Adaptif dengan Musik

Adaptif dengan Musik

Melihat satu postingan instagram gus Nadir yang berisi potongan video suasana Synchronize Fest dimana Hadad Alwi bersenandung melantunkan tembang “Rindu Muhammadku”, disitu terdapat sekelompok anak muda yang dengan semangatnya mengikuti alunan musik dan ikut melafalkan lirik yang berisi sholawat. Yang menarik adalah terdapat seorang wanita yang tak berhijab berurai air mata, menangis sendu, mungkin saking ia meresapi lirik demi lirik yang disampaikan.

Dari sini, saya tak akan membuat caption yang sama dengan gus Nadir tentunya. Saya justru ingin berbagi pengalaman pribadi betapa saya aneh terhadap diri sendiri. Disaat orang-orang terkadang punya preferensi genre musik yang disukai, bahkan musik yang ia benci. Beberapa orang pernah mengaku secara langsung bahwa ia tak menyukai dangdut koplo karena goyangan biduan yang seringkali tak senonoh. Saya malah tak bisa tak menyukai satu atau dua jenis musik. 

Tentu saja saya hanyalah penikmat musik, bukan vokalis, pengguna alat musik ataupun musisi. Saya hanya penikmat. Memang, ada masa-masa dimana saya merasa memiliki suara yang bagus, apalagi ketika flu, kebindengan membuat suara lebih merdu, wkwkwk. Saat itu, saya merasa suara saya sebelas duabelas dengan Pasha Ungu. Namun, setelah mendengar saran teman saya untuk merekam suara sendiri, kemudian didengarkan sendiri, ternyata suara yang saya bangga-banggakan saat flu itu fales banget, hahaha.

Ya, tapi memang begitulah. Saya menyukai semua jenis musik. Sejak SD dulu, diera-era ketika musik Indonesia didominasi Band macam Slank, Peterpan, Ungu, Naff, ST12, dan sejenisnya, saya menyukai semua lagunya. Bahkan terkadang, satu dua kali saya dengar terasa kurang bisa dinikmati, tiga empat lima ternyata enak juga. Apalagi saat kita coba menerka dan memperhatikan lirik demi lirik yang dilantunkan. Ada yang bikin mesem-mesem karena relate, ada juga yang bikin sedih karena dalam, adapula berlirik sedih, namun full joget menertawakan kesedihan macam koplo. Hahaha.

Bahkan, selama ini saat berkendara dengan orang tua, saya khatamkan itu tembang-tembang kenangan, macam lagu “Aku masih seperti yang dulu”-nya Dian Pieshesha, “Surat untuk Kekasih”-nya Tommy J. Pisa, “Jangan Ada Dusta Diantara Kita”- nya Broery Marantika & Dewi Yull, Koes Plus, dan lain-lain, banyak banget. Saya tak merasa itu tak kekinian dan aneh. Saya menikmatinya. Lagu-lagu Negeri tetangga macam lagu “Tayammum”-nya Iklim juga suka-suka aja. Lagu-lagu Barat, saya tak masalah selain lirik yang kurang saya pahami. Tapi beberapa lagu Barat ini sempat ada yang saya translate saking keingintahuan saya memahami artinya.

Hingga beberapa tahun belakangan inipun, saat ada yang menghujat lagu-lagu koplo, ada yang mengkritik lagu-lagu alumni Indonesia Idol, saya malah menikmati semuanya, dari Denny Caknan sampai Tiara Andini, bahkan ketika mereka berdua duet. Its awesome. K-Pop? Tanpa koreonya, banyak nada-nada lagunya yang menyenangkan kok. Lagu-lagu galau dan mellow macam Bernadya, atau penyanyi lain yang naik daun sekarang ini seperti Sal Priadi, Nadin Amizah, Fortwnty, Banda Neira, Fiersa Besari saya tak ada alasan untuk tak menyukainya. Nada-nadanya menyenangkan, liriknya mungkin ada yang relate, ada yang terlalu mellow, terlalu berlebihan, bagi saya, ya itulah karya seni, dimana dalam seni, orang bebas untuk mengekspresikan isi kepala.

Jadi, ini memang untuk saya pribadi. Ada banyak alasan untuk menyukai sebuah karya daripada untuk tak menyukainya. Andai liriknya tak paham pun, masih ada nada dan irama yang bisa kita sukai, saat nadanya tak begitu masuk ditelinga, ada lirik yang begitu indah untuk dinikmati. Seperti dalam sholawat, terkadang karena berbahasa arab, kita tak memahami artinya. Saat membaca maulid, mahallul qiyam, ia berisikan sejarah yang disampaikan dengan seni sastra yang indah. Mungkin, saat wanita muda dalam video yang diunggah Gus Nadir itu membaca dan memahami kata demi kata dalam beberapa kita maulid seperti barzanji, diba’i, simtudduror hingga burdah, saya cukup yakin air matanya akan mengucur lebih deras.

Ini adalah apa yang saya rasakan sebagai penikmat, bukan berarti mereka yang punya preferensi, menyukai yang ini, tak menyukai yang itu, adalah orang yang tak menghargai karya seni dan musik. Karena orang tentu punya hak untuk suka dan tidak suka dong. Apalagi mereka yang berprofesi sebagai musisi atau mahir dalam alat musik, pasti punya penilaian yang lebih baik dan objektif daripada saya kan? Toh, kritik pun diperlukan dalam sastra. Jadi, saya yang terlalu adaptif dengan musik dan hampir menyukai semuanya termasuk lagu India dan DJ OKE GAS-nya Prabowo ini apakah anomali? Ataukah ada juga yang sama dengan saya?

Sikap Meremehkan Ilmu dan Pendidikan

Sikap Meremehkan Ilmu dan Pendidikan

gambar hanya pemanis

Di era yang serba digital ini, ilmu sudah bukan menjadi barang langka. Kita bisa dengan mudah search di google untuk apapun yang ingin kita ketahui. Terlebih, fitur artificial intelegence (AI) macam chatgpt yang luar biasa canggih. Meski tak sepenuhnya akurat, ia bisa menjadi alat bantu yang baik untuk pengetahuan.

Saya adalah bagian dari pengguna yang merasa terbantu dengan kehadiran teknologi yang semakin berkembang. Dengan prompt atau keywords yang tepat, apapun yang kita ingin kita tanyakan akan dijawab oleh teknologi, entah melalui google, chatgpt, youtube, fyp tiktok, dll. Algoritma mengaturnya secara epik.

Jika ada yang bilang kepada saya, “Jangan belajar dari google, youtube, dsj karena belajar itu harus ada gurunya, belajar dengan google akan menyebabkan kita digurui oleh setan, kita akan tersesat.”. Saya tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Disatu sisi ada benarnya, namun dengan panduan dan cara penggunaan yang tepat, teknologi informasi adalah alat bantu yang luar biasa. Tak semerta-merta kita belajar ke setan. Asal kita paham, informasi yang diunggah ke internet banyak mengandung kebenaran, tergantung dari bagaimana kita menverifikasi, memvalidasi dan memprofiling sumbernya, dan tentu saja jangan menjadikannya sebagai rujukan primer. Jika anda menjadikan info di grup WA keluarga sebagai rujukan utama, falyatabawwa’ maq’adahu minannar, hahaha.

Dibalik kemudahan-kemudahan mengakses ilmu pengetahuan, ada aspek negatif yang lebih saya khawatirkan daripada mengenai sumber kredibel yang diperdebatkan,  yaitu tentang atensi manusia terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan di generasi mendatang. Saya melihat, generasi saat ini, paling tidak di circle pergaulan saya sehari-hari, terdapat indikasi dimana mereka seperti tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan, bahkan cenderung meremehkan.

Saking mudahnya sehari-hari kita mengakses sumber pengetahuan, kita seolah-olah meremehkan proses belajar yang harus ditempuh. Kita cenderung menggampangkan segala hal. Semuanya hanya tinggal browsing dan ketemulah jawabannya. Contoh pertama, di suatu kelas mahasiswa saya, ada sesi presentasi, sudah mah makalah dan ppt dibuat dengan asal-asalan tanpa rujukan buku-buku dan sumber yang baik karena hasil chatgpt atau downloadan scribd, saat tanya jawab, mereka mendadak browsing jawabannya saat kelas berlangsung lalu membacakannya tanpa pemahaman. Saya rasa ini adalah salah satu sikap yang mendegradasi marwah keilmuan.

Contoh kedua, saat mengobrol dengan seseorang, saya cukup kesal jika ditanya adakah perkuliahan (S1 atau S2) yang tidak perlu masuk kelas, tidak perlu skripsi, tinggal menunggu dan langsung lulus dapat ijazah? Toh, semua yang diajarkan di kuliah sudah ada di internet. Ini adalah pertanyaan yang cukup sering ditanyakan kepada saya oleh sebagian orang. Kita tau bahwa pendidikan di Indonesia memang punya segudang persoalan kronis. Tapi jangan kita perparah dengan kita ikut serta dengan praktek demikian. Memang, seperti dalam teori ekonomi, supply praktek jual beli gelar itu ada akibat dari adanya demand di masyarakat. Namun, kita harus hentikan ini paling tidak dimulai dari diri kita sendiri.

Gelar bagi saya juga memang tak penting. Tak penting dari sisi penyebutan oleh orang lain atau bangga-banggaan. Namun jika untuk diri kita sendiri, kita yang menyandang gelar ini harus punya refleksi mendalam pada diri kita masing-masing. Sudahkan kita menguasai keilmuan sesuai dengan tuntutan gelar yang kita miliki? Kita punya tanggungjawab moral untuk terus memantaskan diri kita memiliki gelar tersebut. Memiliki gelar akademik berarti menginformasikan kepada masyarakat bahwa kita punya kompetensi dalam bidang tersebut. Jika kita ternyata tak punya kompetensinya, bukankah kita dzolim dan tak menghargai pendidikan?

Contoh ketiga, joki skripsi. Contoh keempat, Gaji honorer. Contoh kelima, keenam, dan masih banyak lagi. Persoalan pendidikan di Indonesia memang multi multi. Tentu saja tak bisa kita selesaikan sendiri. Selemah-lemahnya usaha, paling tidak jangan biarkan kita ikut-ikutan menjadi pihak yang meremehkan ilmu dan pendidikan, dengan tidak menggampang-gampangkan.

Saya tau di era teknologi informasi ini semua serba gampang. Mari jadikan kemajuan teknologi dan kemudahan yang diberikannya ini sebagai media bagi kita untuk terus berkembang. Bukan kemudian kita bersembunyi dibalik kemajuan teknologi dan menyombongkan diri, padahal kita kosong dan tak berisi. Menggampangkan adalah sifat sombong terhadap ilmu. Bukankah Syekh Azzarnuji dalam Ta’limul Muta’allim mensyaratkan bahwa salah satu cara mengagungkan ilmu adalah dengan cara menghindari kita bersikap sombong terhadap ilmu?

Wallahu a’lam.

Menyelenggarakan Kaderisasi Ansor

Menyelenggarakan Kaderisasi Ansor

Kaderisasi adalah hal yang wajib dilakukan oleh sebuah organisasi. Tentu saja untuk pengembangan SDM dan regenerasi organisasi. Kader (Cadre) berasal dari bahasa Yunani berarti Bingkai. Artinya perkumpulan orang yang dibingkai untuk dibina demi tujuan tertentu.

Maka, demi mencapai apa yang dituju oleh GP Ansor, GP Ansor punya mekanisme kaderisasi bagi anggota yang dapat diikuti, dari mulai PKD (Pelatihan Kepemimpinan Dasar), PKL (Lanjut), hingga PKN (Nasional) bahkan LI (Latihan Instruktur). Dan, alhamdulillah, PAC GP Ansor Rajagaluh yang saya pimpin telah berhasil menyelenggarakan PKD yang diikuti total 70 peserta pada tanggal 31 agustus-1 september lalu di PP. Mansyaut thullab, Rajagaluhlor asuhan KH. Jazaul Ihsan.

Saat mahasiswa, saya diberi pemahaman bahwa jenis kaderisasi ada 3, yaitu formal, informal dan non formal. Formal seperti agenda PKD, PKL, dan sejenisnya, informal seperti pelatihan softskill, dan non-formal macam ngopi-ngopi dan ngaliwet. Artinya, PKD Ansor ini bukan hal aneh. Sudah kewajiban yang harus dilakukan, dan merupakan agenda rutinan.

Meski sudah rutinan, konsolidasi organisasi menjadi kunci untuk penyelenggaraan PKD. Karena tanpa ada tim atau kepanitiaan yang kompak, agenda kaderisasi tak akan bisa berjalan dengan baik. Hal yang paling penting adalah terkait dengan rekrutmen peserta dan strateginya. Ini sangatlah rumit, karena untuk mengajak orang untuk bergabung di organisasi bukan hal mudah, apalagi organisasi macam Ansor ini bersifat non-profit.

3 bulan kita lakukan serangkaian strategi untuk bagaimana dapat merekrut calon-calon kader yang diharapkan dapat membersamai bahkan melanjutkan estafet organisasi. Alhamdulillah, serangkaian strategi rekrutmen yang kami laksanakan membuahkan hasil 71 kader baru GP Ansor, dimana 80% diantaranya adalah putra daerah asli Rajagaluh, yang tentunya ke depan akan mewarnai pergerakan GP Ansor di wilayah Kecamatan Rajagaluh.

Tugas yang sebenarnya baru saja akan dimulai. Pengalaman berbicara, fase pasca pelatihan adalah fase krusial dimana kader baru itu akan tetap aktif atau menghilang. Mengapa demikian? Fakta di beberapa organisasi menunjukkan bahwa justru setelah pelatihan, banyak kader yang awalnya semangat, kemudian menghilang. Padahal seharusnya, setelah diberikan materi ideologisasi dan pengembangan diri, kader bisa lebih ideologis dan skillfull. Seharusnya. Tapi fakta ternyata berkata lain. Ini sebetulnya perlu dilakukan studi terkait mengapa itu bisa terjadi, yang menyebabkan rasa-rasanya kok agenda kaderisasi yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, pikiran, bahkan cuan yang tidak sedikit tidak berefek signifikan terhadap militansi kader.

Terkait studi, itu soal lain. Tapi yang perlu kita lakukan adalah bagaimana kita memastikan gejala ini tak berulang di GP Ansor Rajagaluh. Maka kita akan siapkan pendampingan-pendampingan di fase pasca kaderisasi, melalui kaderisasi informal macam penambahan pengetahuan dan soft skill, atau kaderisasi non-formal macam ngopi-ngopi dan ngaliwet. Karena untuk kebutuhan saat ini, meski organisasi macam Ansor dan NU ini kita yakini penuh dengan barokah, itu saja tidak cukup. Kita perlu siapkan Ansor menjadi ruangan yang nyaman untuk pengembangan diri, media yang tepat untuk membangun jejaring, tempat yang indah untuk menjalin persaudaraan dalam perjuangan.

Maka saya sepakat dengan agenda ketum Addin Jauharudin dengan platform ASTA BISA, Bisnis, Inovasi Teknologi Media, SDM dan Anak Muda, itu harus diwujudkan dan direalisasikan hingga akar rumput. Terlebih, terdapat planning program bernama ANSOR UNIVERSITY dibawah komando Sahabat Dwi Winarno, saya cukup optimis meski ada pesimis-pesimisnya, hahaha. PR masih banyak, seperti pembentukan ranting dan rekrutmen anggota Banser. Mohon doa, semoga Sahabat Ansor di Rajagaluh dapat tetap kompak dan berkembang menuju Ansor Masa Depan BISA!

Salah Kita Juga!

Salah Kita Juga!

Minggu-minggu ini kita saksikan bersama, pengkhiatan demokrasi yang dilakukan DPR kita. Gambar burung garuda berlatar biru mewarnai jagat maya. Kita, sebagai rakyat, ditinggalkan oleh para dewan terhormat itu. Sungguh praktek berdemokrasi yang menyesakkan, terlebih ini semua dilakukan konon untuk melayani seseorang yang disebut Bahlil sebagai “Raja Jawa”.

Tapi bagi saya, ini tidak sepenuhnya salah mereka. Ini salah kita juga! Salah kita yang memilih mereka karena iming-iming uang 100 ribu, salah kita yang mencoblos mereka karena turunnya bansos, salah kita karena secara terang-terangan menormalisasi politik transaksional dan politik logistik.

Kita akan pilih si A, si B, si C atau yang lainnya berdasarkan siapa bawa duit berapa? Mana duitnya yang lebih besar? Tak pernah kita jadikan gagasan mereka, ideologi mereka, rekam jejak mereka sebagai pertimbangan utama untuk menentukan pilihan. Jikapun ada, kita akan nyinyir ke mereka, “hilih, idealis amat lu!”

Maka, ketika mereka telah menjadi anggota DPR yang terhormat, mereka merasa telah melunasi janjinya kepada kita selaku rakyat. Karena janjinya hanyalah serangan fajar berisi pecahan 100 ribu yang didistribusikan sesaat sebelum pencoblosan. Ia telah menanam hingga 5M untuk menjadi anggota DPR. Suara kita telah dibeli sebesar 100.000 rupiah perorang untuk 5 tahun. Untuk apa mereka repot-repot njagani kita? Toh, kita sudah lunas dibeli!

Seperti kata pepatah! Apa yang kita tuai adalah hasil dari apa yang kita tanam. Jadi, selamat menuai, wahai sesama bangsa Indonesia. Semoga ada secercah harapan.

Efek Domino Perang Harga di Marketplace

Efek Domino Perang Harga di Marketplace

Sejak munculnya platform jual beli online. Perilaku konsumen dalam berbelanja juga berubah. Disrupsi Teknologi dalam praktek ekonomi keseharian rakyat ini benar-benar mentransformasi konsumen dalam pengambilan keputusan membeli suatu barang.

Saat pasar luring berjaya, momentum liburan sekolah akan membuat pasar dipadati lautan manusia yang memburu aneka produk incarannya, dari mulai fashion hingga makanan. Pasar menjadi tempat utama spending money pada saat itu. Era teknologi informasi mendisrupsinya. Munculnya terminologi healing, menjamurnya wisata-wisata baru yang semakin terjangkau, didukung dengan produksi konten-konten marketing wisata instagrammable dari para influencer, membuat orang yang awalnya liburan itu belanja ke pasar, menjadi healing ke tempat wisata.

Disisi lain, muncul pula disrupsi dalam bentuk lainnya berbentuk marketplace. Bagi saya, Shopee yang muncul di tahun 2015 dapat dikatakan sebagai platform tersukses yang menjadi aktor utama disrupsi ini. Promo gratis ongkir, diskon-diskon kemudian menjadi daya tarik luar biasa untuk konsumen mengambil keputusan. Konsumen pada akhirnya terbiasa dengan berbelanja online hingga saat ini, termasuk saya. Pasar konvensional terpukul mundur, tentu saja karena kalah saing. Harga yang ditawarkan penjual online jauh lebih murah dibandingkan yang ditawarkan penjual offline. Gratis ongkir pula. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.

Kedua faktor inilah bagi saya yang menyebabkan banyak pasar tradisional menjadi bak tak berpenghuni. Lalu lalang manusia di banyak pasar tradisional di Indonesia dapat dihitung jari. Omzet menurun. Penjual kemudian mengeluh. Media memberitakan. Tapi apapun itu, ini adalah reformasi dari perkembangan teknologi informasi. Banyak orang bijak berkata, sekuat apapun kau melawan arus, kau akan tetap terombang-ambing. Lebih baik, ikutilah arus, lalu beradaptasi. Maksudnya, ya sudah yang jualan di pasar ikut buka toko online saja, jadi sama-sama jalan kan?

Keluarga saya adalah salah satu contohnya. Melalui saya dan istri, 2018 saya memulai membuka toko di shopee. Alhamdulillah, masih teringat euforia saat orderan pertama itu datang. Selanjutnya disusul dengan membuka banyak toko di platform marketplace lain macam lazada, tokopedia, dan terakhir adalah TikTok. Semuanya berjalan baik hingga datanglah aturan biaya admin dari marketplace, disusul mulai munculnya banyak pesaing diantara seller online.

Dibarengi dengan COVID-19 yang mempengaruhi daya beli masyarakat. Penjualan baik online maupun offline banyak yang sepi. Ya mungkin tak semua kategori produk, produk macam skincare sedang merajalela, tapi fashion? Merosot! Untuk apa beli baju baru, hijab baru, sepatu baru sedang saat COVID kita tak bisa jalan-jalan dan foto-foto dengan fashion baru itu. Produsen juga ikut sengsara. Akibatnya, banyak produsen ikut mencoba direct langsung ke konsumen, memutus jalur distribusi. Konsekuensinya, namanya produsen, ia dapat menjualnya dengan harga yang lebih murah. Ditahap inilah, banyak dari mereka para reseller dan dropshipper menyerah tanpa syarat, sebagian dari mereka ada yang tetap survive dengan mengurangi margin keuntungan.

Persaingan antar platform marketplace juga ikut memanas, mereka mencoba membuat tawaran promosi kepada para seller untuk berlomba-lomba menjual dengan harga murah. Jika ada yang tak ikut serta mengikuti promo, algoritma tak akan menaikkan produk jualan para seller. Disamping itu, marketplace juga telah kehabisan momentum untuk terus membakar uangnya, sehingga menerapkan biaya admin yang cukup “mencekik” kepada seller. Mau tidak mau, seller pun mengikutinya dengan mengurangi margin keuntungan. Menurut beberapa orang, margin keuntungan yang sehat paling tidak jangan kurang dari 10% dari harga barang. Sekarang? Saya tidak bisa berword-word, wkwkwk.

Masih terus berlanjut, dengan persaingan antar seller yang semakin sengit dengan perang harga. Iklan adalah satu opsi yang harus dipilih karena mereka tak bisa menggantungkan tokonya dengan traffic organik. Mereka harus mengalokasikan anggaran dari margin keuntungan yang sudah tipis itu untuk beriklan. Konsekuensinya, keuntungannya semakin menipis, belum lagi kalau ia tak punya skill mengelola ads. Yang ada mereka rugi dan boncosss!!!

Fakta-fakta inilah yang menurut saya menyebabkan efek domino bagi perekonomian masyarakat kecil. Perang harga menyebabkan margin keuntungan seller menipis. Dengan keuntungan yang menipis, tentu mereka akan lebih selektif untuk berbelanja barang sehingga perputaran ekonomi terus melambat. Akhirnya, seller ini juga yang terkena dampaknya, mereka kesulitan menjual produknya karena calon konsumennya (yang mungkin juga sesama seller) tak punya uang berlebih.

Jika memang benar bahwa 99,99% atau 65 juta pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM, maka saya kira mayoritas dari mereka ini juga merupakan seller online. Jika melihat statistik itu, dengan penyerapan tenaga kerja di UMKM yang mencapai 97%, agaknya kita berada dalam situasi ekonomi yang tidak sehat. Jika banyak UMKM kolaps, baik yang offline (yang sudah lebih dulu lesu), maupun yang online (akibat perang harga), maka perekonomian Indonesia dapat dikatakan tidak baik-baik saja. Belum lagi ada isu akan datangnya platform marketplace asal Tiongkok yang dapat menjual produk secara direct ke konsumen dikirim langsung dari sana. Kiamat kiamat, wkwkwk.

Menurut saya, perlu ada kebijakan strategis yang diambil pemerintah untuk mengatasi kondisi ini, agar efek dominonya tak meluas dan berdampak kepada kejatuhan ekonomi. Eh, tapi menurut Najwa Shihab, kita masyarakat ini gak penting di mata pemerintah ya? Lha wong data kita dicuri aja Menkominfo masih tak mau mundur, dan malah berkata Alhamdulillah, hahahaha.

Diakhir tulisan, saya disclaimer dulu. Saya bukan ahli ekonomi, pemerhati UMKM ataupun pakar bisnis. Saya hanya melihatnya dari kacamata orang biasa yang juga berprofesi sebagai seller online. Jadi analisisnya mungkin acakadut, wkwkwk. Saat cangkrukan dengan banyak teman sesama pedagang, mereka banyak sekali mengeluh terkait kondisi sekarang dimana omzet saat ini terjun bebas. Itu juga yang saya alami. Disaat semua harga kebutuhan pokok naik, ekonomi UMKM terjepit. Rumit. Semoga yang disemogakan dapat tersemogakan. Indonesia Emas 2045?

Kata Siapa Harta Tak Dibawa Mati?

Kata Siapa Harta Tak Dibawa Mati?

Saya tercengang ketika melihat susunan acara masa orientasi santri baru yang tertulis bahwa saya harus mengisi materi “Menjadi Wirausahawan Muda”. Bagaimana tidak, saya hanyalah pedagang daring kecil yang terombang-ambil dengan persaingan yang semakin sengit. Disamping itu, 90% perdagangan itu telah dihandle oleh istri saya. Saat ini saya lebih dominan menyibukkan diri dengan menjadi dosen dan guru dengan segala beban administrasinya. 

Praktis, saya memutar otak untuk mencoba mencari landasan-landasan pemikiran yang unik guna memberikan sudut pandang yang baik agar santri punya geliat mengembangkan jiwa enterpreneurshipnya. Minimal jangan seperti saya lah, hehehe.

Disamping dari beberapa pengajian yang saya ikuti, dalam pencarian, saya mendapatkan sudut pandang yang unik tentang bagaimana Islam memandang kekayaan materiil yang mungkin berbeda dari pandangan umum. Mari kita runut dari hulunya.

Tugas Manusia

Terdapat 2 tugas dari Allah swt bagi manusia di muka bumi ini, yaitu abdullah dan khalifatullah. Abdullah berlandaskan pada ayat “Wamaa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun.”, sedangkan khalifatullah berlandaskan pada ayat, “Waidz qoola robbuka lil malaikati inni jailun fil ardli kholifah”, kholifah disini diartikan sebagai “penugasan Allah kepada manusia untuk memakmurkan bumi.”. Singkatnya, abdillah mewakili hablumminallah (dimensi peribadatan), khalifatullah mewakili habluminannas dan hablumminal alam (dimensi sosial-lingkungan).

Sebagai abdullah, ini sudah non-debatable, paling tidak laksanakan sebaik-baiknya 5 rukun islam, yakini sepenuh hati akan 6 rukun iman, maka kita sudah dianggap sebagai abdullah ya baik. Namun khalifatullah ada aspek yang cukup rumit dan dapat menjadi diskursus yang sangat menarik untuk dibahas.

Menjadi khalifatullah, memakmurkan bumi, bisa dibilang bagaimana kita sebagai manusia bersosial, berinteraksi dengan sesama manusia. Selain itu juga bagaimana kita mengelola anugerah alam dengan sebaik-baiknya. Dari sini kita dapat mengambil benang merah bahwa menjadi khalifatullah berarti kita harus mengambil peran dalam kehidupan dimuka bumi ini. Kita masing-masing pribadi harus memiliki profesi sebagai pengejawantahan dari tugas manusia sebagai khalifatullah fil ardl.

Profesi dalam kehidupan manusia ini kita tahu bermacam-macam dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Salah satu profesi yang masih eksis hari ini adalah menjadi seorang enterpreneur, pebisnis, pedagang, dan sejenisnya. Dalam islam, bisnis adalah sesuatu yang tergolong mu’amalah dan hukumnya boleh dengan kaidah-kaidah tertentu. Profesi berdagang jika sukses, maka kita akan memiliki jumlah kekayaan materiil atau uang yang berlimpah, sehingga kita akan dikenal sebagai konglomerat, OKB, atau bahkan istilah saat ini, Crazy Rich.

Disisi lain, dalam pembahasan dibanyak pesantren bahkan madrasah, seringkali kita diberi tahu untuk tidak perlu mengejar kekayaan materiil yang “sifatnya duniawi”, lebih baik kejarlah hal-hal yang “sifatnya akhirat.”. Pada prinsipnya, pernyataan seorang ustadz (misal) demikian itu tak dapat disalahkan. Namun terkadang, statemen itu malah dijadikan dalih dan tameng akan ketidakmampuan kita dalam mencapai kekayaan materiil. “Sudahlah, dalam hidup kita tidak perlu menjadi kaya, banyak uang, yang penting barokah, perbanyak ibadah, mati husnul khotimah, toh, harta gak dibawa mati!”, tegas seorang ustadz di Kampung.

Bagi saya, dari statemen ini kita dapat menggarisbawahi dua hal. Pertama adalah kita tidak perlu menjadi kaya. Kedua, harga tidak dibawa mati. Temuan saya akan mencoba memunculkan diskursus akan kedua hal tersebut, karena ternyata, Islam menganjurkan kita untuk menjadi orang kaya, dan Islam juga menyatakan bahwa harta itu dibawa mati!

Kita Harus Jadi Orang Kaya

Pertama, kita dianjurkan menjadi kaya secara finansial, paling tidak, seorang Muslim harus mandiri secara finansial. Kita dapat mencontoh Rasulullah soal kemandirian, sudah yatim sejak kecil, Rasulullah muda berjualan hingga ke syam (suriah), hingga akibat dari aktivitas niaganya, bertemu dengan Siti Khadijah yang kemudian menjadi istrinya. Mahal Rasulullah kepada Khadijah juga tidak main-main, 20 ekor unta betina dan 350 gram emas, yang jika dirupiahkan nominalnya setara 1,4 Miliar! Apakah mahar demikian bisa kita kategorikan sebagai mahar dari seorang mempelai miskin? Tentu tidak! Maka Rasulullah adalah juga seorang yang kaya dan mandiri secara finansial.

Ada satu ayat menyatakan, “waidza qudhiyati sholatu, fantasyiru fil ardl, wabtaghu min fadlillah”, artinya silahkan manusia bertebaran di muka bumi untuk mencari rezeki. Disamping itu, dengan kita memiliki harta yang melimpah, kita dapat bersedekah di jalan dakwah, berkontribusi dalam banyak hal untuk kebaikan agama, misal memberikan sumbangsih pengembangan pesantren, beasiswa pendidikan, santunan yatim dan dhuafa, dan lain-lain. Tanpa kekayaan, dapatkah kita melakukan itu semua? Sahabat Rasulullah saja, macam Utsman bin Affan, Abdurrohman bin auf dan yang lainnya adalah konglomerat, sultan, alias crazy rich, sehingga beliau-beliau ini dapat banyak membantu dakwah Rasulullah, khususnya yang terkait dengan sokongan finansial.

Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj menyatakan, nafsu ghodobiyah itu jangan dibuang, tapi harus dikelola hingga menjadi Himmah. Nafsu ghodobiyyah, jika di manage, diganti niatnya menjadi niat-niat kebaikan, motivasi-motivasi kebajikan, maka itu bisa menjadi Himmah atau Cita-cita. Himmah untuk kita menjadi Kaya, Himmah untuk menjadi Sukses. “SAYA HARUS KAYA, SAYA HARUS NOMOR 1, dll.”

Harta Ternyata Dibawa Mati

Kedua, harta itu ternyata dibawa mati! Dari mana saya simpulkan itu? Dari hadits “Idza matabnu adama, inqothoa amaluhum, illa tsalatah, shodaqotun jariyatun, wailmu ….. dst.”. Menurut hadits yang diriwayatkan Imam Muslim ini, jika seorang manusia mati, maka terputuslah semua amalnya. Ia sepenuhnya akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di dunia. Jika sering berlaku buruk, maka amal buruk dominan, siksa kubur menanti. Begitupun sebaliknya. Manusia tersebut tidak bisa lagi menambah amalnya untuk menutupi kekurangan-kekurangan amal baik di dunia agar dapat meringankan hukuman yang di terimanya.

Untungnya, kita adalah ummat kanjeng Nabi Muhammad SAW, dimana banyak diskresi yang diberikan, termasuk dalam perihal ini. Jika kita sudah tidak punya opsi memperbanyak amal. Kita harus pandai melakukan cheating, yaitu berinvestasi dengan portofolio keuntungan 100%. Bentuk investasinya ada 3, yakni shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat secara kontinyu, dan anak sholih yang senantiasa mendoakan.

Dari ketiga profil investasi tersebut, yang mungkin kinerjanya berada dalam kontrol kita adalah shodaqoh jariyah. Mengapa? Ilmu yang bermanfaat dan doa anak sholeh itu lebih dominan berada di luar kontrol kita. Kita mengajarkan ilmu agar bermanfaat, belum tentu murid kita memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti saya contohnya, tidak semua murid saya mengamalkan ilmu kimianya dalam kehidupan sehari-hari bukan? Yang mungkin manfaat adalah mengajarkan ilmu agama untuk ibadah praktis. Sayangnya tak semua orang punya waktu dan kapasitas mengajarkan ilmu agama.

Doa anak sholeh yang mendoakan. Yakinkah kita bahwa anak kita tak akan lupa untuk senantiasa mendoakan? Tentu harapan kita begitu. Tapi lagi-lagi, itu diluar kontrol kita. Kita boleh mendidik dan mengajarkan anak kita sebagai birrul walidain, tetapi lagi-lagi, itu bergantung kepada anak kita, di luar kontrol kita.

Maka, satu-satunya investasi amal dengan return yang dapat terprediksi dengan baik adalah shodaqoh jariyah, alias shodaqoh yang memberikan kemanfaatan berkelanjutan bahkan hingga kita telah meninggal dunia. Membantu pembangunan masjid, pengembangan lembaga pendidikan pesantren, mensupport kegiatan keagamaan adalah bentuk jariyah yang tepat selama anda memilih profil masjid, sekolah, pesantren dan organisasi keagamaan yang tepat. Ya tentu anda harus lihat, siapa pemimpinnya, siapa pelaku-pelakunya, siapa yang mendapat manfaatnya, dan bagaimana portofolionya, serta “return per year” nya.

Sepanjang dan sejauh saya memperhatikan, belum pernah saya temui masjid bangkrut. Dari 500 lembaga pendidikan, paling hanya 1-2 saja yang tak berlanjut, karena banyak sekali ustadz-ustadz kampung yang ikhlas mengajar tanpa meminta kontribusi dalam bentuk uang kepada orang tua muridnya. Organisasi keagamaan? Jika ia telah eksis hingga puluhan tahun bahkan satu abad macam NU dan Muhammadiyah, anda tak perlu ragu untuk jariyah melalui mereka. Maka, investasi jariyah demikian adalah pilihan tepat.

Sayangnya untuk bershodaqoh jariyah, kita harus menjadi seorang yang mapan secara finansial. Bagaimana anda bisa jariyah dengan nyaman jika untuk menyambung hidup saja anda kesulitan. Yang ada anda tervonis hadits “Kaadal faqru an yakuna kufron”, kefakiran mendekatkan diri kepada kekafiran. Entah faqir disini mau dianggap faqir harta maupun faqir hati. Saya sulit melepaskan keyakinan bahwa yang faqir harta akan lebih banyak yang faqir hati. Maka, menjadi kaya seperti pada poin pertama adalah salah satu prasyarat penting sebelum kita bisa shodaqoh jariyah.

Dengan manajemen nafsu ghodobiyah menjadi himmah, ambisi dan keinginan untuk meraih kemapanan finansial untuk mendukung aktivitas dakwah islam adalah hal yang dianjurkan. Maka silahkan anda-anda semua “fantasyiru fil ardl”, jangan termakan dawuh bahwa harta tidak penting. Karena jika kita orang yang kaya secara finansial, kita akan lebih leluasa untuk shodaqoh jariyah, untuk pesantren A 10 M, untuk masjid 20 M, untuk NU 10 M. Dimana shodaqoh jariyah pahalanya mengalir hingga kita mati. Dengan beginilah, dapat kita asumsikan bahwa harta yang kita investasikan sebagai shodaqoh jariyah, pahala jariyahnya akan dibawa mati, dan senantiasa menemani kita selama kemanfaatan dari jariyah itu masih terus berlanjut dari generasi ke generasi. Sebaliknya, harta yang anda investasikan dalam perbuatan-perbuatan buruk juga akan dimintai pertanggungjawaban. Pada intinya, semua harta akan dibawa mati, dipertanyakan oleh Sang Maha Kaya.

Maka, mari kita berlomba-lomba menjadi pribadi yang memiliki kekayaan finansial, tentu dengan motivasi dan tujuan yang baik, dengan sebuah himmah. Kita jangan terjebak dalam pengkotak-kotakan duniawi dan ukhrowi yang rigid. Bahwa harta adalah duniawi, sholat adalah ukhrowi. “Kam min amalin yatashowwaru bisuroti a’amaliddunya, fashoro min a’malil akhiroh bihusninniyyat, wakam Kam min amalin yatashowwaru bisuroti a’amalil akhiroh, fashoro min a’maliddunya bisu’inniyyat.”

Wallahu a’lam.