Menambah Kesibukan dengan Mengajar

Menambah Kesibukan dengan Mengajar

“Nak, kalau kamu jadi guru, dosen, atau kyai harus tetep usaha. Harus punya usaha sampingan, biar hati kamu gak selalu mengharap pemberian ataupun bayaran dari orang lain. Karena usaha dengan keringatmu sendiri itu barokah.”, Almaghfurlah KH. Maimun Zubair.

Tipikal manusia didunia ini bermacam-macam, ada yang dalam hidupnya ia nyaman ketika sibuk bekerja, ada juga yang nyaman ketika sibuk menganggur, mencintai kegabutan dan mager. Tapi kedua tipikal manusia ini bersepakat, bahwa tjuan adalah koentji, hahaha. Ya, karena selepas quarter life, kebutuhan akan cuan itu keniscayaan. Memang cuan bukan segalanya, tapi segalanya butuh cuan, begitu kira-kira ungkapan masyhur di negeri Wakanda.

Kalo saya dimasukkan kedalam 2 kategori itu, saya ambil tengah-tengahnya. Terlepas dari aspek tuntutan mencari nafkah, saya benci ketika terlalu sibuk, saya juga jengah ketika gabut tanpa pekerjaan, hahaha. Jadi memang yang tengah-tengah ini justru menjadi assawadul a’dzom, kelompok mayoritas di wakanda ini, termasuk saya.

Kesibukan saya berjualan daring, membantu orang tua jualan luring itu sudah cukup padat. Ditambah sekarang menjadi mandornya mandor di proyek pembangunan rumah sendiri, ya lumayan lah. Sejak bangun pagi hingga terlelap lagi, kesibukan selalu ada, tentu termasuk dengan waktu yang terdistraksi akibat scrolling medsos dan nonton film di layanan streaming, itu juga saya masukkan hitungan.

Sejak dahulu, berjualan ini “bukan passion saya”, tapi karena tuntutan ekonomi, ya tentu saya jalani dengan penuh khidmat, karena seperti ungkapan diatas, tjuan adalah koentji. Namun, tentu passion saya harus tetap dipenuhi dan dikejar demi kepuasan. Karena ada bagian dari diri saya yang menginginkannya. Ya, saya sejak dahulu sedikit banyaknya ingin terlibat dalam dunia pendidikan.

Saya kadang-kadang melirik info cpns, pppk dosen, lowongan dosen tetap PTN , dll, tapi memang seperti kata Fiersa Besari dalam satu kesempatan, “Kita tidak perlu melihat superhero jauh-jauh ke luar negeri, karena superhero itu bisa dilihat dari seorang laki-laki yang rela mimpi-mimpinya diinjak didepan mata demi kepentingan keluarga.”. Idealisme saya tentang menjadi dosen di salah satu PTN bergengsi itu saya kubur dulu di halaman belakang rumah. Saya ambil opsi-opsi yang lebih realistis dengan jalan kehidupan saat ini sembari sedikit berharap ada saatnya nanti saya bisa gali kembali.

Beberapa bulan yang lalu, bagian dari diri saya ini akhirnya bisa menancapkan diri di dunia pendidikan, dengan menjadi guru di sekolah milik pesantren. Sekolah ini adalah satuan pendidikan baru dengan nama Pendidikan Diniyah Formal (disingkat PDF) yang berada dibawah naungan Kemenag. Porsi pelajarannya 75% kitab kuning dan 25% umum. Tentu saya tidak mengambil porsi yang 75%, karena disamping banyak pengajar alumnus Lirboyo yang hebat-hebat, pengetahuan kitab kuning saya sudah “volatil”, sehingga saya mengambil porsi pelajaran umum.

Setelah menjadi Guru, tentu itu masih saya rasa bagian kecil dari mimpi yang tercapai, karena saya memang lebih ingin mengajar di level mahasiswa, karena saya kira belajar bersama mahasiswa ini akan lebih fleksibel, cair dan komunikatif. Konon di level mahasiswa, mereka ini sedang dalam fase pencarian jati diri, hematnya saya ingin berperan sebagai pengantar bagi mereka untuk menemukan jati dirinya, wuih, saha aing? Hahaha. Engga lah, intinya sih karena saya sudah sekolah sampe S2, kalaulah keilmuan yang saya dapatkan ini tidak disalurkan, saya khawatir “volatilitas” keilmuan saya terulang lagi. Salah satu jalan untuk menjaga ilmu adalah dengan mengamalkannya. Dan mengajarkannya adalah salah satunya.

Selanjutnya, Alhamdulillah saya diterima untuk mengajar di perguruan tinggi kesehatan swasta di Cirebon, dan milik pesantren juga. Bisa dibilang, saat ini saya harus banyak bersyukur. Selain memang dari segi bisnis tetap berjalan, passion saya sedikit banyaknya tetap bisa saya kejar. Sudah sekitar 2 pertemuan mengajar di level mahasiswa, rasanya menyenangkan bertemu dengan calon generasi penerus bangsa, wehehehe. Tapi mengajar di PDF juga tak kalah menyenangkan, karena banyak pelajaran yang sudah banyak saya lupakan saat SMP dan SMA dulu, saya bisa mempelajarinya kembali.

Agaknya, kondisi sekarang ini bagi saya paling tidak bisa dianggap sebagai kondisi ideal bagi saya untuk menjalani hidup. Berperan dalam pendidikan sudah saya dapatkan, bisnis sudah berjalan, tinggal bagaimana saya dan istri terus melebarkan sayap untuk ekspansi bisnis untuk lebih mandiri secara ekonomi agar saya bisa jadi Kaya secara finansial. Bukan berarti saya hubbuddunya, tapi jika kita miskin juga kan gak bisa sedekah, hahaha. Seperti dawuh Buya Said Aqil Siroj, kita orang Islam harus kaya, harus ada orang Rajagaluh yang jadi orang paling kaya se Indonesia. Toh, pada dasarnya, ketika kita mengejar sesuatu yang sifatnya duniawi tapi dibarengi dengan niat yang baik, maka akan terkonversi menjadi sesuatu yang bernilai ukhrowi, begitupun sebaliknya.

Sebetulnya dalam kehidupan ini, tidak terlalu penting kita jadi apa dan siapa, yang penting apa yang kita lakukan ini bermanfaat bagi sesama. Tapi jika menjadi apa dan siapa itu adalah wasilah menuju kemanfaatan, tentu harus kita kejar. Karena intinya adalah ketika kita menjadi apa dan siapa itu kita harus menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Yang penting, jangan terlalu sibuk, jangan juga terlalu mager, yang sedang-sedang saja, hahaha.

Wallahu a’lam.

Ade Armando, Oligarki dan Politik Identitas

Ade Armando, Oligarki dan Politik Identitas

Seperti yang kita tahu, lini massa di media sosial ramai dengan postingan-postingan tentang demo mahasiswa 11 April 2022, isi tuntutannya saya juga kurang tahu, mungkin seputar Tolak Jokowi 3 Periode, harga segala kebutuhan masyarakat yang merangkak naik dan isu-isu lainnya. Bagi mantan mahasiswa aktivis abal-abal kayak saya ini, isu-isu begini sudah tak lagi jadi garapan primer, yang primer jelas nyari duit buat keluarga. Tapi masalahnya, nyari duit sekarang susah, asli, harga serba naik, daya beli orang menurun, ekonomi jelas stagnan kan? Dan gobloknya lagi, saya ini termasuk golongan menengah kebawah secara ekonomi, bagian dari mayoritas masyarakat endonesa ini, yang sedikit-sedikit pengennya healing tapi duit pas-pasan, jelas menderita!

Sebagai mantan aktivis PMII kacangan, jelas saya tetap peduli dengan isu kerakyatan. Selain memang jadi bagian dari masyarakat yang terhimpit juga, saya melihat pemerintah saat ini agak ugal-ugalan dalam pengambilan kebijakan, ataupun dalam menanggapi kritikan. Saya sangat mendukung penuh tuntutan mahasiswa yang menolak penundaan pemilu ataupun usulan 3 periode. Tentu karena godaan kekuasaan itu sangat berat, semakin lama seseorang berkuasa, maka semakin besar potensi penyalahgunaan kekuasaan, dan disitulah akan muncul bibit-bibit otoritarianisme.

Dengan dibatasi 2 periode saja, cengkraman oligarki saat ini terasa begitu kuat. Negara serasa hanya diatur oleh segelintir orang saja. Haduh, anda bisa berselancar ria di gugel tentang mereka yang diduga kuat merupakan segelintir orang yang memegang kendali kekuasaan. Atau bisa anda lihat abuse of power yang dipraktekkan partai berkuasa saat periode kedua Presiden SBY, dimana orang-orang didalam lingkarannya banyak terlibat kasus korupsi megaproyek Hambalang. Begitulah kekuasaan memainkan kartunya, sehingga kita harus tegas MENOLAK wacana penambahan durasi kekuasaan, karena lebih besar madlorotnya daripada maslahatnya.

Harga kebutuhan pokok yang naik. Minyak goreng naik, bensin naik, besi naik dan pajak yang naik, terlepas dari apapun alasannya, tentu itu sangat tidak tepat dilakukan pada saat ini. Asli pak pak, kita ini baru saja bisa bernapas lega, lalu anda langsung cekik kami lagi. Mbok ya tahan dulu. Apalagi pemindahan ibu kota baru yang terlalu buru-buru. Kan bisa ditunda satu dua tahun lagi pak, uangnya sekarang dipake untuk membantu rakyatnya dulu pak. Sebagai pemimpin, harusnua bisa memahami sense of crisis kan pak. Apa kalo ditunda Bapaknya udah gak menjabat lagi, jadi nanti legacy-nya engga atas nama Bapak, eh, pinggir jurang.

Saya seringkali lega ketika mahasiswa mau turun kejalan untuk meneriakkan yang menjadi aspirasi rakyat, mempertanyakan kebijakan-kebijakan yang ugal-ugalan itu. Meskipun saya agak jijik ngelihat poster-poster demonstran yang terkesan hanya didesain agar masuk fyp tiktok. Asal unik, tapi tidak menyentuh esensi demonstrasi, yang penting viral, duh. Apalagi poster yang dibawa sama mbak-mbak, “LEBIH BAIK BERCINTA 3 RONDE DARIPADA HARUS 3 PERIODE”, Asu tenan.

Dulu pas mahasiswa, saya juga senang saat melihat sahabat-sahabat saya turun ke jalan, menyuarakan aspirasi. Chaos itu resiko, karena memang manajemen aksi itu ilmu yang sederhana dalam teori, tapi njelimet dalam praktek. Asli bos, jika massa sangat banyak, sangat sulit untuk menjaga barisan massa untuk tertib dan sangat sulit menjaga untuk tidak disusupi diluar massa aksi. Seperti halnya kejadian kemarin dimana ada chaos yang tidak diduga-duga, yes! Pengeroyokan Ade Armando.

Saya yakin, pengeroyokan Ade Armando bukanlah esensi dari demonstrasi mahasiswa kemarin. Ya inilah salahsatu dari chaos yang terjadi, dimana ada oknum massa yang memanfaatkan momentum demo. Sudah jadi barang maklum lah, bahwa sejak 2014 lalu, secara membabi buta kita disuguhi praktik politik identitas, menggunakan jubah agama untuk mewujudkan tujuan politik tertentu. Propaganda, caci maki dan lain-lain digunakan dalam pertarungan 2014, berlanjut di 2019. Kelompok mana? Ini sudah 2022, jadi sudah 8 tahun sejak politik identitas menggelora. Semua sudah tau siapa pemainnya. Kengerian politik identitas ini bisa anda baca di media sosial, baik twitter, facebook, youtube, dll yang penuh dengan kebencian. Takbir! Sweeping, Takbir! Ngebom, Takbir! Ngeroyok. Bagi saya, ini adalah hal nyata dalam penistaan terhadap nilai-nilai agama.

Saya juga banyak tidak suka dengan pendapat Ade Armando yang nyeleneh dan memicu kontroversi. Bahkan dalam status Prof. Mun’im Sirry disebut kekerasan verbal. Diluar dari ketidaksetujuan saya itu, pengeroyokan ini sama sekali tidak bisa dibenarkan. Yang menyedihkannya lagi, media sosial diramaikan dengan ucapan “Alhamdulillah” atas apa yang menimpa Ade Armando. Ada juga ada yang merasa terwakili dengan para penganiaya. Juga menghubung-hubungkan bahwa tragedi itu adalah azab dari Allah untuk Ade Armando. Lagi-lagi agama dijadikan pembenaran untuk menganiaya orang. Miris lah melihat komentar netizen yang dalam komentarnya seolah-olah mengesampingkan kemanusiaan. Semoga saja yang kita lihat di medsos itu adalah komentar akun-akun palsu yang diatur oleh bot, bukan orang beneran, karena komentarnya udah gak kayak orang.

Saya ini nahdliyin tapi juga mengkritik pemerintahan? Pikiran anda sempit jika memandang saya akan selalu pro kepada pemerintah karena saya NU, yang dituduh sebagai ormas penjilat pemerintah. Engga bos! Secara pribadi, saya punya sikap, saya punya otak dan saya punya hati untuk mengolah apa yang saya lihat, dengar dan rasakan dari pemerintah. Maka sikap saya tidak harus sama dengan organisasi manapun. Dan, mengenai NU, mungkin anda juga salah memahami, bahwa benar sebagian besar warga NU berperan dalam pemenangan Jokowi-KH. Ma’ruf Amin, tapi NU bukan partai politik, sehingg secara kelembagaan/keorganisasian, NU tidak ikut campur dalam urusan politik praktis, tapi NU akan terdepan jika urusannya adalah politik kebangsaan, seperti menghadang mereka yang menggunakan Politik Identitas, menjadikan agama sebagai alat kepentingan politik, atau golongan sempalan-sempalan radikal yang berani menghina para Kyai NU dan merongrong NKRI. Kikis Habis!

Semoga Indonesia aman dan damai. Sehingga kita tetap bisa beribadah dengan tenang, berpuasa dengan santuy, dan ngabuburit dengan tawa, jangan sambil sweeping apalagi ngeroyok orang. Selamat Ngabuburit.

TOLAK 3 PERIODE!
TURUNKAN HARGA-HARGA!
KATAKAN TIDAK UNTUK POLITIK IDENTITAS!

Tentang Keyakinan Saya pada NU

Tentang Keyakinan Saya pada NU

Jagat maya saat ini, khususnya media sosial memang sedang gencar-gencarnya mempertontonkan perang pengaruh, saling merebut klaim kemayoritasan, klaim paling agamis, tuding menuding, dan sejenisnya. Propaganda sekejam apapun dihalalkan. Goreng menggoreng terus dipraktekkan dalam kehidupan bermedsos sehari-hari. Banyak dugaan bermunculan apakah sebetulnya kegaduhan yang terjadi di dunia medsos kita hari ini adalah bagian dari operasi intelejen dari negara adidaya untuk menancapkan pengaruhnya di negara lain? atau bahkan menghancurkan eksistensi sebuah negara seperti yang terjadi di timur tengah? Barangkali ini bisa jadi diskursus yang menarik untuk dibahas sambil ngopi.

Salah satu organisasi yang saat ini terus menerus menjadi target serangan adalah Nahdlatul Ulama. Sebagai organisasi keagamaan islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, NU jelas telah menjadi sasaran empuk propaganda dan fitnah. Tujuannya jelas untuk melemahkan posisi NU sebagai salah satu pondasi penting yang berperan besar dalam memperjuangkan, mengisi dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlebih, catatan-catatan sejarah hari ini mulai membuka kiprah besar Nahdlatul Ulama yang sebelumnya banyak tertutupi, khususnya akibat dari tekanan pemerintah orde baru yang mengerdilkan peran NU dan kader-kadernya, salah satunya? Resolusi Jihad.

Media sosial menjadi medan fitnah yang luar biasa terhadap NU dan bagian-bagian yang terkait dengannya, salah satu yang paling kencang mendapatkan serangan adalah Gerakan Pemuda Ansor dan Bansernya. Anda bisa kroscek sendiri bagaimana narasi-narasi negatif terus dilontarkan, baik di facebook, twitter, instagram, youtube, tiktok dan tak ketinggalan, grup-grup whatsapp. Propaganda yang masif itu mau tidak mau harus diakui memiliki pengaruh dalam mendistorsi persepsi terhadap NU, Ansor, Banser dan yang lainnya disebagian kalangan, meskipun saya yakini tidak banyak. Bahkan kalangan santri pun ada yang ikut nyinyir dan “membenci Ansor dan Banser”.

Saya memang belum terlalu lama berkecimpung di Nahdlatul Ulama. Saat mahasiswa, tergabung di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Kemudian saat kembali ke kampung halaman, tiba-tiba saya langsung ditunjuk menjadi Sekretaris MWC NU Kec. Rajagaluh (saya merasa sangat tidak layak), disusul dengan diberi mandat sebagai Wakil Ketua di PAC GP Ansor Kec. Rajagaluh. Dan beberapa hari ini, saya aktif mempublikasikan keterlibatan saya dalam acara DIKLATSAR BANSER yang merupakan gerbang awal bagi masyarakat yang ingin bergabung dengan Satuan Banser. Komentar yang masuk ke saya cukup beragam. Ada yang mempertanyakan, ada yang mengernyitkan dahi, terheran-heran, kenapa orang seperti saya, yang mungkin menurut mereka seperti “orang lurus” masuk ke dalam organisasi “nyeleneh” macam GP Ansor dan NU. Lagian, anda juga “nyeleneh” juga menuduh saya orang lurus, hahaha.

Lalu bagaimana posisi saya menanggapi banyaknya ujaran negatif terhadap NU? Mengenai ini, saya punya keyakinan. Bahwa NU adalah rumah besar para Ulama, khususnya beliau-beliau yang telah membimbing saya saat di Pesantren dulu. Tidak ada satupun kyai dari Pondok Pesantren almamater saya yang tidak memiliki keterlibatan dan keterkaitan dengan Nahdlatul Ulama. Jadi, jelaslah bahwa keterlibatan saya di NU adalah merupakan suatu upaya ta’dziman, takriman, taqlidan kepada Guru-guru saya di Pesantren dulu. Saya meyakini bahwa guru-guru saya di Pesantren ini tidak akan salah pilih organisasi dan tidak akan asal-asal dalam menentukan wasilah berdakwah, dari mulai di Ciamis, Pati, Brebes, Tasikmalaya dan Malang semua sama, NU!

Kenyelenehan yang mungkin terlihat dari para kyai atau tokoh NU yang seringkali menjadi bahan ‘gorengan haneut’ itu saya yakin memiliki argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak hanya asal ingin beda atau ingin menciptakan sensasi. Keyakinan begini tidak berarti menumpulkan daya kritis saya kepada satu dua persoalan ya, karena pasti saya memiliki persepsi dan pendapat terhadap persoalan itu. Setuju dan tidak. Suka dan tidak. Nyaman dan tidak. Tapi persepsi saya itu tidak akan bisa mendorong saya untuk menjauhi NU. Karena sederhana saja, secara hakikat, saya sudah meyakini bahwa garis perjuangan NU dan para Kyai didalamnya merupakan suatu kebenaran yang patut saya perjuangkan. Jadi, apapun serangan cacian fitnahan yang diarahkan kepada NU, saya akan tetap mengkhidmahkan diri saya untuk ikut berpartisipasi dalam ngurip-nguripi NU, minimal di daerah tempat saya tinggal, termasuk Ansor dan Banser yang juga bagian dari keluarga besar NU, semampu saya tentunya.

Titik Balik

Titik Balik

Hari-hari saat di pesantren adalah hari dimana fokus dan fikiran kita tidak banyak terbelah. Tujuan kita pada saat itu cuma tiga, mengaji, mengaji dan mengaji. Salah satu yang paling teringat adalah saat dikabalongkeun, yaitu dihukum dengan menyeburkan diri kedalam kolam yang (cukup) kotor selama beberapa waktu, biasanya saat saya atau santri yang lain kedapatan nundutan. Nundutan ini bahasa sunda, bahasa inggrisnya sleep while sit, hahaha. Nundutan itu, saat kita ma’nani atau ngalogatan kitab kuning di halaman 10 >tidak sadar > sadar > dan ternyata sudah sampai halaman 15. Bolonglah ma’nani itu sebanyak 4 halaman. Dihalaman 10 itu, berdiri sebuah pulau yang menjadi lokasi DAHDIR KINGDOM, hahaha.

Tradisi mengaji atau ma’nani kitab kuning itu bertahun-tahun hilang dari keseharian saya. Kalo tidak salah, kitab terakhir saya ma’nani itu adalah kitab Nashoihul Ibad saat berkuliah di Malang dulu, itupun semester satu dan dua. Setelah itu, dialektika saya dalam menyelami kutubut turots memang benar-benar luput. Selain memang saat kuliah dulu saya tidak lagi mondok, alias ngekos dan ngontrak. Memang juga saya ikut berorganisasi dan fokus di bidang jurusan kuliah saya, kimia. Dan itu berlanjut hingga saya selesai studi S2 kemarin-kemarin itu.

Jadi, bisa anda bayangkan, bab demi bab Jurumiyah, bait demi bait Imrithi dan Alfiyah harus saya recall. Dan proses recalling itu jelas sulit, karena sudah sekitar 5-6 tahunan. Astaghfirullah. Intinya saat ini, saya merasa ingin menyambungkan kembali tali yang (hampir) putus itu. Dan kemarin adalah waktu dimana saya berkesempatan menyambungkan kembali benang demi benang dari tali yang sudah hampir putus itu.

Ba’da jumat kemarin (19/11/2021), saya memulai kembali tradisi mengaji kitab kuning itu. Kali ini saya nimbrung di pengajian rutinan alumni dan muhibbin Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Bertempat di Pondok Pesantren Cabang Lirboyo V, Tegalaren, Ligung, Majalengka, saya, Bapa dan adik saya ikut mengaji bersama para alumni Lirboyo. Kitab yang dikaji adalah kitab Minhajul Abidin, karya dari Hujjatul Islam, Imam Ghazali yang menjelaskan beberapa aqobah (jalan terjal) yang harus ditempuh oleh seorang hamba untuk meningkatkan kualitas untuk beribadah kepada Allah, baik yang mahdloh maupun yang ghoir mahdloh.

Pada kesempatan itu, pengajian diisi oleh KH. Atho’illah Sholahuddin Anwar, dari Lirboyo Pusat. Kitab tasawwuf macam ini sangat tepat dikaji ditengah masyarakat, dan khususnya untuk saya sendiri. Dimana mudah-mudahan, melalui mutiara kebijaksanaan yang diuraikan dalam kitab ini dapat mentransformasi saya pribadi menjadi lebih bijaksana dan intinya lebih baik lagi dalam menjalani kehidupan yang singkat ini. Kesempatan ma’nani kitab seperti kemarin adalah titik balik saya. Dalam arti sempitnya, mengobati kerinduan saya akan tradisi nulis arab pegon kecil pake pulpen hitec-c yang harganya 20 ribu itu. Yang sekali jatuh saja, si santri itu akan pusing karena seringkali langsung macet, duh. Semoga saya istiqomah bisa mengikuti pengajian kitab ini setiap bulannya, Amiiin.

Eh, pulpen hitec-c harganya masing 20 ribu tah? Atau sudah naik? Beneran nanya.

Wallahu a’lam

Simbiosis Ilmu Fiqih dan Perkembangan Bioteknologi

Simbiosis Ilmu Fiqih dan Perkembangan Bioteknologi

Berawal dari iseng-iseng membuka aplikasi google keep di email lama, ada catatan lawas yang kembali terbaca. Tertulis di tanggal 26 Desember 2016. Sudah cukup lama, 5 tahun. Isinya adalah catatan-catatan diskusi bersama KH. Yayan Bunyamin, M.Phil. Kang Yayan, sapaan akrabnya, sekarang ini dikenal sebagai kyai muda dengan keilmuan yang mendalam dan berpengetahuan luas, khususnya dalam keaswajaan dan saat ini menjadi pemateri dari MKNU (Madrasah Kader Nahdlatul Ulama) di wilayah Jawa Barat.

Pertemuan pertama saya dengan beliau ini terjadi secara tidak sengaja saat saya masih berkuliah di UIN Malang. Kalo tidak salah, beliau menjadi utusan dari NU Jabar untuk mengikuti agenda bahtsul masail PWNU Jatim yang bertempat di rektorat UIN Malang. Detilnya saya agak lupa-lupa ingat bagaimana saya bisa bersua dan banyak belajar kepada beliau pada saat itu. Yang pasti, saat saya mengikuti MKNU beberapa bulan yang lalu dan beliau menjadi pematerinya, beliau masih ingat saya, berikut namanya juga. Padahal, saya mah apa atuh, bubuk raginang yang mungkin atau harusnya terlupakan oleh tokoh sekaliber beliau ini. Salam Takdzim saya, Kang.

Jadi, kalo tidak salah, obrolan di warung kopi bersama kang Yayan itu berkutat pada urusan begini, sebetulnya saya ini yang notabene mahasiswa non-islamic studies ini bisa berwacana apa untuk NU dan Islam pada umumnya. Wah, dongeng-dongeng dari beliau ini akhirnya murudul. Terbukti catatan-catatan saya ini lumayan sporadis dan tidak terstruktur. Artinya, obrolannya ngalor ngidul, tapi semuanya berbobot. Misal tentang pesantren, NU, keislaman kontemporer, wacana bioetika islam, transhumanisme, stem cell, hingga patung yang dianggap sebagai perwujudan Nabi Muhammad SAW yang ada di US Supreme Court. Menyoal stem cell, saya disarankan beliau untuk menonton sebuah film berjudul “Transendence”. Film ini bergenre Sci-Fi yang merupakan genre film kesukaan saya. Jadi langsung tancap saja.

Film yang dibintangi oleh Johny Depp ini bercerita seputar perkembangan teknologi kecerdasan buatan, dimana Dr. Will Caster (Johny Depp) di tembak dengan racun radiasi polonium oleh yang disebut dalam film itu sebagai kelompok teroris sehingga ia hanya punya waktu beberapa hari saja untuk hidup. Lalu ia bersama sahabatnya, Max dan pasangannya, Evelyn berupaya memindahkan kesadaran Will kedalam sistem supercomputer. Syahdan, ditengah keputusasaan Max dan Evelyn, ternyata percobaannya berhasil. Mereka berdua mampu memindahkan kesadaran Will kedalam komputer AI itu. “Manusia cenderung takut atas apa yang belum dia pahami”, adalah kutipan favorit dari film ini. Singkat cerita, Will super-AI itu berhasil membuat terobosan baru nanotechnology berupa suatu synthetic stem cell yang mampu meregenerasi jaringan rusak apapun dalam tubuh manusia. Dan sekaligus bisa memprogram dan menguasai kesadaran manusia, serta meningkatkan kemampuan fisiknya. Dibalik ‘transendence’ yang telah digapai, ada kekhawatiran dari beberapa pihak terkait dengan apa yang telah digapai Will Super-komputer itu. Will dan Evelyn dianggap melampai batas kemanusiaan dalam mengembangkan teknologinya.

Dalam dunia nyata, riset tentang stem cell ini adalah bagian yang terus diperjuangkan. Para ilmuwan memang berupaya untuk mengembangkan teknologi stem cell ini untuk digunakan dalam dunia kesehatan, atau secara luasnya, untuk membantu umat manusia bertahan hidup. Barangkali ada yang belum sempat baca, sel dalam tubuh kita itu macam-macam, ada sel darah yang terkait dengan fungsi peredaran, sel kulit untuk fungsi melindungi tubuh, sel otot untuk keperluan kontraksi, dll. Sedangkan stem cell atau sel punca adalah sel yang tidak memiliki struktur dan fungsi yang spesifik. Stem cell memiliki potensi untuk menjadi sel lain dalam tubuh. Tubuh kita menggunakan stem cell untuk mengganti sel-sel yang telah mati. Berdasarkan hal tersebut, ilmuwan mencoba terus menggali potensi stem cell tersebut untuk membuat jaringan tubuh baru yang dapat digunakan untuk mengganti organ yang rusak akibat dari cedera atau penyakit. Sejauh mana penelitiannya? Saya belum membaca sejauh itu.

Dari dongeng diatas, kita bisa mencoba untuk memunculkan pertanyaan begini, bagaimana islam sebagai agama menyikapi kemajuan-kemajuan teknologi ini? Atau misal, apa fatwa-fatwa ulama kita dalam memahami kemajuan teknologi dalam berbagai hal? Serunya, di Nahdlatul Ulama ada lembaga khusus yang mengakomodir persoalan-persoalan macam ini, bernama Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Selain di NU, ada juga komisi fatwa MUI, atau di Mesir, ada Universitas Al Azhar, universitas islam tertua yang dianggap punya otoritas dalam menentukan hukum dari soal begini. Sebetulnya, hukum islam, atau dalam istilah lain adalah fiqih, bisa dikorelasikan dengan bioetika. Bioetika ini berbicara sejauh mana moral membatasi pengembangan teknologi dalam bidang biologi dan kesehatan. Jika kita hubungkan dengan konsep ushul fiqh, khususnya dalam enam poin maqashid syariah yang berisi landasan filosofis dari pengambilan keputusan hukum dalam islam, bioetika bisa dielaborasikan dengan fiqih ini. Karena memang urusan fiqih ini tidak hanya menyoal dimensi peribadatan belaka, melainkan dimensi sosial dan teknologi juga termasuk di dalamnya. Sehingga bisa dibilang, bioetika islam ini menjadi suatu keilmuan kontemporer yang menarik untuk dibaca dan dipelajari, karena disitu dapat didiskusikan antara pengembangan bioteknologi dan bioetika serta kaidah-kaidah fiqih islam.

Maka sesuai judulnya, kira-kira yang diharapkan adalah bagaimana kemudian ilmu fiqih dalam islam ini mampu menjadi ‘pembatas moral ideal’ dalam pengembangan bioteknologi atau teknologi secara umum, yang dalam film ‘Transendence’ tadi dianggap bahwa Will Caster telah melampaui batas moral kemanusiaan. Seperti yang dipelajari saat SMA dulu tentang simbiosis, jangan sampai simbiosis antara fiqih dan teknologi ini bersifat komensalisme atau bahkan parasitisme, namun harus berorientasi pada mutualisme, saling menguntungkan. Sehingga, apa yang dituju dalam maqashid syariah dalam konteks islam dan tujuan mulia para ilmuwan untuk membantu umat manusia ini bisa dicapai dengan baik dan efektif.

Saya sangat tertarik ketika membaca rumusan Bahtsul Masail Waqi’iyah pada saat Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang lalu (26/9/2021), dimana muncul dua pertanyaan terkait dengan bioteknologi. Pertama, adalah terkait dengan gelatin dari kulit atau tulang babi. Kedua, adalah pertanyaan yang lebih kontemporer, yakni terkait dengan hukum mengkonsumsi daging hasil pengembangbiakan sel. Hasil putusannya apik. Dan bagi saya, sangat menunjukkan bahwa para ulama NU ini selain memiliki sanad ilmu keislaman yang terjaga, atau dalam adagium populernya adalah muhafadzoh alal qodimis sholih, tetapi juga ciamik dalam menanggapi persoalan-persoalan kontemporer, atau akhd bil jadidil ashlah. Putusan-putusan keren itu tidak bisa dihasilkan dari cara berfikir yang tertutup. Artinya harus dilandasi dengan sikap-sikap moderat dan adil dalam menyikapi persoalan. Dan untuk melatihnya, dilakukan melalui diskusi-diskusi LBM yang menjadi ruh dalam konteks fikrah dan harakah di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Oh iya, hasil putusan tentang gelatin bisa anda baca sendiri disini. Sedangkan untuk yang daging kultur sel, anda bisa klik juga disini. Singkatnya, untuk daging hasil kultur stem cell ini diputuskan dihukumi haram. Karena sel nya diambil dari hewan yang masih hidup. Sedangkan dalam fiqih, kita sama-sama tahu bahwa daging yang boleh kita konsumsi adalah harus berasal dari hewan yang disembelih secara syar’i. Lalu bagaimana dengan motivasi ilmuwan yang berangkat dari keprihatinan melihat konsumsi daging dunia yang tinggi yang akhirnya juga berkorelasi dengan tingginya produksi daging konvensional, yang berefek buruk terhadap lingkungan karena menghasilkan emisi gas rumah kaca? Hemat saya, ini perlu i’tikad baik dari banyak pihak, karena sebenarnya, konsumsi daging berlebihan juga akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Sehingga perlu dibatasi. Dan selain menjadi dalil agama, sudah menjadi standar moral yang universal juga bahwa segala hal yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Solusi lainnya, ini adalah kesempatan juga bagi para ilmuwan islam, bagaimana semisal meneliti tentang pangan yang juga tetap berpegang pada kaidah-kaidah syariat islam. Disinilah bioetika islam dapat berperan untuk mencari solusi-solusi lain.

Terbaru, beberapa hari yang lalu saya juga membaca di instagram ada isu lain yang menarik menjadi pembahasan dalam dunia kedokteran, dimana ilmuwan di AS berhasil mentransplantasikan ginjal babi terhadap manusia. Menurut mereka, ini dilakukan karena sulitnya mendapatkan pendonor organ dari sesama manusia. Dan kemarin, saya membaca fatwa dari Al Azhar yang memperbolehkan proses xenotransplantasi ini jika dalam keadaan benar-benar mendesak. Anda bisa baca fatwanya disini. Disamping itu, tak sedikit pula pihak yang menentang xenotransplantasi babi ke manusia ini, dan hubungannya juga terkait dengan bioetika. Semisal organisasi Hak Asasi Hewan Dunia yang menentang karena dianggap sebagai keegoisan dan keserakahan manusia yang mengeksploitasi apapun yang dibutuhkannya, selain memang juga dikhawatirkan babi akan membawa virus dan patogen menular yang berbahaya terhadap manusia.

Anda boleh setuju atau tidak terhadap fatwa Al Azhar, tapi setidaknya, para ulama al azhar telah berupaya dan berdialektika demi mendapatkan solusi ditengah permasalahan umat yang kompleks. Forum-forum seperti bahtsul masail, meskipun putusannya dipandang belum solutif, belum menjawab, atau bahkan tidak menghasilkan putusan apapun, itu adalah forum yang luar biasa besar manfaatnya dalam meningkatkan intelektualitas. Seperti dalam urusan bank, saat mendengar pengajian gus baha tentang hukum bank yang melulu ada 3 qoul di kalangan ulama, yakni halal, haram dan syubhat, dan ternyata sejak dulu sampai sekarang, qoulnya ya tetap begitu, hahaha. Dengan kata lain, di luar fakta bahwa ulama berbeda-beda pendapat, disitu para ulama terus-menerus meningkatkan pengetahuannya terkait sistem bank yang juga terus berkembang. Kira-kira muncul pertanyaan begini. “Riba ini sepakat lah haram. Nah, apakah sistem bank sekarang ini bisa dikategorikan sebagai riba atau tidak? Itu persoalan yang tidak sederhana.”.

Kembali ke persoalan perkembangan bioteknologi dan ilmu fiqih. Para ulama ke depan memiliki tantangan yang lebih besar lagi dibandingkan ulama saat ini. Karena yakin, bahwa teknologi akan terus dan cepat berkembang seiring berjalannya waktu, dan tentu memunculkan persoalan-persoalan baru dalam dimensi sosial, minimal bertanya hukumnya ini apa, hukumnya itu apa. Dan ulama harus bisa menjawab itu. Dan di masa depan, ulama-ulamanya adalah santri-santri yang sekarang masih belajar di pondok pesantren. 20-30 tahun ke depan, santri yang kemudian akan bertransformasi menjadi ulama ini akan hidup di zaman yang jelas berbeda dengan sekarang ini, dengan tantangan yang jelas lebih besar. Maka, tugas santri saat ini sangat berat untuk terus belajar dan belajar, baik dari segi pengetahuan agama, maupun pengetahuan tentang teknologi.

Dan saya juga yakin, tidak semua santri akan tercetak menjadi ulama/kyai, itu adalah dawuh guru saya, dan terbukti, saya dulu santri dan saya sekarang bukan ustad, apalagi kyai, hahaha. Saya lulusan S2 Kimia UNPAD, dan beberapa hari lagi mau wisuda, hehe. Artinya, memang santri kedepan tidak melulu harus jadi ulama, santri bisa jadi dokter, apoteker, arsitek, programmer, youtuber, pebisnis, bos besar, ilmuwan kimia ataupun bioteknologi seperti yang dibahas. Sehingga, output dari riset-riset pengembangan bioteknologi tetap berpedoman pada standar moral universal dan juga kaidah-kaidah syariat islam, atau dalam bahasa kerennya, bioetika islam. Akhiron, saya minta maaf karena sudah membuat anda membaca tulisan panjang gak mutu ini. Sebenernya saya ini lagi bantu jualan di pasar, tapi sepinya luar biasa. Efek pandemi terhadap pasar konvensional memang luar biasa. Mohon doanya ya, supaya usaha saya dan keluarga tetap lancar. Haturnuhun.

Wallahu a’lam.

Manajemen Waktu dan Nahdliyyin

Manajemen Waktu dan Nahdliyyin

Nulis judulnya juga emang agak berat sih. Menyandingkan manajemen waktu dan nahdliyyin itu macam menghadapkan dua magnet dengan kutub yang sama, pasti saling tolak menolak, hahaha. Ngapunten, niki guyon nggeh. Saat saya ke bekasi untuk jalan-jalan bersama istri, anak dan orang tua sabtu (23/10/21) lalu, saya memang wajib menyempatkan waktu untuk mengisi pelatihan keorganisasian di almamater saya, HIMASKA “Helium” UIN Maliki Malang via daring. Materinya? Manajemen Waktu.

Manajemen waktu ini sebetulnya materi yang sederhana, namun dalam prakteknya, dibutuhkan keteguhan hati untuk merealisasikannya. Dalil-dalil qur’an, hadits, kalam ulama, kata-kata dosen, nasihat orang tua tentang waktu ini sudah sangat banyak, tapi dalam praktiknya, sulitnya bukan main. Makanya saya pas diminta ngisi materi ini agak bingung. Kalo ditolak, saya gak enak. Sudah beberapa kali ada yang minta saya ngisi pelatihan via daring, saya tolak. Yang terakhir kalo tidak salah, diminta mengisi MAPABA di PMII, saya tolak karena saat itu sedang terserang flu berat. Kalo diterima, materi Manajemen Waktu ini sebetulnya kurang pas, ya karena memang saya sendiri masih belajar untuk benar-benar bisa efektif dalam memanajemen waktu. Tapi akhirnya saya terima juga, meskipun dalam forum berkali-kali saya tegaskan, disitu jangan anggap saya pemateri, tapi sekedar pemantik diskusi dan sharing bersama.

Sepengalaman saya nih ya, memang ketika berkegiatan di lingkungan Nahdlatul Ulama, baik yang kultur maupun yang struktur. Manajemen waktu saya cenderung kacau. Sebagai contoh, ada panggilan rapat kegiatan bakda maghrib, mayoritas jam 9 atau jam 10 malam baru kumpul. Pernah juga saya memenuhi undangan rapat di PCNU tertera jam 13.00, dan rapat baru mulai pukul 15.00, mantaaaap. Masalahnya, jam 15.00 ini saya sudah ada agenda lain, jadi ya, kacau.

Saya sendiri memang lahir di keluarga dengan kultur NU. Dan sebetulnya juga gak aneh-aneh amat dengan fenomena demikian. Cuma memang, fenomena itu justru tak terlihat ketika saya mondok. Di Pesantren, semua serba tersistem, baik dari segi waktu dan kegiatan apa yang dilakukan. Telat sedikit saja, misal sholat jamaah, siap-siap aja ta’ziran menanti. Kalo zaman saya mondok dulu, persinggungan antara telapak kaki dan kayu rotan adalah harmoni yang indah, haha. Kayaknya kalo zaman sekarang, orang tua santri mungkun sudah bikin laporan ke polisi.

Fenomena jam ngaret ala NU ini cukup kental terasa saat berkecimpung di organisasi saat kuliah dulu, tepatnya di PMII. Sebetulnya di PMII dibilang parah gak parah-parah amat lah. Misal acara direncanakan pukul 13.00, paling parah ngaretnya sejaman lah, jam 14.00. Kecuali rapat-rapat tahunan itu, ngaretnya bisa naudzubillah. Sebetulnya ngaret di PMII ini masih bisa ditolerir. Mungkin ada beberapa yang memang masih ada perkuliahan di kelas, praktikum, dan lain lain. Tapi tetap saja, WINU (Waktu Indonesia NU) ini bukan hanya terkenal di internal kalangan nahdliyyin saja, tapi sudah lintas organisasi, bahkan lintas iman. Begini ceritanya, teman saya suatu ketika mengundang seorang aktivis lingkungan, namanya Pak Daniel S. Stephanus, dosen Universitas Ma Chung, Malang yang beragama Kristen. Ketika saya dan teman saya nyowani beliau untuk ngisi materi pelatihan tertentu, beliau nanya begini, “Jam 8-nya ini jam 8 NU apa Muhammadiyyah? Soalnya kalo jam 8 NU, nanti saya datangnya jam 9 saja.”. Benar saja, saat acara itu digelar, pak Daniel yang sudah rawuh sejak pukul setengah 9, baru bisa menyampaikan materi pukul 9. Bagaimana tidak, saat pak Daniel datang itu, baru ada 5 kepala yang hadir di forum termasuk panitia. Jadi tak bisa kita pungkiri bahwa WINU begini ini memang sudah dikenal hingga lintas iman.

Selain di lingkup mahasiswa, ya di keluarga saya sendiri. Malam jum’at adalah waktu dimana rutinan yasinan keluarga besar. Undangannya bakda maghrib, jam 9 baru kumpul dan mulai. Hehe. Jika dibanding-bandingkan dengan kultur Muhammadiyah yang katanya sangat tepat waktu itu, tenang dulu, saya punya pembelaan untuk kaum nahdliyyin, yang didalamnya termasuk saya nih. Jadi mereka-mereka yang jadi pengurus Muhammadiyah ini rata-rata memiliki pekerjaan dengan jam kerja yang tetap setiap harinya, seperti guru, dosen, pegawai kementrian, PNS, dll. Sehingga ketika ada rapat-rapat, lebih mudah menentukan jadwalnya, karena memang jam istirahat dan pulangnya mayoritas sama. Lain halnya dengan pengurus-pengurus NU, ada yang mengurus pesantren, jadi guru ngaji, ustad, pedagang, petani, dan pekerjaan lain yang jam kerjanya notabene tidak teratur. Lebih proletar. Jadi semisal pagi-siang pengurus NU yang pedagang dan petani sibuk, yang jadi guru ngaji longgar. Sedangkan malam, pedagang-petani longgar, guru ngaji, kyai dan ustad yang sibuk. Konsekuensinya, rapat-rapat seringkali efektif diatas jam 10 malam. Begitu kira-kira alibinya. Hehe.

Intinya, stigma jam ngaret NU ini tidak semerta-merta kita bisa salahkan kepada pengurus bahkan warga nahdliyyin pada umumnya, melainkan ini adalah taqdir dari Allah Subhanahu wata’ala, yang menjadikan warga nahdliyyin ini sangat banyak dan heterogen dalam hal kesibukan dan profesi. Sehingga, ketika saya bahkan anda adalah warga nahdliyyin, kita punya tugas yang lebih berat dalam memanajemen waktu, minimal harus punya toleransi jam ngaret sekitar 2 jam perkegiatan di lingkungan NU, itu standar minimal ya, haha.

Tapi, mau bagaimanapun, jam ngaret ini bukan hal positif dan tidak boleh terus diwariskan dari generasi ke generasi. Ke depan, persaingan dalam berbagai bidang sangat terkait dengan kecepatan dan ketepatan waktu. Jadi kita tidak bisa leyeh leyeh untuk bersaing dengan yang lainnya. Maka saya selalu ‘sok bijak’ mengajak teman-teman saya di lingkungan GP Ansor Rajagaluh untuk mengadakan kegiatan dengan ketepatan waktu yang baik. Buang jauh-jauh budaya ngaret itu. Minimal itu bisa dipupuk di generasi muda macam Ansor dan IPNU-IPPNU. Karena dengan manajemen waktu yang baik, kita bisa lebih bisa produktif dan bahagia. Caranya bagaimana? Kita harus menghapus stigma macam begini, “Kalo undangan jam 8, berarti saya berangkatnya jam 9 aja, toh, kalo berangkat jam 8, pasti belum ada siapa-siapa.”. Jika semuanya berfikir demikian, jelaslah budaya ngaret ini akan senantiasa eksis hingga hari kiamat.

Untuk menjadi pribadi yang pandai mengatur atau memanajemen waktu, saya bahkan anda pasti sudah punya banyak dalil dan teorinya. Begitupula dengan motivasinya yang tinggal digali saja masing-masing. Dan sebetulnya, banyak tokoh-tokoh NU yang meraih sukses karena kepandaiannya dalam mengatur waktu. Pesantren-pesantren besar yang ada juga saya yakin dipimpin oleh kyai-kyai dengan kedisiplinan waktu yang tinggi dan banyak hal positif lainnya.

Sekali lagi ngapunten, bukan maksud saya menghina atau men-judge warga nahdliyyin atau pengurus NU. Karena yang punya budaya ngaret di NU ini juga gak semua, cuma banyak aja. Selain itu, gak masuk akal juga lah kalo saya dianggap menghina, bagi saya ini adalah otokritik, minimal untuk saya pribadi. Toh, saya juga pengurus NU yang belum bisa amanah dan seringkali tidak mampu memanajemen waktu dengan baik, sehingga saya malu kepada kyai saya karena saya masih belum bisa berkhidmat dengan maksimal di Nahdlatul Ulama. Contoh lainnya adalah di urusan nulis ini. Diawal sebetulnya saya ingin pertiga hari ada tulisan yang terpublikasi di website, tapi ternyata, hanya bisa satu tulisan saja perminggu, bahkan per dua minggu. Apalagi dalihnya selain karena memang saya belum bisa memanajemen waktu dengan baik. Makanya saya gak berani nulis dalil satupun di tulisan ini. Ketok’e kok bakal wagu. Wallahu alam bisshowab.