Mengemban Amanah yang Berat

Mengemban Amanah yang Berat

Menjadi pimpinan dalam suatu organisasi adalah hal yang lebih sering saya hindari. Meski sebetulnya ambisi itu terkadang ada, tapi konsekuensinya lah yang seringkali lebih saya pikirkan. Tanggungjawab moral dan menjadi pengambil keputusan final adalah hal yang cukup berat bagi saya, sehingga saya lebih nyaman menjadi orang nomor 2 atau nomor 3, atau bahkan anggota yang biasa saja.

Maka, jika dilihat dari track record berorganisasi sejak di sekolah, saya mengambil peran yang tidak terlalu menjadi pusat perhatian, atau paling tidak bukan yang paling disorot membawa organisasi tersebut. Satu-satunya jabatan ketua yang pernah saya emban adalah saat menjadi ketua himpunan mahasiswa prodi kimia saat S1 dulu. Itupun saya putuskan berdasarkan desakan keadaan yang mengharuskan saya mengambil keputusan itu. Setelah itu, hanya peran yang biasa-biasa saja.

Saya sadar betul, saya adalah orang yang cukup sulit bergaul dengan orang baru, atau dalam bahasa populer saat ini, saya adalah orang yang introvert. Lebih suka menghabiskan waktu sendiri, tidak terlalu menyukai keramaian, dan tidak hobi nongkrong, apalagi pembahasannya gak penting-penting amat. Meski begitu, seringkali sikap yang menurut saya cukup asosial itu seringkali saya lawan, agar saya punya teman, karena terkadang, tak punya teman sama sekali juga membosankan.

Sejak kembali dari studi S1 di Malang, dalam beberapa kesempatan saya mencoba untuk mencari ruang aktualisasi berorganisasi di kampung halaman. Karena saya berasal dari lingkungan dengan kultur NU, maka saat ada informasi tentang PKD GP Ansor, saya ikuti. Kemudian, PKPNU juga saya ikuti, nebeng dengan saudara. PKPNU ini mengantarkan saya mengenal aktivis-aktivis NU di kampung halaman saya, dan selepas Konferensi MWCNU, saya didapuk menjadi sekretaris MWCNU . Jika dianalogikan dengan game Mobile Legends, saya adalah pemain dengan rank MASTER yang diajak mabar dengan pemain rank MYTHIC. Tapi dalam istilah NU, sam’an wathoatan harus dikedepankan, apa boleh buat, saya menerima dan menjalaninya meski berat.

Kemudian karena saya ini tergolong usia milenial, tentu saya juga menjalin pertemanan dengan aktivis NU dari kalangan milenial juga, dimana jika dirunut secara keorganisasian di NU, mereka masih dalam rentang usia yang harusnya aktif di GP Ansor. Sehingga saya pun bisa dianggap ikut aktif di GP Ansor menjadi anggota biasa.

Hingga hari itu tiba, dimana tanpa saya duga, dengan suasana forum yang sangat menyebalkan itu, konferancab GP Ansor Kec. Rajagaluh menetapkan saya sebagai Ketua PAC GP Ansor Kec. Rajagaluh. Jabatan yang paling saya hindari itu pada akhirnya hinggap di pundak saya. Ini tak diduga, karena seharusnya saya aman dari pencalonan, apalagi dari keterpilihan. Karena saya sudah menjadi pengurus harian di MWCNU, pikir saya tak mungkin ada yang mencalonkan saya dalam kontestasi itu. Dengan demikian, peran sebagai pengurus harian di dua organisasi menabrak aturan rangkap jabatan. Hasil konsultasi menghasilkan mundurnya saya dari sekretaris MWCNU, konon, saya lebih dibutuhkan di Ansor. Habislah sudah.

Dengan berat hati, mau tidak mau saya terima keputusan forum itu. Ya, seperti yang sudah dijelaskan diawal tulisan, bagi saya menjadi ketua itu adalah amanah yang berat, apalagi memimpin organisasi kepemudaan Islam di level kecamatan, saya merasa tidak pantas. Saya seringkali terngiang-ngiang bahasa para senior saat masih aktif di PMII dulu, menjadi aktivis itu sejatinya harus sudah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga ia bisa totalitas berproses dalam organisasi tersebut. Dan masalahnya, saya bukan orang yang sudah selesai dengan diri saya sendiri, masih sangat jauh.

Itu masih hanya soal aspek kepatutan internal pribadi, belum dilihat dari aspek eksternal yang lebih kompleks, banyak PR yang harus diselesaikan. Pada akhirnya, saya meminta doa dari pembaca sekalian, semoga saya bisa menjadi pimpinan yang mampu mengemban amanah yang berat ini, mampu menyelesaikan tanggungjawab keorganisasian yang tidak mudah, melakukan apa yang bisa dilakukan, dan mengambil pengalaman maksimal dari peran menjadi supir organisasi yang baik ini, amin ya robbal alamin.

Wallahu a’lam

Bikin Emosi, di-Prank Tukang Las Berminggu-minggu

Bikin Emosi, di-Prank Tukang Las Berminggu-minggu

Tulisan kali ini tak lebih dari sekedar curhatan pribadi. Namanya manusia, pasti punya sisi emosional. Kadang emosi ini harus diluapkan. Namun peluapan emosi ini bermacam-macam cara, dan saya memilih menulis untuk meluapkan emosi saya.

Kejadian ini bermula sekitar 4 minggu yang lalu. Saya setiap hari jum’at mengemban tugas negara, tepatnya membantu orang tua jualan di pasar, menjadi kuli panggul kerudung-kerudung yang kami jual. Prosesnya diawali dengan pengepakan barang di rumah. Ini cukup berat. Saya harus karungi satu persatu dengan total 8 karung plus printilan kresek ukuran 50 yang cukup banyak pula. Satu mobil granmax terisi penuh. Tidak ada karyawan di rumah. Praktis hanya saya dan adik saya yang mengerjakan. Sebentar. Saya bukan sedang mengeluh akibat dipekerjakan orang tua. Saya dan adik tentu ikhlas melakukannya, karena mau bagaimanapun, ini adalah bentuk bakti kami kepada orang tua. Ini rutinitas yang sudah bertahun-tahun kami jalani.

Setelah sampai ke pasar. Barang dari mobil harus diangkat ke tempat kami jualan. Proses pengangkutan barang dari mobil ke los tempat kami jualan sebetulnya cukup dekat, hanya sekitar 20 meter, dan ada tukang becak yang menjadi kuli panggul membantu mengangkut barang dari mobil. Ini sama sekali bukan masalah, saya dan partner kerja hanya bertugas membongkar barang jualan itu karung demi karung.

Proses packaging saat pulang lah yang menjadi tantangan yang besar. Karena tempat jualan kami ini berbentuk los yang mengharuskan kami membawa pulang semua barang jualan kami. Dahulu kala, proses pengepakan barang saat pulang tidak terlalu berat, karena ada jalan pintas yang bisa digunakan untuk mengemas barang jualan ke dalam mobil. Namun sekitar tahun lalu, jalan pintas itu telah tertutup, yang membuat kami harus mengambil jalan memutar untuk mengangkut barang ke dalam mobil. Prosesnya pun cukup panjang. Kami harus mentransitkan barang tersebut sebanyak 2 kali, plus proses pengepakan kresek demi kresek, karung demi karung.

Apesnya, dari 5 karyawan yang ada, kini hanya tersisa 3 orang, 2 cewe, 1 cowo Dan si cowo ini terhitung karyawan baru dan seringkali gak masuk kerja. Tentulah saya dan Bapak yang harus menjalani pengepakan barang seabrek itu. Sangat melelahkan. Kami seringkali tepar seharian setelah menjalani sore yang berat itu. Tukang becak? Sore sudah pulang semua.

Akhirnya, bapak dan saya memutuskan untuk merenovasi los tempat kami jualan, dibuat tertutup dengan membuat rangka besi dan plat dengan pintu yang bisa tertutup, sehingga kami tak perlu membawa barang jualan ketika akan pulang di sore hari. Dan, kami akhirnya mendapatkan tukang las yang siap untuk mengerjakan proyek itu. Bos tukang las ini terlihat cukup ramah dan berdasarkan penuturannya tecitrakan sebagai “ahli ibadah”, rajin puasa dan sering mengikuti istighosah.

Setelah berdiskusi dan memproses perizinan ke pihak pengelola pasar. Bos tukang las itu menuturkan bahwa proyek akan selesai satu minggu. Saya cukup bernafas lega, meskipun biayanya cukup besar, paling tidak kami bisa nyaman berjualan tanpa dihantui beban berat pengepakan barang untuk dibawa pulang. Namun, dari sinilah ‘prank’ itu dimulai.

Keesokan harinya di hari sabtu, saya meninjau lokasi proyek, belum ada pengerjaan apapun. Saat dihubungi, katanya masih proses belanja. Alasan yang cukup logis, mengingat baru hari pertama. Di hari selasa, kami tinjau kembali ke lokasi, pengerjaannya ternyata baru sekitar 15%! Disinilah kami mulai panik. Apakah proyeknya bisa selesai saat hari jum’at ketika kami berjualan? Dan ternyata, BELUM! Akhirnya di jumat itu, kami menjalani aktivitas packing pulang yang melelahkan lagi. Yasudahlah, kadangkala di negeri Wakanda ini, telat sudah jadi budaya yang dijunjung tinggi, mungkin minggu depannya sudah bisa 100% selesai.

Sabtu lagi, kami tinjau lagi, tidak ada pekerja yang mengerjakan proyek kami. Kami coba telp lagi, alasannya, sabtu masih hari pasar, sulit untuk membawa material ke lokasi. Selasa kami tinjau lagi, proyek tenyata baru berjalan sekitar 50%. Tentu kami panik lagi, kemungkinan besar jum’at belum bisa selesai 100%. Dan benar saja, kami di prank lagi di minggu kedua. Jum’at lelah kami jalani kembali. Ngelus dada, emosi, tapi apa daya, mau marah-marah pun bagaimana, toh sistemnya borongan, bukan harian. Kadang saya berpikir, kalo saya yang borong, tentu saya akan kerjakan dengan cepat, agar uangnya cepat cair, proyek cepat selesai, dan bisa menuju proyek-proyek lainnya untuk mendapatkan uang lagi. Apa bos proyeknya sudah tidak “hubbudduya”? Subhanallah.

Sabtu selanjutnya, kami tinjau lagi. Nihil. Dan si bos tak bisa dihubungi. Selasa kami lihat sudah proses pemasangan keramik, rangka dan plat sudah terpasang. Tinggal gerbang, 85%. Dan, kami menerka-nerka, bisakah selesai di hari jumat? Masih BELUM! Dihari rabu, si bos membalas WA, katanya ia sedang sakit, begitupun karyawannya. Apes lagi kami. Di prank lagi di minggu ketiga. Emosi semakin memuncak, namun apa daya, alasannya SAKIT. Tentu tak bisa disalahkan, tapi tentu kami nggrundel didalam hati, 2 minggu yang lalu kenapa kerjanya super lelet. Asem tenan.

Sudah bisa anda tebak, besok akan menjadi hari yang melelahkan lainnya. 3 minggu kami di prank oleh tukang las itu. Saya pasrah, entah itu akan selesai minggu depan ataupun setahun lagi terserah lah. Toh, rutinitas ini sudah bertahun-tahun saya jalani. Saya yang salah karena berharap kepada selain Tuhan. Ya, menaruh harapan kepada makhluk adalah sebuah kesalahan. Ampuni saya ya Rob.

Namun jika dilihat dari aspek professionalitas kerja. Tentu tindakan tukang las ini sangat tidak professional. Kemoloran pengerjaan ini tentu mengikis kepercayaan kami pada pelayanannya. Singkatnya, saya tidak akan merekomendasikan jasanya kepada orang lain, ataupun untuk saya gunakan lagi sendiri. Dari citranya sebagai orang yang rigid dari sisi “hablumminallah”, harusnya ia juga penuhi dengan “hablumminannas” yang konon katanya harus lebih didahulukan pemenuhannya.

Professionalitas ini memang menjadi isu yang cukup memprihatinkan di negeri ini. Tukang las ini hanya bagian kecil dari banyaknya tindakan unprofessional di belahan Wakanda lainnya. Tentu kita masih belum lupa dengan kasus yang melanda salah satu institusi penegak hukum di Wakanda. Kasus penembakan, peredaran narkoba, dan kesalahan penanganan massa pertandingan sepakbola wakanda adalah contoh besar dari tindakan unprofessional yang terjadi. Semoga tukang las ini hanya oknum dari sekian banyak tukang las lain yang punya jiwa professional yang tinggi. Eh, kata “oknum” ini sudah terlalu sering dijadikan tameng ya? Engga kok engga, takut ah, takut diciduk. Segitu dulu curhatan “Prank” nya, makasih udah mau baca sampai akhir. Salam professional, hehe.

Menambah Kesibukan dengan Mengajar

Menambah Kesibukan dengan Mengajar

“Nak, kalau kamu jadi guru, dosen, atau kyai harus tetep usaha. Harus punya usaha sampingan, biar hati kamu gak selalu mengharap pemberian ataupun bayaran dari orang lain. Karena usaha dengan keringatmu sendiri itu barokah.”, Almaghfurlah KH. Maimun Zubair.

Tipikal manusia didunia ini bermacam-macam, ada yang dalam hidupnya ia nyaman ketika sibuk bekerja, ada juga yang nyaman ketika sibuk menganggur, mencintai kegabutan dan mager. Tapi kedua tipikal manusia ini bersepakat, bahwa tjuan adalah koentji, hahaha. Ya, karena selepas quarter life, kebutuhan akan cuan itu keniscayaan. Memang cuan bukan segalanya, tapi segalanya butuh cuan, begitu kira-kira ungkapan masyhur di negeri Wakanda.

Kalo saya dimasukkan kedalam 2 kategori itu, saya ambil tengah-tengahnya. Terlepas dari aspek tuntutan mencari nafkah, saya benci ketika terlalu sibuk, saya juga jengah ketika gabut tanpa pekerjaan, hahaha. Jadi memang yang tengah-tengah ini justru menjadi assawadul a’dzom, kelompok mayoritas di wakanda ini, termasuk saya.

Kesibukan saya berjualan daring, membantu orang tua jualan luring itu sudah cukup padat. Ditambah sekarang menjadi mandornya mandor di proyek pembangunan rumah sendiri, ya lumayan lah. Sejak bangun pagi hingga terlelap lagi, kesibukan selalu ada, tentu termasuk dengan waktu yang terdistraksi akibat scrolling medsos dan nonton film di layanan streaming, itu juga saya masukkan hitungan.

Sejak dahulu, berjualan ini “bukan passion saya”, tapi karena tuntutan ekonomi, ya tentu saya jalani dengan penuh khidmat, karena seperti ungkapan diatas, tjuan adalah koentji. Namun, tentu passion saya harus tetap dipenuhi dan dikejar demi kepuasan. Karena ada bagian dari diri saya yang menginginkannya. Ya, saya sejak dahulu sedikit banyaknya ingin terlibat dalam dunia pendidikan.

Saya kadang-kadang melirik info cpns, pppk dosen, lowongan dosen tetap PTN , dll, tapi memang seperti kata Fiersa Besari dalam satu kesempatan, “Kita tidak perlu melihat superhero jauh-jauh ke luar negeri, karena superhero itu bisa dilihat dari seorang laki-laki yang rela mimpi-mimpinya diinjak didepan mata demi kepentingan keluarga.”. Idealisme saya tentang menjadi dosen di salah satu PTN bergengsi itu saya kubur dulu di halaman belakang rumah. Saya ambil opsi-opsi yang lebih realistis dengan jalan kehidupan saat ini sembari sedikit berharap ada saatnya nanti saya bisa gali kembali.

Beberapa bulan yang lalu, bagian dari diri saya ini akhirnya bisa menancapkan diri di dunia pendidikan, dengan menjadi guru di sekolah milik pesantren. Sekolah ini adalah satuan pendidikan baru dengan nama Pendidikan Diniyah Formal (disingkat PDF) yang berada dibawah naungan Kemenag. Porsi pelajarannya 75% kitab kuning dan 25% umum. Tentu saya tidak mengambil porsi yang 75%, karena disamping banyak pengajar alumnus Lirboyo yang hebat-hebat, pengetahuan kitab kuning saya sudah “volatil”, sehingga saya mengambil porsi pelajaran umum.

Setelah menjadi Guru, tentu itu masih saya rasa bagian kecil dari mimpi yang tercapai, karena saya memang lebih ingin mengajar di level mahasiswa, karena saya kira belajar bersama mahasiswa ini akan lebih fleksibel, cair dan komunikatif. Konon di level mahasiswa, mereka ini sedang dalam fase pencarian jati diri, hematnya saya ingin berperan sebagai pengantar bagi mereka untuk menemukan jati dirinya, wuih, saha aing? Hahaha. Engga lah, intinya sih karena saya sudah sekolah sampe S2, kalaulah keilmuan yang saya dapatkan ini tidak disalurkan, saya khawatir “volatilitas” keilmuan saya terulang lagi. Salah satu jalan untuk menjaga ilmu adalah dengan mengamalkannya. Dan mengajarkannya adalah salah satunya.

Selanjutnya, Alhamdulillah saya diterima untuk mengajar di perguruan tinggi kesehatan swasta di Cirebon, dan milik pesantren juga. Bisa dibilang, saat ini saya harus banyak bersyukur. Selain memang dari segi bisnis tetap berjalan, passion saya sedikit banyaknya tetap bisa saya kejar. Sudah sekitar 2 pertemuan mengajar di level mahasiswa, rasanya menyenangkan bertemu dengan calon generasi penerus bangsa, wehehehe. Tapi mengajar di PDF juga tak kalah menyenangkan, karena banyak pelajaran yang sudah banyak saya lupakan saat SMP dan SMA dulu, saya bisa mempelajarinya kembali.

Agaknya, kondisi sekarang ini bagi saya paling tidak bisa dianggap sebagai kondisi ideal bagi saya untuk menjalani hidup. Berperan dalam pendidikan sudah saya dapatkan, bisnis sudah berjalan, tinggal bagaimana saya dan istri terus melebarkan sayap untuk ekspansi bisnis untuk lebih mandiri secara ekonomi agar saya bisa jadi Kaya secara finansial. Bukan berarti saya hubbuddunya, tapi jika kita miskin juga kan gak bisa sedekah, hahaha. Seperti dawuh Buya Said Aqil Siroj, kita orang Islam harus kaya, harus ada orang Rajagaluh yang jadi orang paling kaya se Indonesia. Toh, pada dasarnya, ketika kita mengejar sesuatu yang sifatnya duniawi tapi dibarengi dengan niat yang baik, maka akan terkonversi menjadi sesuatu yang bernilai ukhrowi, begitupun sebaliknya.

Sebetulnya dalam kehidupan ini, tidak terlalu penting kita jadi apa dan siapa, yang penting apa yang kita lakukan ini bermanfaat bagi sesama. Tapi jika menjadi apa dan siapa itu adalah wasilah menuju kemanfaatan, tentu harus kita kejar. Karena intinya adalah ketika kita menjadi apa dan siapa itu kita harus menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Yang penting, jangan terlalu sibuk, jangan juga terlalu mager, yang sedang-sedang saja, hahaha.

Wallahu a’lam.

Kenapa Saya Menjadi Fans Juventus?

Kenapa Saya Menjadi Fans Juventus?

Ditengah merosotnya prestasi tim-tim italia di kancah sepakbola eropa beberapa dekade ini, kenapa saya masih saja menjadi fans La Vechia Signora? Apalagi saat ini, liga-liga eropa lainnya seperti Premier League menawarkan kompetisi yang lebih dinamis dan berisi nama-nama pelatih dan pemain mentereng macam Pep Guardiola, Juergenn Klopp, Erik Ten Hag, Haaland, de Bruyne, Gabsus, de el el.

Ya begitu sulitnya menerjemahkan kecintaan terhadap klub bola, bisa jadi seseorang menilainya dari popularitas, prestasi, uang, kehebatan satu pemain, histori klub ataupun yang lainnya. Paling tidak seseorang memiliki narasi yang menjadi “Pandangan Pertama” kecintaannya yang bisa ia ceritakan. Uniknya, setelah seseorang tersebut menjatuhkan pilihan pada satu klub, sulit baginya untuk berpaling hati, meskipun klub yang ia sukai itu sedang menjalani tirakat nirgelar. Senelangsa apapu nasib klub kesayangannya itu, tetap ia bela, bahkan rela masuk goa ketika tim kesayangannya kalah oleh rival, hahaha.

Beberapa hari lalu saat berjumpa dengan teman lama, ia bertanya kepada saya, “Biasanya pecinta klub italia itu generasi 70-80an kan? Generasi kita ini jika dipersentasi akan lebih memilih tim-tim kesayangan dari Premier League atau La Liga, kenapa anda berbeda, maszeh? Juve?”, tanyanya sembari menyiratkan senyuman ejekan kekalahan Juve atas Benfica di Liga Champions, wkwkwk.

“Wes pokok e sekali Juve tetep Juve,”, jawabku singkat. Ia semakin ketawa ngece. Asu batinku. Menjawab pertanyaannya ditempat itu sepertinya bukan hal yang tepat. Maka saya akan jawab melalui tulisan ini saja, hehehe.

Jadi, semuanya bermula saat saya masih mondok di salah satu Pesantren di Jateng. Kebetulan di Pesantren itu selalu langganan Koran yang biasanya oleh pengurus pondok dipasang di Mading khusus Koran. Nah, meskipun kami hanya sesekali saja menonton TV sebagai sumber informasi pada saat itu, kami tetep update informasi terkini melalui koran mading yang berganti setiap harinya.

Rubrik sepakbola adalah minat utama saya, dan berita sepakbola yang heboh pada saat itu adalah skandal calciopoli (pengaturan skor) yang melanda Liga Italia. Klub-klub yang terbukti melakukan pengaturan skor mendapatkan pengurangan poin dan yang paling berat adalah Juventus, yang mendapatkan sanksi berupa degradasi ke Serie B dan pencopotan gelar juara serie A 2004/2005 dan 2005/2006. Hasilnya? Pemain-pemain bintang Juventus hengkang. Ibra dan Vieira ke Inter Milan, Cannavaro, Emerson dan Pelatih Fabio Capello ke Real Madrid, sedangkan Zambrotta dan Thuram ke Barcelona.

Tapi kerennya, ada beberapa pemain bintang yang setia menjadi Bianconero, ia adalah Buffon, Del piero, Nedved, Trezeguet dan Camoranesi. Saya ingat 5 foto bintang Juventus itu berjejer ditampilkan di koran yang saya baca di hari itu. Ditambah dengan kutipan meleleh dari Del piero yang berkata, “Seorang Pria Sejati pantang meninggalkan Wanitanya.”. Melting maszeh. Disinilah titik dimana saya mulai menjatuhkan pilihan untuk menjadi fans Juventus. Hari demi hari, koran terus berganti, yang selalu saya cari adalah perkembangan klub asal kota Turin itu pasca terdegradasi. Dan disuatu hari, terdapat foto dan artikel saat Juventus menjuarai serie B dan bisa kembali ke Serie A di musim selanjutnya. Di tengah artikel terdapat foto Didier Deschamps sang pelatih yang juga eks pemain Juventus dengan kacamata hitamnya yang menurut saya keren itu.

Meski sempat terseok-seok setelah promosi ke Serie A, namun Juve kembali menjadi Jawara Italia dari musim 2011/12 hingga 2019/2020, atau 9 kali secara beruntun, yeeeee. Iya saya tahu, Juve saat ini sedang tidak baik-baik saja dan sedang mencoba membangun kembali tim. Dan saya juga termasuk fans yang mendukung #AllegriOut, hahaha. Saya juga menulis ini sambil menonton Juve vs Milan dengan permainan backpass yang membosankan. Hasilnya? Kalah cok, kalah! 2-0! Semoga Gol yang dicetak Tomori & Diaz ini jadi momentum pergantian pelatih dinosaurus itu ke pelatih yang punya konsep baru yang teruji, hahaha.

Meski begitu, saya tetap cinta Juventus. Nilai kesetiaan yang ditunjukkan oleh Del Piero, dkk inilah yang membuat saya menjadi fans Juve. Karena bagaimanapun, kesetiaan itu berharga. Dan bagi saya, seseorang bisa bersikap setia terhadap sesuatu itu karena memang sesuatu tersebut memiliki sebuah nilai yang layak diperjuangkan, baik berupa rasionalisasi maupun dorongan hati. Fino Alla Fine, Berjuang Sampai Akhir. Ayo Bangkit Lagi, Juventus!

Hari demi Hari Membangun Rumah Impian

Hari demi Hari Membangun Rumah Impian

Sejak dimulai pada tanggal 13 Agustus lalu, alhamdulillah sudah sampai tahap ini, tahap yang bisa anda lihat pada gambar diatas. Ada perasaan bahagia bercampur haru. Tapi, perjalanan masih panjang. Karena katanya, perbandingan durasi antara membangun & finishing itu 50:50. Sedangkan, tahap sekarang ini masih terbilang baru 20-25 %.Jadi yah, dinikmati saja prosesnya. Sampe duit abis, hahaha.

Membangun rumah dengan segala seluk beluk rintangannya memang melelahkan. Kadangkala, terasa sangat lama, karena mau bagaimanapun, kerja tukang itu harus diawasi. Anda tahulah kekhawatiran anda terkait dengan tukang, banyak orang yang maklum dengan itu. Nah, kerja pengawasan ini terasa sangat lama. Namun saat scrolling di galeri sendiri, foto saat peletakan batu pertama memang belum lama, baru 15 hari. Terlebih, banyak ilmu baru didapatkan, dan ilmu tentang pertukangan ini sangat menarik untuk dipelajari dan didalami. Meski tidak secara langsung turun ke lapangan, tapi secara konsep dan tahapannya, semua saya coba pelajari. Minimal, untuk membangun kedepannya, saya tak buta-buta amat tentang pertukangan, maksimalnya, saya tak perlu lagi menggunakan jasa mandor, karena bisa saya mandorin sendiri, hehehe.

Dan, saya bersyukur, dibalik sulitnya kondisi ekonomi seperti ini, saya & keluarga berani untuk bertarung habis-habisan demi rumah impian. Bahkan seringkali banyak yang berujar, “Keadaan lagi kayak gini, berani juga ya?”. Saya hanya menjawab dalam pikiran saja, “Tidak ada jaminan di masa depan, kondisi perekonomian semakin membaik, malah mungkin lebih buruk. Dan, saya hanya sedang menjalani taqdir Allah saat ini, sembari berjalan kepada taqdir Allah yg lainnya. Soal bagaimana ke depannya, disamping berusaha sekuat tenaga, saya yakin bahwa Allah selalu memberi “makhroja” dan memberi rezeki yang “min haitsu laa yahtasib”, kuat dilakoni, nek ra kuat ngopi sek, trus lanjut maneh.”, cukup itu menjadi keyakinan.

Oh iya, ditulisan sebelumnya, saya menjelaskan jika rumahnya ini akan dibangun oleh kontraktor Maswindo Bumi Mas Cabang Sumedang. PT. Maswindo Bumi Mas ini adalah perusahaan kontraktor & developer pimpinan Mas Aswin Yanuar yang belakangan cukup viral di media sosial. Selengkapnya anda bisa baca disini. Tadinya memang saya mau pake jasa beliau. Namun karena satu dan dua alasan, saya mengurungkan niat menggunakan jasa Maswindo. Yang pasti, bukan karena hasil pekerjaannya Maswindo jelek, engga kok, sejujurnya saya sangat suka dengan desain-desain rumah buatan Maswindo. Tapi pengurungan ini didasari hal lain ya.

Akhiron, bagi sahabat-sahabat seusia, usia dimana mungkin sebagian besar ada ditahap yang kurang lebih sama dengan saya. Saya ucapkan Semangat untuk kawula muda. Jalan masih panjang, kencangkan ikat pinggang, singsingkan lengan baju, ayo kita arungi luasnya kehidupan.

Salam hangat.