Efek Domino Perang Harga di Marketplace

Efek Domino Perang Harga di Marketplace

Sejak munculnya platform jual beli online. Perilaku konsumen dalam berbelanja juga berubah. Disrupsi Teknologi dalam praktek ekonomi keseharian rakyat ini benar-benar mentransformasi konsumen dalam pengambilan keputusan membeli suatu barang.

Saat pasar luring berjaya, momentum liburan sekolah akan membuat pasar dipadati lautan manusia yang memburu aneka produk incarannya, dari mulai fashion hingga makanan. Pasar menjadi tempat utama spending money pada saat itu. Era teknologi informasi mendisrupsinya. Munculnya terminologi healing, menjamurnya wisata-wisata baru yang semakin terjangkau, didukung dengan produksi konten-konten marketing wisata instagrammable dari para influencer, membuat orang yang awalnya liburan itu belanja ke pasar, menjadi healing ke tempat wisata.

Disisi lain, muncul pula disrupsi dalam bentuk lainnya berbentuk marketplace. Bagi saya, Shopee yang muncul di tahun 2015 dapat dikatakan sebagai platform tersukses yang menjadi aktor utama disrupsi ini. Promo gratis ongkir, diskon-diskon kemudian menjadi daya tarik luar biasa untuk konsumen mengambil keputusan. Konsumen pada akhirnya terbiasa dengan berbelanja online hingga saat ini, termasuk saya. Pasar konvensional terpukul mundur, tentu saja karena kalah saing. Harga yang ditawarkan penjual online jauh lebih murah dibandingkan yang ditawarkan penjual offline. Gratis ongkir pula. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.

Kedua faktor inilah bagi saya yang menyebabkan banyak pasar tradisional menjadi bak tak berpenghuni. Lalu lalang manusia di banyak pasar tradisional di Indonesia dapat dihitung jari. Omzet menurun. Penjual kemudian mengeluh. Media memberitakan. Tapi apapun itu, ini adalah reformasi dari perkembangan teknologi informasi. Banyak orang bijak berkata, sekuat apapun kau melawan arus, kau akan tetap terombang-ambing. Lebih baik, ikutilah arus, lalu beradaptasi. Maksudnya, ya sudah yang jualan di pasar ikut buka toko online saja, jadi sama-sama jalan kan?

Keluarga saya adalah salah satu contohnya. Melalui saya dan istri, 2018 saya memulai membuka toko di shopee. Alhamdulillah, masih teringat euforia saat orderan pertama itu datang. Selanjutnya disusul dengan membuka banyak toko di platform marketplace lain macam lazada, tokopedia, dan terakhir adalah TikTok. Semuanya berjalan baik hingga datanglah aturan biaya admin dari marketplace, disusul mulai munculnya banyak pesaing diantara seller online.

Dibarengi dengan COVID-19 yang mempengaruhi daya beli masyarakat. Penjualan baik online maupun offline banyak yang sepi. Ya mungkin tak semua kategori produk, produk macam skincare sedang merajalela, tapi fashion? Merosot! Untuk apa beli baju baru, hijab baru, sepatu baru sedang saat COVID kita tak bisa jalan-jalan dan foto-foto dengan fashion baru itu. Produsen juga ikut sengsara. Akibatnya, banyak produsen ikut mencoba direct langsung ke konsumen, memutus jalur distribusi. Konsekuensinya, namanya produsen, ia dapat menjualnya dengan harga yang lebih murah. Ditahap inilah, banyak dari mereka para reseller dan dropshipper menyerah tanpa syarat, sebagian dari mereka ada yang tetap survive dengan mengurangi margin keuntungan.

Persaingan antar platform marketplace juga ikut memanas, mereka mencoba membuat tawaran promosi kepada para seller untuk berlomba-lomba menjual dengan harga murah. Jika ada yang tak ikut serta mengikuti promo, algoritma tak akan menaikkan produk jualan para seller. Disamping itu, marketplace juga telah kehabisan momentum untuk terus membakar uangnya, sehingga menerapkan biaya admin yang cukup “mencekik” kepada seller. Mau tidak mau, seller pun mengikutinya dengan mengurangi margin keuntungan. Menurut beberapa orang, margin keuntungan yang sehat paling tidak jangan kurang dari 10% dari harga barang. Sekarang? Saya tidak bisa berword-word, wkwkwk.

Masih terus berlanjut, dengan persaingan antar seller yang semakin sengit dengan perang harga. Iklan adalah satu opsi yang harus dipilih karena mereka tak bisa menggantungkan tokonya dengan traffic organik. Mereka harus mengalokasikan anggaran dari margin keuntungan yang sudah tipis itu untuk beriklan. Konsekuensinya, keuntungannya semakin menipis, belum lagi kalau ia tak punya skill mengelola ads. Yang ada mereka rugi dan boncosss!!!

Fakta-fakta inilah yang menurut saya menyebabkan efek domino bagi perekonomian masyarakat kecil. Perang harga menyebabkan margin keuntungan seller menipis. Dengan keuntungan yang menipis, tentu mereka akan lebih selektif untuk berbelanja barang sehingga perputaran ekonomi terus melambat. Akhirnya, seller ini juga yang terkena dampaknya, mereka kesulitan menjual produknya karena calon konsumennya (yang mungkin juga sesama seller) tak punya uang berlebih.

Jika memang benar bahwa 99,99% atau 65 juta pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM, maka saya kira mayoritas dari mereka ini juga merupakan seller online. Jika melihat statistik itu, dengan penyerapan tenaga kerja di UMKM yang mencapai 97%, agaknya kita berada dalam situasi ekonomi yang tidak sehat. Jika banyak UMKM kolaps, baik yang offline (yang sudah lebih dulu lesu), maupun yang online (akibat perang harga), maka perekonomian Indonesia dapat dikatakan tidak baik-baik saja. Belum lagi ada isu akan datangnya platform marketplace asal Tiongkok yang dapat menjual produk secara direct ke konsumen dikirim langsung dari sana. Kiamat kiamat, wkwkwk.

Menurut saya, perlu ada kebijakan strategis yang diambil pemerintah untuk mengatasi kondisi ini, agar efek dominonya tak meluas dan berdampak kepada kejatuhan ekonomi. Eh, tapi menurut Najwa Shihab, kita masyarakat ini gak penting di mata pemerintah ya? Lha wong data kita dicuri aja Menkominfo masih tak mau mundur, dan malah berkata Alhamdulillah, hahahaha.

Diakhir tulisan, saya disclaimer dulu. Saya bukan ahli ekonomi, pemerhati UMKM ataupun pakar bisnis. Saya hanya melihatnya dari kacamata orang biasa yang juga berprofesi sebagai seller online. Jadi analisisnya mungkin acakadut, wkwkwk. Saat cangkrukan dengan banyak teman sesama pedagang, mereka banyak sekali mengeluh terkait kondisi sekarang dimana omzet saat ini terjun bebas. Itu juga yang saya alami. Disaat semua harga kebutuhan pokok naik, ekonomi UMKM terjepit. Rumit. Semoga yang disemogakan dapat tersemogakan. Indonesia Emas 2045?

Rakit PC Sendiri? Gaskeun Dong!

Rakit PC Sendiri? Gaskeun Dong!

Seringkali saya katakan, bahwa bisnis online shop bukanlah bisnis tanpa modal seperti yang diduga banyak orang. Mereka mengira, kita cukup duduk santai menunggu orderan tiba, kita cukup ngopi sembari membuka toko online kita yang dibuka secara gratis, tak perlu sewa toko seperti halnya jualan klasik. Ini tentu anggapan yang tidak tepat. Disinilah disrupsi terjadi. Kami-kami yang berjualan ini tentu perlu modal. Perangkat Handphone, Koneksi Internet, Laptop/PC, Biaya Admin, Biaya Iklan, yang kira-kira jika dikalkulasi tahunan, angkanya hampir setara dengan sewa toko tahunan pula, setidaknya jika dibandingkan dengan harga pasaran sewa toko di daerah tempat saya tinggal.

Sebagai contoh, koneksi internet untuk live shopping (Tiktok) itu perlu stabil. Jika tak stabil, live akan ngelag dan konsekuensinya, calon konsumen akan dengan mudah scroll up live kami ke live toko lainnya. Maka saya spending uang yang cukup besar untuk biaya langganan internet 100 Mbps di angka 850 ribuan perbulan. Angka itu setara dengan sewa toko bulanan di tempat saya. Ini baru wifi, belum biaya admin marketplace, biaya iklan mingguan, dan lain-lain.

Salah satu modal yang dibutuhkan adalah belanja sarana prasarana. Beberapa minggu yang lalu, CEO perusahaan sekaligus istri saya mengeluh perihal laptop. Ya, laptop yang biasa dia gunakan untuk bekerja di rumah, kini digunakan oleh karyawan untuk proses orderan dan tersimpan di gudang toko. Sedangkan malam-malam selepas menidurkan ummat, sang CEO ingin membuka-buka akun marketplace, tapi laptop seringkali terlupa dan tertinggal di gudang toko. Ini menyebabkan CEO tak bisa produktif untuk mengoptimasi toko online.

Laptop yang digunakan karyawan sebelumnya sudah super lemot dan terpaksa saya jual. Ya karena memang, speknya saja cuma AMD A4 dengan RAM 4GB, meski sudah upgrade RAM ke SSD SATA, tak merubah kecepatannya secara signifikan. Maka, kita berdua berdiskusi untuk menjajaki kans untuk menghadirkan Laptop baru. Setelah menimbang-nimbang, melakukan kalkulasi mendang mending, alih-alih laptop, kita putuskan untuk membeli PC saja. Selain untuk bekerja, PC diharapkan bisa menjadi jangkar semua gadget yang kita punya. Menjadi pusat backup semua data, seperti yang telah disabdakan Jagat Review. Dimana, opsi ugrade storage dan tetek bengeknya dengan mudah dapat diatur sendiri, tak seperti laptop yang punya banyak keterbatasan.

Jika yang menjadi interest adalah “opsi upgrade”, maka PC yang dibeli tentu bukan all in one atau built up, melainkan PC rakitan, karena sekali lagi, kita butuh fleksibilitas upgrade yang futureproof. Masalahnya, meski saya cukup punya antusiasme dengan teknologi, saya tak pernah punya pengalaman rakit PC. Disinilah keyakinan diuji, karena budget pas-pasan, saya putuskan untuk memberanikan diri saja mengambil opsi ini, setidaknya tak perlu bayar biaya merakit jika bisa rakit sendiri, lebih hemat. Mulailah saya melakukan tirakat. Mencari ilmu tentang rakit PC, mencari pengetahuan tentang komponen-komponen PC, mencari tempat untuk yang cocok untuk membeli komponen PC dengan interest utama khas kaum mendang-mending, harus Value for Money, Worth it & Affordable.

Hidup di era teknologi yang berkembang pesat tentulah menjadi keuntungan tersendiri. Singkat cerita, saya akhirnya putuskan untuk membeli komponen PC secara online melalui website EnterKomputer. Alasannya adalah toko ini sudah direkomendasikan banyak orang, dan yang paling menyenangkan adalah fasilitas di websitenya yang membuat kita dapat mensimulasikan komponen yang pas untuk PC rakitan kita sekaligus mengecek kompatibilitasnya. Saya memilih AMD Ryzen 5 7600x sebagai otak PC, Asrock B650M Pro RS sebagai Mobonya, RAM 32GB dan SSD NVME 512GB dari ADATA, dan beberapa komponen lainnya dibawah ini.

Daftar komponen PC pilihan saya

Tak perlu waktu lama, dalam waktu 2 hari yang mendebarkan, akhirnya paket dari EnterKomputer tiba. 2 hari berselang saya memulai merakitnya. Dengan bermodalkan belajar via Youtube, saya rakit mulai dari pemasangan processor, pasang RAM, SSD, cooler, dan yang tersulit adalah memasang kabel-kabel dari PSU ke Mobo. Bagian itu cukup melelahkan, namun akhirnya PC saya bisa hidup dan bisa masuk laman BIOS-nya. Disitu alhamdulillah semua komponen yang terpasang dapat terdeteksi dengan baik. Selanjutnya tentu install Windows 11 Home, bagian ini adalah bagian yang menyenangkan dan bikin saya mesam mesem sendiri. Akhirnya sejak saya punya ketertarikan rakit PC sejak SMA, baru saat ini bisa kesampaian, hehehe.

Setelah 2 hari ini, PC berjalan dengan baik, hidup dengan aman dan nyaman, dan kecepatannya tentu tak diragukan lagi, cukup untuk penggunaan sang CEO sehari-hari, daaan yaah, kedepan pastinya cukup kuat untuk sekedar editing foto dan grafis macam Photoshop dan CorelDraw, bahkan editing video dengan Premiere tipis-tipis, dan yang paling utama sih, bisa menjadi pusat penyimpanan semua data dari semua gadget keluarga saya, tinggal nambahin HDD boskuh.

Begitulah cerita rakit PC perdana saya. Tentu saya tertolong oleh banyaknya konten-konten keren dari banyak kreator yang ada di Youtube, sehingga jika merakit PC zaman dulu adalah momok yang menakutkan bagi saya, saat ini jika saya harus rakit PC lagi, saya tentu akan dengan sombongnya berujar, “Rakit PC sendiri? Gaskeun dong! Hahahaha.”. Yah, semoga PC keluarga saya ini bisa awet dan bertahan lama, dan tentu berfungsi sesuai dengan yang diharapkan saat membelinya, mengakselerasi kinerja dari CEO Perusahaan kami untuk bisa lebih produktif dan maju dalam menghasilkan cuan-cuan merah bergambar Sang Proklamator. Amin amin ya robbal alamin.

4 Keistimewaan Lebaran 1445 H Bagi Saya

4 Keistimewaan Lebaran 1445 H Bagi Saya

Idul Fitri adalah momentum kemenangan. Ada yang mengartikannya sebagai “Kembali Suci”, ada juga yang mengartikannya “Kembali makan”. Keduanya bagi saya benar, satu secara etimologi, satunya secara terminologi dan filosofis.Sesuai judul, saya ingin menguraikan beberapa keistimewaan Idul Fitri tahun ini dibanding idul fitri sebelumnya versi saya. Dan tentu, tulisan ini tak bermutu, karena bisa jadi ada poin yang bagi anda sangat receh, salah siapa juga anda baca, hehe.

1. Perut saya

Transformasi fisik saya yang tidak lagi buncit tentu membuat saya menjadi lebih percaya diri untuk berfoto bersama keluarga. Tak perlu lagi menkempis-kempiskan perut, tak perlu lagi menyimpan senyum lebar. Karena saya tak perlu khawatir wajah saya yang bulat menjadi gepeng saat senyum lebar akibat daging di pipi, wkwkwk. Tentu dibalik itu, ada transformasi mental, saat berpuasa, saya lebih semangat dan lebih energik. Ibadah semakin khusyu, koyok iyo iyo o, wkwkwk.

2. Anak ketiga

Tentu itu jadi poin pembeda, kalo tahun kemarin baru dua. Sekarang sudah ada 3 ummat yang senantiasa ngintil kemana-mana. Terimakasih untuk istriku. Terimakasih kepada Allah atas karunia dan kepercayaan-Nya kepada kami berdua.

3. Silaturrahmi dg Keluarga Bani Syathori, Arjawinangun

Sebenarnya, keluarga Bani Syathori Arjawinangun setiap tahun selalu berkunjung ke kediaman alm kakek saya pada tanggal 2 syawwal. Akan tetapi entah mengapa 2 tahun ini terasa lebih spesial saja. Apalagi ketika berkesempatan bersalaman dan sedikit bercengkrama dengan Walid Ahsin Sakho Muhammad & Buya Husein Muhammad. Konon, secara silsilah, keluarga besar saya dengan keluarga besar beliau masih nyambung, sama-sama keturunan Mbah Nursalim alias Pangeran Suralaja bin Sultan Muhammad Arif Zainal Asyiqin Banten. Semoga silaturrahmi kedua keluarga ini terus terjalin sehingga saya kecipratan barokah dari beliau-beliau.

4. Mudik Lancar tanpa Hambatan

Karena istri asli Malang, Jawa Timur, tiap lebaran pasti kami mudik. Tahun-tahun sebelumnya, kami biasa atur waktu mudik H+10 lebih setelah lebaran, tentu agar tak terjebak macet. Berhubung saya tahun ini sudah aktif mengajar dan terikat dengan pekerjaan, saya tak bisa terlalu santuy menunda mudik, nanti malah bentrok dengan pekerjaan. Maka saya beranikan mudik H+3, dan alhamdulillah sepanjang jalan saya tak menemukan kemacetan, anak-anak pun tak ada yang rewel. Kalo sudah rewel, bahaya, karena saya nyupir sendiri, otomatis istri pegang 3 ummat yang harus dijinakkan.

Yah, sebetulnya banyak keistimewaan lain yang mungkin belum tertulis, karena memang tulisan ini ditulis biar blog saya gak kosong-kosong amat. Maka poin 1 adalah poin yang sangat tidak penting untuk diceritakan hehe.

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H semuanya, semoga ibadah kita dan puasa kita diterima sebagai amal ibadah, semoga kita semua termasuk dari orang-orang yang kembali kepada kesucian dan meraih kemenangan, Mohon maaf lahir dan batin.

Film Budi Pekerti: Media Sosial (Terkadang) Memang Menyebalkan

Film Budi Pekerti: Media Sosial (Terkadang) Memang Menyebalkan

Saya baru saja menonton film “Budi Pekerti” via Netflix. Film ini sepertinya berlatar di Yogyakarta, menceritakan seorang Bu Prani, seorang guru BP yang viral akibat ia naik pitam saat menemukan seorang pria yang menyerobot antrian putu. Lebih lanjut, ternyata bu Prani adalah guru BP yang kreatif, memberikan hukuman-hukuman unik untuk siswa, bahkan sampai yang (dianggap) kontroversial. Bu Prani tak mau menyebutnya sebagai “Hukuman”, tetapi “Refleksi”.

Inti cerita film ini menurut saya adalah bagaimana media sosial dan tetek bengeknya sangat mempengaruhi opini kita terhadap suatu realitas. Kisah bu Prani ini sangat relevan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sosial kita hari ini, dimana opini media sosial menjadi raja “kebenaran” yang absolut. Begitu mudahnya suatu fakta dari peristiwa dapat menjadi viral, dilihat banyak orang dengan segenap opini yang menyertainya.

Terlebih, tingkat literasi media sosial masyarakat kita yang buruk. Menyebabkan kita seringkali tak utuh melihat konten yang mungkin berisi penggiringan opini, membiarkan kita terpengaruhi. Boro-boro kita paham peristiwa sebenarnya, kita terjebak dalam penggiringan itu. Akibatnya, Bu Prani dalam film ini mendapatkan kecaman dan perundungan, ramai-ramai dirujak netizen.

Belakangan ini, kita juga mengenal istilah buzzer. Buzzer adalah pasukan yang diturunkan oleh seseorang yang punya kepentingan untuk mengkapitalisasi dan menggiring opini dari suatu realita peristiwa. Sehingga opini publik dapat terkuasai akibat pengaruh buzzer ini. Dampaknya, siapa yang berani melawan opini publik alias netizen, siap-siaplah dirujak ramai-ramai olehnya.

Bagi saya, fenomena ini berbahaya. Mungkin banyak dari mereka yang punya reputasi mentereng di media sosial, atau mereka yang berasal dari kaum berada, tak perlu demikian khawatir dengan penggiringan opini demikian. Tapi di luar saya, banyak orang-orang kecil dan lemah, yang dapat terdampak akibat penggiringan opini ini, contohnya adalah apa yang terjadi dengan kehidupan keluarga Bu Prani. Bagaimana citra Mukhlas, putra dari Bu Prani hancur, Tita yang dikeluarkan dari Band, dan terakhir Bu Prani yang mengambil pilihan yang berat diakhir cerita.

Maka, ini menurut saya, apa yang terjadi di media sosial, tak boleh kita anggap adalah “kebenaran mutlak”. Anggaplah ia bagian kecil dari realitas sebenarnya. Jangan jadikan ia rujukan utama. Karena bisa saja, meminjam istilah Chomsky, fakta yang anda lihat di media adalah rekonstruksi tertulis dari sebuah realitas di masyarakat yang diopinikan untuk kepentingan tertentu, alias bukan peristiwa sebenarnya yang terjadi. Jika dulu Chomsky mengingatkan kita akan adanya kepentingan “besar” dari apa yang diberitakan media massa. Agaknya kita juga perlu skeptis dengan media sosial, bahwa ada kepentingan tertentu dari apa yang ditulis dan viral di media sosial.

Dengan demikian, bukalah mata anda, jangan anggap apa yang anda lihat di medsos sebagai “kebenaran” satu-satunya. Jangan jadikan konten medsos sebagai rujukan utama dalam memahami peristiwa. Dahulukan Klasifikasi dan tabayyun sesaat anda melihat konten di medsos.

Dan untuk para kreator konten, bijaklah dalam memproduksi konten, janganlah anda politisasi dan kapitalisasi viralitas konten untuk kepentinganmu sendiri, apalagi sampai merugikan orang lain, janganlah menjadi konten kreator yang menjadikan media sosial menyebalkan. Akhiron, yuk tonton filmnya, semoga jadi bahan “refleksi” kita semua. Selamat Santap Sahur!

Rakyat Kita Sudah Cerdas?

Rakyat Kita Sudah Cerdas?

Dalam berbagai macam talkshow, podcast dan acara sejenis, khususnya yang bergenre politik dengan narasumber politisi-politisi, tentu kita akrab dengan kata-kata “rakyat kita sudah cerdas.” Konteksnya, seringkali itu diungkapkan oleh seseorang yang mencoba mempertahankan status quo, atau apapun kepentingannya. Dengan ungkapan itu, politisi tersebut biasanya berhasil men-skakmat lawan bicaranya. Karena lawan bicara seringkali tak akan berani menegasikan atau menolak statemennya bahwa sebenarnya “Rakyat Indonesia belum Cerdas.” Jika ia berani menarasikan negative statement tersebut, ia mungkin takut kehilangan afirmasi politik di masyarakat, atau paling tidak, takut dihujat netizen, hahaha.

Menurut KBBI, cerdas adalah sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti dan sebagainya); tajam pikiran. Kata kuncinya adalah akal budi, akal mewakili pemikiran (kognitif) dan budi mewakili perasaan (afektif) yang berkaitan dengan moralitas dalam suatu konstruksi budaya atau peradaban. Terdapat teori populer juga yang membagi kecerdasan kedalam tiga aspek, yaitu kecerdasan intelektual (IQ), emosional (EQ) dan spiritual (SQ). IQ berkaitan kognitif, EQ berkaitan afektif dan SQ terkait dengan relasi ketuhanan.

Dari teori dan definisi “cerdas” diatas, bisa kita bilang bahwa kecerdasan hanya akan didapatkan jika kita sebagai manusia melalui proses tertentu untuk mencapainya, yaitu proses belajar. Menuju kesempurnaan akal budi, manusia perlu mempelajari banyak hal, dan prosesnya tentu tak singkat. Saking pentingnya belajar, agama Islam mewajibkan ummatnya untuk belajar dengan segenap nilai-nilai keutamaan yang dinarasikan yang ujung-ujungnya adalah untuk menuju kecerdasan, menuju kesempurnaan akal budi. Tentu seorang muslim paham bahwa Rasulullah SAW pun diutus untuk menyempurnakan akhlak, dimana akhlak disini adalah manifestasi dari kesempurnaan akal budi, atau kecerdasan itu sendiri. Disamping itu, dalam konteks kenegaraan, kecerdasan merupakan sesuatu yang menjadi tujuan bernegara kita, karena dalam pembukaan UUD 1945, tercantum salah satu cita-cita nasional, mencerdaskan kehidupan bangsa, yang berarti mengupayakan agar bangsa Indonesia hidup dengan kecerdasan, hidup dengan kesempurnaan akal budi.

Untuk mencapai kecerdasan sebagai cita-cita nasional itu, pendidikan adalah jalan untuk mencapainya. Direalisasikan melalui didirikannya berbagai macam lembaga pendidikan, dengan strata-strata tertentu. Dari PAUD, TK, SD, SLTP, SLTA, hingga perguruan tinggi. Setelah melalui seluruh proses belajar pada lembaga-lembaga pendidikan ini, manusia Indonesia “diharapkan” menjadi rakyat yang cerdas, rakyat yang sempurna akal budinya, tajam pikirannya, seimbang IQ, EQ dan SQ nya. Maka dapat dikatakan, kecerdasan sebagai tujuan bisa didapatkan saat seseorang mampu menyelesaikan tingkat pendidikan setinggi-tingginya. Semakin tinggi persentase penyelesaian tingkat pendidikannya, maka semakin tinggi pula tingkat kecerdasannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan, semakin rendah pula kecerdasannya.

Mari kita buka fakta angka pendidikan di Indonesia. Data statistik pendidikan 2022 mencatat bahwa 59,88% penduduk Indonesia menamatkan pendidikan dasar, sebanyak 29,97% menamatkan pendidikan menengah, dan hanya 10,15% yang menamatkan pendidikan tinggi. Jika angka-angka ini menjadi acuan untuk menentukan tingkat kecerdasan rakyat Indonesia, agaknya sulit mengatakan bahwa “Rakyat kita sudah cerdas” bukan?

Oke, saya mencoba memahami cara berpikir pembaca. Sepetinya tidak adil mengukur kecerdasan seseorang dari tingkat pendidikan yang telah dilaluinya, toh banyak mereka yang berpendidikan tinggi menjadi koruptor, dan mereka yang lulusan SD adalah mereka yang baik dan jujur. Disamping itu, belum pula kita masukkan parameter pendidikan lain, misal pendidikan karakter dari orang tua, keluarga, lingkungan, pesantren yang perlu menjadi acuan juga. Saya punya kaidah yang keren untuk menjawab ini. Maa laa yudraku kulluhu, laa yutraku kulluhu, sesuatu yang tidak bisa kita capai sepenuhnya, tak boleh kita tinggalkan sepenuhnya juga, rugi dong.

Saya paham bahwa melihat strata pendidikan tak benar-benar valid untuk menakar kecerdasan atau kesempurnaan akal budi manusia. Tapi dari situlah kita setidaknya bisa mendapatkan potret kecerdasan rakyat Indonesia. Memang lembaga pendidikan kita ini masih banyak yang perlu dikoreksi, misal seringnya gonta-ganti kurikulum, rendahnya kualitas, beban administratif yang tak masuk akal, kurangnya profesionalitas dalam pengelolaan, ongkos pendidikan yang mahal dan seabrek PR bangsa ini dibidang pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Jika sedemikian bobroknya, maka angka-angka statistik diatas bisa dianggap angka yang menutupi keadaan aslinya. Dengan kata lain, keadaan sebenarnya bisa jadi lebih buruk. Bagaimana tidak, 10% mereka yang tamatan Perguruan Tinggi saja dipertanyakan kecerdasannya, apa kabar dengan 59,88%?

Kondisi objektif lain juga dapat dilihat dari berbagai parameter lain. Tingginya angka korupsi, hadirnya oligarki yang memainkan pemerintahan, manipulasi hukum ditingkat elit, politik yang sudah tak berbasis nilai dan ideologi, lebih transaksional, persetan dengan gagasan dan ide-ide kepemimpinan, yang penting adalah cuan dan cuan yang diberikan. Tanpa kita mengetahui angka-angka detilnya, tanpa kita tahu bukti-buktinya (karena memang sulit untuk meng-capture-nya), kita merasakan bahwa bangsa kita ini sedang krisis kecerdasan dan krisis kesempurnaan akal budi. Bisa jadi, kita sedang memelihara kedunguan.

Saya skeptis bahwa upaya mencerdaskan kehidupan bangsa tak benar-benar serius dilakukan. Akhirnya kita sebagai rakyat dimanipulasi dan dimanfaatkan oleh banyak politisi, pejabat dan pebisnis untuk mengeruk keuntungan lebih. Kita dinina bobokan oleh mereka, dijejali bansos, dihipnotis dengan drama-drama media sosial, seolah kita dibiarkan tidak cerdas, dibiarkan tidak sempurna akal budinya alias dungu, agar tetap hidup dalam manipulasi genjutsu para pemimpin kita. Maka hidup kita ini akan selalu terasa begini-begini saja, tentu saja karena yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin.

Mengapa pemerintah atau politisi kita perlu memelihara kedunguan kita? Karena mereka yang dungu lebih mudah dimanipulasi. Yang dungu lebih memilih pemimpin dengan pertimbangan serangan fajar daripada nuraninya, lebih mempertimbangkan cuan dibanding gagasan. Para politisi takut jika rakyat bangkit, jika semua rakyat cerdas, tuntutan kepada mereka akan meninggi, banyak dari kita akan meminta politisi untuk mengupayakan pendidikan yang berkualitas, layanan kesehatan yang mantap dan menyeluruh, upah tenaga kerja yang layak, transportasi umum yang nyaman, riset dan penelitian mendunia, dan infrastruktur yang memadai. Namun, saat ini politisi kita cukup bernapas lega, karena yang diminta rakyat hanyalah beras dan sembako.

Akhiron, apakah kalian masih percaya dengan statemen “Rakyat kita sudah cerdas” dari politisi kita? Bagi saya, itu bagai genjutsu yang memanipulasi dan menutupi keadaan sebenarnya. Dan pertanyaan terakhir, lebih baik menyadari kenyataan lalu mengoreksi? Atau mengabaikan kenyataan lalu menutup mata?

Selamat Jalan, Lur!

Selamat Jalan, Lur!

Pagi ini saya mendapat kabar duka melalui instagram pmiiofficial yang memohon doa kesembuhan Sekjen PB PMII, Muhammad Rafsanjani yang sedang dirawat, dikolom komentar ada yang bertanya tentang sakit apa yang dideritanya, dijawab oleh admin, sakit influenza H3N2. Pikiran saya sederhana, oh, sakit flu ini tak berat-berat amat, akan segera sembuh, pikirku, namun mengapa sampai harus diposting di akun official PB PMII? Beberapa menit yang lalu, postingan akun PB PMII selanjutnya memberi kabar duka yang lebih mengejutkan, Rafsan telah berpulang. Innalillahi wainna ilaihi rojiun.

Saya bersaksi almarhum adalah orang baik, karena saya punya cerita unik dengan almarhum. Sekitar tahun 2017, saya mendaftar untuk mengikuti SIMAK UI untuk S2 Kimia, saya mencari-cari teman pondok yang ada di sekitaran Jakarta. Ketemulah Rikal, alumni satu pondok yg pada saat itu berkuliah di UIN Ciputat. Singkat cerita, sampailah saya di kosan Rikal untuk numpang menginap H-1 tes SIMAK UI.

Disitulah saya pertama kali bertemu Rafsan. Saat itu ia baru demisioner dari Ketua PC PMII Ciputat. Kami ngobrol-ngobrol iseng seputar topik PMII, dari kaderisasi, politik, dan obrolan lainnya. Setelah beberapa waktu, ia pamit keluar dulu. Saya lanjut ngobrol dengan Rikal, ia menceritakan bahwa Rafsan ini Asgar (Asli Garut). Saya berseloroh, saya juga punya ibu yang asgar. Sekitar tengah malam, Rafsan kembali ke kosan Rikal, kami mengobrol kembali. Lalu rikal menceritakan bahwa saya juga punya darah Asgar.

Kemudian, Rafsan bertanya ke saya, “Garut mana?”

“Limbangan.”, jawab saya.

“Lho, limbangan mana? Saya juga dari limbangan.”, ujarnya.

“Sebenarnya, Nenek tinggal di Selaawi, tapi keturunan dari Cikelepu.”

“Bentar bentar, saya juga dari Cikelepu. Coba nama ibunya siapa?.”, tanyanya antusias.

“Dulur mereun dulur, pantes da beungeutna ge satipe.”, timpal Rikal.

“Beda urang mah hideung boss, wkwk”. 

Saya beritahu nama ibu saya, lalu saya juga tunjukkan fotonya. Ia mengkonfirmasi dengan menanyakan kepada ibunya, saya juga menanyakan kepada ibu saya. Dan kesimpulannya, saya dan Rafsan masih ada hubungan keluarga, Kakek saya dan Kakek nya adalah saudara kandung, berarti ibu saya dan ibu rafsan adalah saudara sepupu. Yah, begitulah saya bertemu saudara di tengah kondisi yang tak terduga.

Esoknya, kami berangkat bersama menuju lokasi tes SIMAK UI. Pengumuman menunjukkan bahwa saya maupun Rafsan tak lulus SIMAK UI saat itu. Bedanya, saya kemudian memilih untuk mendaftar di UNPAD saja, sedangkan ia mencoba lagi mendaftar di SIMAK UI selanjutnya dan diterima.

Lama tak bersua, kami dipertemukan kembali di acara keluarga di Cikelepu, Limbangan. Yah, ngobrol-ngobrol seperti biasa, seputar pergerakan, hahaha. Beberapa waktu kemudian, saya melihat melalui instagram, ia maju dalam bursa calon Ketum PB PMII. Saya ucapkan selamat dan semoga sukses dalam pertarungan itu. Hingga kemudian, ia dipilih oleh Ketua Umum PB PMII terpilih sebagai Sekjen melalui formatur. Saya kembali mengucapkan selamat dan berlagak meminta jatah menjadi pengurus PB, “Hayu atuh. Dimana ayeuna?”, jawabnya. Saya meresponnya dengan guyonan kalo saya tak serius, lagian saya belum sampai PKL dan sudah lelah beraktivis ria, wkwkwk.

Begitulah interaksi singkat saya dengan almarhum, sayangnya saya tak punya satupun dokumentasi saat pertemuan dengan almarhum. Saya bersaksi ia orang baik, ia juga orang yang ramah dan santun. Saat belum mengetahui bahwa kami masih keluarga besar, ia ramah, saat ia sudah mengetahui, ia lebih ramah lagi. Selamat jalan lur, semoga tenang disana. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Amin ya robbal alamin.

Lahul faatihah.