Adaptif dengan Musik

Adaptif dengan Musik

Melihat satu postingan instagram gus Nadir yang berisi potongan video suasana Synchronize Fest dimana Hadad Alwi bersenandung melantunkan tembang “Rindu Muhammadku”, disitu terdapat sekelompok anak muda yang dengan semangatnya mengikuti alunan musik dan ikut melafalkan lirik yang berisi sholawat. Yang menarik adalah terdapat seorang wanita yang tak berhijab berurai air mata, menangis sendu, mungkin saking ia meresapi lirik demi lirik yang disampaikan.

Dari sini, saya tak akan membuat caption yang sama dengan gus Nadir tentunya. Saya justru ingin berbagi pengalaman pribadi betapa saya aneh terhadap diri sendiri. Disaat orang-orang terkadang punya preferensi genre musik yang disukai, bahkan musik yang ia benci. Beberapa orang pernah mengaku secara langsung bahwa ia tak menyukai dangdut koplo karena goyangan biduan yang seringkali tak senonoh. Saya malah tak bisa tak menyukai satu atau dua jenis musik. 

Tentu saja saya hanyalah penikmat musik, bukan vokalis, pengguna alat musik ataupun musisi. Saya hanya penikmat. Memang, ada masa-masa dimana saya merasa memiliki suara yang bagus, apalagi ketika flu, kebindengan membuat suara lebih merdu, wkwkwk. Saat itu, saya merasa suara saya sebelas duabelas dengan Pasha Ungu. Namun, setelah mendengar saran teman saya untuk merekam suara sendiri, kemudian didengarkan sendiri, ternyata suara yang saya bangga-banggakan saat flu itu fales banget, hahaha.

Ya, tapi memang begitulah. Saya menyukai semua jenis musik. Sejak SD dulu, diera-era ketika musik Indonesia didominasi Band macam Slank, Peterpan, Ungu, Naff, ST12, dan sejenisnya, saya menyukai semua lagunya. Bahkan terkadang, satu dua kali saya dengar terasa kurang bisa dinikmati, tiga empat lima ternyata enak juga. Apalagi saat kita coba menerka dan memperhatikan lirik demi lirik yang dilantunkan. Ada yang bikin mesem-mesem karena relate, ada juga yang bikin sedih karena dalam, adapula berlirik sedih, namun full joget menertawakan kesedihan macam koplo. Hahaha.

Bahkan, selama ini saat berkendara dengan orang tua, saya khatamkan itu tembang-tembang kenangan, macam lagu “Aku masih seperti yang dulu”-nya Dian Pieshesha, “Surat untuk Kekasih”-nya Tommy J. Pisa, “Jangan Ada Dusta Diantara Kita”- nya Broery Marantika & Dewi Yull, Koes Plus, dan lain-lain, banyak banget. Saya tak merasa itu tak kekinian dan aneh. Saya menikmatinya. Lagu-lagu Negeri tetangga macam lagu “Tayammum”-nya Iklim juga suka-suka aja. Lagu-lagu Barat, saya tak masalah selain lirik yang kurang saya pahami. Tapi beberapa lagu Barat ini sempat ada yang saya translate saking keingintahuan saya memahami artinya.

Hingga beberapa tahun belakangan inipun, saat ada yang menghujat lagu-lagu koplo, ada yang mengkritik lagu-lagu alumni Indonesia Idol, saya malah menikmati semuanya, dari Denny Caknan sampai Tiara Andini, bahkan ketika mereka berdua duet. Its awesome. K-Pop? Tanpa koreonya, banyak nada-nada lagunya yang menyenangkan kok. Lagu-lagu galau dan mellow macam Bernadya, atau penyanyi lain yang naik daun sekarang ini seperti Sal Priadi, Nadin Amizah, Fortwnty, Banda Neira, Fiersa Besari saya tak ada alasan untuk tak menyukainya. Nada-nadanya menyenangkan, liriknya mungkin ada yang relate, ada yang terlalu mellow, terlalu berlebihan, bagi saya, ya itulah karya seni, dimana dalam seni, orang bebas untuk mengekspresikan isi kepala.

Jadi, ini memang untuk saya pribadi. Ada banyak alasan untuk menyukai sebuah karya daripada untuk tak menyukainya. Andai liriknya tak paham pun, masih ada nada dan irama yang bisa kita sukai, saat nadanya tak begitu masuk ditelinga, ada lirik yang begitu indah untuk dinikmati. Seperti dalam sholawat, terkadang karena berbahasa arab, kita tak memahami artinya. Saat membaca maulid, mahallul qiyam, ia berisikan sejarah yang disampaikan dengan seni sastra yang indah. Mungkin, saat wanita muda dalam video yang diunggah Gus Nadir itu membaca dan memahami kata demi kata dalam beberapa kita maulid seperti barzanji, diba’i, simtudduror hingga burdah, saya cukup yakin air matanya akan mengucur lebih deras.

Ini adalah apa yang saya rasakan sebagai penikmat, bukan berarti mereka yang punya preferensi, menyukai yang ini, tak menyukai yang itu, adalah orang yang tak menghargai karya seni dan musik. Karena orang tentu punya hak untuk suka dan tidak suka dong. Apalagi mereka yang berprofesi sebagai musisi atau mahir dalam alat musik, pasti punya penilaian yang lebih baik dan objektif daripada saya kan? Toh, kritik pun diperlukan dalam sastra. Jadi, saya yang terlalu adaptif dengan musik dan hampir menyukai semuanya termasuk lagu India dan DJ OKE GAS-nya Prabowo ini apakah anomali? Ataukah ada juga yang sama dengan saya?

Sikap Meremehkan Ilmu dan Pendidikan

Sikap Meremehkan Ilmu dan Pendidikan

gambar hanya pemanis

Di era yang serba digital ini, ilmu sudah bukan menjadi barang langka. Kita bisa dengan mudah search di google untuk apapun yang ingin kita ketahui. Terlebih, fitur artificial intelegence (AI) macam chatgpt yang luar biasa canggih. Meski tak sepenuhnya akurat, ia bisa menjadi alat bantu yang baik untuk pengetahuan.

Saya adalah bagian dari pengguna yang merasa terbantu dengan kehadiran teknologi yang semakin berkembang. Dengan prompt atau keywords yang tepat, apapun yang kita ingin kita tanyakan akan dijawab oleh teknologi, entah melalui google, chatgpt, youtube, fyp tiktok, dll. Algoritma mengaturnya secara epik.

Jika ada yang bilang kepada saya, “Jangan belajar dari google, youtube, dsj karena belajar itu harus ada gurunya, belajar dengan google akan menyebabkan kita digurui oleh setan, kita akan tersesat.”. Saya tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Disatu sisi ada benarnya, namun dengan panduan dan cara penggunaan yang tepat, teknologi informasi adalah alat bantu yang luar biasa. Tak semerta-merta kita belajar ke setan. Asal kita paham, informasi yang diunggah ke internet banyak mengandung kebenaran, tergantung dari bagaimana kita menverifikasi, memvalidasi dan memprofiling sumbernya, dan tentu saja jangan menjadikannya sebagai rujukan primer. Jika anda menjadikan info di grup WA keluarga sebagai rujukan utama, falyatabawwa’ maq’adahu minannar, hahaha.

Dibalik kemudahan-kemudahan mengakses ilmu pengetahuan, ada aspek negatif yang lebih saya khawatirkan daripada mengenai sumber kredibel yang diperdebatkan,  yaitu tentang atensi manusia terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan di generasi mendatang. Saya melihat, generasi saat ini, paling tidak di circle pergaulan saya sehari-hari, terdapat indikasi dimana mereka seperti tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan, bahkan cenderung meremehkan.

Saking mudahnya sehari-hari kita mengakses sumber pengetahuan, kita seolah-olah meremehkan proses belajar yang harus ditempuh. Kita cenderung menggampangkan segala hal. Semuanya hanya tinggal browsing dan ketemulah jawabannya. Contoh pertama, di suatu kelas mahasiswa saya, ada sesi presentasi, sudah mah makalah dan ppt dibuat dengan asal-asalan tanpa rujukan buku-buku dan sumber yang baik karena hasil chatgpt atau downloadan scribd, saat tanya jawab, mereka mendadak browsing jawabannya saat kelas berlangsung lalu membacakannya tanpa pemahaman. Saya rasa ini adalah salah satu sikap yang mendegradasi marwah keilmuan.

Contoh kedua, saat mengobrol dengan seseorang, saya cukup kesal jika ditanya adakah perkuliahan (S1 atau S2) yang tidak perlu masuk kelas, tidak perlu skripsi, tinggal menunggu dan langsung lulus dapat ijazah? Toh, semua yang diajarkan di kuliah sudah ada di internet. Ini adalah pertanyaan yang cukup sering ditanyakan kepada saya oleh sebagian orang. Kita tau bahwa pendidikan di Indonesia memang punya segudang persoalan kronis. Tapi jangan kita perparah dengan kita ikut serta dengan praktek demikian. Memang, seperti dalam teori ekonomi, supply praktek jual beli gelar itu ada akibat dari adanya demand di masyarakat. Namun, kita harus hentikan ini paling tidak dimulai dari diri kita sendiri.

Gelar bagi saya juga memang tak penting. Tak penting dari sisi penyebutan oleh orang lain atau bangga-banggaan. Namun jika untuk diri kita sendiri, kita yang menyandang gelar ini harus punya refleksi mendalam pada diri kita masing-masing. Sudahkan kita menguasai keilmuan sesuai dengan tuntutan gelar yang kita miliki? Kita punya tanggungjawab moral untuk terus memantaskan diri kita memiliki gelar tersebut. Memiliki gelar akademik berarti menginformasikan kepada masyarakat bahwa kita punya kompetensi dalam bidang tersebut. Jika kita ternyata tak punya kompetensinya, bukankah kita dzolim dan tak menghargai pendidikan?

Contoh ketiga, joki skripsi. Contoh keempat, Gaji honorer. Contoh kelima, keenam, dan masih banyak lagi. Persoalan pendidikan di Indonesia memang multi multi. Tentu saja tak bisa kita selesaikan sendiri. Selemah-lemahnya usaha, paling tidak jangan biarkan kita ikut-ikutan menjadi pihak yang meremehkan ilmu dan pendidikan, dengan tidak menggampang-gampangkan.

Saya tau di era teknologi informasi ini semua serba gampang. Mari jadikan kemajuan teknologi dan kemudahan yang diberikannya ini sebagai media bagi kita untuk terus berkembang. Bukan kemudian kita bersembunyi dibalik kemajuan teknologi dan menyombongkan diri, padahal kita kosong dan tak berisi. Menggampangkan adalah sifat sombong terhadap ilmu. Bukankah Syekh Azzarnuji dalam Ta’limul Muta’allim mensyaratkan bahwa salah satu cara mengagungkan ilmu adalah dengan cara menghindari kita bersikap sombong terhadap ilmu?

Wallahu a’lam.

Efek Domino Perang Harga di Marketplace

Efek Domino Perang Harga di Marketplace

Sejak munculnya platform jual beli online. Perilaku konsumen dalam berbelanja juga berubah. Disrupsi Teknologi dalam praktek ekonomi keseharian rakyat ini benar-benar mentransformasi konsumen dalam pengambilan keputusan membeli suatu barang.

Saat pasar luring berjaya, momentum liburan sekolah akan membuat pasar dipadati lautan manusia yang memburu aneka produk incarannya, dari mulai fashion hingga makanan. Pasar menjadi tempat utama spending money pada saat itu. Era teknologi informasi mendisrupsinya. Munculnya terminologi healing, menjamurnya wisata-wisata baru yang semakin terjangkau, didukung dengan produksi konten-konten marketing wisata instagrammable dari para influencer, membuat orang yang awalnya liburan itu belanja ke pasar, menjadi healing ke tempat wisata.

Disisi lain, muncul pula disrupsi dalam bentuk lainnya berbentuk marketplace. Bagi saya, Shopee yang muncul di tahun 2015 dapat dikatakan sebagai platform tersukses yang menjadi aktor utama disrupsi ini. Promo gratis ongkir, diskon-diskon kemudian menjadi daya tarik luar biasa untuk konsumen mengambil keputusan. Konsumen pada akhirnya terbiasa dengan berbelanja online hingga saat ini, termasuk saya. Pasar konvensional terpukul mundur, tentu saja karena kalah saing. Harga yang ditawarkan penjual online jauh lebih murah dibandingkan yang ditawarkan penjual offline. Gratis ongkir pula. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.

Kedua faktor inilah bagi saya yang menyebabkan banyak pasar tradisional menjadi bak tak berpenghuni. Lalu lalang manusia di banyak pasar tradisional di Indonesia dapat dihitung jari. Omzet menurun. Penjual kemudian mengeluh. Media memberitakan. Tapi apapun itu, ini adalah reformasi dari perkembangan teknologi informasi. Banyak orang bijak berkata, sekuat apapun kau melawan arus, kau akan tetap terombang-ambing. Lebih baik, ikutilah arus, lalu beradaptasi. Maksudnya, ya sudah yang jualan di pasar ikut buka toko online saja, jadi sama-sama jalan kan?

Keluarga saya adalah salah satu contohnya. Melalui saya dan istri, 2018 saya memulai membuka toko di shopee. Alhamdulillah, masih teringat euforia saat orderan pertama itu datang. Selanjutnya disusul dengan membuka banyak toko di platform marketplace lain macam lazada, tokopedia, dan terakhir adalah TikTok. Semuanya berjalan baik hingga datanglah aturan biaya admin dari marketplace, disusul mulai munculnya banyak pesaing diantara seller online.

Dibarengi dengan COVID-19 yang mempengaruhi daya beli masyarakat. Penjualan baik online maupun offline banyak yang sepi. Ya mungkin tak semua kategori produk, produk macam skincare sedang merajalela, tapi fashion? Merosot! Untuk apa beli baju baru, hijab baru, sepatu baru sedang saat COVID kita tak bisa jalan-jalan dan foto-foto dengan fashion baru itu. Produsen juga ikut sengsara. Akibatnya, banyak produsen ikut mencoba direct langsung ke konsumen, memutus jalur distribusi. Konsekuensinya, namanya produsen, ia dapat menjualnya dengan harga yang lebih murah. Ditahap inilah, banyak dari mereka para reseller dan dropshipper menyerah tanpa syarat, sebagian dari mereka ada yang tetap survive dengan mengurangi margin keuntungan.

Persaingan antar platform marketplace juga ikut memanas, mereka mencoba membuat tawaran promosi kepada para seller untuk berlomba-lomba menjual dengan harga murah. Jika ada yang tak ikut serta mengikuti promo, algoritma tak akan menaikkan produk jualan para seller. Disamping itu, marketplace juga telah kehabisan momentum untuk terus membakar uangnya, sehingga menerapkan biaya admin yang cukup “mencekik” kepada seller. Mau tidak mau, seller pun mengikutinya dengan mengurangi margin keuntungan. Menurut beberapa orang, margin keuntungan yang sehat paling tidak jangan kurang dari 10% dari harga barang. Sekarang? Saya tidak bisa berword-word, wkwkwk.

Masih terus berlanjut, dengan persaingan antar seller yang semakin sengit dengan perang harga. Iklan adalah satu opsi yang harus dipilih karena mereka tak bisa menggantungkan tokonya dengan traffic organik. Mereka harus mengalokasikan anggaran dari margin keuntungan yang sudah tipis itu untuk beriklan. Konsekuensinya, keuntungannya semakin menipis, belum lagi kalau ia tak punya skill mengelola ads. Yang ada mereka rugi dan boncosss!!!

Fakta-fakta inilah yang menurut saya menyebabkan efek domino bagi perekonomian masyarakat kecil. Perang harga menyebabkan margin keuntungan seller menipis. Dengan keuntungan yang menipis, tentu mereka akan lebih selektif untuk berbelanja barang sehingga perputaran ekonomi terus melambat. Akhirnya, seller ini juga yang terkena dampaknya, mereka kesulitan menjual produknya karena calon konsumennya (yang mungkin juga sesama seller) tak punya uang berlebih.

Jika memang benar bahwa 99,99% atau 65 juta pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM, maka saya kira mayoritas dari mereka ini juga merupakan seller online. Jika melihat statistik itu, dengan penyerapan tenaga kerja di UMKM yang mencapai 97%, agaknya kita berada dalam situasi ekonomi yang tidak sehat. Jika banyak UMKM kolaps, baik yang offline (yang sudah lebih dulu lesu), maupun yang online (akibat perang harga), maka perekonomian Indonesia dapat dikatakan tidak baik-baik saja. Belum lagi ada isu akan datangnya platform marketplace asal Tiongkok yang dapat menjual produk secara direct ke konsumen dikirim langsung dari sana. Kiamat kiamat, wkwkwk.

Menurut saya, perlu ada kebijakan strategis yang diambil pemerintah untuk mengatasi kondisi ini, agar efek dominonya tak meluas dan berdampak kepada kejatuhan ekonomi. Eh, tapi menurut Najwa Shihab, kita masyarakat ini gak penting di mata pemerintah ya? Lha wong data kita dicuri aja Menkominfo masih tak mau mundur, dan malah berkata Alhamdulillah, hahahaha.

Diakhir tulisan, saya disclaimer dulu. Saya bukan ahli ekonomi, pemerhati UMKM ataupun pakar bisnis. Saya hanya melihatnya dari kacamata orang biasa yang juga berprofesi sebagai seller online. Jadi analisisnya mungkin acakadut, wkwkwk. Saat cangkrukan dengan banyak teman sesama pedagang, mereka banyak sekali mengeluh terkait kondisi sekarang dimana omzet saat ini terjun bebas. Itu juga yang saya alami. Disaat semua harga kebutuhan pokok naik, ekonomi UMKM terjepit. Rumit. Semoga yang disemogakan dapat tersemogakan. Indonesia Emas 2045?

Rakit PC Sendiri? Gaskeun Dong!

Rakit PC Sendiri? Gaskeun Dong!

Seringkali saya katakan, bahwa bisnis online shop bukanlah bisnis tanpa modal seperti yang diduga banyak orang. Mereka mengira, kita cukup duduk santai menunggu orderan tiba, kita cukup ngopi sembari membuka toko online kita yang dibuka secara gratis, tak perlu sewa toko seperti halnya jualan klasik. Ini tentu anggapan yang tidak tepat. Disinilah disrupsi terjadi. Kami-kami yang berjualan ini tentu perlu modal. Perangkat Handphone, Koneksi Internet, Laptop/PC, Biaya Admin, Biaya Iklan, yang kira-kira jika dikalkulasi tahunan, angkanya hampir setara dengan sewa toko tahunan pula, setidaknya jika dibandingkan dengan harga pasaran sewa toko di daerah tempat saya tinggal.

Sebagai contoh, koneksi internet untuk live shopping (Tiktok) itu perlu stabil. Jika tak stabil, live akan ngelag dan konsekuensinya, calon konsumen akan dengan mudah scroll up live kami ke live toko lainnya. Maka saya spending uang yang cukup besar untuk biaya langganan internet 100 Mbps di angka 850 ribuan perbulan. Angka itu setara dengan sewa toko bulanan di tempat saya. Ini baru wifi, belum biaya admin marketplace, biaya iklan mingguan, dan lain-lain.

Salah satu modal yang dibutuhkan adalah belanja sarana prasarana. Beberapa minggu yang lalu, CEO perusahaan sekaligus istri saya mengeluh perihal laptop. Ya, laptop yang biasa dia gunakan untuk bekerja di rumah, kini digunakan oleh karyawan untuk proses orderan dan tersimpan di gudang toko. Sedangkan malam-malam selepas menidurkan ummat, sang CEO ingin membuka-buka akun marketplace, tapi laptop seringkali terlupa dan tertinggal di gudang toko. Ini menyebabkan CEO tak bisa produktif untuk mengoptimasi toko online.

Laptop yang digunakan karyawan sebelumnya sudah super lemot dan terpaksa saya jual. Ya karena memang, speknya saja cuma AMD A4 dengan RAM 4GB, meski sudah upgrade RAM ke SSD SATA, tak merubah kecepatannya secara signifikan. Maka, kita berdua berdiskusi untuk menjajaki kans untuk menghadirkan Laptop baru. Setelah menimbang-nimbang, melakukan kalkulasi mendang mending, alih-alih laptop, kita putuskan untuk membeli PC saja. Selain untuk bekerja, PC diharapkan bisa menjadi jangkar semua gadget yang kita punya. Menjadi pusat backup semua data, seperti yang telah disabdakan Jagat Review. Dimana, opsi ugrade storage dan tetek bengeknya dengan mudah dapat diatur sendiri, tak seperti laptop yang punya banyak keterbatasan.

Jika yang menjadi interest adalah “opsi upgrade”, maka PC yang dibeli tentu bukan all in one atau built up, melainkan PC rakitan, karena sekali lagi, kita butuh fleksibilitas upgrade yang futureproof. Masalahnya, meski saya cukup punya antusiasme dengan teknologi, saya tak pernah punya pengalaman rakit PC. Disinilah keyakinan diuji, karena budget pas-pasan, saya putuskan untuk memberanikan diri saja mengambil opsi ini, setidaknya tak perlu bayar biaya merakit jika bisa rakit sendiri, lebih hemat. Mulailah saya melakukan tirakat. Mencari ilmu tentang rakit PC, mencari pengetahuan tentang komponen-komponen PC, mencari tempat untuk yang cocok untuk membeli komponen PC dengan interest utama khas kaum mendang-mending, harus Value for Money, Worth it & Affordable.

Hidup di era teknologi yang berkembang pesat tentulah menjadi keuntungan tersendiri. Singkat cerita, saya akhirnya putuskan untuk membeli komponen PC secara online melalui website EnterKomputer. Alasannya adalah toko ini sudah direkomendasikan banyak orang, dan yang paling menyenangkan adalah fasilitas di websitenya yang membuat kita dapat mensimulasikan komponen yang pas untuk PC rakitan kita sekaligus mengecek kompatibilitasnya. Saya memilih AMD Ryzen 5 7600x sebagai otak PC, Asrock B650M Pro RS sebagai Mobonya, RAM 32GB dan SSD NVME 512GB dari ADATA, dan beberapa komponen lainnya dibawah ini.

Daftar komponen PC pilihan saya

Tak perlu waktu lama, dalam waktu 2 hari yang mendebarkan, akhirnya paket dari EnterKomputer tiba. 2 hari berselang saya memulai merakitnya. Dengan bermodalkan belajar via Youtube, saya rakit mulai dari pemasangan processor, pasang RAM, SSD, cooler, dan yang tersulit adalah memasang kabel-kabel dari PSU ke Mobo. Bagian itu cukup melelahkan, namun akhirnya PC saya bisa hidup dan bisa masuk laman BIOS-nya. Disitu alhamdulillah semua komponen yang terpasang dapat terdeteksi dengan baik. Selanjutnya tentu install Windows 11 Home, bagian ini adalah bagian yang menyenangkan dan bikin saya mesam mesem sendiri. Akhirnya sejak saya punya ketertarikan rakit PC sejak SMA, baru saat ini bisa kesampaian, hehehe.

Setelah 2 hari ini, PC berjalan dengan baik, hidup dengan aman dan nyaman, dan kecepatannya tentu tak diragukan lagi, cukup untuk penggunaan sang CEO sehari-hari, daaan yaah, kedepan pastinya cukup kuat untuk sekedar editing foto dan grafis macam Photoshop dan CorelDraw, bahkan editing video dengan Premiere tipis-tipis, dan yang paling utama sih, bisa menjadi pusat penyimpanan semua data dari semua gadget keluarga saya, tinggal nambahin HDD boskuh.

Begitulah cerita rakit PC perdana saya. Tentu saya tertolong oleh banyaknya konten-konten keren dari banyak kreator yang ada di Youtube, sehingga jika merakit PC zaman dulu adalah momok yang menakutkan bagi saya, saat ini jika saya harus rakit PC lagi, saya tentu akan dengan sombongnya berujar, “Rakit PC sendiri? Gaskeun dong! Hahahaha.”. Yah, semoga PC keluarga saya ini bisa awet dan bertahan lama, dan tentu berfungsi sesuai dengan yang diharapkan saat membelinya, mengakselerasi kinerja dari CEO Perusahaan kami untuk bisa lebih produktif dan maju dalam menghasilkan cuan-cuan merah bergambar Sang Proklamator. Amin amin ya robbal alamin.

4 Keistimewaan Lebaran 1445 H Bagi Saya

4 Keistimewaan Lebaran 1445 H Bagi Saya

Idul Fitri adalah momentum kemenangan. Ada yang mengartikannya sebagai “Kembali Suci”, ada juga yang mengartikannya “Kembali makan”. Keduanya bagi saya benar, satu secara etimologi, satunya secara terminologi dan filosofis.Sesuai judul, saya ingin menguraikan beberapa keistimewaan Idul Fitri tahun ini dibanding idul fitri sebelumnya versi saya. Dan tentu, tulisan ini tak bermutu, karena bisa jadi ada poin yang bagi anda sangat receh, salah siapa juga anda baca, hehe.

1. Perut saya

Transformasi fisik saya yang tidak lagi buncit tentu membuat saya menjadi lebih percaya diri untuk berfoto bersama keluarga. Tak perlu lagi menkempis-kempiskan perut, tak perlu lagi menyimpan senyum lebar. Karena saya tak perlu khawatir wajah saya yang bulat menjadi gepeng saat senyum lebar akibat daging di pipi, wkwkwk. Tentu dibalik itu, ada transformasi mental, saat berpuasa, saya lebih semangat dan lebih energik. Ibadah semakin khusyu, koyok iyo iyo o, wkwkwk.

2. Anak ketiga

Tentu itu jadi poin pembeda, kalo tahun kemarin baru dua. Sekarang sudah ada 3 ummat yang senantiasa ngintil kemana-mana. Terimakasih untuk istriku. Terimakasih kepada Allah atas karunia dan kepercayaan-Nya kepada kami berdua.

3. Silaturrahmi dg Keluarga Bani Syathori, Arjawinangun

Sebenarnya, keluarga Bani Syathori Arjawinangun setiap tahun selalu berkunjung ke kediaman alm kakek saya pada tanggal 2 syawwal. Akan tetapi entah mengapa 2 tahun ini terasa lebih spesial saja. Apalagi ketika berkesempatan bersalaman dan sedikit bercengkrama dengan Walid Ahsin Sakho Muhammad & Buya Husein Muhammad. Konon, secara silsilah, keluarga besar saya dengan keluarga besar beliau masih nyambung, sama-sama keturunan Mbah Nursalim alias Pangeran Suralaja bin Sultan Muhammad Arif Zainal Asyiqin Banten. Semoga silaturrahmi kedua keluarga ini terus terjalin sehingga saya kecipratan barokah dari beliau-beliau.

4. Mudik Lancar tanpa Hambatan

Karena istri asli Malang, Jawa Timur, tiap lebaran pasti kami mudik. Tahun-tahun sebelumnya, kami biasa atur waktu mudik H+10 lebih setelah lebaran, tentu agar tak terjebak macet. Berhubung saya tahun ini sudah aktif mengajar dan terikat dengan pekerjaan, saya tak bisa terlalu santuy menunda mudik, nanti malah bentrok dengan pekerjaan. Maka saya beranikan mudik H+3, dan alhamdulillah sepanjang jalan saya tak menemukan kemacetan, anak-anak pun tak ada yang rewel. Kalo sudah rewel, bahaya, karena saya nyupir sendiri, otomatis istri pegang 3 ummat yang harus dijinakkan.

Yah, sebetulnya banyak keistimewaan lain yang mungkin belum tertulis, karena memang tulisan ini ditulis biar blog saya gak kosong-kosong amat. Maka poin 1 adalah poin yang sangat tidak penting untuk diceritakan hehe.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H semuanya, semoga ibadah kita dan puasa kita diterima sebagai amal ibadah, semoga kita semua termasuk dari orang-orang yang kembali kepada kesucian dan meraih kemenangan, Mohon maaf lahir dan batin.

Film Budi Pekerti: Media Sosial (Terkadang) Memang Menyebalkan

Film Budi Pekerti: Media Sosial (Terkadang) Memang Menyebalkan

Saya baru saja menonton film “Budi Pekerti” via Netflix. Film ini sepertinya berlatar di Yogyakarta, menceritakan seorang Bu Prani, seorang guru BP yang viral akibat ia naik pitam saat menemukan seorang pria yang menyerobot antrian putu. Lebih lanjut, ternyata bu Prani adalah guru BP yang kreatif, memberikan hukuman-hukuman unik untuk siswa, bahkan sampai yang (dianggap) kontroversial. Bu Prani tak mau menyebutnya sebagai “Hukuman”, tetapi “Refleksi”.

Inti cerita film ini menurut saya adalah bagaimana media sosial dan tetek bengeknya sangat mempengaruhi opini kita terhadap suatu realitas. Kisah bu Prani ini sangat relevan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sosial kita hari ini, dimana opini media sosial menjadi raja “kebenaran” yang absolut. Begitu mudahnya suatu fakta dari peristiwa dapat menjadi viral, dilihat banyak orang dengan segenap opini yang menyertainya.

Terlebih, tingkat literasi media sosial masyarakat kita yang buruk. Menyebabkan kita seringkali tak utuh melihat konten yang mungkin berisi penggiringan opini, membiarkan kita terpengaruhi. Boro-boro kita paham peristiwa sebenarnya, kita terjebak dalam penggiringan itu. Akibatnya, Bu Prani dalam film ini mendapatkan kecaman dan perundungan, ramai-ramai dirujak netizen.

Belakangan ini, kita juga mengenal istilah buzzer. Buzzer adalah pasukan yang diturunkan oleh seseorang yang punya kepentingan untuk mengkapitalisasi dan menggiring opini dari suatu realita peristiwa. Sehingga opini publik dapat terkuasai akibat pengaruh buzzer ini. Dampaknya, siapa yang berani melawan opini publik alias netizen, siap-siaplah dirujak ramai-ramai olehnya.

Bagi saya, fenomena ini berbahaya. Mungkin banyak dari mereka yang punya reputasi mentereng di media sosial, atau mereka yang berasal dari kaum berada, tak perlu demikian khawatir dengan penggiringan opini demikian. Tapi di luar saya, banyak orang-orang kecil dan lemah, yang dapat terdampak akibat penggiringan opini ini, contohnya adalah apa yang terjadi dengan kehidupan keluarga Bu Prani. Bagaimana citra Mukhlas, putra dari Bu Prani hancur, Tita yang dikeluarkan dari Band, dan terakhir Bu Prani yang mengambil pilihan yang berat diakhir cerita.

Maka, ini menurut saya, apa yang terjadi di media sosial, tak boleh kita anggap adalah “kebenaran mutlak”. Anggaplah ia bagian kecil dari realitas sebenarnya. Jangan jadikan ia rujukan utama. Karena bisa saja, meminjam istilah Chomsky, fakta yang anda lihat di media adalah rekonstruksi tertulis dari sebuah realitas di masyarakat yang diopinikan untuk kepentingan tertentu, alias bukan peristiwa sebenarnya yang terjadi. Jika dulu Chomsky mengingatkan kita akan adanya kepentingan “besar” dari apa yang diberitakan media massa. Agaknya kita juga perlu skeptis dengan media sosial, bahwa ada kepentingan tertentu dari apa yang ditulis dan viral di media sosial.

Dengan demikian, bukalah mata anda, jangan anggap apa yang anda lihat di medsos sebagai “kebenaran” satu-satunya. Jangan jadikan konten medsos sebagai rujukan utama dalam memahami peristiwa. Dahulukan Klasifikasi dan tabayyun sesaat anda melihat konten di medsos.

Dan untuk para kreator konten, bijaklah dalam memproduksi konten, janganlah anda politisasi dan kapitalisasi viralitas konten untuk kepentinganmu sendiri, apalagi sampai merugikan orang lain, janganlah menjadi konten kreator yang menjadikan media sosial menyebalkan. Akhiron, yuk tonton filmnya, semoga jadi bahan “refleksi” kita semua. Selamat Santap Sahur!