Kemarin adalah pertama kali saya mengikuti agenda musyawarah tertinggi di tingkatan PCNU, Konferensi Cabang VIII Nahdlatul Ulama Kabupaten Majalengka. Seperti tertuang pada AD ART, agenda Konferensi digelar untuk suksesi pergantian kepemimpinan NU di berbagai tingkatan, memilih Rais Syuriyah & Ketua Tanfidziyah.
Saya datang bukan sebagai peninjau, tetapi sebagai delegasi MWCNU Rajagaluh yang diberi mandat melalui Surat Mandat yang dikeluarkan Pengurus MWCNU Rajagaluh, artinya saya punya hak suara dan hak bicara dalam forum tersebut. Saya memang tercatat di SK sebagai pengurus harian MWC. Sebagai bocil atau newbie dalam forum tersebut, tentu saya lebih banyak memperhatikan dinamika yang terjadi dalam forum tersebut, tak ikut berkomentar, disitu forum kyai-kyai bos, isin aku, wkwkwk.
Saat mahasiswa, saya cukup akrab dengan forum seperti ini, misal saat dulu di PMII Kota Malang, ditingkatan paling bawah level rayon, saya mengikuti beberapa kali RTAR (Rapat Tahunan Anggota Rayon), RTK (Rapat Tahunan Komisariat), bahkan Konfercab (Konferensi Cabang) PMII Cabang Kota Malang. Terbaru di akhir 2020, saya ikut menjadi panitia Konferensi MWCNU Kec. Rajagaluh. Artinya secara mekanisme, saya sudah cukup paham, ada beberapa sidang pleno dan komisi, dan diakhiri sidang pleno terpanas, tentu saja pemilihan nahkoda baru organisasi.
Forum tertinggi seperti ini biasanya sarat kepentingan, panas, penuh gengsi, adu tensi, dan bahkan bisa jadi menentukan kedewasaan berorganisasi masing-masing insan organisasi. Posisi ketua, atau bahkan rois adalah posisi yang biasanya diperebutkan dan diinginkan oleh beberapa orang. Dalam kasus tertentu, isu money politics berhembus, biasanya mentarget pemilik hak suara dalam forum. Siapa yang punya hak suara memilih ketua, akan diincar dan digoda oleh mereka yang punya ambisi menjadi ketua. Janjinya macam-macam, nominalnya pun macam-macam. Tentu ini bukan tuduhan, karena sampai saat inipun saya hanya tau isu ini sekedar kabar burung saja, saya tak pernah investigasi sendiri, kebenarannya hanya diketahui oleh pemainnya saja, hehe.
Mencermati Konfercab VIII PCNU Majalengka, satu per satu mekanisme saya coba pahami, adakah yang menurut saya tidak ideal? Adakah yang melenceng? Adakah yang kurang tepat? Daaaan, saya menemukan bahwa agenda konfercab di NU cukup rapi dan tertib. Terlebih, saya melihat ada political will dari PBNU untuk berbenah dan mengawal secara aktif prosesi konfercab ini, agar sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan NU. Reformasi struktural dan peningkatan peofessionalitas organisasi coba ditegakkan PBNU. Dibuktikan dengan diharuskannya sidang langsung dipimpin oleh delegasi dari PBNU, khususnya pada pleno terakhir yang biasanya panas.
Agenda pleno I tentang Tata Tertib berlangsung dinamis, namun tetap santun dan santuy. Tidak ada gontok-gontokan karena tarik ulur kepentingan yang biasanya kentara kalo di forum mahasiswa, hehe. Artinya forum berjalan cukup konstruktif dan tentu saja, cepat. Hahaha.
Yang cukup saya sayangkan adalah di pleno komisi. Poin yang cukup saya kritisi adalah ruangan pleno komisi yang tidak representatif untuk sidang komisi. Sidang dilakukan di aula yang besar dan bersebelahan dengan sidang komisi lain. Tentu suara dari para peserta menggema dan bersahutan tidak jelas. Akibatnya, forum menjadi tidak kondusif dan tidak dinamis. Hasilnya saat dilaporkan, tak banyak perubahan dari rancangan draft yang telah dibuat. Hanya dilaporkan bahwa draft yang dibuat sudah cukup bagus, dan tinggal bagaimana pemimpin NU kedepan bisa benar-benar merealisasikannya. Ini cukup disayangkan karena saya kira, salah satu agenda penting dari konfercab ada disini. Kita bertukar pikiran, gagasan hingga strategi bagaimana untuk menjalankan NU ke depan sesuai dengan tantangan zaman. Memang draft yang ada sudah bagus, tapi jika kita lebih niat lagi untuk membahas, itu bisa lebih maksimal. Saya cukup paham juga sih, kadangkala kita sudah maksimal menggagas ide yang dituangkan di pleno komisi, pada akhirnya, hasil-hasil sidang itu berakhir dalam tumpukan draft yang tidak pernah dibuka lagi, atau bahkan dikilokan hingga menjadi bungkus nasi uduk. Soft file nya hanya ada di laptop operator saat sidang, atau bahkan hilang. Tak ada mekanisme bagaimana mempublikasi draft hasil konfercab tersebut.
Selanjutnya dalam LPJ, pleno nya terkesan buru-buru, komentar dari peserta sidang dibatasi dan sudah diatur untuk orang-orang yang akan mengomentari hasil LPJ. Dan semuanya berakhir mengafirmasi dan mengapresiasi saja. Ada yang mengkritisi, hanya mengkritisi terkait draft LPJ yang disebar soft file nya saja tanpa versi cetak. Bagi saya itu tak substansial. Seharusnya forum LPJ bisa lebih banyak mengkritisi kinerja kepengurusan, dan dalam jawaban ketua PCNU demisioner, ia pun berharap kritik demikian.
Di sidang pleno IV yang merupakan bagian terpanas, justru terlihat sangat elegan. Mekanisme pemilihan di NU memang memilih 2 pimpinan, rois syuriyah dan ketua tanfidziyah. Pemilihan rois dilangsungkan melalui mekanisme sidang ahlul halli wal aqdi, semacam sidang 5 ulama sepuh yang dipilih dari suara yang diusulkan MWC-MWC, yang akan bermusyawarah menentukan siapa yang layak menjadi rois syuriyah. Hasilnya terpilih 5 kyai sepuh yaitu KH. Anwar Sulaeman, KH. Harun Bajuri, KH. Aliyudin, K. Yusuf Karim, dan KH. Abdurrosyid, dimana melahirkan keputusan yang memilih KH. Anwar Sulaeman sebagai Rois syuriyah terpilih PCNU Kabupaten Majalengka masa khidmat 2023-2028. Pemilihan dengan mekanisme ahwa ini saya sangat menyukainya dibanding mekanisme voting seperti pada pemilihan ketua tanfidziyah, dengan beberapa alasan pribadi, hehe.
Sampailah kepada agenda terakhir dalam pleno terakhir, yakni pemilihan ketua tanfidziyah, dengan 1 hak suara dari masing-masing MWC. Mekanisme nya dengan penjaringan bakal calon, kemudian yang memiliki 30% suara akan lanjut ke putaran kedua. Syahdan, dalam pemungutan suara pertama, KH. Muhammad Umar Sobur mendapatkan 19 suara mengungguli KH. Dedi Mulyadi (incumbent) yang mendapatkan 5 suara dari 25 suara, 1 suara tidak sah. Dengan hasil tersebut secara otomatis Kyai Umar terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Majalengka karena Kyai Umar mendapatkan lebih dari 50%+1 suara dan suara Kyai Dedi tidak mencapai 30% suara.
Sesaat setelah penghitungan suara berakhir, Kyai Dedi menghampiri langsung Kyai umar, mengucapkan selamat dan berpelukan. Sebuah sikap keteladanan yang harus kita tiru sebagai generasi muda. Selanjutnya, berkumpul pula disitu kader-kader PMII Majalengka berfoto. Dibrowsing-browsing, lha ternyata Kyai Umar ini Ketua Mabincab PC PMII Kab. Majalengka. Ealaaaaah. Saya baru tau. Pantes pengkondisian suaranya mantap, wkwkwkwk. Overall, selamat mengemban amanah untuk KH. Anwar Sulaeman dan K. Muhammad Umar Sobur sebagai nahkoda baru PCNU Kabupaten Majalengka 5 tahun kedepan. Doa terbaik untuk panjenengan berdua. Semoga NU di Majalengka semakin maju. Ami ya robbal alamin. Dan, terimakasih untuk kesempatan yang diberikan kepada newbie seperti saya untuk mengikuti dengan seksama agenda Konfercab ini, sok sokan ngasih catatan pula. Songong.
To the point saja, dalam suatu acara, Zulkifli Hasan, Ketua umum PAN guyon tentang keengganan pendukung paslon nomor 2 menjawab “Amin” setelah membaca surat al faatihah. Juga saat tasyahud biasanya mengangkat 1 telunjuk, katanya, pendukung Prabowo Gibran, tasyahudnya jadi 2 jari hahahaha. Peristiwa detailnya bisa anda googling sendiri.
Bagaimana saya menanggapi itu? Dan bagaimana seharusnya menanggapi itu? Tentu dalam sudut pandang saya. Apakah termasuk penistaan agama? Atau bisa dianggap guyonan biasa saja? Sebelum menjawab itu, saya tegaskan dulu disini kalau saya bukan pendukung Prabowo-Gibran ya, dan bisa dibilang, probabilitas saya memilih paslon No. 2 adalah yang paling kecil dibanding 2 paslon lainnya. Tentu saya punya alasan, seperti jengkelnya saya dengan tragedi Mahkamah Keluarga.
Bagi saya, statemen Zulhas ini saya pikir bisa dianggap sebagai guyonan biasa saja, bukan penistaan agama, bukan politisasi agama, jadi santai saja. Saya kebetulan adalah warga nahdliyyin yang akrab dengan guyonan-guyonan demikian, tentu tak mudah mengafiliasikan guyonan demikian menjadi persoalan serius. Seperti kata Gus Dur, “Dipesantren , humor itu jadi kegiatan sehari-hari. Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup dan pikiran kita menjadi lebih sehat.”.
Ada beberapa guyon agama yang seolah-olah menista, tapi sebenarnya humor yang menyehatkan, wkwkk. Seperti statemen Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj yang menyatakan bahwa sampai saat ini, malaikat mungkar nakir belum sempat menanyai gusdur, “man robbuka, dst”. Kenapa begitu? Seperti pada riwayat, malaikat akan bertanya kepada seorang mayit dalam kubur saat pengantar mayit terakhir telah 7 langkah meninggalkan lokasi pemakaman. Lha makam gusdur ini peziarah terakhir belum sampai 7 langkah, sudah ada yang ziarah lagi, sehingga sampai sekarang, malaikat munkar nakir belum bisa melaksanakan tugasnya, wkwkwk.
Ada juga kisah abu nawas yang berpesan agar ketika meninggal dipakaikan kain kafan dari kain yang sudah lusuh dan kotor. Kenapa demikian? Abu nawas berkelakar, biar malaikat munkar nakir mengira abu nawas ini penghuni lawas atau senior, kalo yang senior kan ospeknya sudah lewat, hahaha. Luar biasa progresif abu nawas berfikir ia mengelabui munkar nakir. Patut kita tiru. Hahaha.
Selain itu masih banyak lagi guyon-guyon berbau agama yang saya kira tidak perlu digiring dan diopinikan terlalu serius hingga dibawa menjadi penistaan agama. Yuk, kita fokuskan energi kita ini untuk memilih paslon berdasarkan gagasan dan tawaran programnya saja, guyon-guyon ini hanya pemanis saja, santuy.
Jadi, bagi saya kelakar Zulhas tentang tasyahud dua jari dan keengganan jawab amin setelah imam baca fatihah itu ya anggap guyon saja. Jika memang dilapangan ada yang benar-benar sesensitif itu terhadap perbedaan pilihan, misal memang dia tidak menjawab amin setelah fatihah, atau tasyahudnya 2 jari atau tiga jari, itu memang bego aja orangnya. Kalo kalian memang saat sholat di masjid satu shaf dengan orang yang tasyahudnya dua jari saat sholat, tinggal tempeleng aja, paling juga yang nempeleng sholatnya batal dan harus mengulang, hahahaha. Udah gitu aja.
Beberapa dekade lalu, santri diidentikkan sebagai komunitas masyarakat yang tradisional, kaku dan terbelakang. Masyarakat perkotaan notabene seringkali memandang sebelah kaum santri karena dianggap kolot dan anti kemajuan karena dianggap mendahulukan kepercayaan mistis dibanding tradisi pengetahuan modern. Padahal dalam kesehariannya, santri sangat erat kaitannya dengan tradisi akademik yang progresif.
Tri Dharma ala Santri
Jika dibandingkan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, santri juga melakukan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Hanya saja Tri Dharma santri tak dilaporkan dalam sister BKD seperti dosen, dan terhitung SKS yang formal seperti mahasiswa. Pengajaran dilakukan santri dengan berbagai metode. Kyai atau ustadz bisa melakukannya dengan Bandongan, atau dalam bahasa akademik disebut metode ceramah satu arah. Bisa juga dilakukan dengan sorogan, disimak oleh kyai satu per satu terkait satu pelajaran, bahkan bisa jadi seperti halnya Sidang Komprehensif Skripsi. Teknis sidang kompre santri kira-kira mirip seperti Musabaqoh Qiroatul Kutub.
Penelitian dilakukan santri melalui studi literatur dan dipublikasi melalui “prosiding” forum bahtsul masail di berbagai tingkatan. Bahtsul masail adalah kegiatan berkumpulnya para santri dengan bekal buku-buku akademik keislaman (misal:fiqih) dari generasi ke generasi, dari metode satu ke metode lainnya, dari madzhab satu ke madzhab lainnya untuk membahas persoalan-persoalan keislaman kontemporer, kemudian dicari solusi dari persoalan tersebut dan diambil kesepakatan bersama. Kira-kira jika BM level nasional setara dengan jurnal Sinta 1, BM level internal pondok setara dengan Sinta 3-5. Sehingga Bahtsul masail adalah salah satu contoh dari rutinitas santri yang erat kaitannya dengan tradisi akademik bidang Penelitian.
Untuk banyak santri satu dua dekade kebelakang, mungkin Pengabdian Masyarakat adalah kegiatan sehari-hari karena relasi santri dan masyarakat saat itu sangatlah cair dan mutualisme. Santri saat ini dengan sistem dan aturan pesantren yang lebih terstruktur, biasanya pengmas dilakukan selepas santri lulus dari pendidikan pesantren. Meski tak semuanya, beberapa pesantren mewajibkan santri melakukan pengmas wajib selama 1 tahun pasca lulus. Berbeda dengan pendidikan tinggi yang merealisasikan pengmas hanya 1 bulanan.
Peluang Santri terhadap Sains dan Teknologi
Lalu apa hubungan santri dan saintek? Saya membayangkan keunggulan santri dengan metode-metode pembelajarannya, serta fokus yang lebih baik karena konsep boarding schoolnya. Jika dibuat visi, misi, tujuan, rencana induk, rencana strategis, kurikulum dan turunannya yang mengarah pada pembelajaran yang difokuskan pada bidang saintek tertentu, saya yakin jebolannya akan menjadi ahli sains yang handal. Jika di bidang Kesehatan, maka akan menjadi ahli kesehatan yang handal.
Lantas, bagaimana pembelajaran agamanya? Jangan terlalu dalam, cukup beri pengetahuan praktis dasar saja, misal fiqihnya Safinah mentok-mentok Taqrib, tauhid bisa Tijan atau Jawahirul Kalamiyah, Akhlak cukup Ta’lim Muta’alim, selebihnya fokuskan untuk santri belajar bidang saintek yang ia pilih, konsistenkan proses ini sejak SMP hingga Perguruan Tinggi yang terintegrasi dan tersistem dalam satu naungan Yayasan Pesantren tertentu. Yang farmasi biar farmasi, yang bioteknologi biar bioteknologi, yang nanomaterial biar nanomaterial. Bila masih banyak waktu tersisa, keilmuan multidisplin yang masih beririsan pun bisa dibabad habis.
Dengan konsep yang matang dan implementasi yang terkontrol dengan baik, saya yakin santri jebolan lembaga tersebut akan menjadi terang dalam gelap, jawaban atas pertanyaan, dimana islam dan agama-agama saat dunia saat ini dikuasai oleh orang-orang yang menuhankan sains dan teknologi. Santri harus hadir mencoba menghadapi fenomena dunia yang demikian mengarah kepada penafian kebenaran agama, atau lebih jauhnya menafikan keberadaan Tuhan.
Mengapa saya sebegitu yakin? Karena santri dengan berbagai metode pembelajarannya yang efektif dan sudah eksis sejak dahulu kala, serta model boarding school yang lebih mampu menyingkirkan distraksi, fokus santri terhadap studi bisa lebih dari sekedar siswa dan mahasiswa biasa. Yang lebih mudah teralihkan perhatiaannya dengan hal-hal diluar kepentingan akademisnya.
Maka akan ada yang skeptis, masa santri hanya brlajar kitab-kitab tipis? Nanti ilmu agamanya dangkal dong? Ya jika ingin pembelajaran agama yang lebih mendalam, ada banyak sekali Pesantren “Salaf” yang secara kurikulum mapan di kajian kitab kuning yang bisa dipilih. Pilihlah yang itu. Daripada kita memaksa santri untuk benar-benar “MASAGI”, namun pada akhirnya “Tidak Kemana-mana”, Ilmu Fiqihnya nanggung, Fisikanya ngambang. Sehingga memang perlu satu dua pesantren yang mengadaptasi role model pesantren sains yang lebih mengeksplorasi keilmuan sains. Dan peran pesantren ini nantinya di bidang agama, lebih difokuskan pada pembentukan karakter dari santri itu sendiri.
Mengutip dawuh Romo KH. Anwar Manshur Lirboyo, bahwa Tidak perlu semua santri itu menjadi kyai. Yang penting menjadi santri yang “khoirunnas anfauhum linnas”. Sehingga, poin penting dari santri adalah kemanfaatan. Dimana sayap kemanfaatan santri yang perlu diperlebar lagi adalah dengan berkontribusi lebih dalam pengembangan sains dan teknologi. Yang mana saat ini di sektor tersebut belum banyak terdistribusi santri yang punya kapasitas intelektual terkait.
Hemat saya, peluang untuk santri ini harus kita sambut dengan antusiasme dan kemauan yang tinggi, untuk sedikit keluar dari mainstream, tentu bukan karena ingin gaya-gayaan, tetapi ini dilakukan demi perbaikan ummat, agar kontribusi umat islam terhadap sains dan teknologi lebih berefek dan meluas. Para kyai dan gus gus masa kini saya kira harus merespon peluang ini dengan cermat. Sehingga persepsi masyarakat terhadap santri yang pelan-pelan sudah mulai terbangun baik, akan semakin baik dengan keberanian beliau-beliau untuk mengambil inisiatif merespon peluang ini.
ATOMIC OF ME
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.