juga dilakukan dengan sorogan, disimak oleh kyai satu per satu terkait satu pelajaran, bahkan bisa jadi seperti halnya Sidang Komprehensif Skripsi. Teknis sidang kompre santri kira-kira mirip seperti Musabaqoh Qiroatul Kutub. 

Penelitian dilakukan santri melalui studi literatur dan dipublikasi melalui “prosiding” forum bahtsul masail di berbagai tingkatan.  Bahtsul masail adalah kegiatan berkumpulnya para santri dengan bekal buku-buku akademik keislaman (misal:fiqih) dari generasi ke generasi, dari metode satu ke metode lainnya, dari madzhab satu ke madzhab lainnya untuk membahas persoalan-persoalan keislaman kontemporer, kemudian dicari solusi dari persoalan tersebut dan diambil kesepakatan bersama. Kira-kira jika BM level nasional setara dengan jurnal Sinta 1, BM level internal pondok setara dengan Sinta 3-5. Sehingga Bahtsul masail adalah salah satu contoh dari rutinitas santri yang erat kaitannya dengan tradisi akademik bidang Penelitian.

Untuk banyak santri satu dua dekade kebelakang, mungkin Pengabdian Masyarakat adalah kegiatan sehari-hari karena relasi santri dan masyarakat saat itu sangatlah cair dan mutualisme. Santri saat ini dengan sistem dan aturan pesantren yang lebih terstruktur, biasanya pengmas dilakukan selepas santri lulus dari pendidikan pesantren. Meski tak semuanya, beberapa pesantren mewajibkan santri melakukan pengmas wajib selama 1 tahun pasca lulus. Berbeda dengan pendidikan tinggi yang merealisasikan pengmas hanya 1 bulanan.

Peluang Santri terhadap Sains dan Teknologi

Lalu apa hubungan santri dan saintek? Saya membayangkan keunggulan santri dengan metode-metode pembelajarannya, serta fokus yang lebih baik karena konsep boarding schoolnya. Jika dibuat visi, misi, tujuan, rencana induk, rencana strategis, kurikulum dan turunannya yang mengarah pada pembelajaran yang difokuskan pada bidang saintek tertentu, saya yakin jebolannya akan menjadi ahli sains yang handal. Jika di bidang Kesehatan, maka akan menjadi ahli kesehatan yang handal. 

Lantas, bagaimana pembelajaran agamanya? Jangan terlalu dalam, cukup beri pengetahuan praktis dasar saja, misal fiqihnya Safinah mentok-mentok Taqrib, tauhid bisa Tijan atau Jawahirul Kalamiyah, Akhlak cukup Ta’lim Muta’alim, selebihnya fokuskan untuk santri belajar bidang saintek yang ia pilih, konsistenkan proses ini sejak SMP hingga Perguruan Tinggi yang terintegrasi dan tersistem dalam satu naungan Yayasan Pesantren tertentu. Yang farmasi biar farmasi, yang bioteknologi biar bioteknologi, yang nanomaterial biar nanomaterial. Bila masih banyak waktu tersisa, keilmuan multidisplin yang masih beririsan pun bisa dibabad habis.

Dengan konsep yang matang dan implementasi yang terkontrol dengan baik, saya yakin santri jebolan lembaga tersebut akan menjadi terang dalam gelap, jawaban atas pertanyaan, dimana islam dan agama-agama saat dunia saat ini dikuasai oleh orang-orang yang menuhankan sains dan teknologi. Santri harus hadir mencoba menghadapi fenomena dunia yang demikian mengarah kepada penafian kebenaran agama, atau lebih jauhnya menafikan keberadaan Tuhan.

Mengapa saya sebegitu yakin? Karena santri dengan berbagai metode pembelajarannya yang efektif dan sudah eksis sejak dahulu kala, serta model boarding school yang lebih mampu menyingkirkan distraksi, fokus santri terhadap studi bisa lebih dari sekedar siswa dan mahasiswa biasa. Yang lebih mudah teralihkan perhatiaannya dengan hal-hal diluar kepentingan akademisnya.

Maka akan ada yang skeptis, masa santri hanya brlajar kitab-kitab tipis? Nanti ilmu agamanya dangkal dong? Ya jika ingin pembelajaran agama yang lebih mendalam, ada banyak sekali Pesantren “Salaf” yang secara kurikulum mapan di kajian kitab kuning yang bisa dipilih. Pilihlah yang itu. Daripada kita memaksa santri untuk benar-benar “MASAGI”, namun pada akhirnya “Tidak Kemana-mana”, Ilmu Fiqihnya nanggung, Fisikanya ngambang. Sehingga memang perlu satu dua pesantren yang mengadaptasi role model pesantren sains yang lebih mengeksplorasi keilmuan sains. Dan peran pesantren ini nantinya di bidang agama, lebih difokuskan pada pembentukan karakter dari santri itu sendiri.

Mengutip dawuh Romo KH. Anwar Manshur Lirboyo, bahwa Tidak perlu semua santri itu menjadi kyai. Yang penting menjadi santri yang “khoirunnas anfauhum linnas”. Sehingga, poin penting dari santri adalah kemanfaatan. Dimana sayap kemanfaatan santri yang perlu diperlebar lagi adalah dengan berkontribusi lebih dalam pengembangan sains dan teknologi. Yang mana saat ini di sektor tersebut belum banyak terdistribusi santri yang punya kapasitas intelektual terkait.

Hemat saya, peluang untuk santri ini harus kita sambut dengan antusiasme dan kemauan yang tinggi, untuk sedikit keluar dari mainstream, tentu bukan karena ingin gaya-gayaan, tetapi ini dilakukan demi perbaikan ummat, agar kontribusi umat islam terhadap sains dan teknologi lebih berefek dan meluas. Para kyai dan gus gus masa kini saya kira harus merespon peluang ini dengan cermat. Sehingga persepsi masyarakat terhadap santri yang pelan-pelan sudah mulai terbangun baik, akan semakin baik dengan keberanian beliau-beliau untuk mengambil inisiatif merespon peluang ini.