Kebahagiaan yang Tak Ternilai

Kebahagiaan yang Tak Ternilai

Setelah kami menikah 4 Maret silam, kami memang langsung tancap gas. Ya, betul, kami langsung berharap segera diberi momongan. Meski saat menikah, usia saya masih 24 tahun yang tergolong masih muda, tapi tak terbesit sedikitpun untuk menunda-nunda giat reproduksi. Hehe. Dan, Allah pun mengabulkan doa dan harapan kami. Siang hari itu, di suatu klinik di Kadipaten, 8 Januari 2019, lahirlah anak kami yang pertama melalui persalinan normal, seorang Jagoan. Saat bayi mungil itu menangis, air mata ini mengalir begitu derasnya. Tangis haru bahagia ini membuat saya tak mampu berkata-kata. Sampai-sampai dokterlah yang mengingatkan saya untuk segera mengabadikan momen itu. Begitupula dengan yang mengabari keluarga di Malang, Ibu sayalah yang menelepon kesana. Bayi mungil ini kuberi  nama sesuai dengan apa yang saya rencanakan bersama istri sejak lama.

MUHAMMAD FAQIH ZEWAIL ALFAUZI

MUHAMMAD, banyak harap dan doa dalam nama yg kuberikan padanya, Nabi Muhammad adalah panutan kita, nabi akhir zaman, penegak agama yg ramah dan penuh kasih sayang. Semoga kelak ia menjadikan baginda Nabi Muhammad Shollallohu alaihi wasallam sebagai teladan utama dalam bersikap dan bertindak. Menjadi pejuang agama dan bangsanya. Dan tak lupa untuk selalu bersholawat kepadanya.

FAQIH, berarti ahli ilmu fiqih, ilmu syariat Islam. Secara etimologi berarti orang yang memahami secara mendalam. Semoga saat ia tumbuh nanti, ia dapat melihat sama seperti yg lainnya, namun mampu memahami lebih dari apa yg orang lain pahami. Sehingga menghasilkan kebijaksanaan dalam bersikap dan dalam menghadapi persoalan. Faqih juga terinspirasi dari nama seorang ulama besar KH. Abdullah Faqih, salahsatu ulama khos NU asal Langitan Tuban, Guru dari Gusdur. Semoga keulamaan beliau bisa tertular kepadanya

ZEWAIL, nama seorang kimiawan asal Mesir, peraih nobel bidang kimia karena penemuannya terkait cabang baru ilmu kimia, Femtochemistry. Saya mengagumi beliau karena ditengah kejumudan intelektual sains dunia Islam, beliau menunjukkan bahwa sains dan islam tak perlu ada dikotomi yg akhirnya mendegradasi paradigma berfikir seorang muslim.

ALFAUZI, kemenangan, kesuksesan, kejayaan, semoga kau mengilhaminya dalam kehidupanmu di masa depan nanti.

Welcome to the world, my son! Sungguh kebahagiaan yang tak ternilai bagi saya.

Semoga Allah selalu memberkati dan merahmatimu, amiiiin.

ربنا هب لنا من أزواجنا وذرياتنا قرة أعين واجعلنا للمتقين إماما. آمين يارب العالمين.

Barisan Yalal Balad dan Pengantin yang Malang

Barisan Yalal Balad dan Pengantin yang Malang

Saat mendengar kabar bahwa sahabat seangkatan ada yang hendak melepas lajang, saya yg sekarang sudah dilucuti status kemahasiswaannya dan menjadi pengangguran merasa terpanggil untuk memenuhi undangannya, terlebih si mempelai wanita nya juga teman seangkatan saat di pesantren dulu. Ini adalah undangan nikah pertama dari teman di pesantren yang bisa kuhadiri. Dalam undangan-undangan pernikahan sebelumnya, tentu saya tidak bisa hadir, jarak dan waktu jadi alasan logisnya. Saya masih dalam proses berjuang menjadi pengangguran bergelar di bumi Ken Arok.

Saat tiba di Garut, sungguh tak ada yg membuat saya keheranan, tidak ada yang berubah daru mereka, sahabat-sahabat saya masih sama seperti dulu, malah mereka terheran-heran kepada saya menanyakan bagaimana bisa saya mengembang sebesar ini? Apa terlalu banyak ragi roti? Hahaha. Ah, sudahlah. Aceng Gehu, Sang pengantin juga tetap tak berubah, tetap dengan kepalanya yg besar, untung besarnya tak bertambah, bukan begitu, Ceng?

Setelah selesai berfoto dg pengantin, kami singgah di rumah salah satu sahabat di daerah wanaraja, ihsan namanya. Ikan dan Nasi Liwet jadi hidangan yang disajikan. Tak lupa sambal menjadi pelengkap kenikmatan hidangan malam itu. Saya pun akhirnya terlelap melepas rasa lelah setelah perjalanan yg cukup jauh.

Esoknya, dengan beberapa upaya lobbying, kami kembali ke lokasi pernikahan, kali ini bukan acara formal resepsi, hanya forum sahabat heureuy ngalor ngidul sambil menginterogasi si Aceng, sang pengantin. Kami menamai gerakan kami “Ya lalbalad”, sebutan yang cukup rahasia untuk bisa saya ceritakan dalam tulisan ini. Ini demi melindungi Sang kreator, Rizka dan Adam dari jeratan hukum, hahaha.

Akibat dari proses mediasi yang berhasil, sore harinya kami mengunjungi Wisata Darajat Pass, pemandian air panas terkenal di seantero jawa barat. Tak lupa kami nyanyikan lagu “Ya lalbalad” (balad= sahabat/koncokentel) sebagai ucapan terimakasih. Kami videokan dan dikirim ke korban pemalakan kami, siapa lagi kalau bukan kedua mempelai teman kami. Berendam di air hangat dalam cuaca dingin itu kenikmatan yg luar biasa. Aslina dak. Maknyuss.

Kami pulang dengan perasaan puas, undangan plus plus, gumamku. Sepulang dari Darajat, saya berpisah dengan sahabat2, mereka masih hendak mengunjungi Annur Malangbong, tempat gus Bahar. Kabarnya, bakakak ayam jadi menu hidangan disana. Luar biasa militan barisan “Yalalbalad” ini, pikirku.

Sampai jumpa lagi komando! Rizka, adam, jajang, hilmi, rendi fatur, ihsan, yayang, dll.

Mem-Bandung Episode 2

Mem-Bandung Episode 2

Saya cenderung tidak punya teman di lingkungan tempat tinggal saya. Karena sejak kecil saya menghabiskan waktu diluar kandang. Sehingga bila bersinggah di suatu Kota yang ditinggali sahabat saya, entah memang itu rumahnya, atau memang karena alasan studi maupun pekerjaan. Saya harus mengesampingkan rasa sungkan dan sejenisnya. Jadi, merepotkan mereka sudah saya anggap sebagai hal yang biasa saja. Saya berpikir positif saya, semoga saja mereka berpikir sama seperti saya. Selepas perpisahan di pesantren, karena jarak dan kesibukan masing-masing, saya dan mereka jarang atau bahkan tidak pernah bertemu sama sekali. Bertahun-tahun. Maka meluangkan waktu untuk sekedar ngopi-ngopi cangkrukan melepas kerinduan sehari dua hari saya pikir tidak akan mengganggu rutinitas mereka. Toh, mereka juga masih Jomblo. Haha.

Kunjungan kedua saya ke Bandung dengan motoran selama 3 jam saya coba manfaatkan untuk menjalin silaturahmi dengan sahabat-sahabat lama. Rute pertama, yang saya singgahi malah seorang betina, Ijul namanya. Ia sahabat sejak mesantren di Haurkuning, Tasikmalaya yang hingga sekarang tetap istiqomah melanjutkan petualangannya di penjara suci dekat UIN. Bedanya, ia sambi aktivitas kuliah dan pesantrennya dengan pekerjaan sebagai tutor salah satu lembaga privat.

“Masih jomblo? Belum move on ti si eta?”, canda saya.

Jawabannya cukup panjang, mungkin ada sekitar 3 paragraf jika dirangkum, hahaha. Saya mengobrol gak terlalu lama, karena memang ketemu bakda maghrib, dan ia memang ada jadwal mengaji bakda isya di pondok. Selanjutnya, motor saya gas lagi dari Cibiru ke Cihanjuang. Lumayan jauh. Disitu saya cuma numpang ngorok di kosan sepupu.

Karena cuaca yang begitu sejuk dan memagerkan, saya baru keluar kosan di sore hari. Saya memberanikan diri menghubungi mas muwafiq, senior PMII Kota Malang yang tempo hari ada insiden dengan saya, hehe. Meski begitu, silaturahmi harus tetap dijaga, toh kami sudah bermaaf-maafan. wkwkwk. Saya bertemu dengan beliau di sebuah warkop di tengah Kota Bandung, saya lupa namanya. Kemudian saya diajak lanjut ngopi di kediamannya di daerah Ciumbuleuit. Sungguh suasana yang memagerkan, hawa sejuk malam menyebabkan penyeruputan kopi dan pembakaran asap sederhana lebih cepat dan intens. Sayangnya, saking asyiknya ngobrol, kami jadi lupa mengabadikan momen ngopi itu. Hilang sudah satu bahan untuk diupload. Tapi yang terpenting, kami berbicara banyak hal, dari mulai organisasi, ideologi sampai kehidupan. Maturnuwun, mas.

Esoknya, saya mengagendakan bertemu dengan sahabat semasa mesantren di Al Hikmah 2 Brebes dulu, ada azwar, desainer dan juga kaligrafer handal yang menurut galih sudah menjadi “budak kapitalis”, hahaha. Nah, galih ini sejak keluar pondok sampai sekarang ini baru ketemu, total 8 tahun hilang tanpa jejak. Yang bikin saya kaget adalah ketika ia membuka helmnya, rambutnya luar biasa. Selain galih, ada samsul. Kalo Samsul ini calon perawat dengan senyum pepsodent mata merem yang istiqomah dia jaga hingga sekarang. hahaha.

Akhiron, terimakasih atas sambutan yang hangat dari semua sahabat yang saya kunjungi. Semoga gak kapok jika saya berkunjung kembali, hehe. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga, kata Nabi SAW, Silaturahmi itu menangguhkan kematian dan memperluas rezeki. Saya sangat meyakini hadits tersebut. Bagaimana tidak? karena dengan bersilaturahmi, kita bisa melepas beban dan penat dengan bercanda tawa. Bukankah suasana hati tanpa beban dan perasaan senang mampu meremajakan usia sel tubuh kita? Dan karena dengan Silaturahmi juga, siapa yang tahu kita bisa bekerja sama membangun suatu bisnis. Bukankah semakin banyak kita mrmbangun relasi, makin banyak peluang kita dlam membangun relasi bisnis? Salam.

Mem-Bandung dan Berziarah ke Mahbub Djunaidi

Mem-Bandung dan Berziarah ke Mahbub Djunaidi

Selepas lulus S1 di Malang nanti, memang ibu saya (baca:mamah) sangat menginginkan anak sulungnya ini tak lagi melanjutkan studi di Kota yang terlalu jauh dari rumah. Bagaimana tidak berharap, sejak SD sampe sekarang ini, saya terus-terusan merantau. Maka dari itu, saya mencoba mencari-cari info untuk peluang melanjutkan studi di Universitas Padjadjaran. Satu-satunya cara agar mudah mendapat info, ya langsung berangkat saja ke Kota Kembang. Dan siapa lagi yang saya mintai tolong selain teman saya saat mesantren di Tasikmalaya. Namanya Rizka, ia berkuliah di UIN Bandung dan juga sama-sama berorganisasi di PMII, terlebih ia adalah eks Ketua Rayon Dakwah PMII UIN Bandung.

Gambar: Sahabat PMII UNPAD

Bukan tanpa sebab menghubungi teman pondok yang juga kader PMII. Saya memang berharap nantinya dikoneksikan ke sahabat-sahabat PMII di UNPAD, biar lebih mudah cari info, pikir saya. Beginilah keuntungannya berorganisasi, dimanapun kita singgah, karena sama-sama anggota PMII, minimal kita bisa numpang tidur di sekretariatnya, maksimal bisa mendapat jejaring sahabat baru. Melalui rizka, saya dikenalkan ke Haris, eks Ketua PMII Komisariat UNPAD. Ia berkuliah di jurusan sejarah. Saya disambut dengan baik saat ngopi-ngopi di kampus UNPAD Jatinangor bersama dan saya cukup banyak mendapat info yang dibutuhkan

Di waktu maghrib, saya janji bertemu dengan Mas Muwafiq, salah satu senior PMII Kota Malang yang sekarang melanjutkan studi di ITB. Wah, dalam prosesnya ada peristiwa yang cukup tidak mengenakkan. Saya tak perlu ceritakan. Yang pasti saya harus memohon maaf sebesar-besarnya sama mas Muwafiq dan istri. Akibat kesalahan saya, njenengan harus bolak balik Cibiru-Jatinangor dua kali. Sekali lagi, nyuwun pangapunten mas.

Besoknya, saya diantar oleh rizka ke makam Mahbub Junaidi, ya, Ketua Umum PB PMII pertama, yang juga dikenal sebagai wartawan, kolomnis, sastrawan dan juga aktivis yang sangat kritis. Anda bisa dapatkan info tentang sepak terjang Mahbub Junaidi melalui mbah gugel. Sukur-sukur bisa baca bukunya, seperti Dari Hari ke Hari, Kolom demi Kolom, Politik Tingkat Tinggi Kampus, Asal Usul, dan lain-lain. Makamnya terletak di gang kecil di Jl. Sukarno-Hatta, Bandung. Tepatnya di TPU Assalaam. Selesai membaca Yaasiin dan Tahlil, saya merenung sejenak dan tiba-tiba teringat salah satu kutipannya.

Gambar: Yasin dan Tahlil di Makam Mahbub Djunaidi

“Aku akan menulis dan akan terus menulis. Sampai tak mampu lagi menulis.”

اللّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَاَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِلْمَاءِ وَالشَّلْجِ وَالْبَرْدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْاَبْيَضُ مِنَ الدَّ نَسِ وَاَبْدِلْهُ دَارً اخَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَاَهْلًا خَيْرًا مِنْ اَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَادْخِلْهُ الجَنَّةَ وَاعِذْهُ مِنْ عَدَابِ الْقَبرِ وَفِتْنَتِهِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ

Semoga kita dapat mengambil keteladanan dari seorang Mahbub Djunaidi. Keteladanan dalam kepemimpinan, idealisme, dan perjuangannya. Amin. Semoga dilain waktu, saya bisa kembali berziarah ke makam beliau. Terkhusus untuk H. Mahbub dan seluruh pendiri PMII. Lahumul Faatihah.

Pendidikan Indonesia, Sudah Sampai Mana?

Pendidikan Indonesia, Sudah Sampai Mana?

“Pengajaran yang diberikan oleh pemerintah kolonial hanya untuk dapat menjadi buruh, karena adanya ijazah itu tidak untuk mengisi pendidikan yang sesungguhnya, dan tidak untuk mencari pengetahuan guna kemajuan jiwa raga.”
-Ki Hajar Dewantara (@sabdaperubahan)-
sumber : teroponggambong.blogspot.com

Kita sama-sama tau bahwa hari ini (22/05/2017) merupakan peringatan hari pendidikan nasional. Hardiknas ini ditetapkan sebagai apresiasi terhadap kiprah sosok Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional.  Ki Hajar memang dikenal sebagai tokoh yang getol menggelorakan semangat pendidikan di Indonesia. Semboyan Ki Hajar yang paling dikenal adalah “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Ngadyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.

Ing Ngarso sung Tulodho, bahwa guru harus menjadi teladan bagi siswanya. Ing Ngadyo Mangun Karso, bahwa guru harus pula punya asas kebersamaan dengan siswanya, sehingga guru dan siswa memiliki ikatan emosional yang baik. Tut Wuri Handayani, bahwa dari belakang, guru harus mampu memotivasi dan mengarahkan kepada hal-hal yg mampu meningkatkan kapasitas intelektual, spiritual dan emosionalnya.
Seperti dalam kutipan diatas, Ki Hajar juga mengajarkan bahwa pendidikan harus benar-benar menyentuh esensi pendidikan itu sendiri, yakni meningkatkan kapasitas intelektual, spiritual, dan emosional yang membangun bagi peserta didik. Selain itu, Ki Hajar juga menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus kemudian benar-benar diselaraskan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa dalam arti seluas-luasnya.

Namun, dibalik gagasan-gagasan emas Ki Hajar ini, kita patutnya berduka dengan apa yang terjadi dalam sistem pendidikan di negara kita. Bahkan, sahabat saya berseloroh bahwa pendidikan kita lebih butuh diselamatkan daripada diberi ucapan selamat. Alih alih merealisasikan tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 3, pendidikan nasional hari ini malah membawa kita kepada masa-masa pemerintahan kolonial, dimana pendidikan kita hanya mencetak lulusan-lulusan yang tidak berorientasi global, hanya berorientasi pada kemunduran yang dianggapnya lumrah.

Ada beberapa aspek yang menyebabkan mengapa saya menyimpulkan bahwa pendidikan kita telah gagal mencetak lulusan-lulusan yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas. Pertama, aspek ke-bhinneka-an, aspek ini sangatlah penting untuk diperhatikan pendidik kita. Meningkatnya angka radikalisme, intoleransi, dan menyeruaknya isu SARA telah mengancam keindonesiaan kita. Pendidik harus kemudian menjadikan pendidikan kebhinnekaan sebagai fokus utama dalam garapan pendidikan, dimana setiap warga negara harus memahami bahwa kemajumukan bangsa Indonesia adalah sesuatu yang harus diterima oleh setiap warga negara. Dimana suku, ras, dan agama yang berbeda-beda harus mampu hidup berdampingan, menerima perbedaan, bersama-sama bekerjasama membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Kedua, aspek komersil. Seperti yang pernah diungkapkan Almarhum Gusdur, bahwa “Pendidikan hari ini sudah seperti industri komersil, sehingga orang tidak mampu lagi membedakan mana kerja mendidik, mana kerja mengembangkan keterampilan. Dunia pendidikan akhirnya lebih diurusi para birokrat dan manajer pendidikan, ketimbang pemikir yang berperspektif luas dan berpandangan ke depan”. Sudah menjadi pandangan umum, bahwa pendidikan hari ini semakin tidak terjangkau oleh rakyat, mulai sistem UKT dan beasiswa yang seringkali tidak tepat sasaran, fasilitas pendidikan yang tidak selaras dengan iuran yang dibayarkan, ijazah ilegal,  hingga monopoli penerimaan peserta didik yang terkesan transaksional.

Hal diatas menyebabkan pendidikan hanya mampu diakses oleh kalangan elit dan menyingkirkan rakyat miskin. Padahal seharusnya, pendidikan harus terbuka aksesnya untuk seluruh warga negara seperti bunyi UUD 1945. Tidak boleh ada beda! Seringkali pengelola instansi pendidikan berdalih bahwa mahalnya biaya sekolah dikarenakan mahalnya fasilitas-fasilitas pendidikan yang ada. Pradigma kapitalistik seperti ini tidak diperbolehkan hidup di dunia pendidikan. Pemerintah melalui APBN ataupun sekolah-sekolah dalam upaya mandirinya harus kemudian mencari solusi pendanaan untuk pendidikan tanpa harus mencederai esensi penyelenggaraan pendidikan yang harus jauh dari paradigma kapitalistik.

Ketiga, aspek kebebasan. Aspek kebebasan menjadi penting dalam pendidikan kita. Karena melalui kebebasan, seorang siswa akan mampu mengoptimalkan potensi dan kreativitasnya. Ki Hajar juga menyatakan bahwa, “Anak-anak tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun kodratnya itu.”. Disini ki Hajar sangat menekankan bahwa pendidikan tidak boleh memaksa kepada siswa. Setiap siswa/mahasiswa tidak lahir untuk potensi dan peran yang sama, sehingga pendidik harus memahami bahwa pemaksaan terhadap peserta didik akan membunuh karakter dan potensi mereka.

Pailo Freire dalam bukunya menyebutkan bahwa pendidikan haruslah membebaskan. Dalam artian, pendidikan tidak kemudian dipraktikkan seperti praktik perbankan, dimana murid hanya menjadi celengan guru yang diibaratkan seperti penabung. Bagaimanapun, guru harus pula terbuka dalam kaitannya menerima pendapat siswa. Sehingga, pendidikan menjadi bersifat dialogis, dimana guru harus siap disalahkan oleh siswa ketika guru itu memang salah, begitupun sebaliknya. Jika dikorelasikan dengan prinsip Ki Hajar, bisa diasumsikan bahwa prinsip freire ini selaras dengan prinsip “Ing Ngadyo Mangun Karso”.

Dalam praktik pendidikan kita, kita seringkali melihat guru/dosen yang sewenang-wenang memaksakan kehendaknya, hingga terkadang ia berani untuk menabrak prinsip-prinsip pendidikan yang ada, misal dengan melakukan pengurangan nilai atas sesuatu yang sebetulnya tidak berkaitan dengan pembelajaran tersebut. Hal ini cukup efektif membuat peserta didik untuk selalu tunduk pada kehendak pendidik, dan hal ini sangat jelas membunuh potensi peserta didik. Di level mahasiswa, adapula berbagai kebijakan nasional yang membatasi aktivitas organisasi mahasiswa, semacam NKK/BKK baru yang jelas-jelas mencederai proses perkembangan mahasiswa di level organisasi.

Keempat, aspek kepedulian. Aspek kepedulian ini sangat penting sebagai hasil dari tempaan pendidikan. Pendidikan harus kemudian memupuk kepedulian terhadap realitas sosial. Kelanjutan dari gagasan Freire, bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang netral dan bebas nilai, pendidikan harus berpihak. Sedangkan keberpihakan harus ditimbulkan melalui kepedulian.

Melihat realitas sosial kita yang timpang, kita harus menjadi peduli untuk mencoba mengubahnya. Sehingga, dalam praktiknya, pendidik harus menjadikan aspek kepedulian sebagai salahsatu fokus garapan. Tan Malaka mengingatkan kita bahwa sebagai seorang yang terdidik, kita harus mau melebur bersama rakyat miskin, untuk mengurangi ketimpangan sosial yang ada, jika tidak, maka pendidikan itu tidak pantas untuk dirinya.

Ketimpangan kondisi sosial di Indonesia bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Lulusan-lulusan instansi pendidikan harus kemudian berakselerasi dalam mengurangi ketimpangan sosial yang ada disekitarnya. Mereka tidak boleh menjadi lulusan yang seperti ditakutkan Romo Mangun, dimana mereka kaum sekolah akan menjadi penindas-penindas baru dengan kepintaran mereka. Atau dalam konteks budaya jawa, “minteri” rakyat dengan kepintarannya.

Kita harus segera move on dari ketidakpedulian sosial. Sudah cukup para pejabat di era sekarang yang hanya peduli pada diri sendiri dan familinya. Sudah cukup perilaku koruptif dipertontonkan. Pendidikan merupakan jalan efektif memupuk kepedulian generasi kita, bahwa masih banyak kaum tertindas yang perlu diperjuangkan! Bahwa masih panjang perjuangan bangsa kita untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan sejahtera!

Menilik keempat aspek diatas. Agaknya kita memang harus sekuat tenaga berjuang untuk terus berjuang memperbaiki pendidikan kita bersama-sama. Karena bagi saya, pendidikan adalah jalan efektif yang dapat digunakan sebagai alat penyadaran bersama, baik melalui pendidikan formal, informal, maupun non-formal. Dengan pendidikan yang baik, saya berkeyakinan bahwa Indonesia akan mampu mencapai cita-cita kemerdekaannya.

Ditahun 2020-2030, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, dimana angka usia produktif mencapai angka 70%. Angka ini bagai dua sisi mata uang, bisa menjadi berkah, bisa juga menjadi bencana. Berkah dalam artian tingginya usia produktif diiringi dengan kualitas SDM mumpuni yang mampu mengisi ruang-ruang produktif dalam berbangsa dan bernegara. Bencana dalam artian tingginya usia produktif tidak diiringi dengan kualitas SDM yang baik yang tidak mampu bersaing di era global. Instansi pendidikan merupakan instrumen utama yang seharusnya mampu mengelola bonus demografi ini menjadi sebuah berkah bagia kemajuan bangsa.
“Memayu Hayuning Sariro, Memayu Hayuning Bangsa, Memayu hayuning Bawana, (Apapun Yang Di Perbuat Oleh Seseorang Itu, Hendaknya Dapat Bermanfaat Bagi Dirinya Sendiri, Bermanfaat Bagi Bangsanya, Dan Bermanfaat Bagi Manusia Di Dunia Pada Umumnya)”
 – Ki Hajar Dewantara
Selamat Ulang Tahun Ki Hajar Dewantara!
Mari berbenah untuk pendidikan kita!
Arjuno, 02/05/2017
22.45