Berbicara mengenai simbolitas, maka kita akan berpikir mengenai simbol-simbol. Simbol ini bisa diartikan sebagai lambang yang mewakili sesuatu yang ada (eksis) dan berada (esensi). Simbolitas biasanya adalah sebuah manifestasi dari suatu ideologi bahkan tradisi yang melekat dan dijadikan landasan fanatisme terhadap sebuah tradisi/ideologi yang diyakini. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat diartikan bahwa simbol adalah brand (lambang) yang digunakan oleh seseorang maupun komunal untuk mendeskripsikan suatu ideologi, gagasan maupun tradisi yang dianutnya. Secara praktis, kita mampu mengenali GARUDA sebagai simbol Negara Kesatuan Republik Indonesia, dimana simbol tersebut mendeskripsikan landasan ideologi Indonesia itu sendiri, yakni PANCASILA.
Seperti yang dijelaskan diatas, simbolitas adalah mewakili eksistensi dan esensi, sehingga simbol bukanlah hanya sekedar ada atau eksis saja, melainkan memiliki nilai esensi pula didalamnya. Dalam proses kita bernegara, simbolitas yang dibangun sudah kemudian mewakili kedua hal tersebut, dimana Indonesia adalah sesuatu yang ada, bukan tidak ada (tentu dalam konteks fenomena, bukan nomena), dan secara esensi pun, Indonesia ada, dimana terdapat rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Penulis teringat ketika dulu belajar PKn, dimana rakyat, wilayah, pemerintahan yang berdaulat dan pengakuan dari negara lain adalah kriteria sebuah negara sah dan bisa diakui baik secara de facto maupun de jure.
Dalam konteks relasinya, esensi dan eksistensi sangatlah erat berkaitan. Esensi sangat membutuhkan eksistensi. Tanpa eksistensi, esensi bukanlah apa-apa, karena esensi (hakikat) memerlukan keberadaan yang mewakilinya. Begitu pula eksistensi sangat membutuhkan esensi, karena tanpa esensi, keberadaannya menjadi tidak bernilai dan dipertanyakan (absurd). Sebagai contoh, kita mengenal tanah jawa, tanah toraja, tanah pasundan yang kesemuanya masuk dalam tatanan esensi dan secara eksistensi adalah sama-sama tanah. Pembaca boleh cek, dalam iklim dan kondisi (tekanan & suhu) yang sama, tanah jawa dan pasundan tidaklah memiliki perbedaan dalam konteks eksistensinya (dalam kajian inderawi), namun secara esensi, jelaslah berbeda (ditinjau dari segi karakteristik penduduk dan tradisi sosial kemasyarakatannya). Ketika nilai esensi dan eksistensi sudah berpadu, maka akan muncul sebuah simbolitas yang diangkat atas nama kedua hal tersebut. Menurut penulis, keadaan tersebut merupakan keadaan yang sangat ideal, dimana simbolitas diangkat dengan jalan yang konstruktif yang merepresentasikan relasi sempurna dari kedua hal tersebut.
Namun, dalam realitas kehidupan kita bermasyarakat, seringkali penulis menemukan sebuah fenomena yang tidak dalam kondisi yang konstruktif dan terkesan timpang. Simbolitas yang diangkat banyak yang tidak mewakili eksistensi dan esensi. Simbolitas seringkali diangkat hanya atas nama eksistensi tanpa dibarengi dengan suatu esensi yang jelas, sehingga terjadilah sebuah distorsi atas relasi kedua hal tersebut. Kita dapat melihat ini dalam berbagai praktek bermasyarakat, baik praktek pendidikan, pemerintahan, beragama, berorganisasi, dan lain-lain.
Sebagai contoh, penulis mencoba melihat fenomena sertifikasi, akreditasi, dan penilaian. Sebenarnya, sertifikasi, akreditasi dan penilaian adalah sebuah usaha simbolitas yang bernilai eksistensi untuk mencapai esensi yang diharapkan. Namun dalam praktiknya, entah disadari atau tidak, subjek maupun objek dari akreditasi, sertifikasi dan nilai seringkali berpikir subjektif dan parsial dalam memandang eksistensi dan esensi, mereka cenderung hanya berpikir atas eksistensi dan melemahkan posisi dari esensi yang sejatinya adalah sesuatu yang juga penting dalam suatu praktik akreditasi. Yang penting dapat akreditasi A, sertifikasi internasional dan nilai bagus, bagaimanapun caranya, entah dengan membuat kebohongan besar demi mendapatkan hal tersebut demi kejayaan simbolnya. Menurut hemat penulis, praktik seperti ini jelas-jelas menghancurkan tradisi konstruktif-intelektual, dan mendewakan kebiasaan buruk berupa pemikiran destruktif-pragmatis yang berdampak pada lemahnya integritas dan intelektualitas yang seharusnya dimiliki oleh pemuja-pemuja simbol.
Begitu pula penulis melihat fenomena dalam praktek beragama yang cenderung mengagungkan eksistensi tanpa memperhatikan eksistensinya secara matang. Sangat marak kita lihat, bahkan di dunia pendidikan seperti kampus, praktik-praktik beragama dibawa ke ranah simbolitas yang tidak menyeimbangkan antara eksistensi dan esensi secara cerdas dan cermat. Eksistensi yang terlalu diagungkan membawa mereka kedalam praktek-praktek radikalisasi yang secara tidak langsung membawa mereka terjebak ke dalam simbolitas yang semu. Mungkin pembaca akan bertanya-tanya, mengapa hal ini bisa terjadi? bahkan di dunia pendidikan yang seharusnya menciptakan kaum-kaum terdidik yang (seharusnya lagi) mampu memahami hal ini? Entahlah, mungkin karena para pendidiknya pun ada yang sudah menjadi tersangka dan terdakwa dalam kasus simbolitas semu ini. Terus bagaimana? Penulis juga tidak tahu.
Selain praktik tersebut, masih banyak praktik-praktik sejenis dalam keseharian kita yang seharusnya penulis dan pembaca sadari untuk kemudian di transformasikan menjadi praktik-praktik yang mampu memposisikan relasi esensi dan eksistensi secara adil. Penulis kemudian teringat dengan sebuah kalimat yang tertulis dalam sebuah jaket saat penulis jalan-jalan yang berbunyi, “Dont think to be the best, but think to do the best”, yang berarti “Janganlah berpikir untuk menjadi yang terbaik, namun berpikirlah untuk melakukan yang terbaik”. Dalam kacamata penulis, statemen ini sangatlah keren, dimana secara implisit, statemen ini memposisikan eksistensi dan esensi secara sepadan, meski ketika kita baca secara tekstual, kita hanya akan melihat adanya pengebirian atas eksistensi. Berangkat dari hal tersebut, semoga penulis dan pembaca sekalian termasuk makhluk yang mampu menyeimbangkan eksistensi (gelar, nilai, akreditasi, IPK, brand, dll) dan esensi (hakikat dari gelar, nilai, akreditasi, IPK, brand, dll). Semoga.
Saya menulis kado ini tepat 4 hari sebelum PMII berulang tahun. Secara momentum, insya Allah tulisan ini tidak menjadi kado yang terlambat untuk saya berikan kepada PMII. PMII akan genap berusia 56 tahun. Usia yang tak lagi muda untuk ukuran sebuah organisasi kemahasiswaan. Usia yang apabila dimiliki oleh manusia, adalah usia yang kenyang akan pengalaman, dan sudah banyak kontribusi yang diberikan dalam sebuah masyarakat. Sehingga kemudian saya berharap, semoga dalam momentum ini, dengan berbagai pengalaman yang telah dimiliki PMII di masa lalu, PMII mampu berkontribusi secara nyata melalui gagasan dan gerakan yang dimiliki kader PMII untuk agama dan bangsa. Seperti yang termaktub dalam Mars PMII, alunan indah nada “Pembela Bangsa, Penegak Agama” menjadi sebuah alunan indah pergerakan revolusi Indonesia menuju tercapainya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.
PMII yang merupakan singkatan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memiliki diksi ideal yang menggambarkan sebuah organisasi yang notabene memiliki asas dinamis, progresif, dan berkemajuan. Bergerak berarti maju, tak berdiam, dan anti-stagnansi. Berbeda dengan organisasi lain yang notabene banyak menggunakan kata “Himpunan”. Himpunan yang berarti berkumpul, sering dikonotasikan sebagai antonim dari kata “Pergerakan”. Himpunan cenderung diasumsikan dengan bahasa stagnasi, anti-dinamis, anti-progresif, diam, dan tak berkemajuan. Secara kontekstual, dapat diartikan bahwa PMII dengan Pergerakannya selalu harus lebih maju dari organisasi yang hanya berlabel Himpunan. Begitu kata senior saya saat mengikuti MAPABA tiga tahun silam.
Meskipun perkataan senior saya ini cenderung berbau doktrinasi, namun perkataan ini tak serendah bahasa doktrinasi. Memang pada dasarnya, diksi Pergerakan lebih bermakna daripada diksi Himpunan, meski dalam konteks yang lain, penggabungan 2 kata ini bisa dibilang memberikan arti yang lebih ideal. Saya teringat akan sebuah quote berbahasa arab yang berarti, “Tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tiada kekuatan tanpa pergerakan, tiada pergerakan tanpa kebersamaan, tiada kebersamaan tanpa persatuan”. Statemen ini menggambarkan hubungan kata pergerakan, himpunan, dan persatuan yang saling membangun satu sama lain. Terlepas dari hal tersebut, sebagai organisasi yang didalam namanya mengandung kata pergerakan, PMII dan kadernya memiliki nilai lebih, yakni bagaimana kemudian secara moril, PMII dan para kadernya dituntut untuk terus bergerak secara dinamis dan progresif menuju terealisasinya tujuan organisasi (Pasal 4 AD PMII). Sehingga kemudian, kader PMII pantas menyandang sebagai kader pergerakan, warga pergerakan atau apapun istilah yang berkonotasi ke arah sana. Bagaimana PMII mengartikan sebuah makna pergerakan juga tersirat dari idiom yang masyhur di PMII, “Mundur satu langkah adalah suatu bentuk PENGKHIANATAN!”. Idiom tersebut mensinyalir akan bagaimana PMII sangat menuntut kadernya untuk bergerak maju dan dinamis, tak boleh mundur sedikitpun, bahkan hanya satu langkah.
Sebetulnya, dalam tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan sedikit hal terkait pengalaman pribadi saya dalam berproses di PMII. Secara eksplisit, tidak ada sedikitpun hubungan antara judul yang saya ambil dengan tujuan saya menulis ini. Bisa dibilang, judul tulisan ini agak ngawur. Namun secara implisit, insya Allah pembaca akan mendapatkan korelasi antara judul yang saya ambil dengan isi tulisan ini. Karena pada proses saya belajar di PMII, saya merasa ada beberapa tahapan dimana saya merasa berkembang dan mengalami progres secara keorganisasian dan soft skill di PMII, meskipun saya masih tetap bodoh dan tak kunjung pandai hingga saat ini.
Mengawali tulisan ini, saya mencoba menerawang kembali atas apa yang terjadi 3 tahun yang lalu, dimana saya menginjakkan kaki pertama kali di PMII. Sebelumnya, saat SMA, saya sudah mengenal PMII dari adik sepupu saya yang berkuliah di ITS. Pada saat itu, saya hanya tahu bahwa PMII adalah organisasi berhaluan ASWAJA. Maklum, saya merupakan alumni pondok pesantren dan ber-background NU. Ketika saya masuk kampus dan menemukan banyak senior di kampus yang merupakan kader PMII, saya tak berpikir panjang lagi untuk bergabung dan menjadi bagian dari PMII. Berhubung saya berkuliah di Fakultas Sains dan Teknologi, bergabunglah saya dengan PMII Rayon “Pencerahan” Galileo yang merupakan rayon yang menaungi kader-kader eksakta di UIN Maliki Malang
Dalam proses mengikuti MAPABA, saya sejujurnya terkagum-kagum dengan narasumber MAPABA. Materi-materi yang ada memang benar-benar ilmu baru bagi saya dan terdapat pengembangan pemikiran daripada apa yang pernah saya pelajari di pondok pesantren dulu, salahsatunya adalah bagaimana PMII memposisikan ASWAJA sebagai Manhaj. Singkatnya, ada perubahan paradigma berpikir. Yang paling membuat saya sangat terinspirasi adalah grand design kaderisasi PMII Rayon “Pencerahan” Galileo pada saat itu yang mengusung gagasan “SAINTIS AKTIVIS”. Sepemahaman saya, SAINTIS AKTIVIS bisa didefinisikan sebagai mahasiswa yang berlatarbelakang disiplin ilmu sains yang berbeda dengan mahasiswa sains lainnya. Mereka dituntut untuk aktif pula dalam berbagai macam interaksi sosial di lingkungannya, belajar berkontribusi terhadap masyarakat sekitar, dan berorganisasi sebagai langkah pengkolektifan pengembangan sains di Indonesia. Saya benar-benar terilhami akan gagasan tersebut.
Gagasan tersebut juga berhubungan dengan berbagai fakta menarik terkait bagaimana perjalanan PMII dalam bingkai perkembangan dunia sains dan teknologi. Hingga saya menjadi pengurus rayon, saya sering mendapatkan beberapa ungkapan akan adanya perbedaan antara mahasiswa eksakta (baca: sains) dengan mahasiswa non-eksakta, baik itu dari konsep kaderisasi, pengembangan wacana, bahkan arah dan lapangan geraknya. Sahabat-sahabat saya juga sering bercerita kalau mereka pernah mendapatkan dongeng dari senior, bahwa sahabat-sahabat senior (baca: pasca-rayon) pernah mengemukakan gagasan-gagasan akan pentingnya perumusan silabus kaderisasi khusus rayon eksakta di beberapa forum-forum formal PMII, seperti MUSPIMCAB, namun seringkali tak menemukan hasil yang konkrit dan selesai di meja forum saja.
Secara pribadi, saya menilai bahwa gagasan diatas sangat perlu untuk diperjuangkan karena memiliki unsur-unsur progresif dan dinamis yang patut diperjuangkan. Di era globalisasi yang sarat akan persaingan pengembangan IPTEK, menurut saya, sangat penting untuk kemudian Indonesia dibawa ke ranah pengembangan IPTEK berkelanjutan. Dan saya sangat berharap, gagasan dan gerakan tersebut lahir dari PMII selaku organisasi yang (seharusnya) menjunjung tinggi progresivitas dan anti-stagnansi. Sehingga, saya beserta sahabat-sahabat mencoba untuk menjadi promotor akan pengembangan wacana pengembangan sains dan teknologi di PMII dari berbagai aspek melalui sebuah gerakan menulis dengan mengangkat tema “PMII dalam bingkai Eksakta”, yang nantinya diharapkan menjadi sebuah buku yang menampung gagasan sahabat-sahabat yang berasal dari rayon/komisariat eksakta terkait wacana ini. Semoga.
Dalam konteks eksistensi, saya juga sempat dipercayai untuk menjadi delegasi di organisasi intra kampus sebagai Ketua HMJ Kimia, menjadi Sekretaris DEMA-FST dan berupaya pula untuk mencalonkan diri menjadi presiden DEMA UIN Maliki Malang meski gagal di konvensi heksa rayon pada saat itu. Pengalaman ini tentu tidak akan saya lupakan dan menjadi pelajaran berharga bagi saya pribadi.
Selain pengalaman diatas, banyak pengalaman berharga yang saya dapati di PMII yang akan melebihi syarat penulisan esay ini apabila saya tulis seluruhnya. Kepercayaan, persahabatan, pembelajaran, nasihat, dan dinamika berorganisasi PMII secara menyeluruh sangat mempengaruhi progresivitas keilmuan saya hingga saat ini. Sebuah pengalaman yang tidak akan bisa didapatkan oleh saya di luar PMII. Saya adalah seorang perantau dari kota kecil di Jawa Barat. Sebagai manusia yang perlu diakui keberadaannya, adalah sebuah kebanggaan yang luar biasa bisa bertemu sahabat-sahabat yang menyambut baik keberadaan saya di PMII hingga saya masih tetap bertahan bersama PMII hingga hari ini. Terimakasih untuk sahabat-sahabati PMII di seluruh Indonesia. Terimakasih atas ilmu yang telah diberikan oleh sahabat-sahabati sekalian.
Akhir kata, semoga tulisan saya ini pantas menjadi kado ulang tahun PMII ke 56 dan bisa menjadi inspirasi bagi warga pergerakan dimanapun berada. Saya sadar bahwa tulisan ini banyak terdapat unsur subjektif dalam opini-opini yang tertuang didalamnya. Hal tersebut tak luput dari kebodohan saya selaku manusia yang masih goblok dan perlu terus belajar dalam menjalani kehidupan. Tulisan ini saya dedikasikan sebagai kado Ulang Tahun PMII yang ke 56. Semoga ke depan, PMII terus istiqomah melahirkan generasi “Pembela Bangsa, Penegak Agama”. Semoga PMII mampu untuk terus mendinamisasi pergerakannya (karena bukan sekedar himpunan/ikatan), sehingga memiliki relevansi output kader yang mampu menjadi garda terdepan bangsa ini. Teringat akan apa yang pernah dikatakan sahabat Rodli Kaelani, “Kun Ibna Zamaanika!, Jadilah Generasi Emas di Zamanmu!”, maka kader PMII harus menjadi generasi emas yang mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik dimasa depan. Selaku bagian dari kader PMII eksakta, saya berharap ke depan akan tercipta sebuah blueprint pola pengembangan kader eksakta di PMII. Bahkan tak hanya eksakta, mungkin bisa juga dirancang sebuah blueprint pengembangan kader PMII sesuai disiplin ilmunya, sehingga pengembangan potensi kader PMII bisa lebih terarah dan mampu menjadi leader di sektor-sektor penting komponen bangsa ini. Tentunya dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan tujuan PMII. Selamat Ulang Tahun PMII yang ke-56!Bersemilah, bersemilah, Tunas PMII… Tumbuh Subur, Tumbuh Subur, Kader PMII, Kau Harapan Bangsa….
Esai sering juga disebut artikel, tulisan, atau komposisi. Dalam arti yang lebih luas, esai juga dipahami sebagai sebuah karangan. Secara umum, esai didefinisikan sebagai sebuah karangan singkat yang berisi pendapat atau argumen penulis tentang suatu topik. Biasanya, seseorang menulis esai karena ia ingin memberikan pendapat terhadap suatu persoalan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat. Penulis esai, atau sering disebut esais, dapat juga mengupas suatu topik atau persoalan dan memberikan tanggapan dan pendapatnya atas topiik atau persoalan yang dibahasnya. Secara umum, esai memiliki beberapa ciri yang menonjol.
Ciri pertama berkaitan dengan jumlah kata dalam sebuah esai. Memang tidak ada aturan baku yang menyebutkan berapa jumlah kata dalam sebuah esai. Patokannya adalah bahwa sebuah esai harus selesai dibaca dalam sekali duduk. Pengertian ini bisa diilustrasikan sebagai berikut. Ketika seseorang sedang duduk menunggu giliran periksa kesehatan di sebuah klinik, dia harus sudah selesai membaca sebuah esai saat dia berdiri dipanggil masuk ke kamar periksa. Meskipun aturan ini tidak begitu jelas, patokan “sekali duduk” ini cukup membantu ketika seseorang ingin menulis sebuah esai.
Terkait dengan jumlah kata ini, beberapa buku komposisi memberikan batasan yang lebih jelas. Sebuah karangan dikategorikan esai bila karangan tersebut berjumlah antara 500 sampai dengan 1500 kata. Bila diketik dalam bentuk dokumen microsoft word, panjang sebuah esai berkisar antara tiga sampai dengan tujuh halaman ukuran kertas A4 yang diketik dengan font berukuran 12 dan berspasi ganda. Sebuah esai yang melebihi 1500 kata, misalnya 3000 atau 4000 kata, akan digolongkan sebagai extended essay (esai yang diperpanjang).
Ciri lain esai adalah struktur penulisannya. Struktur esai terbagi dalam tiga bagian yang diwujudkan dalam bentuk paragraf. Bagian pertama esai adalah paragraf pendahuluan atau pengantar. Dalam bagian ini, penulis memberikan pengantar yang mencukupi dan relevan tentang topik yang ia tulis. Yang paling penting dalam paragraf pendahuluan adalah kalimat tesis (thesis statement) yang berfungsi sebagai gagasan pengontro (controlling idea) untuk bagian isi esai. Bagian kedua adalah paragraf-paragraf isi yang merupakan penjabaran atau pembahasan lebih lanjut dari gagasan yang ingin disampaikan penulis. Jumlah paragraf dalam bagian ini tergantung dari jumlah gagasan utama yang hendak disampaikan dalam esai. Bagian terakhir adalah paragraf penutup. Bagian ini dapat berisi ringkasan dari gagasan yang telah disampaikan dalam isi esai atau penegasan atas gagasan utama yang telah disampaikan.
Ciri yang paling membedakan esai dengan jenis karangan lain berkaitan dengan gaya bahasa. Pilihan kata, struktur kalimat, dan gaya penulisan merupakan hal terkait erat dengan penulis esai. Penulis esai yang berpengalaman biasanya memiliki ciri tertentu ketika menulis esai. Semakin sering seseorang menulis esai, semakin mudah gaya bahasa orang tersebut dikenali. Misalnya, esai tulisan Gunawan Muhamad tentu berbeda dengan esai yang ditulis oleh Bakti Samanto atau oleh Umar Kayam. Keunikan gaya bahasa ini menjadi ciri esai yang menonjol.
Sebagai simpulan, esai merupakan buah pikir yang ditulis secara ringkas. Topik apa pun dapat ditulis dalam bentuk esai. Karena itu esai menjadi salah satu jenis tulisan yang sering dijadikan alat uji untuk mengukur intelegensi seseorang. Seorang yang berpengetahuan luas akan dapat menyampaikan gagasannya secara runtut, logis, dan menarik. Semakin sering kita membaca, semakin besar kemungkinan kita untuk dapat menulis esai dengan baik.Dengan banyak membaca, kita akan memiliki lebih banyak gagasan untuk ditulis. Persoalan utamanya tinggal mewujudkan gagasan yang sudah tertanam dalam benak kita melalui tulisan yang harus terus-menerus kita latih agar semakin lama semakin sempurna. Selamat mencoba.
Sumber :http://www.menulisesai.com/2012/09/apa-itu-artikel.html
Bandung hari itu, penulis bersama sahabat memang sengaja mengunjungi Kota Bandung, katanya mereka ingin jalan-jalan ke Bandung, menikmati keindahan Bandung. “Okelah, saya antar kesana,” berhubung penulis memang asli dari Jawa Barat, Majalengka tepatnya. Tapi sahabat-sahabat Jawa Timur penulis, rata-rata menganggap penulis berasal dari Bandung, meskipun penulis sudah berulang kali jelaskan, bahwa dari rumah penulis menuju Bandung itu perlu waktu sekitar 3-4 jam, dan Jawa Barat bukan hanya Bandung, tapi tetap saja dengan pandangan globalnya, kalo penulis tetap di klaim sebagai orang Bandung, haduh.
Ya, siang tadi kami baru saja sampai rumah penulis di Majalengka (salah satu kabupaten di Jawa Barat), perjalanan dari Malang ke Cirebon agaknya membuat rasa lelah menghampiri. Kami beristirahar sejenak, melepas lelah. Hingga sore hari, barulah kami memutuskan untuk berangkat ke Kota Bandung, kota yang sangat ingin di kunjungi sahabat-sahabat saya. Oke-oke. Dengan meminjam mobil milik ayahanda penulis, kami berangkat ke Bandung. Disana, kami menikmati keindahan kota Bandung, kota yang terkenal dengan lagunya “Halo-halo Bandung” dan makin terkenal karena Walikota keren, Pak Ridwal Kamil (Kang Emil), yang mampu menyulap Bandung menjadi lebih populer dengan capaian-capaian yang sering terlihat di postingan fanspage beliau, begitu kata sahabat-sahabat penulis.
Esok harinya, kami bertolak dari Bandung menuju ke rumah penulis. Di tengah perjalanan, kami berhenti di ATM Center yang berdampingan dengan sebuah minimarket. Akhirnya, penulis memarkir kendaraan di pinggir jalan. Dalam prosesnya, memarkirnya sangat sulit, namun penulis dibantu oleh seseorang yang memandu parkir sehingga terasa lebih mudah. Ketika penulis keluar dari kendaraan, sontak penulis kaget, karena ternyata yang membantu penulis dalam memarkir mobil adalah Kang Emil, Sang Walikota Bandung. Ha? Masa si?
“Kang Emil ya?”, tanya penulis.
“Iya kang, saya Ridwan Kamil, Walikota kota ini.”, jawab beliau dengan santun.
Wah, penulis masih terheran-heran dengan kondisi ini. Pun demikian sahabat-sahabat penulis. Bisa-bisanya ketemu Kang Emil di depan ATM Center, bantuin parkir mobil pula. Tak habis fikir. Akhirnya kami pun berkenalan dan bersalaman satu per satu. Penulis yang sudah sedikit mencoba merasa terbiasa menghadapi orang-orang besar dalam berdialog, dengan santai tapi deg-degan, penulis bertanya kepada Sang Walikota. “Setelah ini mau kemana pak?”
“Oh iya, saya ini mau pulang, kang. Selesai dari kantor. Tapi masih hoream. Istri saya masih ada urusan euy. Kalo di rumah gak ada istri teh kumaha kitu.”, tanggapnya.
“Wah, ikut kami saja dulu pak?”, celoteh sahabat dari penulis.
“Boleh, hayu atuh.”
Ha? Ko iso gelem? Gening daekeun?Kenapa dengan mudahnya beliau mengiyakan ajakan kami? Lagi-lagi suatu pertanyaan yang sulit terjawab. Ya sudahlah, akhirnya kami persilahkan beliau untuk masuk ke mobil. Daripada berpikir mengenai jawaban yang sulit ditemukan, penulis lebih berpikir pada konsep ada untungnya ketemu pak walkot Bandung, minimal bisa selfie sama beliau nantinya, hahaha.
Diperjalanan, kami berbincang banyak terkait pengembangan kota Bandung, baik dari sisi ekonomi kreatif, arsitektur, budaya dan teknologi. Kebetulan penulis dan sahabat-sahabat berkuliah di jurusan-jurusan sains, adapula yang teknik. Sehingga, obrolan dengan beliau pun, sedikit banyak nyambung ketika berbicara ke arah pengembangan sains dan teknologi, meski secara disiplin ilmu arsitektur yang merupakan background keilmuan beliau, penulis sama sekali tidak paham. Kami berbincang terkait bagaimana seharusnya kita selaku bangsa Indonesia ini bisa maju, memajukan Indonesia. Beliau menuturkan beberapa point-point yang penting dalam membangun bangsa. Penulis juga menuturkan gagasan-gagasan penulis dalam kaitannya membangun negeri ini, serta sedikit banyak memuji langkah beliau dalam proses berpolitiknya. Beliau telah membuktikan bahwa orang yang memiliki background non-social studies mampu memimpin sebuah kota dengan sangat baik. Terbukti dengan berbagai prestasi yang telah di raih. Sehingga, hal ini membuat penulis dan sahabat-sahabat termotivasi bahwa untuk memimpin negeri ini, tidak harus kita bersekolah di jurusan-jurusan yang berbau sosial. Kita yang ber background sains pun bisa. Bahkan dengan sangat baik, fakta memperlihatkan bahwa walikota seperti Kang Emil di Bandung dan Bu Risma di Surabaya yang keduanya berbackground Teknik mampu memimpin negeri ini dengan baik.
Keasyikan mengobrol membuat penulis lupa untuk bertanya dan memberi penjelasan kepada Kang Emil terkait tujuan kami selanjutnya adalah pulang ke rumah di Majalengka dan pada saat itu, kami sudah sampai di perbatasan Bandung-Sumedang. Lagi-lagi kami dikagetkan dengan jawaban beliau, “Oh, santai we lah. Saya ikut dulu ke Majalengka. Ntar pulangnya dianterkeunku kang Fawwaz nya?”. Wah, perjalanan akan tambah seru ini bersama kang Emil. Saya mengangguk dengan matang diiringi dengan teriakan “SIAP KANG!!!”, menandakan bahwa penulis siap mengantar beliau kembali ke Bandung lagi nantinya. Tak apa penulis sedikit lelah, kapan lagi penulis dapat bertemu beliau seperti sekarang ini. Mau diajak ke rumah penulis pula. Mantep iki, Joss Tenan, ujar sahabat-sahabatku.
Kami melanjutkan perbincangan-perbincangan intelektual kami dengan beliau. Beliau menuturkan, bahwa pemimpin itu tidak ditentukan dari apa background study nya, pemimpin pasti dilihat dari apa visi misinya, apa programnya, apa langkahnya dan apa solusinya. Sehingga siapapun bisa jadi pemimpin. Namun memang menjadi lebih baik ketika pemimpin tersebut berlatarbelakang keilmuan sains dan teknik. Karena sejarah menuturkan bahwa perkembangan zaman hingga hari ini dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi secara signifikan. Ketika sepeti itu, secara praktis dapat diartikan bahwa kunci perubahan zaman itu terletak pada para saintis dan teknokrat. Kami manggut-manggut atas pernyataan tersebut. Beliau melanjutkan, bahwa itulah pentingnya seorang saintis dan teknokrat. Ketika memang pemimpinnya buat salahsatu dari kedua background keilmuan tersebut, minimal pemimpin itu memiliki visi-visi yang berkonsentrasi dan peduli kepada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) Indonesia ini. Ketika tidak seperti itu, lebih baik, para saintis dan teknokrat saja yang menjadi pemimpinnya.
Penulis kagum dengan gagasan-gagasan beliau, ternyata, sesuatu yang penulis yakini adalah sebuah keyakinan Kang Emil pula. Terkhusus gagasan kepemimpinan IPTEK. Lebih lanjut, kami bercerita, bahwa kami adalah mahasiswa di UIN Maliki Malang, kami juga berkuliah di jurusan-jurusan MIPA dan Teknik, kami juga aktif di organisasi intra maupun ekstra kampus, beliau mengacungi jempol terkait hal tersebut. Beliau bercerita bahwa dulu, beliau juga sangat aktif di organisasi-organisasi kemahasiswaan, sehingga pengalaman kepemimpinan ketika mahasiswa mampu menjadi pelajaran penting dalam praktik kepemimpinan di dunia nyata. “Memimpin pun perlu pembiasaan, dan mumpung dulu saya masih mahasiswa, saya membiasakan memimpin pada saat itu.”, begitu katanya. Beliau akhirnya bercerita tentang gagasan kepemimpinan transformatif yang isinya tak jauh berbeda dari apa yang pernah beliau sampaikan ketika seminar mahasiswa baru di ITB yang pernah penulis saksikan melalui channel youtube, yakni kepemimpinan transformatif itu harus memiliki sekurang-kurangnya 5 nilai, diantaranya inovatif, berani ambil resiko dengan kalkulatif, problem solver, Strong Will (melakukan apa yang dikonsepkan), dan visioner. Sehingga, dalam proses kepemimpinannya bisa menghasilkan produk-produk kebijakan yang maslahat dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Selanjutnya, kami menuturkan bahwa kami pernah mengundang Mas Ricky Elson dalam acara
OSPEK Fakultas untuk memotivasi adik-adik kami. Kami bercerita kepada beliau bahwa Mas Ricky adalah orang yang luar biasa. Keyakinannya, motivasinya, kekuatannya sangat menginspirasi bagi kami selaku generasi muda bangsa ini. Kang Emil manggut-manggut mendengar cerita kami. Penulis mengusulkan, mungkin kang Emil adalah salah satu pejabat yang bisa menggandeng mas Ricky dalam suatu proyek pembangunan teknologi di Bandung. penulis mengharapkan itu. Karena penulis paham betul, hingga saat ini, tidak ada lirikan sedikitpun dari pemerintah untuk memberdayakan anak bangsa yang prestatif seperti mas Ricky. Kecuali mungkin, mas Ricky mau untuk terjun di dunia politik seperti kang Emil. Mungkin akan sama hebatnya dengan kang Emil. Selain itu, kami pun bertanya akan kesediaannya untuk mengunjungi kampus kami, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, “Wah, kalo itu nanti di agendakeunwe, gampang lah, nu penting saya lagi gak ada urusan yang penting pemerintahan.”, jawabnya. Wajah kami sumringah mendengarnya. Mudah-mudahan dengan segera beliau bisa bertandang ke kampus kami di Malang sana.
Tak terasa, kami bersama kang Emil sudah sampai di gang masuk rumah penulis. Perbincangan yang menarik membuat perjalanan ini terasa singkat. Sesampainya di rumah, penulis disambut orang tua penulis dan beberapa kerabat dekat. Penulis mempersilahkan kang Emil untuk turun dari mobil, orang tua dan kerabat penulis sangat terkejut melihatnya, kang Emil sang walikota Bandung itu mengunjungi rumah penulis. Semua masih terheran-heran, namun tidak lupa untuk tetap menjamu beliau. Beliau makan dengan ditemani kami dan paman dari penulis yang sebetulnya tinggal di Bandung. Namun, paman penulis memang sedang berlibur ke rumah penulis ceritanya. Obrolan kami disitu lebih kepada guyonan-guyonan pikaseurieun. Sehingga tak terasa, rasa lelah kami hilang dengan sendirinya. Hingga pada suatu waktu, kang Emil mendapati handphonenya berdering. Beliau sedikit menjauh dari kerumunan kami dan mengobrol dengan santai. Itu istrinya, tebak penulis. Benar saja, setelah menelepon, beliau mengajak penulis untuk mengantarkan beliau pulang ke Bandung. Orang tua penulis menawari untuk bermalam, namun kang Emil menolaknya secara halus, beliau harus bekerja untuk Bandung lagi esok hari. Sahabat dari penulis kemudian mengusulkan untuk berfoto bersama terlebih dahulu. Wah, betul juga, gumam penulis. Kami berfoto bersama, kemudian sahabat-sahabat bergantian meminta waktu untuk selfie bersama beliau. Penulis pun tak mau ketinggalan, Cekrek cekrek cekrek.
Mobil sudah penulis hidupkan kembali, kang Emil sudah mulai pamitan kepada orang-orang di rumah penulis. Tiba-tiba handphone penulis berdering, lagu “Pusing Pala Barbie” pun berdendang dengan kencang. “Ko nada deringnya ganti ya? Lagu ini kan untuk alarm”. Gumam penulis. Penulis mencoba mengabaikan perasaan itu dan mencoba untuk mengangkan teleponnya. Namun, teleponnya tak bisa di angkat, penulis tekan tombolnya berkali-kali, tetap saja tidak bisa. Tiba-tiba saja, penulis berpikir, apa ini memang alarm? Atau ini mimpi? Penulis mencoba melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Kagetlah penulis dan akhirnya terbangun dari tidur yang panjang. Ternyata handphone penulis memang berdering dan memang alarm lah yang berbunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Penulis duduk dengan perasaan yang bertanya-tanya, ternyata tadi hanya sebuah mimpi, sayang sekali. Gara-gara sebelum tidur, penulis sempat menonton video kang Emil ketika mengisi seminar, jadi kebawa mimpi. Yah, meskipun hanya mimpi, ini adalah sebuah mimpi yang berkualitas, mimpi yang menginspirasi, mimpi yang mentransformasi dan mimpi yang sangat luar biasa. Memang mimpi tak seburuk realita, namun terkadang, mimpi bisa lebih buruk dari realita. Semoga semua yang terwacanakan dalam mimpi mampu terealisasi di dunia nyata. Punten ke kang Emil yang sudah penulis tarik ke dalam mimpi penulis. 😀 Salam Transformasi!
“Dimanapun kita berada, jadilah bagian dari solusi”
Kamus Sunda :
hoream : malas kumaha kitu : gimana gitu Hayu atuh : Ayo kalo gitu Gening daekeun : kok mau? dianterkeun : diantarkan diagendakeun : diagendakan pikaseurieun : membuat tawa
70 tahun lebih Indonesia telah merdeka. Indonesia sebagai bangsa yang bhinnekatelah membuktikan, bahwa hingga saat ini, Indonesia mampu mempertahankan ke-bhinneka-an dengan semangat nasionalisme dan persatuan. Isu-isu perpecahan yang berbau SARA belum mampu untuk kemudian menggoyahkan persatuan bangsa Indonesia hingga hari ini dan mampu diselesaikan melalui dialog-dialog semangat keberagaman. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Operasi Papua Merdeka (OPM) mampu terselesaikan. Meski penulis yakin, sampai hari ini, masih ada elemen-elemen yang meneriakkan semangat organisasi yang memecah belah persatuan, baik dari organ-organ kesukuan dan organ-organ yang mengatasnamakan agama macam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang bermaksud mendirikan kekhalifahan Islam.
Adalah menjadi PR kita bersama untuk memberantas organ-organ yang anti-pancasila dan memecah belah persatuan. Hal tersebut harus tetap kita upayakan melalui kebijakan-kebijakan yang strategis dan visioner. Namun, alangkah baiknya perhatian kita harus pula tertuju kepada bagaimana mengembangkan bangsa ini ke depan? Bagaimana agar Indonesia diperhitungkan di kancah Internasional? Sehingga, langkah kita tidak hanya berhenti pada bagaimana kita menjaga persatuan dan mengatasi perpecahan. Namun, beriringan pula dengan upaya-upaya kolektif menuju Indonesia yang berdikari. Tentu dari berbagai aspek yang dikehendaki.
Secuil pelajaran dari raksasa-raksasa Asia
Siapa yang tidak pernah mendengar kejayaan yang pernah dicapai Kerajaan Majapahit, dengan Mahapatih Gajahmada yang terkenal itu. Pada zamannya, Majapahit adalah salahsatu dari 3 kerajaan terbesar dunia selain Turki Utsmani dan Mongolia. Para pendahulu kita adalah bangsa yang besar dan berpengaruh dalam percaturan internasional saat itu. Dari apa yang kemudian penulis pahami dalam dinamika kekuasaan dan pemerintahan, kejayaan suatu pemerintahan dan kerajaan adalah dipengaruhi oleh kebijakan. Kebijakan adalah faktor utama yang dapat menentukan kemana arah sebuah negara berjalan. Ketika kebijakannya tepat, sebuah negara dipastikan akan mencapai puncak kejayaan. Begitupun sebaliknya, ketika kebijakannya salah kaprah, tentu negara tersebut akan menemui jurang kehancuran dan keterpurukan.
Berbicara mengenai kebijakan yang tepat dan efektif, penulis mencoba belajar atas apa yang telah dilakukan oleh Jepang. Pada abad 16, Jepang mengusir semua kaitan perdagangan dengan negara lain. Para misionaris dan pedagang asal Eropa, terutama Portugis, diusir keluar. Alasannya sederhana, supaya tidak membuat keadaan politik menjadi rumit. Shogun Ieyasu Tokugawa hendak menyatukan seluruh Jepang di bawah kekuasaannya, guna menciptakan kestabilan politik.Di bawah tangannya, Jepang menjalani masa damai lebih dari 200 tahun. Identitas dan budaya Jepang tetap lestari, bahkan semakin mengakar dan berkembang. Identitas dan budaya inilah yang nantinya menjadi dasar bagi Jepang untuk mengembangkan diri, sehingga menjadi salah satu negara maju dunia sekarang ini. Pengusiran bangsa asing dipandang perlu untuk melestarikan dan mengembangkan identitas budaya serta politik.
Apa yang dilakukan jepang adalah melakukan politik menutup diri. Politik “Menutup Diri” disini adalah kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang mampu dan berani mengembangkan secara penuh pembangunan mental dan material bangsa secara mandiri tanpa campur tangan asing. Jika kita menelisik lebih dalam, pola seperti ini juga ditemukan di beberapa negara di asia, seperti China, India, dan Korea Selatan.
Cina, negara dengan ukuran ekonomi terbesar kedua di dunia sekarang ini, adalah contoh selanjutnya dari apa yang disebut dengan politik menutup diri. Di bawah pemerintahan Partai Komunis Cina, mereka menutup semua campur tangan asing. Industri lokal didukung dan dikembangkan. Ketika ekonomi dan industri lokal sudah kokoh, dalam arti sudah memiliki modal sumber daya manusia maupun sumber daya ekonomi yang memadai, barulah Partai Komunis Cina membuka peluang untuk investasi asing.
Pun dengan apa yang telah dilakukan China, Korea Selatan yang hari ini terkenal karena SAMSUNG nya, menerapkan kebijakan politik menutup diri. Pada 1950-an, Korea mengalami perang. Sampai sekarang, dua negara tersebut, yakni Korea Utara dan Korea Selatan, masih terus dalam keadaan tegang. Pada awal pembangunannya, AS kerap campur tangan dalam kebijakan ekonomi maupun politik Korea Selatan. Mereka dinilai tidak mampu menghasilkan industri berat dan canggih.Namun, para pimpinan Korea Selatan menolak campur tangan AS dalam soal ini. Mereka lalu memutuskan untuk mengembangkan industri kapal, dan industri mesin-mesin lainnya. Perusahaan-perusahaan localmendapat dukungan penuh dari negara. Mereka berkembang amat pesat, dan kini menjadi salah satu perusahaan elektronik maupun otomotif terbesar di dunia. Korea Selatan menutup “telinga” dari nasihat-nasihat asing yang tak selalu memiliki niat baik.
Dari secuil pelajaran tersebut, seharusnya pemerintah kita mampu dan berani untuk kemudian mengambil kebijakan strategis terkait pengembangan potensi Indonesia, yakni dengan memperhatikan kemandirian negara yang pada kenyataannya, kemandirian adalah pondasi awal yang harus dimiliki sebuah negara sebelum membuka diri untuk berkompetisi di ranah global. Political will dari pemerintahan sangat diharapkan dalam mewujudkan cita-cita ini. Sejatinya, Soekarno, Sang Bapak Proklamator adalah salahsatu penggagas kemandirian negara dengan jargon BERDIKARI alias Berdiri di Kaki sendiri. Fidel Castro, sang Proklamator Kuba pun banyak belajar dari beliau, sehingga Kuba menjadi negara dengan pelayanan kesehatan nomor 1 di dunia. Namun, semua gagasan kemandirian berakhir ketika Soekarno lengser dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto yang langsung membuka investasi asing ke Indonesia dengan kebijakan yang diambilnya. Dan hingga saat ini, perusahaan multi-nasional macam Freeport dan Newmont dengan nikmatnya terus menguras kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Revolusi Mental sebagai Pondasi Awal
Dalam proses Indonesia membuat kebijakan politik menutup diri. Langkah awal yang menurut penulis perlu dilakukan adalah dengan melakukan revolusi mental. Istilah revolusi mental mulai populer di Indonesia pada saat kampanye pemilu Pilpres 2014 melalui pasangan capres-cawapres Jokowi-JK, meski sebetulnya istilah revolusi mental bukanlah hal yang baru dalam istilah sosiologi. Namun, inti dari Revolusi Mental ala Jokowi bukanlah seperti apa yang diungkapkan oleh Karl Marx yang akhirnya cenderung sekuler dan mengarah ke atheisme ketika dipahami secara tekstualis. Namun lebih kepada merevolusi mental bangsa Indonesia yang hari ini mulai tergeser identitas mentalnya dengan budaya-budaya indisipliner, korupsi, nepotisme, konsumerisme, materialisme, dan lain-lain dengan budaya-budaya asli Indonesia yang santun, ramah, mandiri, objektif dan jujur. Sehingga kemudian diharapkan bangsa Indonesia menjadi bangga dan percaya diri atas identitas keindonesiaannya.
Ada anekdot lucu yang pernah penulis dengar dari bibi penulis, bahwa pada saat beliau berada di Jepang, teman dari beliau kehilangan dompet dan melapor ke kepolisian setempat. Jawaban polisi setempat sangat mengagetkan penulis. Praduga yang diutarakan polisi tersebut menyatakan bahwa apabila dompet tersebut ditemukan oleh warga Jepang, pasti akan dikembalikan dalam waktu 1-2 hari. Namun, apabila dompet tersebut ditemukan oleh warga Indonesia atau india, jangan berharap dompetnya kembali. Dari kisah tersebut, jelas bahwa bangsa lain sangat memandang rendah moral bangsa kita. Sehingga, merevolusi mental bangsa ini adalah pondasi yang sangat penting dalam membangun identitas bangsa.
Revolusi mental disini memang masih terlalu umum, sehingga perlu kemudian diturunkan menjadi program-program nyata yang dapat dirasakan oleh kita. Hingga saat ini, penulis melihat belum ada langkah konkrit yang dilakukan pemerintah dalam merealisasikan revolusi mental melalui sebuah program strategis. Menurut penulis, revolusi mental ini bisa diawali melalui dunia pendidikan. Dengan menanamkan semangat nasionalisme pada generasi penerus, bukan hal yang sulit untuk kemudian diikuti dengan kebijakan strategis lain yang dapat memajukan bangsa ini, seperti dalam segi pengembangan ilmu pengetahuan dan perekonomian yang memang hari ini diyakini sebagai faktor yang dapat dijadikan acuan sebuah negara dikatakan sebagai negara yang maju dan sejahtera.
Pengembangan Potensi Biodiversitas sebagai Poros Kemandirian Bangsa
Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Fakta tersebut menunjukkan tingginya keanekaragaman sumber daya alam hayati yang dimiliki Indonesia. Tingginya tingkat biodiversitas Indonesia ditunjukkan dengan adanya 10% dari tanaman berbunga yang dikenal di dunia dapat ditemukan di Indonesia, 12% dari mamalia, 16% dari hewan reptil, 17% dari burung, 18% dari jenis terumbu karang, dan 25% dari hewan laut. Di bidang agrikultur, Indonesia juga terkenal atas kekayaan tanamanperkebunannya, seperti biji coklat, karet, kelapa sawit, cengkeh, dan bahkan kayu yang banyak diantaranya menempati urutan atas dari segi produksinya di dunia. Sumber daya alam di Indonesia tidak terbatas pada kekayaan hayatinya saja.Berbagai daerah di Indonesia juga dikenal sebagai penghasil berbagai jenis bahan tambang, seperti petroleum, timah,gas alam,nikel,tembaga,bauksit, timah, batu bara, emas, dan perak. Di samping itu, Indonesia juga memiliki tanah yang subur dan baik digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Wilayah perairan yang mencapai 7,9 juta km2 juga menyediakan potensi alam yang sangat besar (Wikipedia).
Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa kekayaan alam Indonesia sangatlah melimpah. Apabila kita berkaca kepada sejarah, bahwa kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Tarumanegara, Sriwijaya, Majapahit, Singasari, Demak mengandalkan potensi-potensi tersebut sebagai pondasi perekonomiannya dalam bentuk mentahan. Dari sini, penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa sumber daya alam Indonesia merupakan suatu modal yang dapat menjadi kekuatan besar apabila kita dapat mengelolanya dengan baik. Problem yang ada hingga hari ini adalah terkait bagaimana seharusnya pengelolaan yang baik atas sumber daya alam kita. Yang penulis ketahui hingga hari ini, Pemerintah Indonesia sejak Soeharto berkuasa belum mampu dan berani untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri sehingga pengelolaannya dikuasakan kepada perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam prakteknya, perusahaan multinasional ini nyatanya malah memonopoli kekayaan alam kita dengan cara bermain mata dengan para penguasa negeri ini. Penulis kira, realita ini sudah menjadi sesuatu yang menjadi tidak aneh dalam telinga kita. Pun dengan kebijakan pemerintah kita yang telah memperpanjang kontrak Freeport yang berbarengan dengan tragedi Bom Sarinah yang kontroversial itu.
Sudah saatnya kita sebagai bangsa Indonesia berani untuk mengambil langkah nyata untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri. Pengelolaan disini berarti sangat luas, yakni bagaimana untuk mengembangkan riset dan penelitian dari sisi ilmu sains dan bagaimana mengembangkan riset dalam proyeksi ekonomi yang mengarah pada industrialisasi produk-produk kreatif yang dihasilkan. Langkah-langkah yang kolektif, terstruktur, sistematif dan masif harus dilakukan dalam upaya ini, yakni melakukan pengembangan ilmu pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan pengelolaan sumber daya alam. Kita dapat meniru india yang melirik dunia telekomunikasi sebagai sektor yang ingin diupayakan untuk mereka kuasai. Pada rentang tahun 1980-1990, Pemerintah India banyak mengirimkan warganya ke AS untuk belajar mengenai ilmu-ilmu teknologi informasi.Akibat dari kebijakan tersebut, di lembah silikon Amerika Serikat yang terbentang dari San Francisco hingga San Yose itu dari sekitar 150.000 pekerja asing yang bekerja disana sebannyak 60.000 di antaranya adalah pakar software dari India. Sumber daya manusia India ini tentunya memiliki andil bagi berkembangnya industri teknologi informasi Amerika Serikat pada kurun waktu dua dasawarsa terakhir ini. Berkembangnya kekuatan India di negeri Paman Sam tersebut dilirik Narasimha Rao yang menjadi perdana menteri India pada saat itu dan menarik semua ilmuwan yang bekerja di negeri Amerika Serika untuk kembali memajukan India.
Pemerintah Indonesia dapat kemudian menerapkan kebijakan serupa untuk kemudian mengirimkan pelajar-pelajar Indonesia ke luar negeri untuk mengembangkan keilmuannya di bidang ilmu pengetahuan tentang eksplorasi sumber daya alam. Selain itu, untuk juga mengembangkan potensi SDM dalam negeri, universitas-universitas dengan studi-studi tertentu yang ada di Indonesia harus kemudian diarahkan kepada pengembangan ilmu pengetahuan pengelolaan sumber daya alam. Dapat pula dengan mendirikan beberapa instansi riset yang lokasinya berdekatan dengan objek riset, seperti sekolah riset tambang di area dekat pertambangan, sekolah riset kelautan di area dekat pesisir pantai, sekolah riset botani di area dekan perhutanan, dan lain sebagainya.
Dalam menyongsong Satu Abad Indonesia Merdeka, kiranya itulah yang kemudian menurut penulis menjadi titik-titik penting menuju Indonesia yang BERDIKARI. Namun kemudian, untuk menjadikan Indonesia mampu bersaing di dunia internasional, adalah kembali kepada kebijakan yang diambil pemerintahan. Karena lagi-lagi, harus ada political will dari pemerintah untuk kemudian merealisasikan cita-cita ini. Ketika pemerintah hari ini tidak mampu untuk mengamini gagasan ini, mari kita pressure pemerintahan kita dengan gerakan-gerakan yang transformatif, kolektif dan visioner. Dengan begitu, penulis yakin, pemerintahan kita tidak mungkin untuk tidak mendukung dan berpartisipasi melalui kebijakan yang proaktif. Wallahua’lam.
*) Esai ini dibuat sebagai syarat mengikuti Pelatihan Kader Lanjut (PKL) XIX PMII Cabang Kota Malang.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.