Hasil Diskusi : Mahasiswa yang Mahasiswa

Assalamu’alaikum……
gimana kabar sahabat2i…..?
O iya …..
ini hasil diskusi dengan tema “Mahasiswa yang mahasiswa” yang disampaikan oleh Imam Abu Hanifah, namun sebelumnya mari kita kaji dulu mahasiswa menurut perundang2an yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG PENDIDIDIKAN TINGGI yang dinamakan mahasiswa pada pasal 1 ayat 15 ” Mahasiswa adalah peserta didik pada jenjang Pendidikan Tinggi”, yang dimaksud Pendidikan Tinggi pada pasal 1 ayat pasal 2 adalah “jenjang pendidikan setelah pendidika menengah yang mencakup progam diploma, progam sarjana, progam magister, progam doktor dan progam profesi serta progam spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.
Pada pasal 13
(1) Mahasiswa sebagai anggota Sivitas Akademika diposisikan sebagai insan dewasa yang memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensi diri di Perguruan Tinggi untuk menjadi intelektual, ilmuwan, praktisi, dan/atau profesional.
(2) Mahasiswa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara aktif mengembangkan potensinya dengan melakukan pembelajaran, pencarian kebenaran ilmiah, dan/atau penguasaan, pengembangan, dan pengamalan suatu cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk menjadi ilmuwan, intelektual, praktisi, dan/atau profesional yang berbudaya.
(3) Mahasiswa memiliki kebebasan akademik dengan mengutamakan penalaran dan akhlak mulia serta bertanggung jawab sesuai dengan budaya akademik.
(4) Mahasiswa berhak mendapatkan layanan Pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kemampuannya.
(5) Mahasiswa dapat menyelesaikan program Pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak melebihi ketentuan batas waktu yang ditetapkan oleh Perguruan Tinggi.
(6) Mahasiswa berkewajiban menjaga etika dan menaati norma Pendidikan Tinggi untuk menjamin terlaksananya Tridharma dan pengembangan budaya akademik.

Tridharma yang dimaksud adalah sesuai dengan pasal 1 ayat 9 yaitu “Tridharma Perguruan Tinggi yang selanjutnya disebut Tridharma adalah kewajiban Perguruan Tinggi untuk menyelenggarakan Pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.”

Pada Pasal 14
(1) Mahasiswa mengembangkan bakat, minat, dan kemampuan dirinya melalui kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagai bagian dari proses Pendidikan.
(2) Kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.
(3) Ketentuan lain mengenai kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam statuta Perguruan Tinggi.

Untuk STATUTA UIN Maliki Malang saya tidak punya, jadi yang punya mohon di share… hehehhehe.
ma’af, jadi banyak banget tulisannya….. hehhehehe

Untuk kesimpulan dari diskusinya adalah sebagai berikut:
Peran dan fungsi mahasiswa adalah sebagai 1) agen perubahan, 2) penjaga nilai, dan 3) cadangan masa depan. hal ini dierkuat dengan pernyataan ki hajar dewantara, yaitu Ing Ngadyo Mangun karso, Ing Ngarso sung tulodho, Tut wuri handayani.
Untuk melakukan peran dan fungsinya mahasiswa harus mempunyai 1) kapasitas akhlak dan moral, 2) kapasitas sosial politik, 3) kapasitas keilmuan dan keprofesian.

Mahasiswa yang mahasiswa (Mahasiswa yang ideal) menurut teman2 :
1. Mahasiswa yang dapat menyadari, memahami, dan menjalankan peran yang diberikan kepada mereka dengan sebaik-baiknya.
2. Mahasiswa yang mampu menjadi diri sendiri serta sadar dan mempertanggungjawbkan pilihannya.
3. Mahasiswa yang beride kreatif dan bertindak aktif.
4. Mahasiswa yang mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kondisi dan peran yang diberikan.
5. Mahasiswa yang mampu mengamalkan tri-dharma perguruan tinggi.

So, Sudahkah kita menjadi Mahasiswa yang mahasiswa…….? ^_^

Untuk diskusi minggu depan akan disampaikan oleh sahabti Laily Febri Ramadhaningrum…..

 _______________
Oleh : Sahabat Husnan Musthofa, Mahasiswa Kimia UIN Maliki Angkatan 2009, sebagai moderator pada diskusi tersebut

Link : Grup FB Chem-PMII dengan beberapa editing.

Muqoddimah : Lanjutan Mabahits Basmalah ( ب dari lafadz بسْمِ. )

Hal yang pertama dibahas adalah mengenai huruf ب dari lafadz بسْمِ.

Pembahasan yang pertama ini terbagi menjadi 3 bahasan, yaitu :
1. Harakatnya ب
2. Ma’nanya ب
3. Muta’allaqnya (ketergantungannya) ب

1. Harakat ب

ب merupakan bagian dari harf, ب diharakati karena ب sendiri terdapat diawal kalam لانـَّهُ وَقَعَ فِى ابْتِدَاءِ الكَلاَمِ . Asal dari ب sendiri adalah berupa huruf, asal hukum dari huruf adalah mabni, sedangkan asal dari mabni adalah sukun. Hal ini selaras dengan opini Syekh Ibnu Malik dalam Kitab Alfiyyahnya :

وَكُلُّ حَرْفٍ مُسْتَحِقٌّ لِلْبِنَاء     *    وَالأصْلُ فِى المَبْنِيِّ انْ يُسَكَّنَ    

Setiap huruf adalah mabni, sedangkan asal dari mabni adalah sukun

Namun ب disni diharakati, dan harakatnya berupa kasroh. Mengapa hal tersebut terjadi? sesuai alasan diatas bahwa ب ini terdapat di awal kalam. Apabila kita tidak memberinya harakat, maka bagaimana kita membacanya?

Kemudian mengapa diharakati kasroh? Karena mencocokkan dengan amalnya, مُنَاسَبَة لِعَمَلِهِ. Seperti kita ketahui bahwa ب ini merupakan huruf jer yang berguna untuk menjerkan isim yang menjadi majrur-nya. Maka agar sesuai dengan amalnya, digunakanlah harakat kasroh untuk mengharakati huruf ب

Selain opini diatas, qowaid lain mengatakan bahwa ketika ada huruf sukun, apabila huruf tersebut hendak diharakati, maka harus diharakati dengan harakat kasroh, لأنَّ حَرْفَ السَّاكِنِ إذا تُحُرِّكَ حُرِّكَ بالكَسْرِ 

Namun, qowaid-qowaid diatas yang berkaitan dengan harakat kasroh tidak selalu muttorid (sesuai) dengan fakta yang ada. Tapi ini adalah termasuk qowaid ghoer muttorid (tidak sesuai) dengan fakta yang ada, dalam artian terkadang berlaku terkadang tidak berlaku.

2. Ma’na  ب 

 
 Dalam kitab Alfiyyah ibnu Malik, Ma’na – ada 10, yaitu :

a). Ma’na Badaliyyah (Pengganti). Contoh : مَا يَسُرُّنِيْ بهَا حُمْرُ النـَّعَم.  Taqdirnya : بَدَلهَا   

Artinya : Hewan ternak yang merah (baik kondisinya)pun tidak akan membahagiakan kami sebagai pengganti kebahagiaan akhirat.

Syekh Ibnu Malik dalam Kitabnya :

               لِلإنتِهَا حَتـَى وَلامٌ وَإلى       *        وَمِنْ وَبَاءٌ يُفهِمَانِ بَدَلا

Intiha (mengakhiri) adalah ma’na untuk hattaa, lam, dan ilaa, dan dapat difahami bahwa huruf min dan ba mempunyai ma’na Badaliyah (Pengganti).

b). Ma’na Sababiyyah (Sebab). Contoh : 

  —  فبظـُلمٍ مِنَ الـَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنا عَليْهِمْ طيِّبَاتٍ. –النساء : 160   Taqdirnya, فبـِسَبَبِ ظـُلمٍ.

Artinya : Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik

c). Ma’na Dzorfiyyah (Wadah). Contoh :

 — وَإنـَّكُمْ لتـَمُرُّوْنَ عَليْهِمْ مُصْبـِحِيْنَ وَباللـَّيْلِ. —  الصفاتٍ : 137-138 . Taqdirnya, فِي اللـَّيْلِ

Artinya : . dan Sesungguhnya kamu (hai penduduk Mekah) benar-benar akan melalui (bekas-bekas) mereka di waktu pagi, dan di waktu malam

Syekh Ibnu Malik bernadzom :

 وَزِيْدَ وَالظـَّرْفِيَّة َاسْتبـِنْ ببَا       *        وَفِيْ وَقـَدْ يُبَيِّنانِ السَّبَبَا

Zaidah dan Dzorfiyah termasuk dari ma’na بَ , dan terkadang بَ menjelaskan ma’na sababiyyah.

d). Mana Isti’anah (Meminta tolong). Ciri-ciri ma’na istianah adalah بَ yang selalu masuk pada alat dari sebuah pekejaan. Contoh : كَتبْتُ بالقـَلمِ  . Artinya : Saya menulis dengan menggunakan Pulpen

 e). Ma’na Ta’diyyah (Menghadirkan Objek). Cirinya adalah بَ selalu masuk pada fiil lazim ( fiil yang tidak membutuhkan maf’ul bih/objek). Contoh :

 — ذهَبَ اللهُ بنـُوْرِهِمْ   — البفرة : 17  . Artinya : Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka.

f). Ma’na Ta’wid (Menggantikan). Contoh : إشْتـَرَيْتُ الفرَسَ بألفِ دِرْهَمٍ . Artinya : Saya membeli kuda (digantikan) dengan 1000 dirham.

g). Ma’na Ilsoq (Menempel). Ilsoq terbagi menjadi 2 :
     – Ilsoq Haqiqi : إلصَاقُ مَا قبْلَ البَاءِ بمَا بَعْدَهَا . Artinya, menempelkannya sesuatu sebelum بَ kepada setelahnya. Contoh : قطـَعْتُ بالسِّكِيْنِ . Artinya, Saya memotong dengan Pisau

     – Ilsoq Majazi : إلصَاقُ مَا قبْلَ البَاءِ بمُجَاوِرِ مَا بَعْدَهَا . Artinya, menempelkannya sesuatu sebelum بَ  dengan melewati sesuatu yang ada setelahnya. Contoh : مَرَرْتُ بزَيْدٍ. Artinya, Saya melewati Zaid.

h). Ma’na مَعَ. Contoh : بعْتـُكَ الثـَّوْبَ بطِرَازِهِ. Taqdirnya, مَعَ طِرَازِهِ

Artinya, Saya menjual kepada anda baju beserta kancingnya

i). Ma’na مِنْ. Contoh : Dalam Syiiran,

شَرِبْنَ بمَاءِ البَحْرِ ثـُمَّ ترَفـَّعَتْ    *     مَتـَى لـُجَجٍ خُضْرٍ لهُنَّ نئِيْجُ
   Taqdirnya, مِنْ مَّاءِ البَحْرِ.

j). Ma’na عَنْ. Contoh : ( سَأَلَ سَائِلٌ بعَذابٍ. (المعارج : 1. Taqdirnya, عَنْ عَذابٍ.

     Artinya, Seseorang telah meminta jauh dari azab yang tejadi

      بالبَا اسْتـَعِنْ وَعَدِّ عَوِّضْ ألصِقِ      *       وَمِثلَ مَعْ وَمِنْ وَعَنْ بهَا انطِقِ
Berilah ma’na Isti’anah, ta’diyyah, ta’wid, dan ilsoq terhadap بَ . Dan artikanlah sperti arti dari مَعَ, مِنْ, عَنْ terhadap بَ .

2. Muta’allaq  ب

Huruf بَ merupakan salahsatu huruf jer. Dalam Qowaid ilmu nahwu dijelaskan bahwa huruf jer dan dhorof harus mempunyai muta’allaq (ketergantungan), artinya huruf jer dan dhorof dalam sebuah kalam tidak akan pernah bisa berdiri sendiri, melaikan harus bergantung pada yang fiil dan isim atau jumlah yang bisa beramal seperti halnya fiil.

Imam Ibnu Malik dalam Kitabnya :

وعلق الظرف وما ضهاه    * بفعل أو ما يحتوي معناه

Dhorof dan Huruf jer harus bermutaallaq terhadap fiil atau sesuatu yang dapat beramal seperti fill

Dalam pembahasan ini,  بَ dapat dimutaallaq-kan terhadap 7 bentuk kalimat/jumlah :

1. Terhadap Fiil, taqdirnya

أبتدء بسم الله الرحمن الرحيم

Fiil sah dijadikan mutaallaq ب karena ada suatu qowaid yang menyatakan, ألاصْلُ فى العمَل اَنْ يَكُوْنَ فِعْلاً , artinya, Asal dari amal merupakan fiil

2. Terhadap Masdar, taqdirnya 

 إبتدائي حاصل بسم الله الرحمن الرحيم

Masdar sah dijadikan mutaallaqnya ب disebabkan 2 faktor :

– Sebuah qowaid menyatakan, الأصْل فِى الكلامِ انْ يَكُونَ اِسْمًا artinya asal dari kalam merupakan isim 
– Masdar sendiri dapat beramal seperti halnya fiil. Contoh : عجبت شربا زيد العسل. artinya : saya kagum zaid meminum madu

lafadz زيد العسل merupakan ma’mul (fail dan maf’ul bih) dar lafadz شربا, bukan عجبت, karena ma’mul dari عجبت adalah dhomir mutakallim dan lafadz شربا.

Syekh Ibnu Malik berkata :


بِفِعْلِهِ المَصْدَرَ ألْحِقْ فِىْ العَمَلْ    *    مُضَافًا أوْ مُجَرَّدًا أوْ مَعَ اَلْ


Masdar dapat beramal seperti fiil, baik masdar itu diidofahkan, tidak diidhofahkan, maupun dimasuki alif lam


 3. Terhadap Isim Fail, taqdirnya, 

 أنا مبتدء بسم الله الرحمن الرحيم

Isim Fail sah dijadikan mutallaqnya ب karena isim fail juga dapat beramal seperti halnya fiil. 

Dalam Alfiyyah dijelaskan :

 كَفِعْلِهِ اسْمُ فَاعِلٍ فِى العَمَلِ    *    اِنْ كَانَ عَنْ مُضِيِّهِ بِمَعْزِلِ

Isim fail dapat beramal seperti halnya fiil, ————-

4. Terhadap Jumlah ismiyyah, taqdirnya

 أنا مبتدء بسم الله الرحمن الرحيم

Jumlah ismiyyah sah dijadikan mutaallaqnya بَ karena jumlah ismiyyah mempunyai kekuatan amal yang setara dengan mustaq (contoh : fiil madhi, isim fail, isim maf’ul, dll).

Dalam Nadzom Alfiyyah diterangkan :

وَكَوْنُهُ اسْمًا لِلثبُوْتِ وَالدَّوَامْ    *    وَقَيَّدُوْا كَالفِعْلِ رَعْيًا لِلتَّمَامْ


Jumlah ismiyyah menunjukkan ma’na tetap dan langgeng, namun dia dapat beramal sepeti fiil dan mustaq lainnya.

5. Terhadap Haal yang berasal dari failnya fiil, taqdirnya,

أبتدء مستعينا ومتباركا بسم الله الرحمن الرحيم

6. Terhadap Haal yang berasal dari failnya masdar, taqdirnya,

إبتدائي حاصل مستعينا ومتباركا بسم الله الرحمن الرحيم

7. Terhadap Haal yang berasal dari failnya Isim Fail, taqdirnya,

أنا مبتدء مستعينا ومتباركا بسم الله الرحمن الرحيم

Kemudian dalam pentaqdiran kalimatnya, terbagi kepada 2 kalimat :

1.  خاص, yang digunakan untuk pengarang sebuah kitab, dengan mentaqdirkan kalimat أألف.

Contoh :

أألف بسم الله الرحمن الرحيم

2.  عام, yang digunakan untuk para pelajar kitab, dengan mentaqdirkan kalimat أبتدء.

Contoh :

أبتدء بسم الله الرحمن الرحيم

 Jika dipilih antara kedua kalimat tersebut, yang lebih diutamakan adalah خاص, karena sebuah illat رعَايَةً للمَقامِ, artinya menjaga maqom.

14 belas model yang ada (7 bentuk mutaallaq x 2 bentuk pentaqdiran) ini, dalam penempatan taqdir mutaallaqnya bisa 2 cara, yaitu :

1. مقدم (didahulukan). Contoh : أبتدء بسم الله الرحمن الرحيم

2. مؤخر (diakhirkan). Contoh : بسم الله الرحمن الرحيم أبتدء

Jadi semuanya ada 28. Apabila dipilih antara kedua cara penempatan taqdir muta’allaq tersebut, yang lebih diutamakan adalah مؤخر, karena sebuah qowaid menjelaskan

لان تقديم المعمول على العامل يفيد الحصر والاهتمام

Karena mendahulukan ma’mul dari amilnya menunjukkan kepada kesan singkat dan jelas.

(Disini, ba merupakan ma’mul, dan muta’allaq merupakan amilnya).

Demikian penjelasan mengenai ب dari lafadz بسْمِ, selanjutnya adalah penjelasan mengenai  Idofatnya lafadz اسْمِ terhadap lafadz الله. Tunggu artikel selanjutnya….

sumber  : Mas’alah Jurumiyyah Pondok Pesantren Baitulhikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya 46192 Jawa Barat

Muqoddimah : Mabahits Basmalah perspektif Ahli Nahwu

Mengapa kalam basmalah perlu dibahas?  
يَنبَغِيْ لِكُلِّ شَارِعٍ فِيْ فنٍّ من فنون اثنَيْ عَشَرَ فَنًّا أنْ يَّبْحَثَ البَسْمَلة َ بمَا يُناسِبُ ذلك الفنَّ المَشْرُوْعَ وِفاءً لِحَقـَّيْنِ حَقِّ البَسْمَلةِ وَحَقِّ ذلك الفنِّ المَشْرُوْعِ
Penting   bagi orang-orang yang bermaksud untuk mempelajari salahsatu fan ilmu dari 12 fan ilmu yang ada untuk membahas lafadz ‘Basmalah’ dengan pembahasan yang menurut pespektif fan ilmu tersebut, guna memenuhi hak basmalah dan hak dari fan ilmu yang dipelajari.
بسم الله الرحمن الرحيم

مباحث البسملة عند النحويين
 

    بسم الله: أي أبْتـَدِءُ تـَعَلـُّمَ هَذا الكِتـَابِ المُسَمَّى بالجُرُوْمِيَّةِ حَالَ كَوْنِيْ مُسْتَعِيْنا وَمُتَبَارِكا ببسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Saya memulai untuk mempelajari kitab ini yang dinamakan ‘JURUMIAH’ (contoh) dengan mengharap diberi kesanggupan dan diberi keberkahan dengan menyebut nama Allah.
إستعانة :  مشاركة في الفَعْل لأجل حصوله
Bersama-sama dalam suatu pekerjaan untuk mendapatkan hasil dari pekerjaan tersebut
Kata إستعانة disini adalah استعانه مجازى  , dengan ma’na استقدر yang artinya Saya memohon kesanggupan. karena menganggap atau mengartikan إستعانة dengan arti bersama dengan Allah dalam suatu pekerjaan adalah hal yang tabu dan tidak pantas untuk kita.
براكه : ” الزّيادة والنـّمأ في الخير
Bertambah dan meningkat dalam melakukan kebaikan
الرّحمن : ” أي المنعم بجلائل النـّعم أي أصولها في الدّنيا على جميع المخلوقات
Dzat yang memberi ni’mat berupa ni’mat yang besar di dunia kepada seluruh makhluk 
Disebut ni’mat yang besar karena cakupannya yang besar, meliputi seluuh makhluk yang ada di dunia. Ni’mat ini terbagi kepada 3 bagian :
1. Ni’mat dijadikan manusia
2. Ni’mat dipanjangkan umur
3. Ni’mat iman dan islam
الرّحيم :  أي المنعم بدقائق النـّعم أي فروعها فى الآخرة على المؤمنين فقط
Dzat yang memberi ni’mat berupa ni’mat yang kecil di akhirat kepada orang mu’min saja
Disebut ni’mat kecil, karena cakupannya yang hanya untuk orang mu’min saja. Ni’mat ini berupa :
1. Ni’mat masuk surga
2. Ni’mat melihat Allah
Mengapa kitab-kitab yang kita temui selalu diawali dengan tulisan basmalah? hal ini didasarkan pada 2 dalil, yaitu :
1. Dalil Aqli    : Meneladani Al-Qur’an, karena rujukan utama kita dalam segala hal adalah Al-Qur’an.
2. Dalil Naqli  : Al-Qur’an : (An-Naml : 30)
 إنه من سليمان وإنه بسم الله الرحمن الرحيم
                        Hadits       :
 كُلُّ أمْرٍ ذِيْ بَالٍ لايُبْتَدَءُ فِيْهِ ببسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ فهُوَ أقطعُ أوْ أبْتَرُ أوْ أجْدَمُ 
“Segala sesuatu yang baik namun tidak diawali dengan “Bismillahirahmanirrahim’ maka hal itu tidak berfaidah sama sekali”
مَنْ أرَادَ أنْ يَّحْيَى سَعِيْدًا أوْ يَمُوْتَ شَهيْدًا فليَقـُلْ عِندَ ابْتِدَاءِ كُلِّ شَيْئٍ ببسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
“Barangsiapa yang yang ingin hidup dalam kebahagiaan atau mati dalam keadaan syahid, maka ucapkanlah disetiap memulai sesuatu ‘Bismillahirrahmanirrahim”
Yang akan dibahas dari lafadz  بسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ  ada 4 pembahasan  :
Tunggu pembahasan keempat bahasan tadi di artikel selanjutnya ya,,,,
sumber  : Mas’alah Jurumiyyah Pondok Pesantren Baitulhikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya 46192 Jawa Barat

Muqoddimah : Asal mula Ilmu Nahwu dan Penamaannya


Setelah pada artikel sebelumnya dijelaskan bahwa Wadhi’ dari ilmu nahwu adalah Abu Aswad Addauli dan ilmu tatabahasa arab ini bernama ilmu nahwu, tidak afdhol apabila kita tidak mengetahui latar belakang atau kisah awal mula adanya ilmu nahwu dan authornya tersebut. Agar pemahaman kita dalam mempelajari Stadium general dari ilmu nahwu lebih baik, kita harus mengetahui kisahnya terlebih dahulu. Berikut adalah kisalnya. Selamat membaca….



Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang.

Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu. Selaras dengan apa yang disampaikan pada Mabadi Ilmu Nahwu, orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Addauli dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Ali Bin Abi Thalib.

Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata,
مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ
“Apakah yang paling indah di langit?”
Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya. Kemudian sang ayah mengatakan,
نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ
“Wahai anakku, Bintang-bintangnya”
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan,
اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ
“Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah,
مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ
“Betapa indahnya langit.”
Bukan,
مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ
“Apakah yang paling indah di langit?”
Dengan memfathahkan hamzah…
****
Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan,
أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ


Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..” hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah,
أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ
“Sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah islam. Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali,
اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ
“Ikutilah jalan ini”
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu.
Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi.
Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri ( peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Imam Syibawaih dan Imam Kisa’i (pakar ilmu nahwu, dan banyak menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kufah (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

sumber :  Mas’alah Jurumiyyah Pondok Pesantren Baitulhikmah Haurkuning Salopa Tasikmalaya 46192 Jawa Barat

Kisah Alumni Haur : Dari Asongan ke Manuskrip

Siapa bilang orang pesantren ga bisa sukses…??? dengan membaca artikel ini, semoga orang yang berfikiran negatif tentang Pesantren bertaubat, hehe….

Ini kisah alumni Pesantrenku, Selamat membaca….

—————

Rubrik Persona, Kompas, Minggu, 20 Mei 2012.

Konten dikutip dari: [I:Boekoe].
—————
Oman Fathurahman tidak pernah merancang hidupnya. Namun, sejak remaja dia memelihara cita-cita: suatu ketika bisa jadi mahasiswa. Lewat jalan berliku–termasuk jadi pedagang asongan–Oman melampaui cita-citanya.
”Cita-cita saya bertahap karena harus mengukur diri,” ujar laki-laki asal Kuningan, Jawa Barat, yang menghabiskan masa remaja di lingkungan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya.
Oman bukan berasal dari keluarga berada. Ketika diterima di IAIN (sekarang UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, melalui jalur PMDK, orangtua Oman, KH M Harun dan Sukesih, tidak sanggup membiayainya. Oman kemudian dikirim ke Pesantren Haurkuning, Tasikmalaya, untuk belajar tata bahasa Arab.

Dengan setengah hati, Oman belajar di Haurkuning. Setahun di sana, Oman pamit pada kiai dan kembali ke rumah. ”Saya minta izin lagi ke orangtua untuk kuliah. Tapi tidak diizinkan. Saya malah dimasukkan ke pesantren tauhid di Manonjaya, Tasikmalaya.”

Seminggu di sana, Oman menunjukkan prestasi. Dia juara pidato seasrama dan sepesantren. Dia dielu-elukan, diberi hadiah makan gratis. Namun, Oman justru galau. ”Kalau begini terus saya enggak akan kuliah.”

Akhir 1980-an, Oman kabur ke Jakarta mencari uang. Usianya baru 19 tahun ketika dia merasakan kerasnya hidup di Jakarta. Setiap hari Oman jalan kaki dari rumah sepupunya di Kebayoran Lama–tempat dia menumpang hidup–ke bioskop Djakarta Theater, di sekitar kawasan Sarinah, Jakarta, untuk mengasong. Hasil bersih yang didapat Oman hanya Rp 1.000 per hari. ”Saya nangis beberapa kali. Kok jadi tukang asongan. Bagaimana bisa ngumpulkan uang untuk biaya kuliah.”

Enam bulan kemudian, Oman membaca iklan yang mencari editor bahasa Arab. Oman melamar dan berhasil mendapatkan pekerjaan itu. ”Gajinya Rp 80.000, dan saya bisa tinggal di asrama perusahaan di Roxy.”

Nasibnya membaik. Oman bisa mengumpulkan uang untuk biaya kuliah. Tahun 1990, dia akhirnya kuliah di Jurusan Bahasa Arab UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. ”Nyatanya, setelah lulus saya jadi pengangguran.”

Saat itulah, Profesor Nabila Lubis, dosen filologi pertama UIN, Jakarta, meminta bantuan Oman mengedit suntingan manuskrip berbahasa Arab dengan terjemahan beraksara Jawa. ”Saya ambil tawaran itu karena ada duitnya. Ternyata tidak terlalu sulit. Saya hanya memberi komentar pada terjemahan yang salah. Rupanya itulah pekerjaan filolog.”

Sejak saat itu, Oman berkenalan dengan filologi. Dia lebih jauh mengarungi rimba filologi setelah mendapat beasiswa S-2 dan S-3 di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Begitulah, jalannya di dunia filologi lumayan mulus sebab sejak di pesantren Oman terbiasa membaca kitab tua. ”Cuma waktu itu enggak ada yang bilang kalau itu manuskrip.”

Setelah sukses menjadi filolog dengan spesialisasi naskah Islam Indonesia, Oman membangun satu lagi obsesi: menyebarkan kajian manuskrip ke pesantren. ”Kalau itu sudah dilakukan, puaslah hidup saya.” (BSW/AIK)