Menumbuhkan Kembali Semangat Aktivisme dalam Konteks Gerakan Membaca dan Menulis

Iqro’ biamirobbikalladzi kholaq. Kholaqol insana min ‘alaq. Iqro’ warobbukal akrom. Alladzi allama bil qolam. Allamal insana ma lam ya’lam (QS. AL-Alaq 1-5)

pramudya-menulis-quote

Sebagai umat muslim, kita pasti mengetahui bahwa ayat-ayat yang pertama diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW adalah membaca dan menulis. Hal itu tertera dari kata Iqro’ dan Alladzi ‘allama bil qolam. Dalam beberapa tafsirnya, jumhur ulama menafsirkan bahwa membaca dan menulis adalah sebuah kewajiban. Membaca membuka Jendela Dunia. Apapun teori maupun teknik membaca yang digunakan, luasnya pengetahuan yang kita miliki adalah konsekuensi logis yang akan kita raih.
Membaca yang penulis maksud disini bukan hanya melalui buku-buku, koran-koran, atau bahkan novel, cerpen, komik dan media-media cetak lainnya yang bersifat informatif faktual maupun informatif non-faktual (opini). Arti dari membaca yang penulis maksud tidak sesempit itu. Membaca adalah kegiatan meresepsi, menganalisa, dan menginterpretasi yang dilakukan terhadap suatu hal yang nampak, terdengar, terasa, teraba, dan tercium oleh seseorang. Dalam artian, membaca disini adalah proses kita untuk memahami hal yang kita hadapi. Gray and Rogers (1995) dalam bukunya menyatakan bahwa dengan membaca, kita dapat mengembangkan diri, memenuhi tuntutan inteletual, mengetahui hal-hal yang penting dan aktual.

Siapa yang tak kenal Almaghfurlah Gusdur (KH. Abdurrahman Wahid)? Presiden Indonesia ke-4 yang sangat disegani di mata dunia adalah seorang penggiat membaca. Teringat sewaktu penulis masih tholabul ilmi di suatu Pondok Pesantren, guru ngaji penulis menuturkan bahwa saking rajinnya membaca, beliau sampai mengalami gangguan mata hingga beliau tidak dapat melihat. Terlepas dari perkataan itu benar atau tidak, beliau telah membuktikan bahwa dengan membaca, beliau dapat menjadi orang nomor wahid di Indonesia, bahkan disegani di lintas agama, lintas ideologi, lintas Negara, bahkan lintas kehidupan (semacam guyonan).
Tak afdol rasanya ketika pembahasan membaca tak dikaitkan dengan pembahasan pentingnya menulis. Menulis memang erat kaitannya dengan membaca. Menulis adalah sebuah langkah aplikatif dari hasil membaca. Dari hasil kita membaca dari berbagai sumber, referensi, realita dan dinamika yang ada, secara tidak langsung, baik secara terstruktur maupun tidak, kita akan menganalisis dari apa yang kita baca. Dan langkah aplikatif yang efektif untuk mengungkapkan analisa yang didapatkan dari apa yang kita baca adalah menulis. Begitulah kiranya penulis memahami relasi dari membaca dan menulis.
Seperti yang kita ketahui, pentingnya menulis juga sering diungkapkan oleh para uswah kita. Shahabat Ali Ra pernah berkata, “Ilmu adalah buruan, dan menulis bagaikan pengikatnya, maka ikatlah ilmumu dengan menulis”. Imam Al-Ghazali yang terkenal dengan tulisannya yang berbau tasawwuf pun adalah penggiat menulis, beliau mengingatkan kita dalam sebuah karyanya, “Kalau kamu bukan anak raja atau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Zaman peralihan pun berperan dalam melahirkan sastrawan fenomenal, Pramoedya dengan Karya sastra Manusia Bumi-nya menuturkan, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Tak perlu jauh-jauh kita ber-uswah, sebagai warga pergerakan, kita pasti mengenal sosok-sosok seperti Soe-Hok Gie, Mahbub Junaidi (Pendiri PMII), Lafran Pane (Pendiri HMI) dan Prof. Dr. Sri Soemantri (Pendiri GMNI) adalah sosok penggiat menulis yang patut kita contoh. Dengan menulis, sampai saat ini, ideologi dan pemikiran yang berasal dari tulisan-tulisannya dianut, dikaji dan difahami sampai saat ini.
Menulis yang dimaksud penulis bukan sebatas menulis laporan praktikum, skripsi, menulis status facebook dan twitter yang terkesan tidak penting (karena jarang sekali orang yang memanfaatkan medsos sebagai wadah menulis yang produktif). Namun lebih kepada menulis dari apa yang kita baca, kita lihat dan kita dengar dalam konteks kepekaan wacana sosial dan kemasyarakatan. Hal yang disebut diatas memang terkelompokkan dalam aktivitas menulis. Namun sebagai kaum terpelajar, kita harus menulis yang lebih “GO AHEAD” dari itu. Menulis yang lebih kontributif terhadap perkembangan politik, sosial, ekonomi, dan kemasyarakatan atau hal apapun di negeri sehingga kita menjadi penulis yang penulis, bukan penulis yang hanya menulis karena tekanan akademik, tuntutan pergaulan medsos atau berdasarkan nada-nada pencitraan yang membosankan.

Membaca dan Menulis sebagai Budaya Insan Pergerakan
13342366791271018236Sangat disayangkan, beberapa survey menyatakan bahwa minat membaca dan menulis sangat rendah. Bahkan, data UNESCO pada tahun 2011 menyebutkan bahwa indeks baca masyarakat Indonesia hanya 0,001, yang berarti dari 1000 orang, hanya 1 orang yang memiliki minat baca. Sementara itu, dalam ranah tulis menulis, dapat kita lihat dari jurnal ilmiah yang dimiliki oleh Negara kita yang menurut survey Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar.
Terlepas dari survey-survey yang ada, valid atau tidak, faktanya memang harus diakui bahwa kita sebagai insan pergerakan dekade ini telah memberikan sumbangsih besar dalam rendahnya hasil survey tersebut. Sebagai mahasiswa aktivis, hal ini adalah sebuah degradasi yang tidak boleh dibiarkan. Sangat jelas terlihat saat ini, di Indonesia lebih banyak tokoh politik daripada tokoh penulis. Dari banyaknya tokoh politikpun, hanya sedikit tokoh politik yang melek baca tulis, sehingga akhirnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan para politisi di Parlemen maupun di Istana sangat tidak Pro-Aktif terhadap pengembangan minat baca tulis, termasuk Kurikulum 2013 yang dicanangkan Mendikbud pada akhir rezim SBY.
Indonesia memang sedang dihantam oleh globalisasi yang menggila. Neo-kapitalisme, konsumerisme dan hedonisme menyisihkan idealisme, humanisme dan local wisdom masyarakat Indonesia termasuk kalangan muda seperti mahasiswa. Mahasiswa dengan segala idealismenya dibunuh habis-habisan melalui jalan apapun. Wilayah geraknya dibatasi secara tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan yang penuh intervensi dan ancaman, bahkan melalui praktik suap menyuap. Menurut analisa pribadi penulis, jarang sekali kampus yang menggerakkan minat membaca dan menulis untuk mahasiswanya secara masif dan terorganisir. Paling hanya sebatas seminar-seminar yang masuk dari kuping kanan, keluar dari kuping kiri, pelatihan-pelatihan yang dijadikan ajang adu eksistensi, dan workshop-workshop penulisan yang hanya sebatas kebutuhan skripsi. Memang tidak ada habisnya jika kita menganalisa bobroknya birokrasi negeri dan carut marutnya sistem pendidikan di negeri ini. Bagaimana tidak carut marut? Ganti menteri ganti program, ganti kurikulum, ganti kepentingan. Revisi teknis, revisi anggaran, revisi pejabat. Kacau! Sudahlah! Mari kita analisa melalui instropeksi diri sendiri saja.
Jika dilihat secara periodisasi, beberapa dekade yang lalu kita mempunyai aktivis-aktivis hebat yang dikenal karena tulisannya seperti Soe-Hok Gie, Pramoedya, Emha Ainun Najib, Mahbub Junaidi, Lafran Pane, dan lain-lain. Saat ini, sangat sedikit sekali aktivis pergerakan yang melek literasi (membaca dan menulis). Penulis tidak menyatakan bahwa penulis juga melek akan membaca dan menulis. Tulisan ini sekedar merefleksi diri kita masing-masing akan pentingnya menulis dan membaca sebagai insan pergerakan, agar kemudian aktivis-aktivis disini tidak hanya meneriakkan kebenaran melalui aksi bertajuk parlemen jalanan, melainkan mempunyai gerakan alternatif dalam menyuarakan aspirasi rakyat. Penulis kira, gerakan ini lebih santun dan efektif dalam menggugah kesadaran nurani masyarakat untuk ikut serta bergerak bersama mahasiswa melawan kebathilan, meski sejatinya turun ke jalan adalah konsekuensi logis yang harus dilakukan aktivis pergerakan dalam membela bangsa dan menegakkan agama.
Membaca dan menulis dalam aplikasinya memang tidak mudah. Membaca yang berkualitas dengan benar-benar memahami isi suatu buku atau realita (fakta) memang perlu pembiasaan sehingga kita dapat memahami untuk kemudian menganalisa tulisan tersebut dengan tajam, baik secara wacana yang diangkat maupun framing yang dibentuk. Pun demikian dalam proses menulis. Untuk menghasilkan tulisan yang berkualitas tidaklah mudah, perlu pembendaharaan kosakata, pengetahuan kebahasaan dan kekayaan pustaka yang dimilik karena memang menulis bisa dibilang langkah follow-up dari proses membaca. Berangkat dari hal tersebut, menulis dan membaca perlu dibudayakan hingga warga pergerakan menjadikan menulis dan membaca sebagai kebutuhan primer dalam prosesnya sebagai seorang aktivis. Jika sebelumnya gadget yang dimiliki mahasiswa hanya sebatas berisi Lets Get Rich, Clash of Clans dan permainan lainnya, sekarang mari kita isi gadget kita dengan wikipedia.com, kompas.com, detik.com, dan online book untuk memperluas wawasan kita. Jika sebelumnya membuka facebook dan medsos lainnya hanya untuk upload foto selfie atau untuk memberitahu apa yang sedang kita lakukan dengan sahabat-sahabat kita, mari kita lengkapi dengan mem-posting artikel-artikel ilmiah maupun non-ilmiah hasil karya kita
Sekedar kata-kata untuk warga pergerakan. Membaca merupakan dzikir dan fikir sebagai usaha mencari kebenaran, kejujuran dan keadilan. Sedangkan menulis merupakan langkah amal sholeh dalam upayanya meningkatkan ketaqwaan, nilai-nilai professionalisme dan kapasitas intelektual. Maka tulislah seluruh hasil dzikir dan fikirmu melalui amal sholeh yang direpresentasikan melalui tulisan yang menggugah semangat pergerakan melawan kedzoliman. Semoga kedepannya, generasi Indonesia terutama pemudanya adalah generasi yang tidak miskin membaca dan menulis, sehingga mempunyai kapabilitas yang mumpuni dalam pergaulan internasional. Amiiin.
5/4/15, 02.49 AM
*) Kordinator Forum Komunikasi Eksakta (FKE) PMII Rayon Pencerahan Galileo 2014-2015.

Memahami Keterikatan Politik dan Sains Teknologi dalam Membangun Sebuah Bangsa

Politik. Ketika kata politik terdengar di khalayak umum, persepsi yang akan hadir dalam benak mereka adalah KORUPSI, KEJAHATAN, MONOPOLI KEKUASAAN dan pandangan miring lainnya. Sejatinya politik bukanlah suatu perilaku atau manifestasi dari kejahatan-kejahatan yang dilakukan penguasa saja. Secara etimologi, politik berasal dari Bahasa yunani (politika/polis) yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan dengan warga Negara (wikipedia). Politik akan sangat akrab dengan istilah kekuasaan, kebijakan, dan konsolidasi. Apabila diartikan secara kontekstual, politik adalah

segala upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain, politik adalah siasat yang dilakukan oleh seseorang/kelompok untuk mencapai tujuan yang dikehendakinya.

Sains berasal dari Bahasa latin “Scientia” yang berarti pengetahuan. Sund dan Trowbribge merumuskan bahwa Sains merupakan kumpulan pengetahuan dan proses. Sedangkan Kuslan Stone menyebutkan bahwa Sains adalah kumpulan pengetahuan dan cara-cara untuk mendapatkan dan mempergunakan pengetahuan itu. Sains merupakan produk dan proses yang tidak dapat dipisahkan. “Real Science is both product and process, inseparably Joint” (Agus. S. 2003: 11). Sains sebagai proses merupakan langkah-langkah yang ditempuh para ilmuwan untuk melakukan penyelidikan dalam rangka mencari penjelasan tentang gejala-gejala alam. Langkah tersebut adalah merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, merancang eksperimen, mengumpulkan data, menganalisis dan akhimya menyimpulkan. Dari sini tampak bahwa karakteristik yang mendasar dari Sains ialah kuantifikasi artinya gejala alam dapat berbentuk kuantitas.
Diskriminasi Relasi Politik dan Sains : Sebuah Refleksi
Dalam pandangan masyarakat secara umum, politik dan sains tidak dapat dihubungkan satu sama lain. Penghubungan dari kedua hal tersebut dianggap suatu kesalahan. Sains adalah sains. Politik adalah politik. Hal ini disebabkan karena hegemoni  bahwa orang yang mempelajari sains adalah orang yang cupu, kuper, tidak gaul dan atau konotasi negative lainnya. Sedangkan orang yang mempelajari ilmu politik cenderung melakukan kecurangan-kecurangan, kejahatan-kejahatan, gratifikasi, pencucian uang, korupsi, dan anggapan miring sejenisnya. Apa yang terjadi ketika kedua istilah ini selalu dinilai dengan konstruk pemikiran diskriminatif.
Dalam talkshow Indonesia Superpower yang diselenggarakan BEM FMIPA UI,Dr. Ir. Anhar Riza (Peneliti BATAN) menyebutkan bahwa tanpa sains, Negara tidak akan maju. Dengan supporting perkembangan sains yang pesat, suatu Negara akan menjadi superpower. Sebutlah Negara yang eksistensinya baru muncul pada decade ini, seperti India, China dan Iran. Mereka adalah Negara yang maju karena dampak perkembangan sains dan teknologi yang besat di Negara tersebut. Dr. Anhar Riza melanjutkan, bahwa untuk mengembangkan sains dan teknologi, harus ada upaya berkolaborasi dengan bidang lain. Dari statement tersebut, bahwa ternyata kontribusi ilmu lain (seperti manajemen ekonomi, sosiologi, politik, budaya, dlsb) terhadap sains sangat penting untuk mencapai suatu progresivitas sains dan teknologi yang pesat, cepat, dan tepat. Termasuk didalamnya adalah kontribusi ilmu politik.
Jika kita menelisik lebih dalam, kenapa Negara seperti jepang setelah era kemundurannya pasca PD II dapat dengan cepat bangkit dan kembali menjadi Negara yang berpengaruh dalam perkembangan dunia? Menurut hemat penulis, mereka menyadari bahwa suatu Negara akan maju apabila perkembangan sains dan teknologinya baik. Sehingga jepang melakukan konsolidasi politik dalam upayanya mengembangkan sains dan teknologi sekaligus orientasi dan implikasi perkembangan iptek tersebut terhadap kemajuan Negara. Dengan menguatkan wacana pengembangan sains dan teknologi secara massif. Bukankah langkah yang dilakukan jepang terhadap perkembangan sains dan teknologi dinegaranya merupakan langkah politis dalam membangun kembali kejayaan mereka? Seperti yang telah dijelaskan, politik sendiri adalah suatu upaya yang dilakukan untuk meraih kekuasaan baik secara konstitusional maupun nonkonstitusional. Sehingga pemahaman politik sangat penting dikuasai oleh saintis di Indonesia.
Hatauturk (1985) menyatakan bahwa setidaknya ada beberapa tugas ilmu politik, yaitu Menetukan prinsip-prinsip yang dijadikan patokan dan yang diindahkan dalam menjalankan pemerintahan; Mempelajari tingkah-laku pemerintahan sehingga dapat mengemukakan mana yang baik, mana yang salah, dan menganjurkan perbaikan-perbaikan secara tegas dan terang; Mempelajari tingkah-laku politik warga negara itu, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok; Mengamat-amati dan menelaah rencana-rencana sosial, kemakmuran, kerjasama internasional, dan sebagainya. Apakah dalam prakteknya kita sebagai saintis muda tidak ingin melakukan konsolidasi politik terhadap perkembangan iptek di Indonesia? Padahal kita sudah sangat mengetahui bahwa Negara yang berkuasa adalah Negara dengan kemajuan sains dan terknologi terbaik. Hal ini harus menjadi refleksi bersama dalam perjalanan kita sebagai mahasiswa sains untuk kemudian memahami politik dalam arti yang sesungguhnya.
Indonesia : Ironi Negeri Potensial Sains Teknologi
Fakta dunia menyebutkan bahwa Indonesia adalah Negara dengan potensi Biodiversitas nomor 2 setelah Brazil dan No. 1 untuk potensi kelautannya. Namun, potensi tersebut hanya sebatas hal yang bisa dibanggakan dan diceritakan oleh guru-guru, dosen-dosen terhadap peserta didiknya tanpa adanya suatu orientasi yang jelas terkait langkah dalam mengembangkan dan memberdayakan potensinya. Padahal untuk mengembangkannya, diperlukan suatu roadmap dan planning yang jelas dalam pengembangannya sehingga dalam penelitian yang dilakukan mahasiswa, dosen atau peneliti lainnya tidak hanya berhenti pada lemari-lemari perpustakaan saja setelah menyelesaikan studinya, melainkan harus diorientasikan terhadap perkembangan sains dan teknologi terapan yang berlandaskan pengembangan potensi Sumber Daya Alam Indonesiayang konsisten dan kontinyu.
Sebenarnya, secara konsep, hal tersebut dapat terlaksana. Namun dalam tahap teknis pelaksanaan, sering sekali mengalami jalan terjal. Apabila diamati secara mendalam, kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkesan mengesampingkan pengembangan sains dan teknologi menyebabkan kontribusi saintis di Indonesia sangat ironis. Akhirnya, para saintis Indonesia lebih memilih mengembangkan keilmuan sains dan teknologinya di luar negeri ketimbang dalam negeri. Fakta ini sangat memukul jiwa kita sebagai bangsa Indonesia.
Pemerintah Indonesia yang tidak begitu pro-aktif mengenai perhatiannya terhadap pengembangan sains dan teknologi tidak dapat kita salahkan begitu saja. Sebuah kewajaran ketika seorang masinis tidak becus menjadi pilot. Begitu pula saintis di Indonesia, sedikitnya ilmuwan yang terlibat langsung dalam dinamika perpolitikanlah yang menyebabkan hal ini terjadi. Seharusnya, para saintis juga berkontribusi lebih dalam sistem pemerintahan, sehingga para ilmuwan dengan mudah dapat mengkonsolidasikan secara politik untuk pengembangan sains dan teknologi di Indonesia. Amati saja di kursi parlemen, berapa ilmuwan atau pejabat dengan gelar akademik Sains atau Teknik dalam Kursi DPR. Dari total 560 anggota DPR, hanya 20-30 orang dengan latar belakang profesi sains dan teknologi. Selebihnya, kursi DPR didominasi oleh pejabat dengan latar belakang profesi social, budaya, ekonomi, manajemen, agama, dan politik yang notabene tidak akan begitu paham terhadap pentingnya perkembangan sains dan teknologi dimana hal tersebut menyebabkan potensi Sumber Daya Alam yang seharusnya menjadi garapan saintis di Indonesia, malah di monopoli oleh asing. Dengan angka seperti itu, sangat sulit bagi Saintis di Indonesia untuk merumuskan suatu roadmap untuk mengembangkan potensi-potensi sains dan teknologi dan kemudian merealisasikannya. Komposisi kursi parlemen harus merata dari berbagai disiplin keilmuan sehingga dapat bersama-sama membangun Negara yang kita cintai ini.
Hal ini harus menjadi perhatian kita sebagai mahasiswa sains dan teknologi, selain mengembangkan keilmuan berdasarkan keprofesiannya, ilmu politik serta ilmu social lainnya tidak tabu untuk kemudian dipelajari oleh mahasiswa sains dan teknologi karena pada dasarnya, hubungan sains dan politik dapat menjadi sangat erat untuk kemudian dapat dikolaborasikan sesama fungsinya dalam konsolidasi politik pengembangan sains dan teknologi, bukan akhirnya terdikotomi oleh isu-isu yang menyudutkan kedua disiplin ilmu tersebut. Dengan memahami Politik dan Sains (Understanding about Science-Politic), kita dapat bersama-sama membangun Indonesia di masa mendatang dengan memanfaatkan potensi-potensi sains yang ada di Indonesia sehingga kedepannya Indonesia dapat menjadi Negara yang disegani dalam pergaulan Internasional.

5 Senior PMII Menjadi Menteri di Kabinet Kerja Jokowi-JK

Pengumumkan nama-nama menteri dalam Susunan Kabinet Kerja Jokowi-Jk menjadi kabar gembira khususnya kepada para Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) karena dari 34 Nama yang di tunjuk Presiden Jokowi, 5 di antaranya adalah Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang tentunya mereka adalah figur yang saat ini menjadi Garda terdepan Alumni PMII yang menjadi Politisi Muda yang di banggakan. Kelima Kader terbaik itu adalah :
1.    Sahabat H. Marwan Ja’far, SE, SH, BBA Menteri PDT dan Transmigrasi adalah mantan ketua PMII Cabang DIY, saya mengenal beliau di dalam menggerakkan Organisasi Laskar Santri Nusantara terutama di wilayah DKI Jakarta. Sebuah semangat dan militansi dari beliau yang selalu bisa hadir dalam setiap acara yang Laskar Santri Nusantara adakan, mulai dari deklarasi sampai peresmian-peresmian sekretariat.
2.    Sahabat H Imam Nachrawi mantan Ketua PKC PMII Jatim 1997 yang kini menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga di Kabinet Kerja Jokowi-Jk.
3.    Sahabati Khofifah Indra Parawansa yang di tunjuk sebagai Menteri Sosial, adalah salah satu sosok Perempuan pertama kali yang pernah menjabat sebagai Ketua PMII Cabang Surabaya.
4.    Sahabat Lukman Hakim Saifuddin yang di tunjuk sebagai Menteri Agama merupakan Alumni kader PMII Universitas Islam As-Syafi’iah Jakarta (1990) dan merupakan kader dari sahabat Matori Abdul Jalil.
5.    Sahabat Hanif Dakhiri yang di tunjuk sebagai Menteri Ketenagakerjaan Ia pernah menjadi Ketua Komisariat IAIN Salatiga (1991-1992), Ketua PC PMII Salatiga (1994-1995), Anggota Pleno Koordinator Cabang PMII Jawa Tengah (1995-1996) dan Ketua Lembaga Studi dan Advokasi Buruh (LSAB) Pengurus Besar (PB) PMII (1997-2000). Tahun 2000, Hanif mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PB PMII dalam kongresnya yang ketigabelas di Medan. Nasib baik rupanya belum berpihak padanya, sehingga ia belum berhasil menjadi Ketua Umum PMII.
Semua Aktivis PMII ini memang tidak ada yang berlatar belakang dari keluarga yang berkecukupan, karir Politik mereka tidak secara tiba-tiba mereka jalani langsung di puncaknya, Mereka semua berangkat dari aktif di Rayon, Komisariat, Cabang hingga Pengurus PB PMII. Dalam Kabinet Kerja ini tentunya senior-senior PMII ini memiliki tantangan-tantangan yang tidaklah mudah melihat kubu KMP sangat ambisius dalam menjadi oposisi. Semoga 5 Sahabat-sahabati Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia ini bisa menjadi Menteri yang bisa benar-benar menjalankan apa yang PMII ajarkan dan mampu menjaga Nama Baik PMII. Salam Pergerakan “Tangan Terkepal, Maju ke Muka” SALAM PERGERAKAN!
 sumber : http://politik.kompasiana.com/2014/10/27/5-senior-pergerakan-mahasiswa-islam-indonesia-menjadi-menteri-di-kabinet-kerja-jokowi-jk-698498.html

“AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH” : PERSPEKTIF PLURALISME-PEMBEBASAN


Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai Paham keagamaan
Secara terminologis Ahlussunnah Wal Jama’ah Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori adalah kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah (jalan) para sahabatnya dalam hal akidah (tauhid), amaliyah fisik (fiqh), dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jailani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”
Secara historis, para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw. sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu di antaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib ra., karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa‘d wa al-Wa‘îddan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Di masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risâlah Bâlighah fî Raddi ‘alâ al-Qadariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqh al-Akbar”, Imam Syafii dengan kitabnya “Fi Tashîh al-Nubuwwah wa al-Radd ‘alâ al-Barâhimah”. Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi saw. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam al-Asy’ari, tetapi beliau adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai suatu paham sebenarnya belum dikenal pada masa al-Asy’ary (260-324 H/873-935 M), tokoh yang dianggap sebagai salah seorang pendiri paham ini. Bahkan para pengikut al-Asy’ary sendiri, seperti al-Baqillani (w. 403 H), al-Baghdadi (w. 429 H), al-Juwaini (w. 478 H), al-Ghazali (w. 505 H) juga belum pernahb menyebutkan term tersebut. Pengakuan sewcara eksplisit mengenai adanya paham Aswaja baru dikemukakan oleh az-Zabidi (w. 1205 H) bahwa apabila disebut Ahussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan Al-Maturidi (w. 333 H/944 M).
Lebih lengkap lagi Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam Abul Qasim al-Junaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.
Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif. Di antara teks-teks Hadits Aswaja adalah:
افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَ سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إلَّا وَاحِدَةً. قَالُوا: مَنْ هم يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي.
Dari Abi Hurairah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Berkata para sahabat, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?”  Rasulullah saw. Menjawab, “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”
Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. dan petunjuk para sahabatnya.
Beberapa Aspek Di dalam Paham Ahlussunnah Wal-Jama’ah
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek aqidah, Syari’at, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial di antara tiga aspek di atas adalah aspek aqidah
1.     Aqidah
Aspek ini krusial, karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah (diterangkan dalam Tarîkh al-Thabariy) yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam al-Asy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagai koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari.
Di tempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai imam penyelamat akidah keimanan, karena karya pemikiran dua imam ini tersiar ke seluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi saw. serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H – 321 H) di Mesir. Akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.
Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang, karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdîm al-‘Aql ‘alâ al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk mazhab. Karena itu, secara historis term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini. Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib r.a., tetapi dari segi fisik dalam bentuk mazhab baru terbentuk pada masa al-Asy’ari, al-Maturidi, dan al-Thahawi.
2.     Syari’at
Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah S.W.T., dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Yang dimaksud dengan ibadah adalah tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan dengan Tuhan, seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan muâmalah adalah bentuk ibadah yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia secara horisontal, misalnya dalam hal jual beli, pidana-perdata, social-politik, sains dan sebagainya. Yang pertama disebut habl min Allâh (hubungan manusia dengan Allah), dan yang kedua disebut habl min al-nâs (hubungan manusia dengan manusia).
Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab di atas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdîm al-Nash ‘alâ al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).
3.     Akhlaq
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthami, dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham.
Ruang lingkup ke-tiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain (transformasi kesholehan individuan menuju kesholehan sosial). Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Atau dalam istilah lain disebut dengan three principles of human life Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.
Substansi ajaran Nabi dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah
Secara esensial ajaran Aswaja adalah ajaran Islam, sebab berdasarkan Hadits di atas bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok yang mengikuti sunnah rasul dan para sahabatnya yakni ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi dan yang dilanjutkan oleh para sahabatnya. Maka untuk memahami Aswaja, sangatlah perlu untuk melihat bagaimana sebenarnya latar belakang Islam itu muncul dan apa saja ajaran yang diberikan oleh Nabi. Hal ini bukanlah semata sebagai sebagai upaya untuk mengindikasikan adanya truth claim, akan tetapi secara arif untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pemaknaan ajaran Islam itu sendiri dan menjelajahi kembali tentang bagaimana relevensinya terhadap kelompok-kelompok yang sering mengaku dirinya sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Terlepas dari pemaknaan secara formal, Islam tidak lahir dari sebuah ruang hampa. Ada beberapa latar belakang yang menjadi penyebab mengapa agama samawi tersebut turun. Factor yang paling dominan adalah sosio-kultural tempat di mana ia turun yakni di semenanjung Arabia. Di tempat gersang dengan perilaku masyarakatnya yang jahil inilah diutus seorang agung keturunan Quraisy Muhammad SAW.
Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi social dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada sholat dan zakat. Di mana masing-masing rukun tersebut melambangkan adanya kesetaraan social dan keadilan.
Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan social yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang penumpukan kekayaan di tangan  segelintir orang. Hal inilah yang menjadi factor utama mengapa Islam pada saat itu tidak dapat diterima oleh beberapa petinggi di Makkah. Harus dicatat, kaum hartawan Makkah bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan Nabi sebatas ajaran-ajaran tentang penyembahan kepada satu Tuhan (Tauhid). Hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan mereka. Akan tetapi, yang merisaukan mereka justru pada implikasi-implikasi social-ekonomi dari risalah nabi itu. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya ajaran Islam mengedepankan kesetaraan social dan keadilan dalam ekonomi.
 Di Madinah, terlepas dari perdebatan apakah Nabi membentuk sebuah Negara Islam ataupun tidak, semuanya sepakat bahwa Beliau telah memperhatikan konsep masyarakat politik secara serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima semua pihak guna menangani semua urusan yang ada di kota tersebut. Pada saat itu Madinah adalah kota yang terdiri dari beberapa suku, ras dan agama. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah adalah masyarakat Plural yang tidak jauh beda dengan masyarakat Negara-negara modern saat ini.
Nabi membuat masyarakat politik di Madinah berdasarkan consensus dari kelompok dan dan suku yang dikenal dengan “Piagam Madinah”. Dokumen ini meletakkan dasar bagi komunitas politik di Madinah dengan segala perbedaan yang ada dengan menghormati kebebasan untuk mengamalkan agama dan keyakinan mereka masing-masing. Dapat kita simpulkan bahwa dakwah Nabi lebih ditekankan pada consensus dari beberapa kelompok dan tidak pada paksaan ataupun kekerasan. Hal ini juga merupakan prinsip dasar ajaran Islam, yakni kebebasan.
Kemudian kasus yang sering terjadi, .sebagian Muslim, yang karena memiliki iman tebal tetapi kurang dibarengi dengan pemahaman mendalam atas prinsip dasar Islam acapkali menyimpulkan bahwa, dakwah yang dilakukan bias dengan jalan kekerasan. Kemudian logikanya diteruskan dengan memerangi orang kafir yang sudah dikelirukan sebagai orang di luar Islam. Pemaknaan semacam ini sudah jelas adalah pemahaman yang menyimpang dari fitrah Islam dan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Intinya bahwa Islam bukanlah agama anarkis, Islam adalah agama fitrah. Kang Said mengatakan bahwa ada beberapa prinsip universal yang perlu diperhatikan dalam ajaran Islam yakni; (1) al-nafs (jiwa/nyawa manusia), (2) al-maal (harta kekayaan), (3) al-aql (akal/ kebebasan berpikir), (4) al-nasl (keturunan/jaminan keluarga), (5) al-‘ardl (kehormatan/ jaminan profesi).
Dengan prinsip Islam di atas kita akan lebih bisa memahami bagaimana seharusnya citra diri seorang Muslim dan bagaimana Islam itu didakwahkan. Sehingga kita akan lebih arif dalam memilih dan memilah ajaran Islam yang seperti apakah yang sesuai dengan ajaran Nabi dan lebih singkatnya “yang mana sich yang Ahlussunnah Wal Jama’ah ???”
Tetapi Perlu diingat bahwa Diskursus mengenai Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) sebagai bagian dari kajian ke-Islaman merupakan upaya untuk mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikannya. Kesemuanya sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.
Ahlussunnah Wal Jama’ah Sebagai Metodologi Berpikir
Sebenarnya Aswaja sebagaiManhajul Fikr secara eksplisit- meskipun sedikit berbeda terminologi- sudah dikenal dalam tubuh Nahdlotoel Oelama. Aswaja yang seperti ini digunakan sebagai metode alternatif  untuk menyelesaikan suatu masalah keagamaan ketika dua metode sebelumnya yakni metode Qauly dan Ilhaqy tidak dapat menyelesaikan problem keagamaan tersebut. Di NU sendiri metode seperti ini terkategorikan sebagai salah satu metode ber-madzhab dan disebut dengan metode Manhajy yang menurut Masyhuri adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab.
Pada kenyataannya Aswaja tidak hanya dapat dimaknai sebagai ajaran teologis saja, karena problem yang dihadapi oleh umat saat ini tidaklah sesederhana dan se-simpleperiode Islam terdahulu. Lebih luasnya Aswaja dapat ditransformasikan ke dalam aspek ekonomi, politik, dan social. Pemaknaan seperti ini berangkat dari kesadaran akan kompleksitas masalah di masa kini yang tidak hanya membutuhkan solusi bersifat konkret akan tetapi lebih pada solusi yang sifatnya metodologis, sehingga muncul term Aswaja sebagai Manhajul Fikr (metode berpikir).
Sebagai upaya ‘kontektualisasi’ dan aktualisasi aswaja tersebut, rupanya perlu bagi PMII untuk melakukan pemahaman metodologis dalam menyentuh dan mencoba mengambil atau menempatkan Aswaja sebagai ‘sudut pandang/perspektif’ dalam rangka membaca realitas Ketuhanan, realitas manusia dan kemanusiaan serta realitas alam semesta.
Namun tidak hanya berhenti sampai disitu , Aswaja sebagai Manhajul Fikri harus bisa menjadi ’busur’ yang bisa menjawab berbagai macam realitas tersebut sebagai upaya mengkontekstualisasikan  ajaran Islam sehingga benar-benar bisa membawa Islam sebagai rohmatan Lil Alamin, dengan tetap memegang  empat prinsip dasar  Aswaja , yaitu  :
1.      Tawasuth .
Moderat, penengah . Selalu tampil dalam upaya untuk menjawab tantangan umat dan sebagai bentuk semangat ukhuwah sebagai prinsip utama dalam memanivestasikan paham Aswaja. Mengutip Maqolah Imam Ali Ibn Abi Thalib R.A.;
kanan dan kiri itu menyesatkan, sedang jalan tengah adalah jalan yang benar
2.      Tawazun
Penyeimbang. Sebuah prinsip istiqomah dalam membawa nilai-nilai aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun, dan sebuah pola pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan)
3.      Tasamuh
Toleransi, sebuah prinsip yang fleksibelitas dalam menerima perbedaan, dengan membangun sikap keterbukaan dan toleransi. Hal ini lebih diilhami dengan makna
lakum dinukum waliyadin” dan “walana a’maluna walakum a’maluku”,
sehingga metode berfikir ala aswaja adalah membebaskan, dan melepaskan dari sifat egoistik dan sentimentil pribadi ataupun bersama.
4.      Al-I’tidal
Kesetaraan/Keadilan, adalah konsep tentang adanya proporsionalitas yang telah lama menjadi metode berfikir ala aswaja. Dengan demikian segala bentuk sikap amaliah, maqoliah dan haliahharus diilhami dengan visi keadilan
Empat prinsip dasar tersebut adalah solusi metodis  yang diberikan Aswaja. Dengan metode ini problem-problem dari realitas masa kini sangat mungkin untuk menemukan solusi. Dan yang terpenting adalah empat prinsip tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW, dan justru merupakan prinsip-prinsip dasar Universalitas ajaran Islam sebagai rohmatan Lil Alamin.

Sejarah Pasang Surut Hubungan PMII dan HMI

Membicarakan hubungan PMII dengan HMI dalam sejarah gerakan kemahasiswaan di Indonesia perlu kehati-hatian, sebab sampai saat ini masih banyak kita dapatkan penulisan sejarah gerakan kemahasiswaan di Indonesia yang ditulis secara subyektif tanpa dilengkapi data-data yang ada. Keadaan yang demikian ini pada akhirnya akan merugikan perjuangan pemuda dan mahasiswa Islam secara keseluruhan, bahkan perjuangan ummat Islam itu sendiri. Kita berharap dengan mengungkap fakta secara jujur dan obyektif, persoalan yang dulu, bahkan kini masih dianggap salah dan menodai perjuangan ummat Islam sedikit demi sedikit akan kita hapuskan, dan tulisan ini jauh dari niat dan sikap apologis terhadap perjuangan dan langkah yang pernah dilakukan oleh PMII.Seperti kita ketahui bahwa kelahiran PMII dianggap tidak lain sebagai tindakan memecah belah persatuan ummat Islam dari sekelompok mahasiswa yang haus akan kedudukan. Selain itu tuduhan yang cukup menyakitkan adalah bahwa kelahiran PMII dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ikrar ummat Islam yang dikenal dengan “Perjanjian Seni Sono”, yang salah satu isinya adalah “Pengakuan terhadap HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa Islam di Indonesia”. Selengkapnya penulis akan mengutip secara utuh isi dari perjanjian tersebut, yang dikutip dari buku Sejarah Perjuangan HMI (1947 – 1975) Tulisan Drs. Agus Salim Sitompul :

Untuk meningkatkan persatuan ummat Islam itu, yang menyangkut semua lapangan perjuangan di Gedung Seni Sono (sebelah selatan Gedung Agung) Yogjakarta dari tanggal 20 – 25 Desember 1949, dilangsungkan kongres Muslimin II setelah Indonesia Merdeka. Sebanyak 129 organisasi dari berbagai jenis dan tingkatan, dari segenap penjuru tanah air, sama-sama bersepakat mengambil keputusan antara lain :
  1. Mendirikan badan penghubung, mengkoordinir kerjasama antar organisasi Islam, politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan dengan nama Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dibawah pimpinan satu sekretariat.
  2. Menyatukan organisasi pelajar Islam, bernama Pelajar Islam Indonesia (PII)
  3. Menyatukan organisasi guru Islam dengan nama Persatuan Guru Islam Indonesia (PGI)
  4. Menggabungkan organisasi-organisasi pemuda dalam satu badan yang bernama Dewan Pemuda Islam Indonesia
  5. Hanya satu organisasi mahasiswa Islam Indonesia, yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bercabang di tiap-tiap kota yang ada sekolah tinggi [1])
Dengan membaca poin terakhir dar isi perjanjian Seni Sono itu, kalangan luar PMII dengan mudahnya menuduh bahwa kelahiran PMII tidak lain dari upaya memecah belah ummat Islam dan usaha dari sekelompok mahasiswa yang menginginkan kedudukan. Pernyataan pertama dapat kita buktikan dengan mengutip tulisan Drs. Agus Salam Sitompul dalam buku Sejarah Perjuangan HMI (1947 – 1975) sebagai berikut :
…….”Walaupun perjanjian Seni Sono tahun 1949 diputuskan oleh wakil-wakil ummat Islam berbagai organisasi, tetapi ternyata perjanjian dan keputusan itu sudah dilanggar, tidak dipenuhi, bahkan tidak dipatuhi dan sudah dilupakan sama sekali terbukti dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam sejenis,………….
          Dibidang organisasi mahasiswa (HMI), kini organisasi mahasiswa Islam ada 6 yaitu:
  1. Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (SEMI) – PSII berdiri pada  2 April 1956,
  2. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berdiri pada 17 April 1960,
  3. Ikatan Mahasiswa Muhammdiyah (IMM) berdiri pada 4 April 1964,
  4. Kesatuan Mahasiswa Islam (KMI) berdiri pada 20 Januari 1964,
  5. Himpunan Mahasiswa Al-Jamiatul Wasliyah (HIMMAH) berdiri pada 8 Mei 1961. [2])
Kalau kita telusuri sejarah perjuangan ummat Islam di Indonesia, seperti kita ketahui bahwa sebelum adanya perjanjian Seni Sono sudah ada perjanjian serupa, yang isinya tidak jauh berbeda, yakni kecenderungan ummat Islam akan wadah-wadah tunggal sebagai pengejawantahan dari semangat ukhuwah Islamiyah. Perjanjian tersebut dikenal dengan IKRAR 7 NOPEMBER 1945, dimana hanya mengakui Masyumi sebagai wadah satu-satunya partai politik Islam. Namun karena akhirnya lahir beberapa partai Islam selain Masyumi, seperti PSII, PERTI, dan akhirnya NU, maka sering dilontarkan pernyataan-pernyataan bahwa ummat Islam Indonesia memang tidak bisa bersatu, baik itu dikalangan orang tuanya, lebih-lebih dikalangan pemudanya.
Bagaimanapun juga kelahiran PMII tidak bisa lepas dari eksistensi NU sebagai partai politik, tidak juga dapat dinafikan dengan keberadaan organisasi mahasiswa yang terdahulu yaitu HMI. Apalagi tokoh-tokoh HMI seringkali menyinggung masalah perjanjian seni sono yang salah satunya isinya adalah pengakuan HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa, namun ternyata dikemudian hari bermunculan organisasi mahasiswa yang lain. Itulah persoalannya.
Bagi kita jelas bahwa kelahiran PMII punya missi tertentu dan itu dapat kita lihat dari peran PMII dulu dan kini, dan peran itulah yang membedakan PMII dengan HMI secara tegas, baik dilihat dari motivasi lahirnya PMII itu sendiri maupun aktivitas yang senantiasa menjadi ciri dari organisasi ini.
Ada beberapa faktor yang mendorong terbentuknya PMII, yaitu antara lain:
  1. Ikut berpartisipasi membentuk manusia yang memiliki kemampuan intelektual yang disertai dengan kemampuan agamis.
  2. Berusaha secara preventif, memperhatikan kelestarian Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah.
  3. Meneruskan perjuangan para Syuhada dengan melakukan regenerasi kepemimpinan.
Dari motivasi itulah kita dapat membedakan sosok dan misi yang dibawa oleh PMII dan HMI. Perbedaan tersebut dapat kita baca pada poin yang kedua, yaitu “Berusaha secara preventif memperhatikan kelestarian Islam Aswaja” di Indonesia. [3]) Harus diakui bahwa sampai saat ini belum ada organisasi mahasiswa selain PMII yang secara tegas menyatakan bahwa organisasi itu bertujuan mempertahankan dan menyebar luaskan faham Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah (Aswaja), motivasi inilah yang paling kuat mendorong dilahirkannya PMII.
Perjanjian seni sono secara gamblang menyatakan bahwa peserta kongres ummat Islam yang diwakili 129 organisasi Islam itu berikrar mengakui hanya HMI satu-satunya organisasi mahasiswa Islam. Tetapi sejarah mencatat bahwa kelak dikemudian hari ternyata lahir tidak kurang dari 5 organisasi Islam selain HMI. Apakah kelahiran 5 organisasi Islam itu berarti mengingkari isi perjanjian seni sono tersebut.
Dalam kurun waktu antara tahun 1950 – 1959 berlaku zaman demokrasi liberal dimana tumbuh dengan suburnya organisasi-organisasi politik (baca = sayap partai politik). Salah satu upaya agar partai politik itu dapat berkembang dengan baik adalah dengan merekrut anggota-anggotanya dari seluruh lapisan masyarakat. Dalam hal ini tak terkecuali masyarakat dari kalangan mahasiswa. Dapat kita maklumi bahwa semua partai politik akan menganggap mahasiswa sebagai sumber daya potensial untuk memperkuat jajarannya, hal ini seperti yang  dikatakan oleh Onghokham :
…….Tahun pemilihan umum 1955 dimana terjadi perluasan organisasi mahasiswa partai, seperti HMI (disini Onghokham mengkategorikan HMI sebagai organisasi partai), GMNI, CGMI, dan lain-lain. Pelembagaan dalam partai-partai sebagai aktivitas disekitar pemilihan umum, dari gerakan pemuda zaman itu adalah sangat penting dalam memberikan arah dan tujuan ormas-ormas mahasiswa. [4]) Disinilah arti penting organisasi mahasiswa bagi kemajuan organisasi politik. Itulah yang mendorong partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1956 mendirikan SEMI (serikat mahasiswa Muslimin Indonesia)…..
Kelahiran PMII mempunyai motivasi tidak jauh berbeda dengan organisasi mahasiswa Islam lainnya, yakni merupakan kebutuhan dari mahasiswa Nahdliyin untuk menyalurkan aspirasinya secara lebih leluasa, seperti yang dikatakan oleh sahabat Chotibul Umam :
“Jelas bahwa PMII itu dilahirkan atas dasar tuntutan sejarah perkembangan perkembangan pelajar dan mahasiswa NU. Berdirinya PMII semata-mata karena waktunya  sudah tiba dan kepentingannya sudah sangat mendesak untuk mengurusi mahasiswa nahdliyin khusunya secara tersendiri telah datang untuk  para mahasiswa nahdliyin buat berdiri di atas kaki sendiri, membangun suatu gerakan mahasiswa yang lebih dapat dipercaya untuk menjadi alat revolusi. [5])
Itulah motivasi dan latar belakang kelahiran PMII, dan bagaimana hubungannya dengan isi Perjanjian Seni Sono ?. untuk menjawab pertanyaan ini akan penulis kutip pendapat Mahbub Junaidi :
“Perjanjian seni sono itu memang ada tetapi perlu kita ketahui bahwa maksud dari pengakuan HMI sebagai satu-satunya organisasi mahasiswa Islam, adalah manakala HMI mampu menampung seluruh potensi dan aspirasi mahasiswa Islam yang tergabung di dalamnya. Kenyataannya kelompok mahasiswa Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak tersalurkan aspirasinya dalam HMI.”
“Walaupun kongres ummat Islam itu menyatakan dihadiri 129 organisasi Islam tetapi secara faktual kelompok-kelompok mahasiswa Islam Ahlussunnah Wal-Jama’ah tidak terwakili dalam 129 organisasi ummat Islam itu. Sehingga kita sebenarnya secara moral tidak punya ikatan apapun dengan isi perjanjian seni sono itu. [6])”
Lebih lanjut Mahbub Junaidi mengatakan, dalam Pidato Hari Lahir PMII yang ke 5 :
Macam-macam intimidasi dan pernyataan yang dilemparkan ke muka kita pada saat pergerakan kita ini lahir. Misalnya apa sih perlunya dan maksudnya PMII dilahirkan ?, apakah itu bukan pekerjaan sparatis ?, Apakah itu bukan pekerjaan memecah belah persatuan mahasiswa Islam ?, Apakah itu bukan pekerjaan orang yang dibakar emosi ?, tetapi tidak realistik sama sekali. Buat apa sih mahasiswa itu ikut-ikutan berdiri dibawah bendera partai politik ?, Bukankah mahasiswa Islam itu sebaiknya non partai, bahkan non politik, supaya lebih mantap dia punya kebaktian, supaya lebih obyektif cara memandang persoalan, supaya lebih terjamin mutu ilmunya, bukankah mahasiswa itu cerdik dan bijaksana, ilmu banyak dan akalpun banyak, karena itu sebaiknya menjadi milik ummat Islam saja, dan tidak perlu menjadi milik partai politik, begitulah macam-macam pertanyaan yang timbul disaat PMII lahir, lima tahun yang lalu. [7])”
Itulah reaksi yang timbul ketika PMII lahir seperti apa yang dipaparkan oleh sahabat H. Mahbub Junaidi dalam pidato Panca Warsa PMII. Tentu saja reaksi yang paling keras datang dari HMI. Seperti kita ketahui, basis-basis HMI di perguruan tinggi umum dilumpuhkan oleh CGMI dengan cara mengeliminasi pengaruh HMI pada lembag-lembaga kemahasiswaan, dalam keadaan seperti itu harapan HMI lebih banyak bertumpu pada perguruan tinggi agama atau IAIN, tetapi disinipun HMI justru mendapat saingan keras dari PMII.
Agus Salim Sitompul pernah mengatakan dalam bukunya :
“Karena dominannya HMI di perguruan tinggi sebagai basis kekuatannya, maka HMI harus ditendang dari kegiatan kemahasiswaan dengan jalan menyingkirkan anggota-anggota HMI dari dewan-dewan mahasiswa, Senat mahasiswa, penitia pemilihan, panitia masa perbakti, dengan cara-cara demikian HMI semakin lama semakin kerdil lantas mati dengan sendirinya”………………
“Dihampir semua universitas/pergutuan tinggi negeri/swasta kecuali perguruan tinggi Islam dan IAIN, Anggota HMI dikeluarkan dari Dema/Sema, Panitia masa Perkenalan, serta kegiatan lain yang menyangkut posisi, kecuali kepanitiaan PHBI (panitia hari besar Islam). [8])”
Dalam posisi yang sulit itu jelas HMI sangat mengharapkan tetap bertahannya basis mereka di perguruan tinggi agama/IAIN, Misalnya di UII Yogjakarta dan Universitas Muhammdiyah Jakarta, tetapi kenyataannya kini ada organisasi mahasiswa Islam lain lahir dan organisasi itu begitu cepat berkembang, terutama di IAIN. Hal itu wajar mengingat kultur sebagian besar mahasiswa IAIN berlatar belakang keluarga NU, seperti yang dikatakan oleh Burhan D Magenda.
“Bahwa dari golongan Islam hampir tidak terwakilidalam perguruan tunggi di zaman kolonial, dan hanya sedikit jumlahnya pada zaman demokrasi parlementer. Pada tahun 1960-an kesempatan terbuka lebar bagi mereka yang berorientasi kebudayaan dekat dengan NU banyak yang masuk ke IAIN”. [9])
Dari gambaran di atas jelas bahwa dalam perkembangannya PMII mengalami kemajuan yang luar biasa. Dalam usianya yang baru lima tahun PMII telah memiliki 47 cabang. [10]) Akibatnya ketegangan-ketengangan mulai timbul, terutama di kampus-kampus perguruan tinggi agama/IAIN. Untuk menghindari atau setidaknya mengurangi ketengangan-ketenganggan itu, maka PP PMII yang dipimpin oleh sahabat Mahbub Junaidi datang ke Kantor PB HMI untuk membicarakan persoalan kedua organisasi tersebut. Peristiwa itu pada tanggal 4 Juli 1961. Tapi nampaknya usaha dan uluran tangan PMII itu kurang membawa hasil. Terbukti dengan semakin kerasnya persaingan yang terjadi antara kedua organisasi ini. Ada satu fakta sejarah yang tentu saja pemaparan fakta ini bukan berarti membuka luka lama, tetapi sekedar menegaskan sejarah, apapun bentuk dari lembaran sejarah itu kita harus dapat menarik pejalaran daripadanya.
Ketegangan terjadi antara PMII dengan HMI di Kota Pelajar Yogjakarta, Peristiwanya dimulai tatkala dilangsungkan pidato laporan tahunan Rektor IAIN Sunan Kalijogo Yogjakarta Prof. Sunaryo, SH pada tanggal 10 Oktober 1963. Sidang senat itu akhirnya gagal, sebab ditengah pembacaan laporan itu tiba-tiba seorang pengurus dewan Mahasiswa IAIN Sunan Kalijogo tampil kedepan merebut microphon dan membacakan pernyataan yang antara lain mengecam tindakan menteri agama, yaitu KH. Syaifuddin Zuhri yang dituduh melakukan proyek NU-nisasi didalam tubuh Departemen Agama. Bahkan dalam keributan itu seorang anggota PMII di pukul, sehingga hal ini mengakibatkan munculnya protes dari pengurus cabang PMII Yogjakarta.
Disamping pernyataan-pernyataan dari PC PMII Yogjakarta, juga para anggota dewan mahasiswa mengeluarkan pernyataan dengan nada yang sama dengan PC PMII Yogjakarta. Mereka Djawahir Syamsuri, A. Hidjazi AS, A. Nizar Hasyim, Imam Sukardi dan Asnawi Latif, BA.
PERNYATAAN PC PMII YOGJAKARTA
Bismillahirrahmanirrahiem
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu
Berhubung dengan terjadinya peristiwa 10 Oktober 1963 di IAIN Yogjakarta maka pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Yogjakarta memandang sangat perlu membuat pernyataan yang berbunyi sebagai berikut :
MENGINGAT        :
  1. Membaca pernyataan dari dewan mahasiswa  IAIN Yogjakarta tanggal 10 Oktober 1963
  2. Pentingnya   keutuhan   mahasiswa      dalam  situasi menghadapi konfrontasi terhadap Malaysia
  3. Terjadinya pemukulan terhadap salah seorang mahasiswa IAIN anggota PMII.
  4. Tindakan-tindakan yang dipelopori oleh dewan mahasiswa IAIN bertentangan dengan Manipol-Usdek, Panca Dharma Bhkati Mahasiswa
  5. Tindakan-tindakan itu mencemarkan nama baik IAIN khususnya pemerintah daerah Yogjakarta dan negara Indonesia pada umumnya.
MENYATAKAN :
  1. Mengutuk  keras  perbuatan  yang  terjadi di IAIN yang bertentangan dengan manipol yang berbunyi “modal pokok bagi tiap-tiap   revolusi nasional menentang imprealisme dan kolonislisme ialah konsentrasi kekuatan nasional dan bukan perpecahan kekuatan nasional (hal 13).
  2. Tindakan itu adalah a-manipol, anti persatuan nasional dan kontra revolusioner yang membahayakan negara.
  3. Bahwa IAIN bukan miliki satu golongan.
MEMUTUSKAN :
  1. Menuntut dibubarkannya dewan mahasiswa IAIN periode 1963 – 1965
  2. Menuntut agar yang berwajib mengambil tindakan tegas terhadap peristiwa pemukulan anggota PMII di IAIN
  3. Menuntut agar diambil tindakan tegas terhadap golongan/ oknum-oknum yang mendalangi peristiwa tersebut
  4. Mendukung sepenuhnya Rektor IAIN dan Menteri agama.
Demikian harap dimakluni
Yogjakarta 10 Oktober 1963
Pimpinan Cabang
Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia
Yogjakarta
H. Ahmadi Anwar, BA
Ketua
Nurshohib Hudan
Sekertaris II
Lampiran:
Sengaja isi pernyataan dari pengurus PMII cabang Yogjakarta ini dimuat secara lengkap agar pembaca dapat melihat dan mengetahui permasalahan yang sebenarnya.
Pada tanggal 17 Oktober 1963 antar pukul 10.00 – 11.00 telah terjadi demonstrasi oleh sejumlah mahasiswa IAIN Ciputat Jakarta, berjumlah sekitar 500 orang mahasiswa. Para demonstran itu menamakan dirinya komite mayoritas mahasiswa IAIN. Mereka menemui Rektor IAIN Prof. Drs Sunardjo – rektor bersedia menemui mahasiswa dengan didampingi Dekan-dekan Fakultas. Para mahasiswa membawa poster-poster yang bertuliskan:
“IAIN adalah asset nasional, bukan milik golongan/partai, NU-nisasi di Departemen agama = kontra revolusi. [11])
Sumber data ini berasal dari Drs. Ridwan Saidi (Mantan Ketua Umum PB HMI). Selanjutnya akan dipaparkan tanggapan dari KH. Syaifuddin Zuhri, dalam menanggapi peristiwa 17 Oktober 1963 di IAIN Ciputat itu sebagai berikut :
Aksi pengganyangan terhadap NU dilancarkan juga di IAIN Syarif Hidayatullah Ciputat, sekelompok mahasiswa membuat coretan-coretan pada dinding IAIN dan menyebarkan pamflet “Ganyang NU, Ganyang Idham Khalid, Ganyang Syaifuddin Zuhri”, sangat terasa pada saat potensi ummat Islam walau sekecil apapun sedang digalang untuk persatuan dan solidaritas menghadapi usaha Nasakomisasi hampir di semua kegiatan Nasional. Pada saat itu sekelompok mahasiswa IAIN melancarkan kampanye anti NU. Sangat disayangkan sekali, bahwa sebagian besar dari mereka anggota HMI. Dan jika mahasiswa IAIN dari kelompok PMII bangkit membela NU, hal itu bisa dimengerti.
Dalam situasi menghadapi Nasakomisasi dan pentingnya arti persatuan ummat Islam, tiba-tiba sekelompok mahasiswa IAIN melakukan kampanye anti NU dan mengganyang Syaifuddin Zuhri dan Idham Khalid yang keduanya berkedudukan sebagai Menteri. Demontrasi itu dilakukan di dalam Kampus IAIN, sebuah komplek perguruan tinggi Islam miliki Negara. Dengan pertimbangan itulah, maka alat-alat negara menindak beberapa mahasiswa dan dosen IAIN yang dituduh mendalangi. Namun kepada Kapolri Jenderal Polisi Sukarno Saya (maksudnya KH. Syaifuddin Zuhri) yang waktu itu menjabat sebagai Menteri agama, meminta agar mereka dibebaskan. Bagaimanapun mereka adalah anak-anak kita yang dididik dalam lingkungan lembaga yang dikelola oleh menteri agama. Brigjen A. Manan, pembantu utama Menteri agama dan HA. Timur Jailani, MA kepala Biro Perguruan Tinggi departemen agama dapat berbicara banyak tentang ini. Saya minta kepada mereka berdua, agar hukuman skorsing kepada mereka yang terlibat supaya segera diakhiri, agar mereka bisa aktif kembali (kuliah maupun mengajar) sebagaimana biasanya. [12])
Peristiwa di IAIN Ciputat itu tidak ada penyelesaian yang berarti, bahkan menambah panasnya suasana, terbukti dengan pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh PP PMII dalam kongres II di Yogjakarta mengenai peristiwa tersebut.
“Perlu segera diambil kebijaksanaan baru berupa tindakan-tindakan yang konkrit dan mengurangi kompromi-kompromi serta toleransi yang keterlaluan demi keselamatan IAIN dan revolusi nasional ……………………………………………..
Mendesak kepada pemerintah agar lebih tegas lagi bertindak terhadap anasir-anasir kontra revolusioner yang hendak melumpuhkan IAIN dan menjauhkan diri dari kompromi dan toleransi yang berlarut-larut. [13])
Dari dua peristiwa tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ketegangan antara PMII dan HMI adalah merupakan suatu upaya mempertahankan eksistensi PMII di Perguruan tinggi yang kelak akan menjadi basisnya (baca = IAIN). Tetapi bagi HMI, ketegangan-ketegangan itu memang disengaja supaya dapat mempertahankan dominasinya, karena itu merupakan benteng terakhir bagi basis kekuatannya, sebab seperti kita ketahui, sejak permulaan tahun 1960 sampai dengan kelahiran Orde Baru basis kekuatan HMI terpukul habis di perguruan tinggi umum, dan kita dapat memaklumi bila sudah menyangkut soal hidup – matinya organisasi maka siapapun aktivis organisasi itu akan mempertahankan organisasi itu walau dengan cara-cara yang irasional sekalipun. Itulah ironisnya, jika fanatisme golongan lebih tinggi nilainya daripada fanatisme terhadap bangsa yang kita cintai ini.
Catatan menarik lainnya seperti yang dikatakan oleh sahabat Zamroni (yang kala itu menjabat sebagai ketua persedium KAMI pusat), sehubungan dengan HMI :
“…….Sementara di daerah lain, para pemimpin PMII, misalnya di Sumatera Utara, Ujungpandang dan Yogjakarta seperti Saiful Mujab – kala itu jadi tukang pidato membakar massa. HMI sendiri selalu sembunyi. 
Masih gencar-gencarnya KAMI melakukan demonstrasi, tiba-tiba HMI menghadap Bung Karno. Bahkan HMI sampai memberi Peci mahasiswa kepada Bung Karno. Mungkin bermaksud mendekat “cari muka” supaya tidak dimusuhi. Ini merupakan bentuk pengkhianatan terhadap komitmen kita sebagai mahasiswa dan pemuda Indonesia yang tergabung dalam KAMI, yang saat itu sedang giat-giatnya berjuang untuk menumbangkan rezim Orde Lama dan membela amanat penderitaan rakyat.
Begitu pagi-pagi saya bangun tidur, seperti biasanya baca koran. Dalam koran itu diantaranya memuat tentang HMI. “HMI menyerahkan atau meberikan Peci kepada Bung Karno”. Spontan saya marah besar. “Apa-apaan ini. Kita habis melakukan demonstrasi ke Bogor, kok malah HMI begitu”. Kemarahan itu saya tunjukkan kepada Mar’ie Muhammad (Mantan Menteri Keuangan Kabinet VII Orde Baru) dan Sulastomo (Kini Ketua Umum Persaudaraan Haji Indonesia) yang kala itu menjadi wakil HMI di KAMI. Lalu kedua orang ini menjawab: “Tidak tahu, karena tidak ikut ke Istana Bogor. Tapi yang jelas, PB HMI menghadap Bung karno ke Bogor”. Alhasil, membuat saya marah besar. [14])
Masalah hubungan PMII dengan HMI diawal tahun 60-an, memang penuh dengan gejolak perselisihan, tetapi nampaknya ada saat-saat tertentu justru PMII ikut membela mati-matian terhadap eksistensi HMI pada saat kritis. Ada catatan-catatan yang mengungkapkan bahwa pada saat tertentu dapat bekerjasama dengan baik.
Kita ketahui bahwa kondisi ummat Islam pada masa Orde Lama, terutama bagi mereka yang mendapat kontra predikat revolusioner, nasibnya benar-benar berada diujung tanduk. Untuk merapatkan barisan dikalangan organisasi mahasiswa dan pelajar Islam, sebagai implementasi dari semangat ukhuwah Islamiyah, maka pada tanggal 19 – 26 Desember 1964 di Jakarta (atas prakarsa GP. Ansor yang didukung sepenuhnya oleh PMII) diadakan musyawarah generasi muda Islam untuk membentuk suatu wadah yang kelak dikemudian hari dikenal dengan nama GEMUIS. Didalam wadah inilah segenap potensi organisasi pemuda, pelajar dan mahasiswa Islam bergabung, (Menurut Drs. Ridwan Saidi pada waktu itu – tahun 1964 – di Indonesia ada sekitar 36 organisasi pemuda, pemudi, pelajar dan mahasiswa Islam tingkat pusat. Lihat buku : Pemuda Islam dalam dinamika politik Bangsa 1925 – 1984, tulisan Drs. Ridwan Saidi, halaman 46). Dengan wadah GEMUIS inilah generasi muda Islam berjuang “membela dan menyelamatkan HMI” dari gempuran CGMI. Dibawah ini kami kemukakan satu ilustrasi bahwa GEMUIS benar-benar membela HMI pada saat-saat yang kritis dan membutuhkan pertolongan :
“Persedium Majlis Nasional Generasi Muda Islam (GEMUIS) atas nama 25 organisasi anggota dengan 10 juta massa anggotanya dengan kawatnya yang ditandatangani oleh Drs. Lukman Harun selaku ketua persedium telah disampaikan kepada Presiden. Dengan menyampaikan rasa syukur atas kebijaksanaan Presiden mengenai HMI. Dan GEMUIS merasa berkewajiban mengamankan kebijaksanaan tersebut demi terpeliharanya kesatuan dan persatuan Nasional.[15])
Sementara berlangsung penganugrahan bintang Maha Putra di Istana Merdeka untuk DDN. Aidit, pada saat yang sama tidak jauh dari Istana, pada tanggal 13 September 1965 Generasi muda Islam (GEMUIS) Jakarta Raya dengan ribuan massa pemuda mengadakan demonstrasi tertib di Krotar dan PB Front Nasional. Maksudnya untuk menyatakan rasa solidaritas terhadap hidup HMI. Diantara sekian banyak spanduk dan Poster, ada satu diantaranya yang sangat mengharukan, yaitu yang dibawa rekan-rekan HMI sendiri yang berbunyi : Langkahi dulu mayatku sebelum ganyang HMI. [16])
Adapun isi pernyataan GEMUIS Jakarta Raya tersebut selengkapnya sebagai berikut :
Dengan tegas dan tandas menyatakan akan tetap membela HMI sampai titik darah penghabisan dari rongrongan kaum agama phobi. HMI merupakan alat perjuangan ummat Islam dan Bangsa Indonesia, serta memohon kepada Presiden agar HMI diberi kebebasan bergerak disegala bidang. [17])
Kita ketahui, bahwa HMI dituduh kontra revolusioner oleh pemerintahan Orde Lama, dan HMI diberi kesempatan waktu selama 6 bulan untuk memperbaiki dirinya. Pada saat itulah PB HMI datang kepada sahabat Mahbub Junaidi (yang waktu itu menjabat sebagai Ketua Umum PP PMII). Secara singkat sahabat Mahbub menceritakan :
Suatu hari datang kepada saya dua tokoh HMI, yaitu Mar’ie Muhammad dan Dahlan Ranuwihardjo, kedatangan kedua tokoh HMI itu bertujuan agar saya dapat mengusahakan satu permohonan langsung kepada Presiden Soekarnoe supaya HMI tidak jadi dibubarkan. [18])
Apakah upaya permohonan yang dilakukan oleh sahabat Mahbub Junaidi itu berhasil atau tidak, lebih lanjut sahabat Mahbub pernah menulis sebagai berikut :
PERTEMUAN DI ISTANA BOGOR
Kami duduk di paviliun, di Bangku rotan, belum lagi sampai pada pokok pembicaraan hujan sudah turun, berikut angin. Karena ruang depan teramat sederhana, kami terpercikkan air, “mari kita pindah kedalam ! kata Bung Karno. “Beginilah nasib Presiden Indonesia, hujan saja mesti ngungsi”, kata Bung Karno. Mulailah kubicarakan perihal HMI, “apanya sih yang salah pada diri HMI itu. Saya orang pernah dari sana, jadi sedikit banyak tahu isi perutnya. HMI itu pada dasarnya “independen” tidak menjadi bawahan partai manapun, tidak juga Masyumi. Coba saja lihat anggota-anggotanya mulai dari tingkat atas sampai tingkat cabang, campur aduk seperti es teler. Perkara belakangan muncul organisasi mahasiswa lain yang juga berpredikat Islam, itu sama sekali tidak merubah warna asal. Coba saja lihat pada waktu pemilu 1955, tiap anggota HMI diberi diberi formulir mau ikut bantu parpol yang mana, ternyata disitu menghadapi saat-saat yang gawat menjelang pecahnya pemberontakan PRRI, langkah apa yang ditempuh Ketua Umum HMI Ismail Hasan Metarium cukup jelas. Banyak jalan menuju roma, seperti banyak jalan dari pada main bubar, dan sebagainya..
Karena seorang Presidenpun perlu makan, maka makan nasi pecellah kami dengan daging dan tempe goreng. Apakah pembicaraan itu punya arti bagi HMI, saya tidak tahu, mungkin ada, mungkin tidak sama sekali. Sekedar tambahan kecil sebelum lupa, baik juga saya catat disini, Menteri agama Syaefuddin Zuhri berdiri persis dibelakang layar pertemuan itu. [19])
Dengan nada merendah Mahbub Junaidi seperti tersebut di atas berkata : “Apakah pembicaraan itu punya arti bagi HMI saya tidak tahu, mungkin ada, mungkin tidak sama sekali”. Sekedar tambahan penulis kemukakan disini, jelas pembicaraan itu punya banyak arti bagi “Keselamatan HMI” , sebab buat apa PB HMI datang meminta tolong pada sahabat Mahbub Junaidi supaya ikut membantu “menyelamatkan HMI, jika beliau tidak dipandang sebagai tokoh yang dekat dengan Presiden ?. Sebagai ilustrasi betapa dekatnya hubungan sahabat Mahbub Junaidi dengan Bung Karno, ada satu pengalaman yang mengharukan antara Bung karno dengan Mahbub Junaidi :
Bagaimanapun hati sepi adalah hati sepi. Pikiran Bung Karno menerobos ke masa depan, tetapi sebagai orang yang puluhan tahun bersama-sama massa, kesendirian adalah suatu beban yang tak tertahankan, Singa Gurun berpisah dengan kelompoknya, bagaimana bisa bercengkrama dengan teman-teman ?, bagaimana bisa berseloroh ?, bagaiamana bisa memuntahkan isi hati yang coraknya senantiasa mondial itu. “Aku ingin ngobrol sambil makan siang dengan Kiyai-Kiyai NU”, dimana mereka itu sekarang, bagaimana caranya Kau bisa atur ? dengarkan baik-baik, cuma makan siang, tidak lebih tidak kurang !.
Di Rumah siapa ? tanyaku.
Siapa saja, Idham boleh, Jamaludin Malik boleh. Mana saja yang sudi mengundangku makan siang. Maka berputar-putarah saya menawarkan keinginan yang teramat sederhana itu……… H. Moh. Hasan, bekas Menteri pendapatan, pengeluaran dan penelitian, dan saat itu menjadi Menteri negara entah apa urusannya.
Baiklah, katanya, maka makan siangpun terjadi di Rumahnya di Jl. Senopati Kebayoran Baru. Hanya makan siang, sesudah itu bubar. Almarhum Kiyai Wahab dan Kiyai Bisri (juga sudah almarhum) pun ikut menemani. Jika tidak seluruhnya, sebagaian tentu ada juga rasa kesepian terobati. [20])
Dalam perjalanan sejarahnya “pertarungan” antara PMII dan HMI. ketika itu memang terasa semakin mengental, entah apa yang menjadi alasan bagi mereka, yang jelas Kafrawi Ridwan dkk di Yogjakarta mendemo Mentri Agama Prof. KH. Saifudin Zuhri. Padahal pada saat-saat yang bersamaan, disamping Sahabat Mahbub Junaidi, para tokoh PB NU sedang sibuk mondar-mandir menghadap Bung Karno agar HMI tidak dibubarkan. Ketua Umum PB NU KH. DR. Idham Chalid dan Mentri Agama Saifudin Zuhri, justru berusaha meyakinkan Bung Karno agar tidak membubarkan HMI. Langkah-langkah yang dilakukan oleh sahabat Mahbub Junaidi dan para Tokoh NU ini diketahui persis oleh sebagian pimpinan PB. HMI, tetapi bagi sebagian yang lain dianggap sebagai angin lalu, dan bahkan dianggap sesuatu yang mustahil dan tidak pernah ada.
Mahbub Junaidi mau melakukan pembelaan itu semata-mata karena ukhuwah islamiyah, dan merasa HMI adalah saudara seperjuangan sesama mahasiswa Islam. Ketika itu sahabat Mahbub Junaidi merupakan tokoh mahasiswa – satu-satunya – yang mempunyai akses langsung kepada Presiden Sukarno.[21]
Pengungkapan fakta ini bukan maksud Penulis ingin agar jasa-jasa PMII (kalaupun apa yang diperbuat PMII itu dianggap punya arti bagi HMI) untuk selalu dikenang dan berarti HMI punya hutang budi pada PMII. Kita hanya ingin agar hubungan yang tidak baik antara kedua organisasi itu dapat diakhiri sehingga tidak lagi terdengar berita-berita yang saling menjatuhkan juga saling memojokkan. Karena banyak sekali kasus-kasus yang menimpa warga PMII akibat diskriminasi pihak-pihak tertentu, seperti adanya ancaman Rektor salah satu perguruan tinggi Islam yang terbesar dan tertua di Yogjakarta, menggugat mahasiswanya lantaran sebagian dari mereka berhasil mendirikan Komisariat PMII yang ternyata berkembang dengan pesat. Atau kasus-kasus lain yang terjadi di berbagai perguruan tinggi, padahal rata-rata mereka memiliki prestasi studi yang dapat dibanggakan. Atau bahkan kasus tindakan diskriminasi dimana kader HMI menjadi salah satu korbannya.  Ironis sekali jika kasus-kasus itu sampai hari ini masih terjadi hanya lantaran rasa dendam kesumat yang tak kunjung berakhir,  pada akhirnya akan merugikan kedua belah pihak dan menghambat proses Pergerakan  Mahasiswa.
Sumber: Buku “PMII Dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan”, Fauzan Alfas dan TulisanKarebet
Sumber Referensi

[1]  Drs. Agus Salim Sitompul, Sejarah Perjuangan HMI (1947 – 1975), PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1976, Halaman 36
[2]  Ibid, Halaman 39
[3]  Fauzan Alfas, Ke-PMII-an, Materi ke-PMII-an pada Mapaba PMII Cabang Malang tahun 1989, Halaman 2
[4]  Onghokham, Angkatan Muda Dalam Sejarah dan Politik, Prisma No. 12 Desember 1977, halaman 21
[5]  Drs. Chotibul Umam,  Sewindu PMII, PC PMII Ciputat, Jakarta, 1967, Halaman 3
[6]  Wawancara dengan H. Mahbub Junaidi di Arena Muktamar NU ke 27 di Situbondo, Jawa Timur. Tanggal 8 – 12 Desember 1984
[7]  Mahbub Junaidi,  Pidato Panca Warsa PMII, Tanggal 17 April 1965
[8]  Agus Salim Sitompul,  Loc-Cit, Halaman 49
[9]  Burhan D Magenda,  Gerakan Mahasiswa dan Hubungannya dengan Politik: Suatu Tinjauan, Prisma No. 12 Desember 1977, Halaman 8
[10]  Mahbub Junaidi, Loc-Cit, Halaman 3
[11]  Drs. Ridwan Saidi, Antara Dongeng dan Sejarah, dalam PPP, NU dan MI, Gejolak Politik Islam, Integrita Press, Jakarta, 1984, Halaman 57
[12]) Suaefuddin Zuhri, Mengalihkan masalah NU-MI menjadi issu Orde  lama Orde Baru, Dalam PP, NU dan MI, Gejolak Politik Islam, Integrita Press, Jakarta, 1984, Halaman 42
[13]  Drs. Ridwan Saidi, Loc-Cit, Halaman 58
[14]  Drs. HM. Zamroni, PMII dan Proses Orde Baru, dalam Pemikiran PMII dalam berbagai Visi dan Persepsi, Effendy Choiri dan Choirul Anam, Aula, Surabaya, 1991, Halaman 95 – 96
[15]  Agus Salim Sitompul, Loc-Cit, Halamat 64
[16]  Agus Salim Sitompul, Loc-Cit, Halaman 64
[17]  Ibid, Halaman …
[18]  Wawancara dengan Sahabat Mahbub Junaidi, di arena Muktamar NU ke 27 di Situbondo Jawa Timur, 1o Desember 1984
[19]  H. Mahbub Junaidi, Fakta harus dijunjung tinggi seperti Mertua, catatan untuk seperempat abad Syaefuddin dan Bung Ridwan, dalam PP, NU dan MI, Gejolak Politik Islam , Integrita Press, Jakarta, 1984, Halaman 33
[20]  Mahbub Junaidi, Sukarnoisme, Suatu ujian sejarah dalam 80 Tahun bung karno, Sinar Harapan, Jakarta, 1982, Halaman 258
[21] )  HA. Baidhowi Adnan, M. Zamroni: Pejuang Yang Konsisten, dalam    Pendahuluan Kilas Balik Perjuangan Zamroni, Penerbit PB. PMII, 2005, Halaman 4.