Digitalisasi Memang Mendesak, Tapi Jangan Cuma Gimmick Doang

Digitalisasi Memang Mendesak, Tapi Jangan Cuma Gimmick Doang

Menulis urusan digitalisasi ini udah dorongan sejak lama. Sejak saya urus-urus dokumen kelahiran anak pertama di dukcapil tahun 2019 yang lalu. Biasalah, kurang satu dua dokumen, saya harus memacu sepeda motor saya kembali ke rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal itu. Jaraknya sekitar 20 km an lah. Bukan cuma satu balik, tapi dua balik bosss. Maknyus kan?

Jadi ya, beberapa kali lah teman bahkan saudara saya curhat sulitnya urus-urus di dukcapil itu gimana. Sampe karena kurang satu dan dua dokumen saja, harus bela-belain pulang lagi ke rumah dan berangkat lagi. Iya kalo jarak dari rumah ke kantor itu deket, saya mending cuma 20 km. Ada lho, desa-desa lain yang jarak tempuh menuju kantor disdukcapil itu waktu tempuhnya 1-2 jam. Akhirnya mereka menyerah dengan memasrahkan urus-urus KTP dan sebagainya itu ke oknum pemerintahan, eh oknum apa udah umum ya?

Padahal, di media sosial disdukcapil sendiri, kelihatannya cukup banter menginformasikan program-program digitalisasi pelayanan data kependudukan, semua bisa diurus via online, begitu katanya. Melihat dua sisi ini, dari fakta lapangan dan informasi di medsos, agaknya klaim bahwa digitalisasi di lingkungan pemerintahan ini masih banyak yang hanya “gimmick” belaka, atau gimana maksud sebenarnya?

Eh, jangan bilang saya menggeneralisir ya. Apalagi pake nuduh saya kubu cebong atau kampret yang sudah usang itu. Toh, saya juga mengapresiasi kok langkah digitalisasi yang bukan cuma “gimmick”. Misal layanan di SAMSAT, dimana pembayaran pajak bisa dibayarkan via Tokopedia dan platform lainnya yang bekerja sama, lalu kita tinggal pengesahan aja, gak perlu ke kantor, cukup cari info jadwal SAMSAT KELILING terdekat, dan selesailah urus-urus pajak kendaraan kita.

Jadi oke gini lah, bagi instansi pemerintahan macam disdukcapil bolehlah meniru gaya SAMSAT yang digitalisasinya bukan hanya klaim belaka. Beneran bisa online lho mereka. Bukan cuma “gimmick” di medsos aja. Kebutuhan digitalisasi ini penting, biar gak ada lagi tuh, guyonan di masyarakat macam gini, “katanya KTP kita ini udah elektronik, alias sudah dipasangi chip yang maha canggih, tapi mau urus ini itu tetep harus fotokopi”. Yah, meskipun sebenernya, KTP yang harus di fotokopi itu sedikit banyaknya memberi nafas kehidupan bagi para tukang fotokopi yang menjamur dimana-mana.

Modal buat bikin platform digitalisasi instansi saya kira gak sulit dan mahal-mahal banget kok. Asal ada political will dari pimpinan instansi-instansi terkait. Tidak perlu menunggu pusat. Toh, setau saya SAMSAT juga melakukannya dari tingkat daerah, misal yang tercantum di Tokped ada Jabar, Jateng, Jatim, dll. Belum semua provinsi bisa. Artinya hal tersebut bisa dilakukan dengan inisiatif daerah maupun kabupaten/kota. Yah, pokoknya bisa lah, gimana caranya agar masyarakat ini nantinya gak alergi sama urus-urus dokumen kependudukan.

Maaf ya bapak-bapak yang terhormat. Ini semua cuma curhat sebagai respon atas curhatan-curhatan sodara dan temen saya. Makanya saya gak pake data, riset atau apalah yang njelimet-njelimet itu. Yang pasti, semoga kedepan lebih baik. Wallahualam.

Ikan Manfish dan Tetek Bengek Urusan Aquarium

Ikan Manfish dan Tetek Bengek Urusan Aquarium

Setelah sekian purnama, aquarium di rumah akhirnya dibersihkan juga. Beberapa minggu yang lalu saya, bapak dan adik saya membersihkan aquarium yang kurang lebih hampir tiga tahun terbengkalai. Kata mamah sih, dulunya seringkali ikan-ikan yang dibeli dan dipajang di aquarium itu wafat setelah beberapa hari dimasukkan. Selanjutnya, ikan yang dipelihara di aquarium itu hanya ikan mas biasa. Tak cukup indah dipandang, tapi daya survive-nya luar biasa, alias gak gampang ko’it. Semakin si ikan mas itu besar, semakin terasa aquarium itu tidak eye catching. Akhirnya, dipindahlah si ikan mas itu ke balong dan air di aquarium dikosongkan, begitu ceritanya.

Tiga tahun berselang, istri saya bersabda, “Coba dong ini aquarium dimanfaatkan. masa dipajang di ruang depan, tapi kosong.” Sabda istri memang sering mujarab, seketika mampu menstimulasi otak untuk memaksa anggota tubuh lainnya untuk bergerak. Bukan apa-apa, ini demi menghindari sabda selanjutnya. Ya, dimulailah proses pengurasan aquarium itu hingga kami isi dengan 5 galon air isi ulang, hahahaha.

Mamah benar, memelihara ikan di aquarium susah susah gampang. Terutama setelah saya menonton dan membaca seputar urusan perikanan ini. Saya harus memilih mana ikan yang daya survive nya tinggi, boleh dicampur-campur atau tidak, bahkan sampai urusan filter yang ternyata harus dibarengi dengan biofilter sebagai media alami pertumbuhan bakteri nitrifikasi, dan anjuran mengambil batu-batu kecil hiasan dasar aquarium yang dapat berpotensi memicu bom amoniak yang beracun bagi si ikan, banyak sekali ilmu baru di urusan perikanan hias ini.

Korban dari proses belajar saya ngurus ikan hias ini sudah cukup banyak juga. Ada 5 ikan patin kecil yang entah kenapa mati one by one. Ada 2 ikan red eye putih (sebenernya gak tau nama aslinya) yang dilempar ke balong karena terlihat terlalu agresif terhadap ikan lain. Ada 4 ikan mas yang berakhir dilempar ke balong juga karena ya sama sekali gak aesthetic bosss. Dan terakhir ada 10 ikan manfish kecil yang mati akibat stress di bully sama 3 manfish preman dewasa. Semoga mereka semua tenang di tempat barunya, amin.

Proses belajar tentang urusan ikan hias ini masih terus berjalan. Dengan terus membaca literatur-literatur di mbah gugel dan mengamati perilaku ikan-ikannya. Melalui itu lah saya bisa menyimpulkan penyebab wafatnya 10 ikan manfish mini adalah akibat bullying para seniornya yang menyebabkan stress, mogok makan dan akhirnya wassalam.

Dan apa jenis ikan di aquarium rumah saat ini? Yes! 3 manfish preman, 2 ikan tukang sapu-sapu. Dan siang tadi saya membeli 3 ikan manfish baru. Kali ini manfishnya bukan yang kecil-kecil. Kurang lebih hampir seukuran dengan 3 manfish preman yang pertama.

Dari ikan-ikan ini, saya belajar bahwa segala sesuatu juga ada ilmunya. Yang awalnya saya berfikir kalo ngurus ikan itu kayak simpel aja gitu. Tinggal cemplung di kolam atau aquarium, lalu biarkanlah mereka dan cukup beri mereka makan diwaktu-waktu tertentu. Ternyata tidak semudah itu, kita perlu atur aerator untuk meningkatkan kadar oksigen dalam air, kita perlu atur juga arus airnya, kita perlu sistem filtrasi air yang baik juga yang disesuaikan dengan kebutuhan, kita perlu tau suhu dan pH air untuk ikan-ikan tertentu dan terakhir, kita perlu paham karakter masing-masing ikan.

Seperti beberapa hari saya perhatikan bahwa bullying yang dilakukan manfish dewasa terhadap manfish kecil adalah akibat dari karakter manfish dewasa yang bersifat teritorial, artinya ikan manfish dewasa itu merasa punya wilayah kekuasaan sendiri yang tidak boleh direnangi oleh manfish lain. Jika manfishnya kecil, jelaslah di plonga plongo, langsung dikejar dan dibully hingga gak kerasan. Kalo santri masih enak, gak kerasan bisa pulang. Kalo di aquarium, “Bleh, aku kate moleh yo moleh nandi? Aku yo wes lali omahku iki sakjane ndek ndi, ta mati ae wes.“. Begitu kira-kira ujar manfish kecil. Kalo manfish besar, adegan yang harus disensorpun terjadi, mereka berciuman dengan nafsunya. Untuk memahami akan apa yang sedang terjadi (weeee…), langsung saya ketik di gugel, “Manfish ciuman”. Ternyata lagi gelut booossss. Mbuh wes karepmu. Gelut gelutooo. Karepmuuuu slurr.

Ini masih setting aquarium biasa, bukan aquascape yang tetek bengek hiasan aquariumnya lebih rumit karena melibatkan tumbuhan hidup juga. Untuk aquascape, aku mundur alon-alon wae. Hehe.

Titik Balik

Titik Balik

Hari-hari saat di pesantren adalah hari dimana fokus dan fikiran kita tidak banyak terbelah. Tujuan kita pada saat itu cuma tiga, mengaji, mengaji dan mengaji. Salah satu yang paling teringat adalah saat dikabalongkeun, yaitu dihukum dengan menyeburkan diri kedalam kolam yang (cukup) kotor selama beberapa waktu, biasanya saat saya atau santri yang lain kedapatan nundutan. Nundutan ini bahasa sunda, bahasa inggrisnya sleep while sit, hahaha. Nundutan itu, saat kita ma’nani atau ngalogatan kitab kuning di halaman 10 >tidak sadar > sadar > dan ternyata sudah sampai halaman 15. Bolonglah ma’nani itu sebanyak 4 halaman. Dihalaman 10 itu, berdiri sebuah pulau yang menjadi lokasi DAHDIR KINGDOM, hahaha.

Tradisi mengaji atau ma’nani kitab kuning itu bertahun-tahun hilang dari keseharian saya. Kalo tidak salah, kitab terakhir saya ma’nani itu adalah kitab Nashoihul Ibad saat berkuliah di Malang dulu, itupun semester satu dan dua. Setelah itu, dialektika saya dalam menyelami kutubut turots memang benar-benar luput. Selain memang saat kuliah dulu saya tidak lagi mondok, alias ngekos dan ngontrak. Memang juga saya ikut berorganisasi dan fokus di bidang jurusan kuliah saya, kimia. Dan itu berlanjut hingga saya selesai studi S2 kemarin-kemarin itu.

Jadi, bisa anda bayangkan, bab demi bab Jurumiyah, bait demi bait Imrithi dan Alfiyah harus saya recall. Dan proses recalling itu jelas sulit, karena sudah sekitar 5-6 tahunan. Astaghfirullah. Intinya saat ini, saya merasa ingin menyambungkan kembali tali yang (hampir) putus itu. Dan kemarin adalah waktu dimana saya berkesempatan menyambungkan kembali benang demi benang dari tali yang sudah hampir putus itu.

Ba’da jumat kemarin (19/11/2021), saya memulai kembali tradisi mengaji kitab kuning itu. Kali ini saya nimbrung di pengajian rutinan alumni dan muhibbin Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Bertempat di Pondok Pesantren Cabang Lirboyo V, Tegalaren, Ligung, Majalengka, saya, Bapa dan adik saya ikut mengaji bersama para alumni Lirboyo. Kitab yang dikaji adalah kitab Minhajul Abidin, karya dari Hujjatul Islam, Imam Ghazali yang menjelaskan beberapa aqobah (jalan terjal) yang harus ditempuh oleh seorang hamba untuk meningkatkan kualitas untuk beribadah kepada Allah, baik yang mahdloh maupun yang ghoir mahdloh.

Pada kesempatan itu, pengajian diisi oleh KH. Atho’illah Sholahuddin Anwar, dari Lirboyo Pusat. Kitab tasawwuf macam ini sangat tepat dikaji ditengah masyarakat, dan khususnya untuk saya sendiri. Dimana mudah-mudahan, melalui mutiara kebijaksanaan yang diuraikan dalam kitab ini dapat mentransformasi saya pribadi menjadi lebih bijaksana dan intinya lebih baik lagi dalam menjalani kehidupan yang singkat ini. Kesempatan ma’nani kitab seperti kemarin adalah titik balik saya. Dalam arti sempitnya, mengobati kerinduan saya akan tradisi nulis arab pegon kecil pake pulpen hitec-c yang harganya 20 ribu itu. Yang sekali jatuh saja, si santri itu akan pusing karena seringkali langsung macet, duh. Semoga saya istiqomah bisa mengikuti pengajian kitab ini setiap bulannya, Amiiin.

Eh, pulpen hitec-c harganya masing 20 ribu tah? Atau sudah naik? Beneran nanya.

Wallahu a’lam

Membela Obat Kimia Sintetis

Membela Obat Kimia Sintetis

Seringkali dalam beberapa obrolan suatu topik, yang terkait dengan kesehatan misalnya, ada orang yang latah menstigma begini, “Hati-hati sama obat kimia, berbahaya. Mending pake yang alami-alami, herbal, itu lebih sehat, lebih ampuh. Kalo obat-obatan kimia nanti suka ada efek sampingnya.”

Statemen macam itu jika didengar sekilas memang terdengar sangat super sekali, mereka yang bicara demikian bisa dianggap sebagai orang yang memegang warisan leluhur, menjunjung tinggi kearifan lokal dalam pengobatan tradisional, atau dalam bahasa kerennya disebut pejuang “back to nature“. Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin mengkoreksi istilah “obat kimia”, istilah yang lebih tepat adalah “obat sintetis”. Karena pada dasarnya, yang herbal juga kimia. Dan semua yang ada di dunia ini adalah bahan kimia. Oke?

Ya, obat-obatan sintetis macam parasetamol, ibuprofen, CTM, pseudoephedrine, phenylpropanol amine, waakhwatuha seringkali di cap sebagai obat-obatan yang berbahaya bagi tubuh. Yang lebih aman adalah mengkonsumsi bahan-bahan alami, misalkan kunyit yang dibubukkan, dedaunan yang direbus, akar yang ditumbuk, dan lain lain. Begitu.

Sebagai orang yang pernah belajar ilmu kimia, saya termasuk orang yang tidak setuju dan gusar dengan pandangan tersebut. Kegusaran ini berangkat dari beberapa alasan. Pertama, Jika dilihat dari asal muasalnya, banyak obat-obatan sintesis juga pada awalnya berasal dari bahan-bahan alami. Saya ambil contoh, pseudoephedrine. Senyawa obat yang biasa digunakan sebagai obat pereda flu atau dekongestan ini pada awalnya berasal dari tumbuhan Ephedra sinica yang banyak tumbuh di daratan China. Secara tradisional, tanaman ini memang sejak dahulu digunakan sebagai obat pelega hidung dan tenggorokan. Karena khasiat tradisionalnya, kemudian para peneliti berupaya mengisolasi senyawa yang berperan dalam bioaktivitas tersebut dengan pendekatan bioassay guided isolation hingga didapatkanlah si senyawa kelompok alkaloid ini.

Karena sediaan tumbuhan Ephedra sinica yang terbatas dan rumitnya proses mengisolasi senyawa dari bahan alam. Maka dikembangkanlah mekanisme tertentu untuk mensintesis pseudoephedrine ini di laboratorium. Saat ini, sediaan pseudoephedrine ini tidak diambil dari tumbuhannya, melainkan dari hasil sintesis laboratorium. Pseudoephedrine disintesis melalui mekanisme biotransformasi yang melibatkan dextrose dan bakteri tertentu untuk mendapatkan prekursornya, kemudian diubah menjadi pseudoephedrine melalui proses aminasi reduktif. China dan India adalah dua negara yang banyak memproduksi pseudoephedrine ini dan mengekspornya ke berbagai negara.

Selain pseudoephedrine apa lagi? Masih banyak banget bos, misal morphin dari Papaver somniferum sebagai obat analgesik, vinblastin dan vinchristin dari Catharantus roseus sebagai obat antitumor, Quinine dari Chincona sp sebagai obat antimalaria, dan lain lain. Beberapa obat ini pada awalnya ditemukan dari tumbuhan, kemudian dikembangkan produksinya dengan metode sintesis agar lebih mudah didapat dan menghasilkan rendemen lebih tinggi.

Kedua, satu kandidat obat tidak dinilai dari beberapa orang yang mencoba khasiatnya, melainkan melalui banyak tahapan dalam uji, dari pra klinis hingga klinis. Contohnya saya lanjutkan dengan pseudoephedrine lagi, senyawa tersebut dilakukan uji bioaktivitas hingga uji klinis untuk memastikan efektivitas dan selektivitas kerjanya sebagai kandidat obat. Setelah melalui uji-uji yang rumit itu, barulah si pseudoephedrine ini mendapatkan izin edar/pemasaran dengan tetap mendapatkan pengawasan dan pemantauan dari pihak-pihak tertentu. Jika dalam masa edarnya ada masalah, obat ini bisa saja mengalami nasib buruk dengan ditarik dari pasaran, bisa permanen, bisa juga sementara.

Salah satu contoh obat yang pernah ditarik sementara adalah Ranitidine HCl. Obat tersebut ditarik karena adanya temuan cemaran NDMA yang diduga berasal dari tahapan produksinya. NDMA ini salah satu zat pemicu kanker. Kemudian, obat ini boleh diedarkan kembali di masyarakat karena beberapa merk dari obat ini memiliki kadar NDMA dibawah ambang batas. Fakta ini mungkin adalah salah satu dalil yang dapat digunakan untuk menghakimi obat sintetis sebagai produk yang tidak aman. Namun juga sekaligus juga menjadi dalil yang menjelaskan bahwa pengawasan terhadap obat-obatan sintetis berjalan dengan baik. Dengan kata lain, pendistribusian obat-obat sintetis diatur sedemikian rupa agar penggunaannya tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.

Jadi intinya, menghakimi obat-obatan sintesis ini bagi saya bukan hal yang tepat dan adil. Karena pada dasarnya, meskipun saya atau anda dengan jargon “back to nature” secara bangga mempraktekkan konsumsi jamu-jamu tradisional yang diminum terus-menerus ya tidak tepat juga. Lho kok tidak tepat? Ini berhubungan dengan keterukuran atau ketepatan, baik secara dosis maupun efektivitasnya. Jamu dengan pengolahan tradisionalnya akan sulit diukur efektivitas dan selektivitasnya layaknya senyawa obat hasil isolasi maupun sintesis karena sediaannya biasanya masih berupa crude atau ekstrak kasar. Pada ekstrak kasar ini, disamping zat aktifnya, masih banyak zat-zat atau senyawa-senyawa lain yang memiliki dua kemungkinan, apakah senyawa lain itu berefek sinergis terhadap zat aktif, ataukah bersiifat antagonis/melemahkan kinerja zat aktifnya.

Ketiga, mengkonsumsi jamu tidak selalu lebih sehat dibanding obat-obatan sintetis. Mengkonsumsi jamu jika dilihat dari kajian metodologis sains memang model konsumsi yang bisa dibilang 50:50. Artinya dibalik khasiatnya yang secara turun temurun telah diturunkan dari leluhur, jika metodologi sains berperan, akan ada dua kemungkinan, bisa jadi dia benar-benar bekerja secara selektif dan efektif, bisa juga tidak. Hal ini tak lepas dari sediaannya yang berupa crude. Maka urusan perjamuan ini, BPOM punya pengkategorian tersendiri (agar tidak terlalu liar) dengan membaginya menjadi 3 kelompok, yaitu jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka dengan syarat-syarat tertentu. Untuk menjadi OHT, suatu produk jamu harus memenuhi kriteria keamanan yang ditetapkan, khasiatnya terbukti pada tahapan pra klinis, dan bahan baku nya sudah terstandarisasi dengan baik. Standarisasi bahan baku ini juga ada 3 aspek, yakni standarisasi bahan, standarisasi produk dan standarisasi proses (CPOTB). Sebagai contoh, jamunya orang pintar, si Tolak Angin kemarin-kemarin ini yang awalnya terkategorikan sebagai jamu, sekarang sudah masuk kategori obat herbal terstandar (OHT) karena sudah memenuhi kriteria keamanan yang ditetapkan.

Maksud dari penjelasan diatas, diluar sana mungkin banyak beredar jamu-jamu yang tidak memenuhi kriteria keamanan itu. Konsekuensinya, tidak ada kerangka metodologi sains yang menjamin keamanan konsumsi jamu tersebut yang menakar keterukuran dan ketepatan dosisnya. Karena dosis ini penting. Jika dosis misalnya tidak tepat, jika ternyata berlebih, akan berbahaya bagi tubuh, jika ternyata kurang, maka efek farmakologisnya tidak akan efektif. Halah, kan ada gusti Allah yang menjamin hidup kita, ra sah obat-obatan. Jika diskusinya dibawa kearah sana, kulo no komen mawon, hehe.

Keempat, jamu tidak bisa dijadikan agen utama dalam terapi pengobatan. Pada dasarnya, karena sediaan jamu rata-rata masih berupa crude atau simplisia, jadi kandungan senyawanya pun masih kompleks dan beragam, sehingga efek farmakologisnya sulit terukur dalam satu takaran tertentu, karena ada yang bersifat sinergis maupun antagonis. Hal ini menyebabkan inkonsistensi efek farmakologis dari jamu-jamuan. Sehingga biasanya, jamu akhirnya hanya digunakan sebagai penunjang dalam terapi pengobatan.

Disamping itu, diluar sana banyak penyakit-penyakit yang memang berat tidak akan bisa tertangani dengan meminum jamu saja. Artinya, penyakit itu memerlukan suatu terapi yang spesifik dari suatu senyawa obat, misal dalam kasus kanker, ya mau tidak mau ia harus melalui proses kemoterapi dengan diinjeksikan obat-obatan yang spesifik dan selektif. Dan sepengetahuan saya, saya belum menemukan mereka yang sembuh dari kanker hanya dengan meminum jamu saja. Jadi, semua ada maqom-nya masing-masing.

Inti dari tulisan ini sih begini, kita tidak usah terlalu parno sama yang disebut obat-obatan kimia, bahkan menyerang mereka dan membandingkannya dengan obat-obatan herbal. Bukan apa-apa, satu kandidat obat saja harus melalui tahap-tahap uji yang sangat sulit hingga sampai ke tahap uji klinis terhadap manusia. Dan ribuan kandidat obat diluar sana masih otw untuk bisa benar-benar disebut obat. Ada yang gagal, ada yang berhasil. Artinya untuk mendapatkan satu obat saja, perjalanannya sangatlah panjang.

Jadi, ini urusannya dengan penghargaan terhadap disiplin ilmu pengetahuan. Toh, yang terpenting adalah tidak berlebihan, atau dalam istilah adik saya yang dokter itu, sesuai dosis lah. Misal anda sakit kepala dan demam, anda minum parasetamol sesuai dosis saja. InsyaAllah aman. Atau jika anda yakin itu bisa sembuh dengan Tolak Angin, ya silahkan anda minum Tolak Angin secukupnya. Jika anda minum Tolak Anginnya langsung 5 bungkus ya entahlah apa yang terjadi, saya belum pernah coba, hehe.

Indonesia itu negara kaya dengan biodiversitas yang tinggi sekali, katanya sih no. 2 setelah Brazil. Dibalik kekayaan alam itu, nenek moyang kita meninggalkan kearifan lokal dalam dunia pengobatan klasik, misalnya terkait jamu-jamu ini. Di kampus saya dan banyak universitas lainnya, khususnya prodi yang terkait dengan kajian potensi bahan alam, beberapa memiliki paradigma penelitian yang berangkat dari kearifan lokal itu. Misal suatu tumbuhan secara lokal punya potensi ini itu, peneliti coba membuktikannya dengan bekal metodologis yang ia punya, sehingga senyawa aktif yang terkandung dalam tumbuhan lokal itu dapat diketahui. Biasanya, jika aktivitas farmakologis senyawa dari tumbuhan lokal itu sangat menjanjikan, ia akan diupayakan untuk dicarikan metode sintesisnya hingga didapatkan senyawa tunggal yang diharapkan. Atau minimal, misal dalam tumbuhan lokal itu ternyata ditemukan macam-macam senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan yang baik, maka tumbuhan itu dapat dimanfaatkan untuk dibuat menjadi jamu untuk kemudian kita konsumsi sebagai sumber antioksidan alami. Kira-kira begitu.

Maka, mari kita akhiri saja perdebatan antara obat-obatan sintetis dengan jamu ini. Karena pada dasarnya, mereka ini punya keunggulan dan kekurangan masing-masing. Obat-obatan dengan selektivitasnya, dan herbal dengan kearifannya. Wallahu a’lam.

Wisuda, Emosi dan Perjuangan

Wisuda, Emosi dan Perjuangan

Emosional. Kata itu yang mendeskripsikan wisuda saya kemarin. Memang jika dilihat dari berbagai sisi, studi S2 ini berbeda 360° dengan saat saya menyelesaikan studi S1 dulu. Jika dulu, urusan menyelesaikan S1 ini terbilang saya capai dengan target-target yang santai. Sejak saya masuk Jurusan Kimia di UIN Malang, saya memang realistis saja. Berangkat dari Pesantren yang notabene salaf, dimana urusan sekolah bukan prioritas utama, saya cukup keteteran untuk mengimbangi ritme pembelajaran di Jurusan Kimia. Jelas saja, yang awalnya dipesantren dulu sibuk menghafal jurumiyah hingga alfiyyah dan mengkaji kitab-kitab kuning, saya tiba-tiba harus banting setir menjadi arsitek molekul. Maka memang sejak awal, target saya gak muluk-muluk, tidak akan lulus tepat waktu, melainkan akan lulus di waktu yang tepat, hehe.

Saya menempuh studi S1 selama 10 semester, ngaret setahun dari target umum mahasiswa lain. Selain memang realistis akibat latar belakang saya diatas, saya juga bersyukur bisa memaksimalkan waktunya dengan berkecimpung di organisasi kemahasiswaan, baik di OMIK maupun di OMEK, sehingga soft-skill saya macam public speaking, menulis perjuangan nilai, manajerial dan lain-lain menjadi terasah. Dengan berbagai keriweuhan yang ada saat S1 dulu, jika meminjam istilah Tan Malaka, saya terbentur, terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Terimakasih saya ucapkan untuk semua mentor dan rekan organisasi saya. Jadi bagi saya, lulus 10 semester bukan aib, tapi ‘kebanggaan’, hahaha. Saya jadi teringat saat saya masuk perkuliahan pertama kali, saat itu dosen menanyakan satu per satu mengenai alasan masuk Kimia UIN Malang, banyak dari teman-teman saya menjawab ‘kepleset’, sebenernya ingin masuk UB/UM/UNAIR/ITS/DLL, tapi lotrean SNMPTN menunjuknya ke UIN Malang itu, apa boleh buat. Jawaban saya berbeda dari mereka, “Bisa kuliah saja saya bersyukur terlebih di Jurusan Kimia yang di mata teman-teman saya saat MA di pesantren dulu adalah mapel yang menakutkan.”. Begitu.

Saat wisuda S1 dulu, saya merasa tidak perlu ada euforia yang menggebu-gebu. Saya pikir, ya namanya mahasiswa, selama ia tetap ada keinginan dan usaha untuk lulus, kelulusan adalah keniscayaan. Ia akan dilalui. Jadi ya biasa saja. Wisuda hanyalah perayaan atas keniscayaan itu. Begitu pikir saya. Dan saya melakukan apa yang perlu saya lakukan untuk lulus dengan lurus-lurus saja. Seminar Proposal, Ujian Komprehensif, Sidang Skripsi hingga Yudisium saya lalui tanpa emosi yang gimana-gimana gitu. Datar saja.

Tapi saat S2, ternyata pengalamannya berbeda. Saya melanjutkan studi magister kimia di UNPAD Jatinangor. Saat memulai studi, saya memang sudah menikah, bahkan saat wisuda kemarin, saya sudah punya dua bocil. Dengan kondisi yang sudah berkeluarga dan tinggal bersama orang tua, jelas cara menjalaninya sangat berbeda dengan saat S1. Setiap minggunya saya pulang pergi menempuh perjalanan 3-4 jam dari Rajagaluh ke Jatinangor dengan ‘si putih’ Vario yang setia menemani. Berangkat senin pagi, pulang jumat sore. Hal itu terjadi selama satu setengah tahun. Jelaslah kerinduan terhadap istri dan anak adalah magnet yang kuat yang menarik saya untuk tidak menghabiskan akhir pekan di Jatinangor. Apalagi jika istri mulai melantunkan rayuan-rayuan maut, meski raga masih di Jatinangor, jiwa saya sudah otw duluan, haha.

Selain itu, memang saya di rumah merintis usaha bersama istri dengan berjualan online. Yah, alhamdulillah lancar dan cukup untuk menghidupi kami dan keluarga. Karena jualan online ini modalnya otak atik marketplace, bidang ini setidaknya kapasitas dan andil saya. Mempelajari sistem, daftar promo, dekorasi toko hingga desain grafis untuk toko kurang lebih adalah jobdesc saya. Disamping itu juga, sesekali membantu meringankan pekerjaan orang tua. Jadi setiap weekend, saya istirahat dan juga, bekerja. Terlebih, dari semester 3 hingga lulus di semester 6, saya sudah tidak mendapatkan ‘beasiswa orang tua’ lagi alias biaya sendiri.

Corona pun tiba. Semuanya hampir lumpuh dan jatuh. Terlebih si corona ini juga ‘bertamu’ ke keluarga kami pada november 2020 lalu. Studi mandek, bisnis merosot, untungnya saat itu perkuliahan saya sudah selesai dan tinggal tesis saja. Tapi gak untung juga sih, karena mahasiswa kimia tugas akhirnya ya harus ngelab kan, dan laboratorium ditutup saat pandemi COVID-19 melanda. Kadang-kadang dibuka dengan protokol ketat, yang jelas menurunkan efektivitas dan produktivitas kerja lab. Efeknya, studi saya molor sampe 2 semester. Dan, SPP/UKT harus tetap dibayarkan full dengan waktu studi yang angin-anginan akibat si kopid nain tin. Keringanan? Tak seperti mahasiswa S1 yang banjir dukungan dalam keringanan pembayaran, mahasiswa pascasarjana ini bagai dianak tirikan. Bayarnya tetep full, meskipun ada toleransi dalam mekanisme pembayaran yang dibagi kedalam 2 tahap, itupun jika melakukan pengajuan.

Selesailah urusan lab, mulailah melanjutkan BAB IV dan penyusunan jurnal untuk publikasi yang harus internasional. Saya kerjakan semuanya saat mudik ke kampung halaman istri di Malang. Sebetulnya ya bukan mudik sih. Soalnya saya berangkat ke Malang dua bulan setelah hari raya idul fitri, menunggu dulu kira-kira situasi pandemi sudah cukup tertangani. Malu juga sih sama mertua, karena setiap malam mesti melekan untuk berjibaku dengan ‘sandi rumput’-nya NMR wakhwatuha. Syahdan, selesailah penyusunan tesis dan publikasi ini. Saya mendaftar untuk sidang tesis dan terselenggara di tanggal 21 Juli 2021 secara daring, dan alhamdulillah di tanggal 4 November 2021 kemarin bisa mengikuti prosesi ‘WISUDA DRAMATIS’ yang juga daring. Dramatisnya, dilain waktu mungkin akan saya dongengkan.

Berbeda juga dengan saat lulus S1 dulu, saya kurang lebih bersikap bodo amat terkait foto-foto. Mau foto-foto wisuda atau engga pun gak masalah. Cuek cuek saja. Foto-foto itu cenderung tidak penting. Yang penting itu perjuangan setelahnya, begitulah idealisnya saya pada saat itu, hahaha. Tapi sekarang ini, tensi untuk pengen foto-foto ini cukup tinggi. Mungkin efek dari nilai perjuangan untuk lulus yang lebih keras kali ya. Jadi, pagi nya prosesi wisuda, sorenya langsung meluncur ke studio foto untuk melangsungkan cekrek-cekrek bersama keluarga. Meski sebenarnya, kegupuhan foto-foto itu lebih kepada sulitnya nyari waktu di hari-hari setelahnya, kebetulan adik saya lagi persiapan pembekalan internship dokter, sedangkan toga harus segera di kembalikan ke pihak UNPAD. Oh iya, bagi saya toga UNPAD ini keren. Ada kombinasi batik dan warna yang ciamik. Katanya sih sekilas mirip jubah Sekolah Sihir Hogwarts di film Harry Potter. Jika toga sarjana berwarna merah yang mirip merahnya Gryffindor, yang magister ini mirip hijaunya Slytherin. Dan ada juga yang berwarna biru layaknya Ravenclaw.

Mungkin dari pembaca sekalian ada yang berujar, “Ah, perasaan biasa saja, gak ada perjuangannya, sok iyes aja nih,”, dll. Mungkin ini memang berangkat dari aspek yang subjektif, bahwa pergulatan yang terjadi saat studi S2, dimana harus saya bagi waktunya untuk anak istri, juga membantu orang tua atau dalam bahasa lainnya, birrul walidain, kemudian harus menjalankan bisnis untuk minimal, bisa menghidupi keluarga dan membayar uang kuliah, yang waktunya tidak bisa digunakan secara maksimal akibat kopid nain tin itu. Semua itu bagi saya sangat terasa emosional. Kelulusan itu terasa melegakan, atau dalam peribahasa sunda disebut ‘asa bucat bisul’.

Saya sadar bahwa kelulusan ini bukanlah akhir dari perjuangan hidup. Ini justru baru awal. Sama seperti S1 dulu. Lulus menjadi sarjana adalah titik awal dimana hidup yang sebenarnya dimulai. Bahkan saya dan teman-teman sering beranekdot terhadap mereka yang wisuda itu. “Wah, barisan pengangguran baru telah diluncurkan, wkwkwk.”. Tapi katanya, mereka yang melanjutkan ke jenjang magister adalah pengangguran yang terhormat, hahahaha. Dan, apakah saya akan melanjutkan ke jenjang S3 untuk melanjutkan status sebagai pengangguran terhormat? Ya, saya punya keinginan itu. Tapi belum untuk saat ini. Saya ingin mencari pengalaman dulu. Semisal berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di kampus. Semoga saja ada peluang itu.

Akhiron, apapun yang terjadi dalam hidup saya kedepan. Yang penting adalah berupaya untuk bermanfaat untuk sesama. Saya teringat dawuh dari Mbah Sahal Mahfudz ini, “Menjadi baik itu mudah, dengan diam, maka yang terlihat adalah kebaikan. Yang sulit itu menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan.”. Terimakasih saya ucapkan kepada keluarga saya, orang tua, istri, kedua anak saya, karyawan-karyawan saya yang baik hati, dan semua yang membantu dalam proses studi saya, baik secara moril dan materil. Jazaakumullah ahsanal jaza. Terimakasih juga kepada ibu Dr. Tri Mayanti, M.Si dan ibu Prof. Dr. Tati Herlina, M.Si, duet pembimbing saya yang sangat baik dan sabar dalam membimbing saya. Kepada guru-guru saya, kyai-kyai saya, dosen-dosen saya baik saat S1 maupun S2. Semoga sehat selalu, bahagia dan panjang umur. Amiiin.

Wallahu a’lam.