Genap 30 tahun sejak saya dilahirkan ke dunia ini. Tentu telah banyak cerita yang telah terukir dalam perjalanan hidup ini. Segala peristiwa yang terjadi dalam hidup, yang masih terekam dalam ingatan, rasa-rasanya baru saja kemarin saya alami, seperti bukan peristiwa yang sudah dalam terpendam. Maka salah satu puisi Gus Mus ada yang berjudul “Rasanya Baru Kemarin”. Ini gambaran sederhana bahwa banyak hal yang telah terjadi dalam hidup, meskipun itu telah berlalu berpuluh-puluh tahun yang lalu, rasanya baru kemarin. Gus Mus menggambarkan dalam puisinya itu, rasanya baru kemarin mahasiswa-mahasiswa yang dulu rajin berdemonstrasi itu, sekarang sudah jadi menteri-menteri, dan menjadi objek yang didemonstrasi oleh mahasiswa-mahasiswa selanjutnya.
Senyum-senyum sendiri, itulah respon alami saat saya menulis tulisan ini, mengingat satu dua peristiwa yang saya alami di masa lalu. Secara garis besarnya, banyak hal yang patut disyukuri, banyak hal yang harus diingat dengan senyuman. Kehidupan “nomaden” sejak SD hingga S2 adalah cerita kehidupan yang luar biasa. Meskipun semuanya terjadi di pulau Jawa. Tapi semua fase berjalan di Kota, bahkan Provinsi yang berbeda-beda. Berinteraksi dengan banyak manusia yang dibentuk dalam budaya yang cukup berbeda, menambah kesadaran diri bahwa hidup harus saling menghargai antar sesama manusia, harus memupuk rasa toleransi seluas-luasnya.
Kini, saya sudah genap mencapai usia 30 tahun, atau dalam istilah lain, sudah masuk “kepala tiga”, usia yang mungkin sudah melalui “quarter life crisis”, sudah paham orientasi hidup dan bagaimana menjalani hidup yang selayaknya. Selain itu, ada juga yang bilang, usia 30 adalah saat dimana idealisme yang berapi-api mulai tergantikan dengan kacamata yang lebih realistis dalam memahami persoalan dalam pergaulan sosial. Apapun itu, saya rasa usia tak bisa menggeneralisir pengalaman orang per orang, tidak bisa menjustifikasi “kematangan” seseorang. Maka bisa saja sikap saya yang meski sudah 30 tahun ini masih seperti BOCIL, atau bahkan hobi menceramahi layaknya “sepuh” yang kenyang pengalaman, hehehe.
Yang pasti, usia yang kita punya ini bukan bertambah, tapi semakin hari adalah semakin berkurang. Teringat dalam syair karya Abu Nawas yang berbunyi, “Umur kami berkurang setiap harinya, sedangkan dosa-dosa terus bertambah, bagaimana kami sanggup memikulnya?”. Syair yang sangat kontemplatif tersebut tentu harus menjadi titik awal untuk bagaimana kita memaknai usia yang terus menerus berkurang setiap harinya. Narasi positifnya adalah kita dalam setiap langkah hidup harus senantiasa menebar kebaikan dan kebermanfaatan untuk sesama, sembari memohon ampunan kepada Sang Pemilik Hidup, atas pilihan-pilihan hidup yang mungkin ternyata tidak terlepas dari dosa-dosa adamiy maupun ilahiy secara langsung.
Keunikan usia 30 ini pada diri saya adalah rambut saya sudah mulai muncul uban. Seperti yang diketahui, uban ini muncul akibat menurunnya produksi eumelanin pada rambut. Penyebabnya bisa macam-macam, alamiah karena usia, genetik, atau mungkin stress. Untuk kasus saya ini, lebih besar kemungkinan karena usia atau genetik, karena kondisi hidup saya tak mengharuskan saya stress. Alhamdulillah, paling tidak kondisi hidup saat ini, betapapun katanya dunia sedang dilanda resesi dan kesulitan ekonomi, masih banyak sekali anugerah diluar itu yang harus bisa saya syukuri. Keberhasilan membangun rumah ditengah krisis misalnya, atau akan hadirnya anggota baru dalam keluarga saya, insyaAllah.
Seperti sebutannya, usia “kepala tiga” mencerminkan cabang yang banyak. Karena dalam gramatika bahasa arab, bilangan tiga sudah dianggap sebagai Jamak/banyak. Jika digunakan ilmu cocoklogi, hehe, artinya di usia kepala tiga ini secara umum kita sudah punya banyak peran dalam kehidupan, didalam pekerjaan, didalam keluarga, juga didalam masyarakat, kita semua punya peran masing-masing, yang peran itu semakin bercabang menjadi ranting-ranting peran kecil yang harus diupayakan semuanya tetap kokoh.
Ada kutipan menarik dari Jiraiya dalam serial Naruto, “Kewajiban kita adalah menjadi contoh dan membantu generasi berikutnya, mempertaruhkan nyawa sambil tersenyum demi itu”, artinya peran dalam hidup kita tak harus 100% sempurna tanpa cacat, berusahalah semaksimal mungkin, sehingga kelak anak-anak kita akan mencontoh apa yang telah kita lakukan, karena masih menurut Jiraiya, “Seorang ninja tidak diukur dengan bagaimana mereka hidup, melainkan apa yang telah berhasil mereka lakukan sebelum kematian mereka.”. Bisa kita interpretasikan bahwa dalam hidup bukan tentang perannya apa, tapi tentang apa yang akan dan telah kita lakukan dalam menjalani peran itu. Sehingga, generasi kita bahkan orang lain akan melihat dan menilai warisan-warisan moril dari diri kita.
Puncak daripada memainkan peran dalam hidup ini bisa kita temukan dalam syair populer arab yang beberapa kali dikutip oleh Gusdur, yaitu “Waladatka ummuka yabna adama bakiya, wannasu haulaka yadhakuna sururo. Fajhad linafsika an takuna idza bakau, fi yaumi mautika dlohikan masruro.”, artinya Wahai anak adam, ibumu melahirkanmu dimana kamu dalam kondisi menangis, sedangkan orang-orang disekitarmu berbahagia menyambutmu. Maka berupayalah agar kelak ketika kamu meninggalkan dunia, dirimu tersenyum, sedangkan orang-orang disekitarmu menangisi kepergianmu, sebagai orang yang sangat bernilai dimata mereka.
Bagi saya, dan mungkin bagi kita semua, saya kira penting bagi kita selaku orang tua, mewariskan sesuatu kepada generasi kita selanjutnya. Warisan ini bukan hanya yang bernilai materil, tapi juga warisan yang bernilai moril, yakni sebuah keyakinan, sebuah tekad, sebuah uswah, sebuah nilai perjuangan, yang dapat dicontoh dan diteruskan oleh generasi mendatang, yang jika dalam Naruto disebut sebagai “Tekad Api”, atau dalam One Piece disebut “Will of D”. Yah, semoga saja menginjak usia 30 ini, tentang bagaimana saya berperan dalam hidup bisa lebih bermakna, dan setiap umur yang terus berkurang ini dihiasi dengan gerak langkah kebermanfaatan yang akan dinilai sebagai warisan perjuangan yang pantas dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Amin.
Perjuangan setelah berbulan-bulan berkutat dengan pembangunan rumah akhirnya semakin dekat menuju “check point”. Sore tadi, rumah saya dan istri telah “DIADZANI” oleh para Kyai dan tamu undangan.
Ya, Ritual keagamaan di Rajagaluh, daerah tempat saya tinggal memang kental dengan ritual Islam Aswaja. “Ngadzanan rumah baru” adalah salah satu dari sekian banyak ritual keagamaan yang sudah menjadi bagian dari potret sosial keislaman di Rajagaluh.
Tentunya, saya ucapkan terimakasih kepada para kyai, asatidz, kerabat, sahabat dan seluruh tamu undangan yang berkenan menghadiri dan mendoakan untuk keberkahan rumah kami. Semoga amal baik semuanya dibalas oleh Allah SWT berlipat-lipat, amin.
Meskipun rumah ini memang belum selesai 100%, karena memang masih kurang ‘sana sini’, setidaknya sudah bisa kami tinggali. Keluarga mertua dari Malang pun berkenan untuk datang jauh-jauh dan tidur di rumah baru kami. Padahal, saat itu posisi jendela ada yang belum terpasang akibat kemoloran “pemborong jendela” dari deadline yang telah disepakati.
Ditulisan saya sebelumnya terkait dengan MASWINDO, awalnya memang rumah ini akan saya pasrahkan kepada Kontraktor besar itu. Tujuannya agar saya tidak terlalu repot mengontrol pembangunan terus menerus, tidak perlu stand-by mengecek kinerja tukang setiap hari. Namun karena prasyaratnya tidak bisa kami penuhi, khususnya terkait biaya yang harus masuk full diawal, kami akhirnya legowo untuk menghandle sendiri pembangunan rumah kami, meski sebetulnya, pembangunan kami tetap dibangun oleh satu tim kontraktor tertentu, tapi dengan sistem pembayaran upah harian dan material diatur secara penuh oleh saya pribadi.
Dengan sistem seperti itu, tentulah proses pembangunan itu sangat menguras energi saya setiap hari, untungnya saya bukan PNS dan karyawan yang jam kerjanya terjadwal padat. Jadi, setiap hari saya selalu menyempatkan memantau pembangunan, mengecek material yang kurang stau habis,berkonsultasi dengan Pak Mandor, belanja dan mencari info-info tentang material yang bagus dan murah, serta tektek bengek lainnya. Sampe kulit saya belang-belang meski sudah menggunakan sunscreen.
Alhamdulillah, semua proses yang menguras tenaga, emosi dan tentu saja, semua duit yang kami punya ini “sementara” telah usai. Kenapa “sementara” atau “checkpoint” ? Karena masih ada proyek lanjutan dari sekedar rumah tinggal saja. Mohon doanya saja dari seluruh pembaca, semoga apa yang menjadi hajat kami diberi jalan oleh Allah untuk mencapainya. Amin ya robb. Akhiron. Mudah-mudahan rumah baru kami menjadi rumah dengan penuh keberkahan. Amin ya robbal alamin.
Hari ini adalah hari dimana seharusnya saya menghadiri pengajian alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning, Tasikmalaya atau yang dikenal dengan sebutan PESANHIKMAH zona Ciayumajakuning & Jateng. Dorongan kuat untuk hadir sebetulnya sangat tinggi, terlebih yang akan hadir adalah salah satu dewan kyai yang paling saya idolakan sejak masih di pondok dahulu, beliau adalah KH. Iip Miftahul Faoz, atau yang akrab disapa Kang Iip.
Namun, terkait dengan realitas kehidupan dan sekelumitnya, saya harus mengerem hasrat untuk menghadiri agenda tersebut. Ya Allah, ingin sekali rasanya hadir bertemu Guru yang selalu menggetarkan hati dengan motivasinya selepas shubuh, tapi tangan tak sampai, semoga dilain waktu silaturahmi bisa tetap bisa saya haturkan kepada beliau.
Sebagai obat kesedihan karena tidak bisa hadir di acara tersebut, mungkin akan sedikit akan saya luapkan melalui tulisan ini, satu dua hal dari sekian banyak pengalaman yang saya dapatkan saat belajar kepada beliau. Saya masih ingat betul cara bicaranya, cara beliau memegang kitabnya, memaknai dan menjelaskan dengan gamblang hadits demi hadits dalam kitab mukhtarul ahadits, sembari mengkorelasikannya dengan konteks global. Sekali-kali beliau lontarkan ide-ide bagaimana harusnya santri hidup dan berkontribusi di masa depan nanti.
Hal yang paling saya ingat betul adalah beliau beberapa kali pernah kurang lebihngendika begini, “Santri teh ulah caricing disisi wae, ulah nyararisi wae. Ayeuna mah kudu wani katarengah, asup ka perkotaan, asup ka pamarentahan, asup ka perusahaan. Da kaluar tidieu maraneh teh moal jadi kyai kabeh, aya nu bakal jadi PNS, supir, karyawan, menteri, presiden saha nu apal. Matak tingkatkan kapasitas diri ulah ngan saukur nalar jurumiyah imrithi alfiyah, nu kitu mah geus loba. Tapi santri nu nalar wawasan kontemporer, nalar hukum, nalar sains, nalar ekonomi, can aya, can loba. Matak sok sing rarajin diajarna, cita-cita sing luhur, udag sebisa mungkin, tantangan kahareup geus leuwih beurat.”.
Bagi saya, kata-kata itu terasa seperti suatu pelecut semangat untuk kembali berpikir. Apa benar begini, apa benar begitu, berkontemplasi dan berefleksi. Dan disitulah titik balik dimana saya sedikit memutarkan kemudi, “Oke, setelah ini, saya harus berkuliah pada bidang Sains, bidang yang bisa dibilang belum banyak digandrungi dan disukai oleh para santri dan orang-orang NU pada umumnya.”. Setidaknya itulah motivasi saya hingga bisa lulus S2 Kimia saat ini. Tentunya kedepan saya masih punya harapan untuk lanjut lagi S3 dan seterusnya. Mohon doanya.
Sebetulnya, saat ini santri dengan gelar pendidikan umum sudah mulai banyak bermunculan. Dari periode 2000 an sampai sekarang ini, jumlah santri yang menimba multidisplin keilmuan semakin banyak, sehingga harapan positif ke depan, bahwa diaspora santri diberbagai sektor kehidupan bisa benar-benar mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita, menebarkan benih-benih positif, membela agama dan mencintai negara.
Dalam pandangan saya, pemangku kepentingan lebih baiknya dipegang oleh seorang santri. Karena santri ini digembleng dan diajarkan moralitas setiap hari oleh guru-gurunya di pesantren. Boleh dibilang, praktik pendidikan di pesantren lah yang benar-benar mengimplementasikan transfer of knowledges and transfer of values. Sehingga mudah-mudahan, saat pengambilan kebijakan, ia tidak berpaling akibat tarikan duniawi, dan mengambil suatu putusan yang didasarkan pada kaidah yang mereka pelajari, yaitu “tasharruful imam ala roiyyah manutun bil maslahah.”. Namun syaratnya, santri yang ingin menggenggam amanah itu haruslah MASAGI, atau dalam bahasa kerennya, intelektual yang ulama, ulama yang intelek. Jangan sampai ia hafal dan faham kitab-kitab klasikal, namun gagap dalam memimpin.
Untuk membentuk SDM yang “MASAGI” itu, paling tidak para santri harus diberi Perspektif baru, seperti perspektif baru yang diungkapkan Kang Iip di kelas saya dan teman-teman dulu, yang membuka cakrawala berpikir saya, untuk mau mengambil pilihan-pilihan tidak populer dari para santri. Karena bagaimanapun, hal yang paling mempengaruhi seseorang untuk sukses, untuk kaya, untuk berhasil, untuk bermanfaat, adalah berangkat dari mindset, atau perspektif yang dia ambil dalam melihat kehidupan.
Terimakasih Kang Iip, terimakasih semua guruku, laula al murabbi, ma araftu robbi.
Menjadi pimpinan dalam suatu organisasi adalah hal yang lebih sering saya hindari. Meski sebetulnya ambisi itu terkadang ada, tapi konsekuensinya lah yang seringkali lebih saya pikirkan. Tanggungjawab moral dan menjadi pengambil keputusan final adalah hal yang cukup berat bagi saya, sehingga saya lebih nyaman menjadi orang nomor 2 atau nomor 3, atau bahkan anggota yang biasa saja.
Maka, jika dilihat dari track record berorganisasi sejak di sekolah, saya mengambil peran yang tidak terlalu menjadi pusat perhatian, atau paling tidak bukan yang paling disorot membawa organisasi tersebut. Satu-satunya jabatan ketua yang pernah saya emban adalah saat menjadi ketua himpunan mahasiswa prodi kimia saat S1 dulu. Itupun saya putuskan berdasarkan desakan keadaan yang mengharuskan saya mengambil keputusan itu. Setelah itu, hanya peran yang biasa-biasa saja.
Saya sadar betul, saya adalah orang yang cukup sulit bergaul dengan orang baru, atau dalam bahasa populer saat ini, saya adalah orang yang introvert. Lebih suka menghabiskan waktu sendiri, tidak terlalu menyukai keramaian, dan tidak hobi nongkrong, apalagi pembahasannya gak penting-penting amat. Meski begitu, seringkali sikap yang menurut saya cukup asosial itu seringkali saya lawan, agar saya punya teman, karena terkadang, tak punya teman sama sekali juga membosankan.
Sejak kembali dari studi S1 di Malang, dalam beberapa kesempatan saya mencoba untuk mencari ruang aktualisasi berorganisasi di kampung halaman. Karena saya berasal dari lingkungan dengan kultur NU, maka saat ada informasi tentang PKD GP Ansor, saya ikuti. Kemudian, PKPNU juga saya ikuti, nebeng dengan saudara. PKPNU ini mengantarkan saya mengenal aktivis-aktivis NU di kampung halaman saya, dan selepas Konferensi MWCNU, saya didapuk menjadi sekretaris MWCNU . Jika dianalogikan dengan game Mobile Legends, saya adalah pemain dengan rank MASTER yang diajak mabar dengan pemain rank MYTHIC. Tapi dalam istilah NU, sam’an wathoatan harus dikedepankan, apa boleh buat, saya menerima dan menjalaninya meski berat.
Kemudian karena saya ini tergolong usia milenial, tentu saya juga menjalin pertemanan dengan aktivis NU dari kalangan milenial juga, dimana jika dirunut secara keorganisasian di NU, mereka masih dalam rentang usia yang harusnya aktif di GP Ansor. Sehingga saya pun bisa dianggap ikut aktif di GP Ansor menjadi anggota biasa.
Hingga hari itu tiba, dimana tanpa saya duga, dengan suasana forum yang sangat menyebalkan itu, konferancab GP Ansor Kec. Rajagaluh menetapkan saya sebagai Ketua PAC GP Ansor Kec. Rajagaluh. Jabatan yang paling saya hindari itu pada akhirnya hinggap di pundak saya. Ini tak diduga, karena seharusnya saya aman dari pencalonan, apalagi dari keterpilihan. Karena saya sudah menjadi pengurus harian di MWCNU, pikir saya tak mungkin ada yang mencalonkan saya dalam kontestasi itu. Dengan demikian, peran sebagai pengurus harian di dua organisasi menabrak aturan rangkap jabatan. Hasil konsultasi menghasilkan mundurnya saya dari sekretaris MWCNU, konon, saya lebih dibutuhkan di Ansor. Habislah sudah.
Dengan berat hati, mau tidak mau saya terima keputusan forum itu. Ya, seperti yang sudah dijelaskan diawal tulisan, bagi saya menjadi ketua itu adalah amanah yang berat, apalagi memimpin organisasi kepemudaan Islam di level kecamatan, saya merasa tidak pantas. Saya seringkali terngiang-ngiang bahasa para senior saat masih aktif di PMII dulu, menjadi aktivis itu sejatinya harus sudah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga ia bisa totalitas berproses dalam organisasi tersebut. Dan masalahnya, saya bukan orang yang sudah selesai dengan diri saya sendiri, masih sangat jauh.
Itu masih hanya soal aspek kepatutan internal pribadi, belum dilihat dari aspek eksternal yang lebih kompleks, banyak PR yang harus diselesaikan. Pada akhirnya, saya meminta doa dari pembaca sekalian, semoga saya bisa menjadi pimpinan yang mampu mengemban amanah yang berat ini, mampu menyelesaikan tanggungjawab keorganisasian yang tidak mudah, melakukan apa yang bisa dilakukan, dan mengambil pengalaman maksimal dari peran menjadi supir organisasi yang baik ini, amin ya robbal alamin.
Tulisan kali ini tak lebih dari sekedar curhatan pribadi. Namanya manusia, pasti punya sisi emosional. Kadang emosi ini harus diluapkan. Namun peluapan emosi ini bermacam-macam cara, dan saya memilih menulis untuk meluapkan emosi saya.
Kejadian ini bermula sekitar 4 minggu yang lalu. Saya setiap hari jum’at mengemban tugas negara, tepatnya membantu orang tua jualan di pasar, menjadi kuli panggul kerudung-kerudung yang kami jual. Prosesnya diawali dengan pengepakan barang di rumah. Ini cukup berat. Saya harus karungi satu persatu dengan total 8 karung plus printilan kresek ukuran 50 yang cukup banyak pula. Satu mobil granmax terisi penuh. Tidak ada karyawan di rumah. Praktis hanya saya dan adik saya yang mengerjakan. Sebentar. Saya bukan sedang mengeluh akibat dipekerjakan orang tua. Saya dan adik tentu ikhlas melakukannya, karena mau bagaimanapun, ini adalah bentuk bakti kami kepada orang tua. Ini rutinitas yang sudah bertahun-tahun kami jalani.
Setelah sampai ke pasar. Barang dari mobil harus diangkat ke tempat kami jualan. Proses pengangkutan barang dari mobil ke los tempat kami jualan sebetulnya cukup dekat, hanya sekitar 20 meter, dan ada tukang becak yang menjadi kuli panggul membantu mengangkut barang dari mobil. Ini sama sekali bukan masalah, saya dan partner kerja hanya bertugas membongkar barang jualan itu karung demi karung.
Proses packaging saat pulang lah yang menjadi tantangan yang besar. Karena tempat jualan kami ini berbentuk los yang mengharuskan kami membawa pulang semua barang jualan kami. Dahulu kala, proses pengepakan barang saat pulang tidak terlalu berat, karena ada jalan pintas yang bisa digunakan untuk mengemas barang jualan ke dalam mobil. Namun sekitar tahun lalu, jalan pintas itu telah tertutup, yang membuat kami harus mengambil jalan memutar untuk mengangkut barang ke dalam mobil. Prosesnya pun cukup panjang. Kami harus mentransitkan barang tersebut sebanyak 2 kali, plus proses pengepakan kresek demi kresek, karung demi karung.
Apesnya, dari 5 karyawan yang ada, kini hanya tersisa 3 orang, 2 cewe, 1 cowo Dan si cowo ini terhitung karyawan baru dan seringkali gak masuk kerja. Tentulah saya dan Bapak yang harus menjalani pengepakan barang seabrek itu. Sangat melelahkan. Kami seringkali tepar seharian setelah menjalani sore yang berat itu. Tukang becak? Sore sudah pulang semua.
Akhirnya, bapak dan saya memutuskan untuk merenovasi los tempat kami jualan, dibuat tertutup dengan membuat rangka besi dan plat dengan pintu yang bisa tertutup, sehingga kami tak perlu membawa barang jualan ketika akan pulang di sore hari. Dan, kami akhirnya mendapatkan tukang las yang siap untuk mengerjakan proyek itu. Bos tukang las ini terlihat cukup ramah dan berdasarkan penuturannya tecitrakan sebagai “ahli ibadah”, rajin puasa dan sering mengikuti istighosah.
Setelah berdiskusi dan memproses perizinan ke pihak pengelola pasar. Bos tukang las itu menuturkan bahwa proyek akan selesai satu minggu. Saya cukup bernafas lega, meskipun biayanya cukup besar, paling tidak kami bisa nyaman berjualan tanpa dihantui beban berat pengepakan barang untuk dibawa pulang. Namun, dari sinilah ‘prank’ itu dimulai.
Keesokan harinya di hari sabtu, saya meninjau lokasi proyek, belum ada pengerjaan apapun. Saat dihubungi, katanya masih proses belanja. Alasan yang cukup logis, mengingat baru hari pertama. Di hari selasa, kami tinjau kembali ke lokasi, pengerjaannya ternyata baru sekitar 15%! Disinilah kami mulai panik. Apakah proyeknya bisa selesai saat hari jum’at ketika kami berjualan? Dan ternyata, BELUM! Akhirnya di jumat itu, kami menjalani aktivitas packing pulang yang melelahkan lagi. Yasudahlah, kadangkala di negeri Wakanda ini, telat sudah jadi budaya yang dijunjung tinggi, mungkin minggu depannya sudah bisa 100% selesai.
Sabtu lagi, kami tinjau lagi, tidak ada pekerja yang mengerjakan proyek kami. Kami coba telp lagi, alasannya, sabtu masih hari pasar, sulit untuk membawa material ke lokasi. Selasa kami tinjau lagi, proyek tenyata baru berjalan sekitar 50%. Tentu kami panik lagi, kemungkinan besar jum’at belum bisa selesai 100%. Dan benar saja, kami di prank lagi di minggu kedua. Jum’at lelah kami jalani kembali. Ngelus dada, emosi, tapi apa daya, mau marah-marah pun bagaimana, toh sistemnya borongan, bukan harian. Kadang saya berpikir, kalo saya yang borong, tentu saya akan kerjakan dengan cepat, agar uangnya cepat cair, proyek cepat selesai, dan bisa menuju proyek-proyek lainnya untuk mendapatkan uang lagi. Apa bos proyeknya sudah tidak “hubbudduya”? Subhanallah.
Sabtu selanjutnya, kami tinjau lagi. Nihil. Dan si bos tak bisa dihubungi. Selasa kami lihat sudah proses pemasangan keramik, rangka dan plat sudah terpasang. Tinggal gerbang, 85%. Dan, kami menerka-nerka, bisakah selesai di hari jumat? Masih BELUM! Dihari rabu, si bos membalas WA, katanya ia sedang sakit, begitupun karyawannya. Apes lagi kami. Di prank lagi di minggu ketiga. Emosi semakin memuncak, namun apa daya, alasannya SAKIT. Tentu tak bisa disalahkan, tapi tentu kami nggrundel didalam hati, 2 minggu yang lalu kenapa kerjanya super lelet. Asem tenan.
Sudah bisa anda tebak, besok akan menjadi hari yang melelahkan lainnya. 3 minggu kami di prank oleh tukang las itu. Saya pasrah, entah itu akan selesai minggu depan ataupun setahun lagi terserah lah. Toh, rutinitas ini sudah bertahun-tahun saya jalani. Saya yang salah karena berharap kepada selain Tuhan. Ya, menaruh harapan kepada makhluk adalah sebuah kesalahan. Ampuni saya ya Rob.
Namun jika dilihat dari aspek professionalitas kerja. Tentu tindakan tukang las ini sangat tidak professional. Kemoloran pengerjaan ini tentu mengikis kepercayaan kami pada pelayanannya. Singkatnya, saya tidak akan merekomendasikan jasanya kepada orang lain, ataupun untuk saya gunakan lagi sendiri. Dari citranya sebagai orang yang rigid dari sisi “hablumminallah”, harusnya ia juga penuhi dengan “hablumminannas” yang konon katanya harus lebih didahulukan pemenuhannya.
Professionalitas ini memang menjadi isu yang cukup memprihatinkan di negeri ini. Tukang las ini hanya bagian kecil dari banyaknya tindakan unprofessional di belahan Wakanda lainnya. Tentu kita masih belum lupa dengan kasus yang melanda salah satu institusi penegak hukum di Wakanda. Kasus penembakan, peredaran narkoba, dan kesalahan penanganan massa pertandingan sepakbola wakanda adalah contoh besar dari tindakan unprofessional yang terjadi. Semoga tukang las ini hanya oknum dari sekian banyak tukang las lain yang punya jiwa professional yang tinggi. Eh, kata “oknum” ini sudah terlalu sering dijadikan tameng ya? Engga kok engga, takut ah, takut diciduk. Segitu dulu curhatan “Prank” nya, makasih udah mau baca sampai akhir. Salam professional, hehe.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.