Mencari Sola(u)si Macet

Mencari Sola(u)si Macet

Hampir setiap hari, Kota Malang dilanda kemacetan. Kalau sudah macet, waktu banyak yg terkorbankan, jadwal ketemu sama si pacar jadi lebih sebentar karena lebih lama dijalan. Waktu kuliah pun sama. Bahkan, meski dari kos sudah berniat kuliah, kadang gara-gara macet, kita gak jadi kuliah dan malah belok ke warung kopi. hahaha. Saya berujar, ini masih Kota Malang, bukan kota besar macam Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya. Bagaimana macetnya kota-kota besar itu, tak bisa dibayangkan. Eh, sepertinya bisa, saya pernah suatu waktu jalan-jalan ke surabaya, bihhhh, jalanan begitu macet. Jalan masuk utama dari Kota Sidoarjo ini mantap sekali, kalo pake mobil, bisa berjam jam, tapi berhubung saya pake sepeda motor, yah, trotoar banyak yang kosong untuk dijadikan rute alternatif, hahaha (lagi).


Saat saya liburan pun begitu. Ayah saya seringkali mengeluh, “Dulu itu kalo ke Cirebon cukup 30-45 menit, sekarang 1 jam lebih, jalannya padat.”, ujarnya sambil menyalip kendaraan di depan. Daerah saya itu lho, ya kota kecil, jarang dikenal, tapi sudah macet, mau tau nama daerah saya itu? Kabupaten Majalengka, kenal? Yang tau mungkin yang asli Jawa Barat, selain asli sunda, pasti dia akan memberikan pertanyaan susulan, “Majalengka itu dimana ya?”. Saya sudah tau gelagat orang seperti ini, nilai Mata Pelajaran Geografi di SMA paling dapet 60, maka langsung saya jawab, “Tetangganya Cirebon mas.”. Biasanya, orang lebih mudah mengenal Cirebon, kotanya cukup terkenal. Cirebon merupakan rumah asal dari Kang Said, Ketua Umum PBNU dan terdapat makam salahsatu walisongo, yakni Sunan Gunung Jati. Saya pikir, jawaban tambahan itu sudah membuat si penanya mengerti, namun tak dikira-kira, ternyata teman saya itu masih juga melayangkan pertanyaan lain, “Cirebon iku Jawa Tengah yo mas? Endi ne pekalongan mas?”. Jancuk a, gumamku. “Iyo, jateng. Tonggone Pekalongan pas bro.”, jawabku mantap. Nilai geografi ne arek iki piro to? Masak harus menunggu saya jadi Bupati Majalengka untuk Majalengka bisa dikenal, eh. Yah, beginilah hasil dari sistem pendidikan di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Eistein, bahwa semua orang itu cerdas, namun adalah hal bodoh bila kau menyuruh ikan untuk memanjat pohon seperti monyet. Namun, disini saya tidak ingin bercerita pendidikan, saya sekarang sedang galau tentang kemacetan yang tiada tara.


Siapa yang tidak tahu, di Indonesia ini, khususnya pulau jawa, hampir setiap rumah memiliki kendaraan pribadi, mulai mobil, motor, bahkan sepeda pancal ataupun sepeda goes milik balita. Penduduk pulau jawa juga sangat padat. Menurut BPS, 54,7% (sekitar 141 juta jiwa) penduduk Indonesia berada di pulau jawa. Jadi, lebih dari setengah penduduk Indonesia ini menetap pulau jawa. Contoh kecil deh, berapa mahasiswa di Malang yang tidak menggondol sepeda motor dari rumahnya? jangan dulu lingkup Malang deh, kampus saya, UIN, berapa yang tidak bawa sepeda motor untuk pergi ke kampus? Parkiran kampus sekelas WCU (World Class University) saja sudah tidak muat, apalagi kampus UB yang kampusnya cuma akreditasi institusi B. Eh, kok malah ngomongin kampus. kembali ke parkir, eh macet.


Nah, trus bagaimana nih? menurut saya, kemacetan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kalo tidak boleh dibiarkan, berarti hal tersebut adalah masalah, kalo masalah itu harus diatasi, kalo perlu diatasi, berarti harus memikirkan SOLASI, eh SOLUSI. Bagaimana solasinya? Saya juga belum tau betul bagaimana solusinya, saya kurang pengalaman, gak ada sama sekali pengalaman kerja di Dishub ataupun yang lainnya. Tapi kata Gus Dur, bukankah untuk jadi presiden gak harus pengalaman jadi presiden dulu? Saya ingin mencoba meraba dan menerka solusi itu. Menurut saya, kunci untuk mengatasi kemacetan adalah dengan menekan kepemilikan kendaraan, memperketat realisasi regulasi lalu lintas, dan meningkatkan kualitas fasilitas dan transportasi umum.


Pertama, menekan jumlah kepemilikan kendaraan. Ya, kepemilikan kendaraan harus dibatasi. Lha, bagaimana volume kendaraan mau berkurang kalo mobil sekarang bisa sangat murah dengan sistem kredit yang memudahkan. Maka harus dimahalkan. Selain itu, kepemilikan kendaraan di Indonesia tidak dibatasi waktu. Harusnya, kepemilikan kendaraan dibatasi waktu. Misal setiap 5 tahun harus masuk rongsok dan di kilo, hahaha. Dengan begitu, orang akan enggan membeli kendaraan. Kalo bicara statistik, lagi-lagi, silahkan tanya mbah google. Kalo saya main logika sederhana aja. Kalo kata mbah Jiwo, IQ? IQ? IQ?


Kedua, memperketat realisasi regulasi. Nah, ini yang sulit, budaya suap, pungli, dll yang masih sangat akrab dengan sendi-sendi kehidupan kita. Kalo ini saya tak mau banyak bicara, ayo kita sadar bersama-sama, stop praktik pungli dan suap. Sudah cukup saat balita kita disuapi, masak sudah jadi PNS dan Polisi masih pengen disuapi. Kitanya juga nih, mau aja nyuapin yang bukan anak kita. Kalo masih seperti ini, yaaaa terserah, mau makan dimana, di warung sana juga boleh, di warung sini juga boleh, terserah kamu, asal jangan lalapan, bosen.


Ketiga, meningkatkan kualitas transportasi dan fadilitas umum. Ini yang menjadi konsekuensi yang harus benar-benar diupayakan guna mendukung opsi pertama dalam membatasi kepemilikan kendaraan. Sehingga, rakyat semakin aman dan nyaman menggunakan transportasi umum. Yah, mau gimana aman dan nyaman, kadangkala masih ada yang ribut tarif angkot antara supir dan penumpang. Adapula ORGANDA dan PPAD yang naikkan tarif ketika ada kenaikan BBM. Semakin tinggi lah jurang pemisah antara ongkos transportasi umum dan kendaraan pribadi. Ini sangat berpengaruh. Contohnya begini, saya kalo harus pulang dari malang ke jawa barat menggunakan mobil pribadi, bisa sampai menghabiskan 500 ribu, untuk bensin dan makan, belum lagi mesin mobil yang panas dan perlu servis serta lelahnya menyetir dengan perjalanan ratusan kilometer saking jauhnya. Saya lebih memilih naik kereta api, cukup uang 100-150 ribu, saya sudah bisa sampai rumah. Lah, berbeda dengan ANGKOT, jauh dekat 4 ribu, sedangkan untuk ke lokasi yang saya tuju harus naik angkot 3 kali, berarti butuh dana 12 ribu, PP 24 ribu. Berbeda dengan menggunakan sepeda motor pribadi, cukup 8 ribu/liter, PP masih sisa banyak. Maka harus dipikirkan kemudian formulasi dan konsepsi transportasi jarak dekat yang terjangkau oleh rakyat jelata, kopi lanang dan unyil coffee, dimana ongkos transportasi umum bisa lebih murah daripada menggunakan kendaraan pribadi. Kalaupun tidak bisa lebih murah, fasilitasnya ditingkatkan, sehingga lebih nyaman.


Yah, mau bagaimanapun, ini cuma tulisan dan harapan saya ke depan. Mengkonsep dan menulisnya memang mudah, tapi merealisasikannya tak semudah menulisnya, bukan? Butuh kerja ekstra, keterlibatan dan dukungan berbagai pihak untuk merealisasikannya. Oh iya, selaku pemuda (untuk yang masih muda2 lho), cobalah untuk mengendalikan budaya konsumtif kita, cobalah berfikir untuk mengarah ke pola pikir produktif. Kita semua pasti lelah, semua teknologi yang kita gunakan, gak ada yang MADE IN INDONESIA. Ayo bergerak bersama! Masa depan bangsa ini ditangan kita. Masih dengan semangat sumpah pemuda. Salam Pemuda! Salam Pergerakan! Selamat mengopi! Srupuuuut…


Kos-kosan cedek.e pondok putri

Sabtu, 29/10/2016

10.35 WIB

Lamunan di Negeri Sinetron

Lamunan di Negeri Sinetron

Selamat Malam Nawak nawak. Malam memang waktu yang memiliki suasana menggoda. Malam adalah saat dimana para mahasiswa yang tak percaya khutbah dosen keluar kos untuk mengopi. Malam juga digunakan para aktivis untuk diskusi. Sehingga, jarang sekali kita menemui acara diskusi mahasiswa yang diselenggarakan di siang hari, kecuali diskusi yang formal ala-ala Organisasi Intra Kampus yang lagi belajar EO kecil-kecilan. Tak ketinggalan, pasutri juga lebih sering memanfaatkan waktu malam hari untuk beradu jotos di ranjang, yang setelahnya langsung mandi junub dan dilanjut sholat tahajjud. Wih, segmen cerita yang menjadi impian bagi para jomblo yang sedang mencari cinta. Horeee.

Itulah keistimewaan malam dibanding siang. Dalam mencari inspirasi dan menulis pun, saya seringkali mendapatkan dan melakukannya di malam hari. Sehingga, hampir semua tulisan yang saya buat lebih banyak menyapa dengan selamat malam. Karena memang di buatnya di malam hari. Lha masa saya harus mengucapakan selamat siang, padahal tulisannya saya buat dimalam hari? Lak gendeng ngunu iku. Selain itu, saya juga kapok menggunakan kata Selamat Siang. Gara-gara sapaan “Selamat Siang”, saya pernah di maki-maki dan saya di cap tidak Islami. Padahal nawak-nawak saya tahu, penampilan saya cukup syar’i lho. Gak percaya? Tanya saja mereka. Hehe.

Dimalam yang sesunyi ini, aku sendiri, tiada yang menemani, sehingga saya akhirnya tenggelam dalam lautan lamunan yang menjenuhkan. Dimana saya diajak Bu Lamun berfikir mengenai kondisi bangsa saat ini. Wah, saya diajak menyelami data dan fakta, mengenai pengelolaan migas, semen, air, wisata, jasa, pangan, sawit, manufaktur yang semuanya dikelola asing. Saya juga kembali teringat akan puisi yang ditulis @sabdaperubahan di Peringatan 17 Agustusan kemarin, yang kurang lebih menggambarkan penguasaan asing di negeri ini dengan bahasa yang cukup bikin baper. Yah, kebanyakan puisi memang bikin baper lho. Tapi baper tak selalu berkonotasi negatif. Baper terkait kondisi bangsa negeri ini dan kemudian mentrasformasikannya kedalam sebuah gerakan kepedulian adalah baper yang positif. Berdasarkan penjelasan diatas, maka baper dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yakni baper hasanah dan baper dholalah. Begitu kira-kira.

Nah, adalagi yang lebih bikin saya baper. Yaitu SINETRON. Iya, sinetron. Nawak nawak pasti sudah tau apa itu sinetron. Kalo nawak-nawak gak tau apa itu sinetron, saya ragu kalau nawak punya KTP dan berstatus WNI. Bagaimana tidak, setiap hari, dan hampir semua channel media televisi indonesia menayangkan sinetron dengan keunggulannya masing-masing. Saya seringkali terisak-isak melihat sinetron-sinetron itu. Sinetronnya sangat menyentuh hati saya. Hiks hiks -Begitu kata orang cara menangis lewat kata-kata-. Alur ceritanya sungguh berkualitas. Ya, sangat berkualitas merusak tatanan opini dan kesadaran bangsa ini. Hampir setiap hari, ada tayangan sinetron berjudul “Terbunuhnya Mirna”. Di channel lain, ada juga sinetron yang bergenre horror seperti “Misteri Kolor Dimas Kanjeng”, “Cinta berujung Narkoba Aa Gatot”. Selain itu, adapula sinetron yang sedang merajai persinetronan indonesia, mengalahkan sinetron Amerika “Donald (Duck) Nyalon Presiden” karya sutradara papan atas Paman Sam, apalagi kalo bukan “Ah*k yang (Me/Di)Nista(kan)” yang sangat digemari itu.

Sinetron-sinetron itu sangat menyentuh hati, membuat saya sering merenung sendiri di bilik merenung tadi. Saya terhenyak dan bertanya, apakah kedaulatan negeri ini lebih tidak penting daripada drama-drama sinetron itu? Kenapa sih channel tipi-tipi itu tidak pernah mau mengakhiri sajian drama-drama “komedi” itu dan menggantinya dengan keberpihakan terhadap rakyat beserta penyelesaian masalah-masalah rakyat yang lebih penting dari sinetron-sinetron “berkualitas” itu? Konflik agraria, kerusakan lingkungan dan penjarahan sumber daya alam, penuntasan kasus HAM, pemberantasan organ radikal dan anti pancasila, dan konsepsi pendidikan yang semrawut adalah sedikit dari banyaknya problematika negeri ini yang menurut penulis penting. Kenapa penting? Ah, saya malas menjelaskan, Upin ipin juga tau, kalo ada orang yang maling barang kepunyaannya, mereka tidak akan berunding dengan maling itu, dia pasti akan laporkan si maling ke opa dan kak ros. Lain cerita dengan upin ipin, pejabat kita terlalu banyak cingcong dan malah ngajak ngopi si maling itu. Padahal sudah jelas kita kemalingan dan sudah tau siapa malingnya. Upin Upin juga tau lho, ketika upin ipin berbisnis dengan si Mail untuk menjualkan ayam gorengnya, mereka berdua akan meminta bagi hasil yang rasional. Mereka akan meminta bagi hasil yang rasional, 50:50 misalnya. Nah, pejabat kita sama sekali tidak mau ngajak gelut ketika tau bagi hasilnya dengan perusahaan gak rasional, masak 97:3? Kesimpulannya, pejabat kita masih kalah oleh Upin Ipin dong.

Seharusnya, media-media besar sadar, bahwa seharusnya mereka menayangkan sinetron yang lebih pro kepentingan bersama, sehingga nilai-nilai pancasila bukan hanya sekedar hafalan, tapi juga direalisasikan. Misalnya dengan membuat sinetron “Si Freeport dan Si Exxon, Kembar tapi sama2 Menjarah”, atau kalau sinetron horror, “Misteri Gunung Emas Bolong”. Ada yang lebih keren lagi, sinetron genre religi, “Hidayah: Pemodal Reklamasi sulit dikebumikan”. Rakyat pasti langsung baper melihatnya. Bukan baper yang dholalah tentunya, tapi baper hasanah. Sehingga sama-sama mau bergerak atas kebaperan yang hasanah itu.


Ah, sepertinya saya terlalu lama melamun. Saya akhirnya sadar, kalo tipi-tipi itu kan perusahaan. Perusahaan itu kata dasarnya usaha. Usaha erat kaitannya dengan profit dan untung rugi. Sinetron yang ada sekarang ini sepertinya lebih menguntungkan bagi keberlangsungan usaha penguasa tipi-tipi itu. Lha mau gimana lagi, kalo sinetron yang saya usulkan itu kan pro-rakyat, kalo pro-rakyat, untungnya cuma sedikit, atau bahkan malah rugi. Mana ada perusahaan mau rugi.


Sudah dulu ah, teh anget yang saya pesan sejak 3 jam yang lalu sudah habis. Waktunya pulang. Meski judulnya mengopi, tapi harga teh anget lebih bisa menjaga isi saku celana untuk tetap berisi. Terimakasih sudah berkenan membaca.

Wallahua’lam.


Kopi Lanang
26/10/2016

1:47 AM

Ket : gambar dari bidhuan.com

Belajar Trisakti dari Debu Pasar

Belajar Trisakti dari Debu Pasar

Segarnya debu pasar

Sudah menjadi realita umum, bahwa santri/mahasiswa yang sedang libur dan pulang ke rumah, tidak akan banyak bersenang-senang. Mereka dalam kesehariannya akan banyak membantu pekerjaan orang tua. Berdagang, bertani, ber-PNS, dan lain-lain. Jika anak seorang PNS, minimal bantu-bantu tanda tangan. Entah tanda tangan berkas LPJ proyekan, atau nulisi nota-nota kosong yang bisa ditukar dengan uang negara. Eh, Sori kalo ada anak PNS yang tersinggung, soalnya saya bukan anak dari seorang PNS, jadi saya nulis tentang PNS setau saya dari berita di tipi-tipi.

Kalo saya ini seorang anak pedagang. Jadi dari pada ruangan kantor ber-AC, saya lebih tau ruang besar pasar yang berdebu. Macam nama stadion klub Real Madrid itu, Santiago berdebu. Katanya, stadion milik madrid itu mau di renovasi, dengan biaya triliunan. Ah, berapapun biayanya tidak penting bagi saya yang bukan fans Madrid, dan tidak ada hubungannya dengan debu pasar.
Setiap liburan tiba, sudah pasti saya akan lebih sering ikut membantu orang tua di pasar. Meski diakui, sejak dulu saya seringkali malas untuk ikut. Ini kan liburan, kenapa mesti kerja juga? Begitulah logika anak kecil bekerja, termasuk saya dulu. 
Dalam renungan di pasar kali ini, saya memahami suatu hal, bahwa debu pasar yang sering saya hirup itu mengandung banyak pelajaran berharga. Jika debu pasar itu dianalisis di laboratorium menggunakan suatu instrumentasi, akan muncul spektra-spektra yang menggambarkan kehidupan.
Debu pasar itu, memberikan sebuah gambaran yang menarik dalam hidup. Konsep kedaulatan politik, Ekonomi berdikari dan karakter budaya ala Trisakti Bung Karno ada didalam kehidupan dan realitas sosial di pasar berdebu itu. Pedagang itu membeberkan semua yang ia miliki untuk para pembeli. Membangun sistem dan budayanya sendiri dan memiliki skala prioritas dalam penjualan, ini untuk pelanggan, ini untuk yang hanya satu sampai dua kali belanja dalam setahun. Mana yang boleh berhutang, mana yang tidak boleh berhutang. 
Logikanya bermain demi kedaulatan politik bisnisnya. Pikirannya mengkalkulasi dalam proses tawar menawar harga, dimana harga yang disepakati adalah harga yang menguntungkan kedua belah pihak. Otak kanannya bermain demi membentuk sistem perdagangan yang akomodatif dan efektif. Sehingga dikemudian hari, si pembeli akan mudah mengenal si pedagang itu, dengan kekhasan budaya dan sistem jual belinya. 
Dan yang paling mencolok dari hasil interpretasi spektra debu pasar tadi, adalah peran negara dan pemerintahannya. Yang terlihat, aparat-aparat negara, hanya memiliki kapasitas untuk sekedar meminta 2000 rupiah dari setiap pedagang di pasar itu, yang katanya untuk retribusi pasar. Atau 50.000 yang katanya untuk THR, sebagai bayaran jasa untuk aparat yang telah menjaga pasar itu tetap berdebu. Padahal, tanpa aparat, debu pasar akan tetap terhirup oleh kami.
Aparat negara, sama sekali tidak terlihat untuk berupaya membangun sistem kelola pasar yang baik. Seharusnya, dengan tawaran konsepnya, aparat negara bekerja sama dengan para pedagang guna menciptakan kondisi pasar yang memiliki tata kelola yang nyaman di kunjungi dan dipakai tempat jual beli. 
Ah, itu hanya mimpi, kita lihat saja dalam lingkup yang lebih luas. Berbicara trisakti bung karno, pemerintahan kita ini semacam masih berdebat atas tafsir yang benar atas trisakti. Padahal, nusron sendiri sudah bilang, yang mengerti betul artinya trisakti bung karno ya bung karno sendiri, bukan orang lain. Jadi, kalo mau tau maksudnya, tanya bung karno. Atau daripada debat kusir, pemerintah ini belajar saja sama mufassir trisakti yang sudah paham dan sudah bisa merealisasikan, para pedagang di pasar berdebu itu. Dimana dia tau, kalau yang namanya bagi hasil yang baik itu saling menguntungkan satu sama lain, ibarat sama-sama dapat 50:50, atau 60:40, atau bahkan 70:30. Bukan hanya dapat 3% dari total keseluruhan, sedangkan 97% nya diberikan ke salahsatu pihak. Woy, 97:3 itu bagi hasil macam apa? Itukah ekonomi berdikari dan kedaulatan politik yang dicita-citakan? Nanti ditanya sama Mbah Jiwo Jancuk dari Republik sebelah, IQ? IQ?
Eh, kok Sujiwo Tedjo? Waduh, ternyata saya lupa, kalo saya melamun terlalu lama, membayangkan bung karno masih ada. Sekarang tahun 2016, Gagasan Trisakti sudah usang, Trisakti sekarang hanya jadi nama kampus yang pernah digunakan syuting film Pupus. Sekarang presidennya Jokowi. Gagasannya Nawa Cita. Hari ini adalah hari dimana beliau menjabat genap 2 tahun pemerintahan. Saya tak begitu paham isi nawa cita, paling isinya janji-janji. Tapi kan 89:11 dan 97:3 bukan angka yang rasional untuk seorang pedagang di pasar berdebu. Pedagang itu pasti marah-marah dan bertanya sembari mengernyitkan dahi. IQ? IQ?
Pasar TG
21/10/2016
15:31
Hikayat Aliran Shareiyyah Komentariyyah

Hikayat Aliran Shareiyyah Komentariyyah

Oleh : Fawwaz Muhammad Fauzi

Selamat malam sahabat. Selamat Malam Madiun, Kereta yg mengantarkan saya pulang kebetulan sudah sampai Madiun, Kota yang namanya saya kenal dari Buku Sejarah SD/SMP/SMA tentang pemberontakan PKI dulu. Sekarang saya kebetulan berkuliah di Malang, Kota yang satu provinsi dengan Madiun. Karena secara geografis cukup dekat, maka tak heran kalau teman-teman saya di Malang, ada yg berasal dari madiun. Pertama kali melihat mereka, teman-teman madiun saya itu, saya sama sekali tak melihat ada wajah-wajah pelaku atau korban pemberontakan PKI dulu. Mereka tampak baik-baik saja, tetap guyon dengan saya yang secara biologis berdarah Nahdliyyin ini.

Mereka mungkin terlihat baik-baik saja karena memang tidak mengalami masa pemberontakan itu. Itu sudah lama sekali. Katanya, pelaku 1948 juga sudah diadili, rekonsiliasi sudah dilakukan. Berbeda dengan tragedi 1965, yang sampai hari ini, tuntutan korban belum terpenuhi, tindakan diskriminatif terhadap “terduga” PKI juga masih banyak terjadi, pembredelan diskusi pengungkapan tragedi itu juga masih sering saya jumpai. Kata salah seorang yg pernah saya temui, kalo mau ngobrol terkait PKI, harus pintar mem-framming acara, jangan sampai lebay meng-share info diskusinya. Kalo terlalu lebay, tamatlah kau ditangan intel.
Berbicara mengenai kata “Share”, hari ini sudah sangat familiar. Bagi pemakai media sosial Facebook di Android, kata share ada di pojok kanan bawah setiap status. Kalo facebook sahabat-sahabat pembaca berbahasa indonesia, tidak akan ditemui tulisan “Share”, kata “share” diganti dengan kata “Bagikan”. Meskipun berbeda, artinya sama saja. Jangan sampai karena saya lebih sering menggunakan kata “share” dibandingkan kata “bagikan”, sahabat-sahabat share tulisan ini dengan kutipan berikut : “Tulisan ini adalah tulisan antek Amerika, agen CIA, anti-nasionalisme, karena lebih sering menggunakan kata SHARE, daripada kata BAGIKAN.” Lha wong saya ini orang biasa, kok disebut agen, bahkan untuk disebut agen of change ala mahasiswa pun, saya belum pantas.
Sebenarnya begini lho, Saya hanya sedikit ingin bercerita tentang suatu hikayat, suatu waktu, saya melihat status yang berisi tautan yang provokatif. Begini tulisannya, “#&$(_/)&!@:;$(#!_;@))?;;™℅€{}•¶¢[£℅°=¥{¢}¶=√∆∆[]℅©™®£[~{.”. Aduh, saking banyaknya saya lupa, intinya, ada 3 jenis status yang akan ramai di media sosial macam FB di Indonesia, Pertama, status yang meminta Like, share dan Amin, Kedua, status Jonru, cs., Ketiga, status yang mendukung karepe mayoritas, apapun dan bagaimanapun isi kontennya. Entahlah, saya gak paham betul caranya membagikan jenis/kategori, yang pasti, status-status itu biasanya di-share hingga ribuan kali, komentarnya bisa sampai puluhan ribu. Komentarnya pasti macam-macam, ada yang ngomong “BANGSAT, JANCUK, ANJING LU, AGAMA LU APA TAI!”, ada juga yang mencoba menengahi dan moderat, “Udah bro, gak usah diladenin orang GAK PUNYA OTAK kayak dia, otaknya udah ketuker sama BABI dia mah”, ada lagi yang imannya paling lemah, alias adh’aful iman, nama fb nya hanya muncul diatas postingan “Hindun menyukai status Zaidun. Nah, Zaidun lah imam aliran shareiyyah dan komentariyyah, dialah Assabiqunal Awwalun statusnya dengan menuliskan “INDONESIA DALAM CENGKRAMAN SYIAH, KITA SEBAGAI UMAT MUSLIM JANGAN HANYA DIAM!”, Dibawahnya terpampang tautan yg bertuliskan “QURAISY SYIHAB SEBARKAN PAHAM SYIAH DALAM SETIAP CERAMAHNYA”. Dengan bangganya, zaidun meng-share statusnya, dengan harapan, banyak orang yang mengikutinya, masuk ke dalam surga versi si Zaidun. Padahal, si Zaidun hanya mendapat berita itu dari website alamak.xyz, waduh! Situs opo iku? Belum lagi, ternyata si Zaidun ini gak pernah mesantren. Pernah sih, katanya dia belajar ilmu agama di Rohis, sebutan Ekskul keagamaan di SMA-SMA. 
Alhamdulillah nih, setiap status si zaidun sekarang sudah ribuan yang share, dan puluhan juta yang komentar. Sehingga, dia mendapat gelar “Imam Asshareiyyah Wal Komentariyyah” Pemimpin alirah Shareiyyah Komentariyyah. Selain si Zaidun, masih banyak imam-imam lain dari aliran ini, jumlahnya ribuan.
Ada lagi cerita Imam aliran Shareiyyah dan Komentariyah selain zaidun, kiprahnya juga cukup luar biasa dibanding Zaidun. Penasaran? Siapa dia? Bagaimana kiprahnya? (JANGAN) DITUNGGU KELANJUTANNYA! Karena kelanjutannya adalah realitas praktek bermedia dan besosial kita, termasuk saya. 

Wallahua’lam.

Kereta Malam, 18/10/2016
23.11 WIB

PROKLAMASI BUNG KARNO 2016

PROKLAMASI BUNG KARNO 2016

instagram @sabdaperubahan 
Saya terhenyak membaca puisi ini. Meski sudah berulang kali saya membaca, hati saya tetap berdebar, sementara otak ini terus berpikir, sebegitu hancurkah negeri ini? Puisi ini adalah buah karya seorang senior saya di suatu organisasi. Sejujurnya saya kagum dengan puisi ini. Begitu merepresentasikan kondisi negeri ini, dengan berbagai problem disudut sana dan sini.
Siang tadi, saya diberi kesempatan untuk memberikan materi dalam sebuah acara. Malamnya, saya membuat materi untuk acara tersebut, dan saya memasukkan puisi ini ke dalam slide presentasi saya, tepatnya untuk menutup presentasi saya. 
Di akhir acara, saya benar-benar membaca puisi tersebut. Saat itu adalah saat dimana saya membacakan sebuah puisi di depan umum sejak TK. Lalu apa hasilnya? Saya tidak tau apa yang dirasakan peserta forum tersebut, tapi yang pasti, badan saya bergetar! Hati saya bukan lagi tersentuh! Tapi benar-benar disentuh, bahkan serasa di tusuk lara yang hebat. Sungguh puisi yang luar biasa!
Sebelumnya mohon maaf kepada senior saya, karena tanpa izin, saya menggunakan puisi njenengan dalam presentasi saya. Tapi tenang saja, saya bukan plagiator, saya tetap cantumkan nama panjenengan. Meski tetap, saya masih terbilang TIDAK SOPAN, tidak izin dulu.
Nah, tapi saya malah tambah TIDAK SOPAN, sekarang saya ingin memposting puisi ini di blog saya. Dengan harapan, tamu-tamu blog ini bisa juga membacanya dan terilhami oleh isi puisi ini untuk melakukan sesuatu. Sopan atau tidak, saya yakin ini adalah sebuah langkah yang bermanfaat, jadi mungkin ketidaksopanan itu akan sedikit tertutupi. 🙂
Yah, ini lah puisi nya, Selamat membaca puisi reflektif dalam Sahabat Em Yasin Arief.
PROKLAMASI BUNG KARNO 2016
Oleh : Em Yasin Arief

Bung Karno bangkit dari kubur
Dia haus ingin minum
Ku suguhkan air mineral

Dia hanya bingung tak mau minum

Karena tanah airnya tinggal tanah
Sedang airnya milik Prancis sudah
Ku seduhkan segelas teh celup
Dia hanya termenung tak mau minum
Karena kebun tehnya tinggal kebun
Lahan tebunya tinggal lahan
Gulanya milik Malaysia
Tehnya Inggris yang punya
Lalu ku bukakan susu kaleng
Bung Karno hanya menggeleng
Kandang sapinya tinggal kandang
Sedang sapinya milik Selandia
Diperah Swiss dan Belanda

Bung Karno bangkit dari kubur
Dia lapar ingin sarapan
Ku hidangkan nasi putih
Dia tak mau makan hanya bersedih
Karena sawahnya tinggal sawah
Lumbung padinya tinggal lumbung
Padinya milik Vietnam
Berasnya milik Thailand
Ku sulutkan sebatang rokok
Dia menggeleng tak mau merokok
Tembakau memang miliknya
Cengkehnya dari kebunnya
Tapi pabriknya milik Amerika

Bung Karno bingung bertanya-tanya
Sabun pasta gigi, kenapa Inggris yang punya
Toko-toko milik Prancis dan Malaysia
Alat komunikasi punya Qatar dan Singapura
Mesin dan perabotan rumah tangga
Kenapa dikuasai Jepang, Korea dan China
Bung Karno tersungkur ketanah
Hatinya sakit teriris-iris
Setelah tau emasnya dikeruk habis
Setelah tau minyaknya dirampok iblis
Bung karno menangis darah
ndonesia kembali terjajah
Indonesia telah melupakan sejarah

Bung Karno membaca Proklamasi
Kami bangsa Indonesia,
Dengan ini menyatakan

Ketidak-merdekaan Indonesia. 

Hal-hal mengenai penindasan
Dan kekuasaan asing,
Telah terlaksana sudah lama,
Dengan cara seksama,
Dan dalam tempo
yang tak dapat dikira-kira.

Tujuh Belas Agustus,
Dua Ribu Enam Belas.


– Malang, 07 Agustus 2016