Beberapa hari ini setelah membeli HDD untuk saya pasang di PC, saya mulai merapikan file di laptop saya yang hampir over capacity, merah semua. Yang namanya beres-beres arsip, saya mengupayakan efisiensi waktu, tapi tetap saja kadang ada satu dua hal yang bisa menghambat. Lembaran lama memang seringkali mengundang kita untuk kembali mengenangnya, dan saya lalu tergoda untuk membuka kembali rekaman video sidang tesis saya beberapa tahun lalu.
Sebelum lanjut tulisannya, saya merasa perlu berterimakasih untuk semua dosen-dosen saya di UNPAD. Terimakasih kepada Prof. Tri Mayanti, Prof. Tati Herlina, Dr. Darwati, Dr. Nurlelasari, Pak Ari Hardianto, Ph.D dan seluruh dosen atas bimbingan dan masukan selama proses studi S2 lalu. Tak lupa juga pada semua rekan-rekan di Lab, Zul, Amel, Rona, teman seangkatan baik yang fastrack maupun slowtrack, hehe.
Oke, lanjut ya, saya kembali menonton presentasi & tanya jawab sidang tesis saya. Satu yang cukup mengejutkan adalah diferensiasi fisik saya, wkwkwkwk. Begitu tembemnya pipi saya, begitu ngos ngosan nya nafas saja saat presentasi, hahaha. Dan yang tak kalah penting adalah bagaimana saya memahami apa yang saya sampaikan saat itu.
Bagian pada riset saya salah satunya terdapat metode in silico, khususnya topik molecular docking. Saat itu, ternyata saya punya banyak miss understanding tentang interpretasi data hasil docking, dan secara dini menyimpulkan bahwa senyawa saya punya mekanisme antagonis non kompetitif, padahal docking sendiri adalah pendekatannya agonis/antagonis kompetitif, wkwkwkwk.
Untungnyaaaa, bumi masih berputar. Selepas lulus, saya berkesempatan untuk bekerja sebagai Dosen di Program Studi Farmasi. Sebagai seorang dosen, belajar adalah keharusan, dan pada satu titik, saya tertuntut untuk melakukan riset, dan in silico adalah riset yang paling feasible pada saat itu. Saya kembali mendalaminya dengan mengikuti beberapa short course dari mulai docking, molecular dynamics, hingga membeli buku studi QSAR. Terlebih, saya di challenge oleh rekan-rekan untuk mengampu mata kuliah Kimia Medisinal.
Disinilah semua tabir pengetahuan tentang mekanisme obat, hubungan struktur aktivitas senyawa obat, fase-fase aksi obat, mekanisme agonis, antagonis kompetitif, non kompetitif, interpretasi docking, MD, hingga bagaimana QSAR yang sebenarnya bernas dibahas. Dititik ini, saat mendengar presentasi sidang saya tadi, saya menertawakan diri saya saat dulu, wkwkwkwk, yang disisi lain, kembali saya bersyukur bahwa kesempatan berkarir sebagai dosen di Prodi Farmasi benar-benar menyenangkan. Saya mendapat banyak privilege untuk mempelajari lebih jauh tentang dunia obat-obatan.
Tentu saja semua yang saya ketahui saat ini masihlah secuil dari luasnya keilmuan Farmasi yang menantang. Dan ada potensi pemahaman saya hari ini ditertawakan oleh saya di masa depan, selama saya tetap terus belajar dan belajar. Yah, belajar bagi dosen itu memang kewajiban. Bahkan level belajarnya pun harus ekstra, karena kita bukan hanya belajar untuk kita sendiri, melainkan kita harus bisa menyampaikan dan memahamkan mahasiswa kita terhadap suatu materi.
Beberapa bulan lagi, saya mungkin akan sedikit melakukan pergeseran. Tetapi, menjadi bagian dari Prodi Farmasi di STIKes KHAS Kempek adalah bagian yang sangat sangat wajib disyukuri, karena mungkin saja jika saya tak pernah terlibat disana, keilmuan saya ya segitu-gitu aja, dan mungkin saja volatilitas keilmuan bisa terjadi. Bahkan pada satu titik, sempat terpikir untuk melanjutkan studi doktoral di bidang ini.
Terimakasih untuk semua pengalaman dan kehangatannya. Saya akan selalu mengingatnya sebagai bagian dari perjalanan hidup yang sangat berkesan. Sukses selalu untuk keluarga besar STIKes KHAS Kempek, tetaplah menjadi lentera yang menerangi asa dan cita!
Ini adalah tulisan pertama di tahun 2025. Ternyata, butuh 14 hari berlalu untuk membuat tulisan perdana di tahun 2025 ini, hehehe. Seperti yang banyak orang bilang, tahun demi tahun, kita harus punya resolusi. Satu, dua atau beberapa hal yang ingin dicapai di tahun yang baru. Apalagi kita seorang muslim yang memiliki prinsip ajaran (yang juga universal sebenarnya), bahwa “Orang yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok lebih baik dari hari ini”.
Sabda Nabi SAW seolah mendorong kita untuk tidak bersikap statis, melainkan harus bersikap dinamis dan progresif dalam hidup. Siap menghadapi dan beradaptasi terhadap berbagai tantangan dalam fase-fase kehidupan. Belajar terus menerus untuk berkembang. Maka bagi saya, perkembangan adalah keharusan, dinamika itu keniscayaan, dan kesiapan memulai perubahan itu diperlukan. Meskipun seperti kata Yuval, manusia seringkali takut dalam menghadapi hal yang paling konsisten tersebut (baca:perubahan).
Awal tahun ini saya ditakdirkan diberi satu milestone baru dalam hidup, yakni kelulusan menjadi CPNS Dosen di salah satu perguruan tinggi. Setelah berjibaku dengan seleksi sejak akhir agustus tahun lalu, dan dari lowongan yang hanya 1 formasi, alhamdulillah saya terpilih menjadi orang yang mengisi formasi itu. Pastinya, mencapai milestone ini adalah hal yang tak mudah, perlu ketekunan dan keseriusan dalam usaha. Untungnya saya meyakini bahwa “al ujroh biqodril masyaqoh”, hasil tak akan mengkhianati proses! Saya betul-betul diilhami oleh kaidah ini.
Tentu saja saya meyakini, dibalik determinasi dan kegigihan yang saya tunjukkan untuk melalui beberapa tahapan dalam tes yang menguras tenaga dan pikiran, ada doa dan dukungan dari orang-orang tersayang. Maka saya ucapkan terima kasih untuk Istri, mamah, bapa, anak-anak, adik dan semua keluarga besar serta seluruh pihak yang mendoakan setulus hati untuk mencapai satu milestone ini. Istri yang menjadi support system luar biasa, ruang yang kau berikan untukku sangatlah berarti. Mamah bapa dengan doa “keramat”-nya demi keberhasilan anakmu ini. Anak-anak yang mengerti saat ayahnya ini perlu waktu untuk belajar dan tak bisa bermain bersama. Tak ada yang bisa saya persembahkan selain saya akan gunakan waktu hidup ini untuk bahagiakan semuanya.
Menjadi dosen memang cita-cita saya sejak dulu, tetapi jujur saja, menjadi Dosen PNS sebelumnya tak pernah terpikirkan. Dinamika dalam kehidupan lah yang membawa saya terdorong untuk mengikuti seleksi CPNS Dosen di Tahun lalu. Salah satunya adalah keinginan untuk menerima tantangan-tantangan baru dan keinginan untuk berkembang terus menerus dalam hidup, karena saya adalah “Long-Life Learner”, mwehehehe.
Ibarat karbokation yang terbentuk dalam berbagai macam reaksi organik, saat menemui kesempatan untuk membentuk karbokation yang lebih stabil, ia tak segan untuk melakukan penataan ulang dirinya, entah penataan minor seperti pergeseran hidrida, atau mayor seperti pergeseran metida, yang pasti ia ambil kesempatan itu. Dengan terbentuknya karbokation yang lebih stabil, ia punya waktu yang cukup untuk bereaksi dengan nukleofil dan membentuk produk yang lebih stabil.
Begitupun saya, pengambilan keputusan ini adalah upaya saya untuk sedikit melakukan pergeseran yang cukup berarti untuk menuju kestabilan baru dalam kehidupan dan karir saya. Kestabilan ini dibutuhkan untuk kemudian mempersiapkan diri menghadapi tahapan-tahapan reaksi (kehidupan) berikutnya.
Saya termasuk orang yang “berupaya” tak terlalu fokus dengan hasil. Karena bagi saya hasil itu buah dari proses. Jadi, nikmatilah prosesnya. Karena saat proses yang kita lalui itu proses dijalani dengan sepenuh hati, hasil akan menjadi buah manis yang dapat dipetik. Sebaliknya, saat kita menuntut hasil tanpa dibarengi dengan penikmatan terhadap proses, maka yang terjadi adalah caci maki terhadap keadaan.
Tak banyak harapan saya di tahun 2025 ini, seperti saat saya panjatkan doa kepada-Nya tentang CPNS ini. Saya tak meminta kelulusan, saya hanya meminta untuk diberikan takdir yang terbaik dari-Nya. Jikalah kelolosan adalah takdir terbaik, maka itulah yang akan Sang Maha Kuasa berikan. Jika ketidaklolosan adalah takdir terbaik, saya pun tentu akan menerima dan tetap bersyukur atas semua rahman dan rahim-Nya. Semoga 2025 senantiasa ditunjukkan takdir-takdir terbaik dari-Nya, amin ya robbal alamin.
Saat berhadapan dengan penguji dalam suatu wawancara, ada pertanyaan unik nan menarik dari salah seorang penguji. “Coba jelaskan nilai-nilai kimia yang relevan dalam tasawuf”. Seketika otak saya dituntut untuk berpikir cepat untuk mencari bahan jawaban. Seketika saya teringat akan peran nukleofil, suatu spesi kimia yang kaya elektron, yang secara sukarela memberikan elektronnya untuk berikatan dengan spesi yang kekurangan elektron dalam suatu mekanisme reaksi substitusi nukelofilik.
Akhirnya saya jelaskanlah relevansinya, bahwa dalam hidup, kita sebagai seorang yang punya kelebihan, baik berupa ilmu, harta, tenaga, dan aspek lain harus punya kepedulian untuk membantu mereka yang membutuhkan dan kekurangan. Seperti halnya nukleofil, yang rela berbagi elektronnya kepada substrat yang membutuhkan, memberikan dukungan yang berarti. Bahkan, nukleofil ini mendonorkan elektronnya seraya mengajak substrat untuk berikatan dengannya dan melepaskan belenggu ikatan sebelumnya yang tak memberikan kestabilan yang selayaknya.
Begitulah terkadang, dalam berbagi, ada yang memang benar-benar kekurangan, seperti karbokation, atau yang dia kekurangan, namun tak benar-benar memahami bahwa ia sebenarnya butuh uluran tangan, seperti spesi parsial positif.
Karena saya adalah seorang dosen dan guru, maka dimensi berbagi saya lebih banyak pada berbagi ilmu pengetahuan. Di kampus kepada mahasiswa dan di pesantren kepada para santri. Seringkali kita temukan di kelas, ada mahasiswa atau santri yang memang ia menunjukkan dirinya perlu perhatian lebih untuk memahami materi, sehingga tentu saja itu perlu kita beri tambahan pemahaman materi. Saya kira mendekati dan memahamkan jenis mahasiswa begini lebih mudah. Ibarat karbokation, secara dzohir ia memang butuh diberi elektron untuk berikatan, artinya mahasiswa tersebut perlu bonding lebih dengan kita dalam pembelajaran.
Adalagi jenis mahasiswa yang ia tidak menunjukkan atau mungkin tidak tahu bahwa ia butuh perhatian lebih dalam pemahaman materi, tetapi sebenarnya ia membutuhkannya. Satu kesamaan dari keduanya adalah mereka sama-sama membutuhkan perhatian dalam pembelajaran. Namun tentu saja yang kedua ini tantangannya lebih berat bagi seorang dosen, ibarat spesi karboh parsial positif, meminjam istilah imam algazali, ini tergolong pada kelompok “rojulun la yadri wa la yadri annahu yadri”, begitu kira-kira.
Nukleofil dalam hal ini, ia menyiapkan dua mekanisme dalam membantu kedua jenis spesi berbeda ini, yaitu dengan mekanisme SN1 dan SN2. SN1 untuk mahasiswa tipe 1 dan SN2 untuk mahasiswa tipe 2. Dari kedua mekanisme ini, anggaplah kita seorang nukleofil, kita sebagai dosen perlu menyiapkan mekanisme pembelajaran yang adaptif untuk kedua jenis mahasiswa ini, sehingga goals nya sama. Mereka dapat kita bantu meningkatkan pemahamannya dalam ilmu pengetahuan.
Saya percaya bahwa berbagi itu ada seninya, perlu strategi khusus dalam berbagi, dan ini tidak hanya berlaku pada dunia pendidikan seperti diatas. Contoh lainnya adalah dalam realitas perekonomian masyarakat Indonesia. Jikalah pemerintah ini ibarat nukleofil yang punya segudang kekuasaan untuk mensejahterakan kita, maka pemerintah sudah seharusnya memperhatikan dua tipe substrat yang harus ia bantu. Ibaratnya, spesi karbokation adalah masyarakat kelas bawah, mereka memang perlu dan harus dibantu secara ekonomi dengan mekanisme tertentu.
Disamping itu, pemerintah juga harus perhatikan juga substrat lainnya, yaitu si parsial positif tadi, atau mereka yang ada di kelas menengah. Kelas menengah ini seolah-olah tidak butuh bantuan, namun sebenarnya mereka sangat memerlukan bantuan, sepakat kan ya? Nah, pemerintah ini juga harus menyiapkan mekanisme untuk memberikan bantuan elektronnya kepada kelas menengah untuk lebih berdaya. Ini yang saya maksud berbagi itu perlu kecerdasan dan kejelian.
Yah, mungkin ada yang berekspektasi saya akan membahasnya dengan makna sufistik “mainstream” dari cerita nukleofil, tapi pada akhirnya adalah aspek ekonomi juga yang dibahas, hehehe. Meski anggapan umum tasawuf itu dimensinya endogen, tapi sebetulnya ada dimensi sosial eksogen dari tasawuf. Bagi saya, tasawuf sudah tak bisa dipahami sebagai pengasingan diri dari hal-hal duniawi. Jikalau tasawuf ini berakar dari dimensi ihsan, maka sebagai pelaku tasawuf, kita harus mampu menunjukkan keihsanan kita dalam kehidupan sosial kita.
Saya teringat definisi ihsan “an ta’budallaha kannaka tarohu, fain lam takun tarohu fainnahu yaroka, beribadah seolah-olah kita melihat-Nya. Kalu tidak begitu, beribadahlah dengan meyakini bahwa Allah melihat kita.”. Kalo memahami ihsan dari definisi tersebut, ihsan berkaitan dengan ibadah, dimana jenis ibadah yang kita lakukan tentu saja tak hanya ibadah personal, ada juga ibadah sosial yang mengisi relung-relung kemasyarakat.
Maka, tasawuf zaman sekarang harus dipahami lebih luas, harus berangkat dari dimensi pribadi ke dimensi sosial, dari endogen ke eksogen. Peduli pada berbagai isu, seperti climate change, pangan, perkembangan AI, ekonomi global dan regional, termasuk PPN 12%, hehehe. Jadi seorang sufi zaman now haram bersikap asosial, wkwkwk.
Kembali ke bahasan semangat berbagi, mari kita belajar berbagi pada nukleofil, dimana berbagi butuh strategi dan seni, tidak bisa monoton dan asal-asalan. Wallahu a’lam.
Karena suatu alasan, saya harus mencari argumentasi dan bukti yang menguatkan bahwa saya punya kapasitas berbicara dalam bahasa arab. Tentu saja saya cukup memahami, meski tak seperti alumni gontor dan pesantren bahasa, presentasi adalah sesuatu yang dipersiapan, by design, sehingga dengan basic yang cukup. Kita bisa melakukannya.
Kebetulan saja saya adalah seorang santri yang dulu cukup concern mempelajari gramatika bahasa arab, nahwu, shorof dan (sedikit) balaghoh. Kekurangannya santri salaf, tentu saja dari aspek speaking, kalo aspek reading sudah paling jago mereka. Tapi lemah bukan berarti tidak bisa sama sekali, bisa dipersiapkan, bisa dilatih, bisa disetting.
Saat pembukaan pendaftaran seminar proposal skripsi saat S1 dulu, terdapat edaran bahwa presentasi dapat disampaikan menggunakan bahasa arab atau inggris atau indonesia. Melihat itu, saya mulai tertarik dan berpikir untuk melakukan presentasi menggunakan bahasa arab. Ada beberapa alasan mengapa saya memilih bahasa arab. Pertama, tentu saja men-challenge diri. Tantangannya tentu saja bagaimana mentranslate istilah-istilah kimia ke dalam bahasa arab. Google translate menjadi salah satu opsi, tapi tentu saja saya harus mengecek kembali istilah sebenarnya melalui riset kata per kata. Karena jangan sampai, misal saya translate “Lidah buaya” ke dalam bahasa inggris jadi “Crocodile tongue” atau “Lisanut Timsal”, wkwkwk.
Kedua, ingin berbeda dari yang lain. Terbukti di satu angkatan saya, hanya saya sendiri yang mempresentasikan proposal skripsi hingga sidang skripsi dengan bahasa arab, hehe. Sombong amat. Ketiga, agar tak banyak dikomen penguji terkait performa presentasi, wkwkwk. Tapi ini tak terlalu ampuh, karena dosen sudah punya naskah skripsi saya yang berbahasa indonesia, dan secara konteks, slide per slide mereka paham apa yang sedang saya jelaskan. Jadi pertanyaan-pertanyaan penguji tetap saja horor, hahaha.
Yes! Jadi itulah pengalaman saya mempresentasikan Kimia dalam bahasa arab. Ya, ternyata bisa-bisa saja. Karena pasti di timur tengah sana pun, bahasa pengantar pembelajaran ilmu kimia maupun ilmu alam, teknik hingga kesehatan dengan bahasa arab juga bukan?
Hari demi hari berlalu, ternyata cukup lama blog ini tak memuat tulisan receh. Kalau boleh saya beralasan, kemandekan ini akibat sibuknya saya persiapan tes CPNS, hehe. Selepas tes SKD, barulah saya bisa sedikit bernafas lega. Meski nilai belum memenuhi target, setidaknya sudah saya lalui dengan usaha yang cukup keras. Tinggal menunggu pengumuman apakah lolos ke tahap SKB atau tidak.
Selepas masuk di kelas mengisi Mata Kuliah Kimia Medisinal di Semester VII tadi. Pikiran saya serasa melayang terus menerus. Saya merasa ada insight menarik yang perlu ditulis. Dalam materi yang saya sampaikan tadi sore, ada konsep yang cukup menarik pada kimed, yaitu tentang Isosterisme.
Isosterisme adalah konsep yang terus berkembang sejak diusulkan oleh Langmuir (1919), Hukum pergeseran hidrida Grimm (1925) hingga menjadi konsep Bioisosterisme yang dikenalkan Friedman (1951). Singkatnya, konsep ini menceritakan bahwa dalam pengembangan atau modifikasi struktur obat, bisa dilakukan penggantian gugus fungsi tertentu. Gugus fungsi yang menggantikan haruslah gugus yang isosterik, artinya gugus yang memiliki distribusi elektron dan karakter sterik yang relatif sama.
Sebagai contoh, misal dalam suatu molekul obat, ada gugus -NH2, maka kita bisa substitusi gugus -NH2 itu dengan gugus -OH. -NH2 dan -OH adalah pasangan isoster karena punya distribusi elektron yang sama, yakni 9. Ini harus diikuti agar modifikasi struktur yang dilakukan tidak terlalu mengubah sifat kimia dan fisika molekul obat yang (misal) pada awalnya sudah baik sebagai obat. Tetapi harapannya, ketika berinteraksi dengan reseptor untuk menimbulkan efek terapi terhadap tubuh kita, ia bisa memberikan efek yang lebih baik pasca modifikasi struktur.
Reseptor protein didalam tubuh kita ternyata memang cukup unik. Ia punya sifat yang inklusif. Ia tak mempermasalahkan adanya pergantian gugus selama sifat dan karakteristik gugusnya relatif sama. Tak masalah atomnya apa, yang penting sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Ia tak perlu nanya ke molekul, asal gugusnya darimana, atau punya orang dalam atau tidak, hehe. Barulah kemudian saat gugus itu berikatan dengan reseptor, ada kebolehjadian bahwa gugus itu bisa menjadi lebih baik dari yang digantikan atau sebaliknya.
Dari sini, kita perlu belajar nilai inklusivitas dari reseptor protein-protein di dalam tubuh kita dalam berbagai aspek kehidupan kita. Contohnya, dalam berbagai lini kehidupan kita, selayaknya kita memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang yang dianggap mampu. Tak masalah ia dari suku apa, kelompok apa, kelas masyarakat apa, yang penting sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan. Tak perlu kita membeda-bedakan asal usulnya, yang penting ia bisa berkontribusi. Saya jadi teringat kutipan dari Gus Dur, “Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu.”.
Perilaku reseptor protein juga seolah menjunjung tinggi budaya meritokrasi. Dalam konteks ini, ia memilih molekul berdasarkan atas asas kemampuan, kompetensi dan fungsi paling efektif dalam kinerjanya, sehingga tercipta afinitas terbaik molekul-reseptor yang (misalkan) “meningkatkan aktivitas biologisnya”. Dalam keseharian kita, budaya meritokrasi pun harus dijunjung tinggi. Dalam isu kepemimpinan, ada kaidah populer dalam bahasa arab yang berbunyi “Tasharruful imam ala roiyah, manutun bil maslahah”, artinya keabsahan seorang pemimpin bergantung pada bagaimana ia mampu menciptakan sebanyak-banyaknya kemaslahatan.
Maka, dalam kita memilih pemimpin, selayaknya kita memilih seperti reseptor protein dengan pertimbangan bioisosterisme yang meritokratis. “Tidak penting ia anak siapa”, yang terpenting adalah pemimpin dipilih harus berdasarkan atas kompetensi, kapabilitas dan track record kinerjanya sehingga antara pemimpin dan kita selaku rakyatnya, tercipta “afinitas” terbaik, dan harapannya adalah “meningkatkan aktivitas pembangunan negara” yang sesuai dengan rel yang telah ditetapkan seperti yang dicita-citakan para founding fathers.
Di era yang serba digital ini, ilmu sudah bukan menjadi barang langka. Kita bisa dengan mudah search di google untuk apapun yang ingin kita ketahui. Terlebih, fitur artificial intelegence (AI) macam chatgpt yang luar biasa canggih. Meski tak sepenuhnya akurat, ia bisa menjadi alat bantu yang baik untuk pengetahuan.
Saya adalah bagian dari pengguna yang merasa terbantu dengan kehadiran teknologi yang semakin berkembang. Dengan prompt atau keywords yang tepat, apapun yang kita ingin kita tanyakan akan dijawab oleh teknologi, entah melalui google, chatgpt, youtube, fyp tiktok, dll. Algoritma mengaturnya secara epik.
Jika ada yang bilang kepada saya, “Jangan belajar dari google, youtube, dsj karena belajar itu harus ada gurunya, belajar dengan google akan menyebabkan kita digurui oleh setan, kita akan tersesat.”. Saya tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Disatu sisi ada benarnya, namun dengan panduan dan cara penggunaan yang tepat, teknologi informasi adalah alat bantu yang luar biasa. Tak semerta-merta kita belajar ke setan. Asal kita paham, informasi yang diunggah ke internet banyak mengandung kebenaran, tergantung dari bagaimana kita menverifikasi, memvalidasi dan memprofiling sumbernya, dan tentu saja jangan menjadikannya sebagai rujukan primer. Jika anda menjadikan info di grup WA keluarga sebagai rujukan utama, falyatabawwa’ maq’adahu minannar, hahaha.
Dibalik kemudahan-kemudahan mengakses ilmu pengetahuan, ada aspek negatif yang lebih saya khawatirkan daripada mengenai sumber kredibel yang diperdebatkan, yaitu tentang atensi manusia terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan di generasi mendatang. Saya melihat, generasi saat ini, paling tidak di circle pergaulan saya sehari-hari, terdapat indikasi dimana mereka seperti tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan, bahkan cenderung meremehkan.
Saking mudahnya sehari-hari kita mengakses sumber pengetahuan, kita seolah-olah meremehkan proses belajar yang harus ditempuh. Kita cenderung menggampangkan segala hal. Semuanya hanya tinggal browsing dan ketemulah jawabannya. Contoh pertama, di suatu kelas mahasiswa saya, ada sesi presentasi, sudah mah makalah dan ppt dibuat dengan asal-asalan tanpa rujukan buku-buku dan sumber yang baik karena hasil chatgpt atau downloadan scribd, saat tanya jawab, mereka mendadak browsing jawabannya saat kelas berlangsung lalu membacakannya tanpa pemahaman. Saya rasa ini adalah salah satu sikap yang mendegradasi marwah keilmuan.
Contoh kedua, saat mengobrol dengan seseorang, saya cukup kesal jika ditanya adakah perkuliahan (S1 atau S2) yang tidak perlu masuk kelas, tidak perlu skripsi, tinggal menunggu dan langsung lulus dapat ijazah? Toh, semua yang diajarkan di kuliah sudah ada di internet. Ini adalah pertanyaan yang cukup sering ditanyakan kepada saya oleh sebagian orang. Kita tau bahwa pendidikan di Indonesia memang punya segudang persoalan kronis. Tapi jangan kita perparah dengan kita ikut serta dengan praktek demikian. Memang, seperti dalam teori ekonomi, supply praktek jual beli gelar itu ada akibat dari adanya demand di masyarakat. Namun, kita harus hentikan ini paling tidak dimulai dari diri kita sendiri.
Gelar bagi saya juga memang tak penting. Tak penting dari sisi penyebutan oleh orang lain atau bangga-banggaan. Namun jika untuk diri kita sendiri, kita yang menyandang gelar ini harus punya refleksi mendalam pada diri kita masing-masing. Sudahkan kita menguasai keilmuan sesuai dengan tuntutan gelar yang kita miliki? Kita punya tanggungjawab moral untuk terus memantaskan diri kita memiliki gelar tersebut. Memiliki gelar akademik berarti menginformasikan kepada masyarakat bahwa kita punya kompetensi dalam bidang tersebut. Jika kita ternyata tak punya kompetensinya, bukankah kita dzolim dan tak menghargai pendidikan?
Contoh ketiga, joki skripsi. Contoh keempat, Gaji honorer. Contoh kelima, keenam, dan masih banyak lagi. Persoalan pendidikan di Indonesia memang multi multi. Tentu saja tak bisa kita selesaikan sendiri. Selemah-lemahnya usaha, paling tidak jangan biarkan kita ikut-ikutan menjadi pihak yang meremehkan ilmu dan pendidikan, dengan tidak menggampang-gampangkan.
Saya tau di era teknologi informasi ini semua serba gampang. Mari jadikan kemajuan teknologi dan kemudahan yang diberikannya ini sebagai media bagi kita untuk terus berkembang. Bukan kemudian kita bersembunyi dibalik kemajuan teknologi dan menyombongkan diri, padahal kita kosong dan tak berisi. Menggampangkan adalah sifat sombong terhadap ilmu. Bukankah Syekh Azzarnuji dalam Ta’limul Muta’allim mensyaratkan bahwa salah satu cara mengagungkan ilmu adalah dengan cara menghindari kita bersikap sombong terhadap ilmu?
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.