Menjadi Konsultan Gadget Keluarga

Menjadi Konsultan Gadget Keluarga

Memilah dan memilih perangkat gadget bagi sebagian orang adalah hal yang cukup membingungkan. Apalagi jika orang tersebut tak punya interest dalam perihal teknologi. Tentu itu bukan kesalahan, karena setiap orang punya interest tersendiri dalam kehidupannya.

Saya sendiri adalah pribadi yang cukup antusias dengan perkembangan teknologi. Entah itu laptop, hape, atau beberapa gadget lainnya. Maka, saat saya ingin membeli suatu perangkat untuk daily driver, banyak channel youtube saya tonton, macam gadgetin, jagatreview, dll. Tentu saya bukan expert, melainkan hanya kaum mendang-mending yang tak ingin budget minimnya menghasilkan pembelian yang tidak “value for money” atau “worth it”, hehehe.

Urusan hape, daily driver saya adalah Samsung A52 dengan chipset Snapdragon 720G. Sudah hampir 3 tahunan ini saya gunakan dan belum ada keluhan berarti, masih nyaman-nyaman saja. Sebelumnya saya sudah menjajal brand lain seperti xiaomi & oppo, dan menurut saya, samsung yang saya pakai ini masih juaranya. Kalo di kelompokkan, hape yang jadi daily driver saya ini termasuk kelompok mid-range lah, tentu yang sesuai dengan budget saya saat membelinya. Pengen sih suatu saat punya gadget macam iPhone, namun sayang seribu sayang, duite ra nututi, wkwkwk. Masih banyak alokasi dana yang lebih penting daripada beli gadget seharga motor. Hahaha.

Untuk laptop juga masih menengah kebawah lah, Lenovo IP Slim 3 jadi pilihan. Ryzen 5, RAM 8GB dan memori sudah SSD sudah cukup untuk daily driver. Cukup untuk office harian dan editing grafis macam Corel dan Photoshop. Yang penting gak celeron-celeron amat. Yang baru dinyalakan sudah bikin emosi. Perdebatan Intel & AMD? Saya tim AMD! Alasannya, tentu juga selisih harga, hahahaha.

Track record begitu-begitu itu rupanya membuat beberapa keluarga yang berminat untuk membeli perangkat semi-semi konsultasi ke saya. Di bulan ini sudah ada 2 anggota keluarga yang minta rekomendasi seputar laptop. Sebenernya, saya gak terlalu pede memberi rekom laptop ke belio-belio. Tapi karena gak enak, saya carikan beberapa rekoman, tapi juga saya kasih disclaimer sebelum mereka memutuskan untuk meminang, “Resiko ditanggung perusahaan masing-masing ya, saya hanya memberi masukan, wkwkwk.”.

Ya memang begitu, pada dasarnya, pembelian perangkat harus didasarkan kebutuhan penggunaan dan budgetnya. Titik tumpu perekomendasi berangkat dari sana, dengan budget yang ada, sesuaikan dengan kebutuhan, dan kita dapat apa. Dan satu hal yang penting dalam masukan saya, saya hampir tak pernah memberi rekomendasi perangkat bekas. Kenapa? Karena track record terbaik saya beli perangkat bekas hanya membeli iPhone 11 untuk istri saya dari PS Store, selebihnya gatot, wkwkwk.

Udah itu aja cerita hari ini. Semoga kita semua diberi kelancaran dalam mengais rezeki, dan suatu saat mampu membeli gadget-gadget impian. Amin. Dan tentunya, jangan memaksakan diri untuk membeli gadget yang berada di luar jangkauan keuangan kita, apalagi jika sampai harus kredit, atau bahkan jual ginjal. Tapi, lagi-lagi disclaimer, semua tergantung financial planning anda.

Peluang Kontribusi Santri di Bidang Sains dan Teknologi

Peluang Kontribusi Santri di Bidang Sains dan Teknologi

Beberapa dekade lalu, santri diidentikkan sebagai komunitas masyarakat yang tradisional, kaku dan terbelakang. Masyarakat perkotaan notabene seringkali memandang sebelah kaum santri karena dianggap kolot dan anti kemajuan karena dianggap mendahulukan kepercayaan mistis dibanding tradisi pengetahuan modern. Padahal dalam kesehariannya, santri sangat erat kaitannya dengan tradisi akademik yang progresif. 

Tri Dharma ala Santri

Jika dibandingkan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, santri juga melakukan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Hanya saja Tri Dharma santri tak dilaporkan dalam sister BKD seperti dosen, dan terhitung SKS yang formal seperti mahasiswa. Pengajaran dilakukan santri dengan berbagai metode. Kyai atau ustadz bisa melakukannya dengan Bandongan, atau dalam bahasa akademik disebut metode ceramah satu arah. Bisa juga dilakukan dengan sorogan, disimak oleh kyai satu per satu terkait satu pelajaran, bahkan bisa jadi seperti halnya Sidang Komprehensif Skripsi. Teknis sidang kompre santri kira-kira mirip seperti Musabaqoh Qiroatul Kutub. 

Penelitian dilakukan santri melalui studi literatur dan dipublikasi melalui “prosiding” forum bahtsul masail di berbagai tingkatan.  Bahtsul masail adalah kegiatan berkumpulnya para santri dengan bekal buku-buku akademik keislaman (misal:fiqih) dari generasi ke generasi, dari metode satu ke metode lainnya, dari madzhab satu ke madzhab lainnya untuk membahas persoalan-persoalan keislaman kontemporer, kemudian dicari solusi dari persoalan tersebut dan diambil kesepakatan bersama. Kira-kira jika BM level nasional setara dengan jurnal Sinta 1, BM level internal pondok setara dengan Sinta 3-5. Sehingga Bahtsul masail adalah salah satu contoh dari rutinitas santri yang erat kaitannya dengan tradisi akademik bidang Penelitian.

Untuk banyak santri satu dua dekade kebelakang, mungkin Pengabdian Masyarakat adalah kegiatan sehari-hari karena relasi santri dan masyarakat saat itu sangatlah cair dan mutualisme. Santri saat ini dengan sistem dan aturan pesantren yang lebih terstruktur, biasanya pengmas dilakukan selepas santri lulus dari pendidikan pesantren. Meski tak semuanya, beberapa pesantren mewajibkan santri melakukan pengmas wajib selama 1 tahun pasca lulus. Berbeda dengan pendidikan tinggi yang merealisasikan pengmas hanya 1 bulanan.

Peluang Santri terhadap Sains dan Teknologi

Lalu apa hubungan santri dan saintek? Saya membayangkan keunggulan santri dengan metode-metode pembelajarannya, serta fokus yang lebih baik karena konsep boarding schoolnya. Jika dibuat visi, misi, tujuan, rencana induk, rencana strategis, kurikulum dan turunannya yang mengarah pada pembelajaran yang difokuskan pada bidang saintek tertentu, saya yakin jebolannya akan menjadi ahli sains yang handal. Jika di bidang Kesehatan, maka akan menjadi ahli kesehatan yang handal. 

Lantas, bagaimana pembelajaran agamanya? Jangan terlalu dalam, cukup beri pengetahuan praktis dasar saja, misal fiqihnya Safinah mentok-mentok Taqrib, tauhid bisa Tijan atau Jawahirul Kalamiyah, Akhlak cukup Ta’lim Muta’alim, selebihnya fokuskan untuk santri belajar bidang saintek yang ia pilih, konsistenkan proses ini sejak SMP hingga Perguruan Tinggi yang terintegrasi dan tersistem dalam satu naungan Yayasan Pesantren tertentu. Yang farmasi biar farmasi, yang bioteknologi biar bioteknologi, yang nanomaterial biar nanomaterial. Bila masih banyak waktu tersisa, keilmuan multidisplin yang masih beririsan pun bisa dibabad habis.

Dengan konsep yang matang dan implementasi yang terkontrol dengan baik, saya yakin santri jebolan lembaga tersebut akan menjadi terang dalam gelap, jawaban atas pertanyaan, dimana islam dan agama-agama saat dunia saat ini dikuasai oleh orang-orang yang menuhankan sains dan teknologi. Santri harus hadir mencoba menghadapi fenomena dunia yang demikian mengarah kepada penafian kebenaran agama, atau lebih jauhnya menafikan keberadaan Tuhan.

Mengapa saya sebegitu yakin? Karena santri dengan berbagai metode pembelajarannya yang efektif dan sudah eksis sejak dahulu kala, serta model boarding school yang lebih mampu menyingkirkan distraksi, fokus santri terhadap studi bisa lebih dari sekedar siswa dan mahasiswa biasa. Yang lebih mudah teralihkan perhatiaannya dengan hal-hal diluar kepentingan akademisnya.

Maka akan ada yang skeptis, masa santri hanya brlajar kitab-kitab tipis? Nanti ilmu agamanya dangkal dong? Ya jika ingin pembelajaran agama yang lebih mendalam, ada banyak sekali Pesantren “Salaf” yang secara kurikulum mapan di kajian kitab kuning yang bisa dipilih. Pilihlah yang itu. Daripada kita memaksa santri untuk benar-benar “MASAGI”, namun pada akhirnya “Tidak Kemana-mana”, Ilmu Fiqihnya nanggung, Fisikanya ngambang. Sehingga memang perlu satu dua pesantren yang mengadaptasi role model pesantren sains yang lebih mengeksplorasi keilmuan sains. Dan peran pesantren ini nantinya di bidang agama, lebih difokuskan pada pembentukan karakter dari santri itu sendiri.

Mengutip dawuh Romo KH. Anwar Manshur Lirboyo, bahwa Tidak perlu semua santri itu menjadi kyai. Yang penting menjadi santri yang “khoirunnas anfauhum linnas”. Sehingga, poin penting dari santri adalah kemanfaatan. Dimana sayap kemanfaatan santri yang perlu diperlebar lagi adalah dengan berkontribusi lebih dalam pengembangan sains dan teknologi. Yang mana saat ini di sektor tersebut belum banyak terdistribusi santri yang punya kapasitas intelektual terkait.

Hemat saya, peluang untuk santri ini harus kita sambut dengan antusiasme dan kemauan yang tinggi, untuk sedikit keluar dari mainstream, tentu bukan karena ingin gaya-gayaan, tetapi ini dilakukan demi perbaikan ummat, agar kontribusi umat islam terhadap sains dan teknologi lebih berefek dan meluas. Para kyai dan gus gus masa kini saya kira harus merespon peluang ini dengan cermat. Sehingga persepsi masyarakat terhadap santri yang pelan-pelan sudah mulai terbangun baik, akan semakin baik dengan keberanian beliau-beliau untuk mengambil inisiatif merespon peluang ini.

Menambah Kesibukan dengan Mengajar

Menambah Kesibukan dengan Mengajar

“Nak, kalau kamu jadi guru, dosen, atau kyai harus tetep usaha. Harus punya usaha sampingan, biar hati kamu gak selalu mengharap pemberian ataupun bayaran dari orang lain. Karena usaha dengan keringatmu sendiri itu barokah.”, Almaghfurlah KH. Maimun Zubair.

Tipikal manusia didunia ini bermacam-macam, ada yang dalam hidupnya ia nyaman ketika sibuk bekerja, ada juga yang nyaman ketika sibuk menganggur, mencintai kegabutan dan mager. Tapi kedua tipikal manusia ini bersepakat, bahwa tjuan adalah koentji, hahaha. Ya, karena selepas quarter life, kebutuhan akan cuan itu keniscayaan. Memang cuan bukan segalanya, tapi segalanya butuh cuan, begitu kira-kira ungkapan masyhur di negeri Wakanda.

Kalo saya dimasukkan kedalam 2 kategori itu, saya ambil tengah-tengahnya. Terlepas dari aspek tuntutan mencari nafkah, saya benci ketika terlalu sibuk, saya juga jengah ketika gabut tanpa pekerjaan, hahaha. Jadi memang yang tengah-tengah ini justru menjadi assawadul a’dzom, kelompok mayoritas di wakanda ini, termasuk saya.

Kesibukan saya berjualan daring, membantu orang tua jualan luring itu sudah cukup padat. Ditambah sekarang menjadi mandornya mandor di proyek pembangunan rumah sendiri, ya lumayan lah. Sejak bangun pagi hingga terlelap lagi, kesibukan selalu ada, tentu termasuk dengan waktu yang terdistraksi akibat scrolling medsos dan nonton film di layanan streaming, itu juga saya masukkan hitungan.

Sejak dahulu, berjualan ini “bukan passion saya”, tapi karena tuntutan ekonomi, ya tentu saya jalani dengan penuh khidmat, karena seperti ungkapan diatas, tjuan adalah koentji. Namun, tentu passion saya harus tetap dipenuhi dan dikejar demi kepuasan. Karena ada bagian dari diri saya yang menginginkannya. Ya, saya sejak dahulu sedikit banyaknya ingin terlibat dalam dunia pendidikan.

Saya kadang-kadang melirik info cpns, pppk dosen, lowongan dosen tetap PTN , dll, tapi memang seperti kata Fiersa Besari dalam satu kesempatan, “Kita tidak perlu melihat superhero jauh-jauh ke luar negeri, karena superhero itu bisa dilihat dari seorang laki-laki yang rela mimpi-mimpinya diinjak didepan mata demi kepentingan keluarga.”. Idealisme saya tentang menjadi dosen di salah satu PTN bergengsi itu saya kubur dulu di halaman belakang rumah. Saya ambil opsi-opsi yang lebih realistis dengan jalan kehidupan saat ini sembari sedikit berharap ada saatnya nanti saya bisa gali kembali.

Beberapa bulan yang lalu, bagian dari diri saya ini akhirnya bisa menancapkan diri di dunia pendidikan, dengan menjadi guru di sekolah milik pesantren. Sekolah ini adalah satuan pendidikan baru dengan nama Pendidikan Diniyah Formal (disingkat PDF) yang berada dibawah naungan Kemenag. Porsi pelajarannya 75% kitab kuning dan 25% umum. Tentu saya tidak mengambil porsi yang 75%, karena disamping banyak pengajar alumnus Lirboyo yang hebat-hebat, pengetahuan kitab kuning saya sudah “volatil”, sehingga saya mengambil porsi pelajaran umum.

Setelah menjadi Guru, tentu itu masih saya rasa bagian kecil dari mimpi yang tercapai, karena saya memang lebih ingin mengajar di level mahasiswa, karena saya kira belajar bersama mahasiswa ini akan lebih fleksibel, cair dan komunikatif. Konon di level mahasiswa, mereka ini sedang dalam fase pencarian jati diri, hematnya saya ingin berperan sebagai pengantar bagi mereka untuk menemukan jati dirinya, wuih, saha aing? Hahaha. Engga lah, intinya sih karena saya sudah sekolah sampe S2, kalaulah keilmuan yang saya dapatkan ini tidak disalurkan, saya khawatir “volatilitas” keilmuan saya terulang lagi. Salah satu jalan untuk menjaga ilmu adalah dengan mengamalkannya. Dan mengajarkannya adalah salah satunya.

Selanjutnya, Alhamdulillah saya diterima untuk mengajar di perguruan tinggi kesehatan swasta di Cirebon, dan milik pesantren juga. Bisa dibilang, saat ini saya harus banyak bersyukur. Selain memang dari segi bisnis tetap berjalan, passion saya sedikit banyaknya tetap bisa saya kejar. Sudah sekitar 2 pertemuan mengajar di level mahasiswa, rasanya menyenangkan bertemu dengan calon generasi penerus bangsa, wehehehe. Tapi mengajar di PDF juga tak kalah menyenangkan, karena banyak pelajaran yang sudah banyak saya lupakan saat SMP dan SMA dulu, saya bisa mempelajarinya kembali.

Agaknya, kondisi sekarang ini bagi saya paling tidak bisa dianggap sebagai kondisi ideal bagi saya untuk menjalani hidup. Berperan dalam pendidikan sudah saya dapatkan, bisnis sudah berjalan, tinggal bagaimana saya dan istri terus melebarkan sayap untuk ekspansi bisnis untuk lebih mandiri secara ekonomi agar saya bisa jadi Kaya secara finansial. Bukan berarti saya hubbuddunya, tapi jika kita miskin juga kan gak bisa sedekah, hahaha. Seperti dawuh Buya Said Aqil Siroj, kita orang Islam harus kaya, harus ada orang Rajagaluh yang jadi orang paling kaya se Indonesia. Toh, pada dasarnya, ketika kita mengejar sesuatu yang sifatnya duniawi tapi dibarengi dengan niat yang baik, maka akan terkonversi menjadi sesuatu yang bernilai ukhrowi, begitupun sebaliknya.

Sebetulnya dalam kehidupan ini, tidak terlalu penting kita jadi apa dan siapa, yang penting apa yang kita lakukan ini bermanfaat bagi sesama. Tapi jika menjadi apa dan siapa itu adalah wasilah menuju kemanfaatan, tentu harus kita kejar. Karena intinya adalah ketika kita menjadi apa dan siapa itu kita harus menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Yang penting, jangan terlalu sibuk, jangan juga terlalu mager, yang sedang-sedang saja, hahaha.

Wallahu a’lam.

Digitalisasi Memang Mendesak, Tapi Jangan Cuma Gimmick Doang

Digitalisasi Memang Mendesak, Tapi Jangan Cuma Gimmick Doang

Menulis urusan digitalisasi ini udah dorongan sejak lama. Sejak saya urus-urus dokumen kelahiran anak pertama di dukcapil tahun 2019 yang lalu. Biasalah, kurang satu dua dokumen, saya harus memacu sepeda motor saya kembali ke rumah untuk mengambil berkas yang tertinggal itu. Jaraknya sekitar 20 km an lah. Bukan cuma satu balik, tapi dua balik bosss. Maknyus kan?

Jadi ya, beberapa kali lah teman bahkan saudara saya curhat sulitnya urus-urus di dukcapil itu gimana. Sampe karena kurang satu dan dua dokumen saja, harus bela-belain pulang lagi ke rumah dan berangkat lagi. Iya kalo jarak dari rumah ke kantor itu deket, saya mending cuma 20 km. Ada lho, desa-desa lain yang jarak tempuh menuju kantor disdukcapil itu waktu tempuhnya 1-2 jam. Akhirnya mereka menyerah dengan memasrahkan urus-urus KTP dan sebagainya itu ke oknum pemerintahan, eh oknum apa udah umum ya?

Padahal, di media sosial disdukcapil sendiri, kelihatannya cukup banter menginformasikan program-program digitalisasi pelayanan data kependudukan, semua bisa diurus via online, begitu katanya. Melihat dua sisi ini, dari fakta lapangan dan informasi di medsos, agaknya klaim bahwa digitalisasi di lingkungan pemerintahan ini masih banyak yang hanya “gimmick” belaka, atau gimana maksud sebenarnya?

Eh, jangan bilang saya menggeneralisir ya. Apalagi pake nuduh saya kubu cebong atau kampret yang sudah usang itu. Toh, saya juga mengapresiasi kok langkah digitalisasi yang bukan cuma “gimmick”. Misal layanan di SAMSAT, dimana pembayaran pajak bisa dibayarkan via Tokopedia dan platform lainnya yang bekerja sama, lalu kita tinggal pengesahan aja, gak perlu ke kantor, cukup cari info jadwal SAMSAT KELILING terdekat, dan selesailah urus-urus pajak kendaraan kita.

Jadi oke gini lah, bagi instansi pemerintahan macam disdukcapil bolehlah meniru gaya SAMSAT yang digitalisasinya bukan hanya klaim belaka. Beneran bisa online lho mereka. Bukan cuma “gimmick” di medsos aja. Kebutuhan digitalisasi ini penting, biar gak ada lagi tuh, guyonan di masyarakat macam gini, “katanya KTP kita ini udah elektronik, alias sudah dipasangi chip yang maha canggih, tapi mau urus ini itu tetep harus fotokopi”. Yah, meskipun sebenernya, KTP yang harus di fotokopi itu sedikit banyaknya memberi nafas kehidupan bagi para tukang fotokopi yang menjamur dimana-mana.

Modal buat bikin platform digitalisasi instansi saya kira gak sulit dan mahal-mahal banget kok. Asal ada political will dari pimpinan instansi-instansi terkait. Tidak perlu menunggu pusat. Toh, setau saya SAMSAT juga melakukannya dari tingkat daerah, misal yang tercantum di Tokped ada Jabar, Jateng, Jatim, dll. Belum semua provinsi bisa. Artinya hal tersebut bisa dilakukan dengan inisiatif daerah maupun kabupaten/kota. Yah, pokoknya bisa lah, gimana caranya agar masyarakat ini nantinya gak alergi sama urus-urus dokumen kependudukan.

Maaf ya bapak-bapak yang terhormat. Ini semua cuma curhat sebagai respon atas curhatan-curhatan sodara dan temen saya. Makanya saya gak pake data, riset atau apalah yang njelimet-njelimet itu. Yang pasti, semoga kedepan lebih baik. Wallahualam.

Membela Obat Kimia Sintetis

Membela Obat Kimia Sintetis

Seringkali dalam beberapa obrolan suatu topik, yang terkait dengan kesehatan misalnya, ada orang yang latah menstigma begini, “Hati-hati sama obat kimia, berbahaya. Mending pake yang alami-alami, herbal, itu lebih sehat, lebih ampuh. Kalo obat-obatan kimia nanti suka ada efek sampingnya.”

Statemen macam itu jika didengar sekilas memang terdengar sangat super sekali, mereka yang bicara demikian bisa dianggap sebagai orang yang memegang warisan leluhur, menjunjung tinggi kearifan lokal dalam pengobatan tradisional, atau dalam bahasa kerennya disebut pejuang “back to nature“. Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin mengkoreksi istilah “obat kimia”, istilah yang lebih tepat adalah “obat sintetis”. Karena pada dasarnya, yang herbal juga kimia. Dan semua yang ada di dunia ini adalah bahan kimia. Oke?

Ya, obat-obatan sintetis macam parasetamol, ibuprofen, CTM, pseudoephedrine, phenylpropanol amine, waakhwatuha seringkali di cap sebagai obat-obatan yang berbahaya bagi tubuh. Yang lebih aman adalah mengkonsumsi bahan-bahan alami, misalkan kunyit yang dibubukkan, dedaunan yang direbus, akar yang ditumbuk, dan lain lain. Begitu.

Sebagai orang yang pernah belajar ilmu kimia, saya termasuk orang yang tidak setuju dan gusar dengan pandangan tersebut. Kegusaran ini berangkat dari beberapa alasan. Pertama, Jika dilihat dari asal muasalnya, banyak obat-obatan sintesis juga pada awalnya berasal dari bahan-bahan alami. Saya ambil contoh, pseudoephedrine. Senyawa obat yang biasa digunakan sebagai obat pereda flu atau dekongestan ini pada awalnya berasal dari tumbuhan Ephedra sinica yang banyak tumbuh di daratan China. Secara tradisional, tanaman ini memang sejak dahulu digunakan sebagai obat pelega hidung dan tenggorokan. Karena khasiat tradisionalnya, kemudian para peneliti berupaya mengisolasi senyawa yang berperan dalam bioaktivitas tersebut dengan pendekatan bioassay guided isolation hingga didapatkanlah si senyawa kelompok alkaloid ini.

Karena sediaan tumbuhan Ephedra sinica yang terbatas dan rumitnya proses mengisolasi senyawa dari bahan alam. Maka dikembangkanlah mekanisme tertentu untuk mensintesis pseudoephedrine ini di laboratorium. Saat ini, sediaan pseudoephedrine ini tidak diambil dari tumbuhannya, melainkan dari hasil sintesis laboratorium. Pseudoephedrine disintesis melalui mekanisme biotransformasi yang melibatkan dextrose dan bakteri tertentu untuk mendapatkan prekursornya, kemudian diubah menjadi pseudoephedrine melalui proses aminasi reduktif. China dan India adalah dua negara yang banyak memproduksi pseudoephedrine ini dan mengekspornya ke berbagai negara.

Selain pseudoephedrine apa lagi? Masih banyak banget bos, misal morphin dari Papaver somniferum sebagai obat analgesik, vinblastin dan vinchristin dari Catharantus roseus sebagai obat antitumor, Quinine dari Chincona sp sebagai obat antimalaria, dan lain lain. Beberapa obat ini pada awalnya ditemukan dari tumbuhan, kemudian dikembangkan produksinya dengan metode sintesis agar lebih mudah didapat dan menghasilkan rendemen lebih tinggi.

Kedua, satu kandidat obat tidak dinilai dari beberapa orang yang mencoba khasiatnya, melainkan melalui banyak tahapan dalam uji, dari pra klinis hingga klinis. Contohnya saya lanjutkan dengan pseudoephedrine lagi, senyawa tersebut dilakukan uji bioaktivitas hingga uji klinis untuk memastikan efektivitas dan selektivitas kerjanya sebagai kandidat obat. Setelah melalui uji-uji yang rumit itu, barulah si pseudoephedrine ini mendapatkan izin edar/pemasaran dengan tetap mendapatkan pengawasan dan pemantauan dari pihak-pihak tertentu. Jika dalam masa edarnya ada masalah, obat ini bisa saja mengalami nasib buruk dengan ditarik dari pasaran, bisa permanen, bisa juga sementara.

Salah satu contoh obat yang pernah ditarik sementara adalah Ranitidine HCl. Obat tersebut ditarik karena adanya temuan cemaran NDMA yang diduga berasal dari tahapan produksinya. NDMA ini salah satu zat pemicu kanker. Kemudian, obat ini boleh diedarkan kembali di masyarakat karena beberapa merk dari obat ini memiliki kadar NDMA dibawah ambang batas. Fakta ini mungkin adalah salah satu dalil yang dapat digunakan untuk menghakimi obat sintetis sebagai produk yang tidak aman. Namun juga sekaligus juga menjadi dalil yang menjelaskan bahwa pengawasan terhadap obat-obatan sintetis berjalan dengan baik. Dengan kata lain, pendistribusian obat-obat sintetis diatur sedemikian rupa agar penggunaannya tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.

Jadi intinya, menghakimi obat-obatan sintesis ini bagi saya bukan hal yang tepat dan adil. Karena pada dasarnya, meskipun saya atau anda dengan jargon “back to nature” secara bangga mempraktekkan konsumsi jamu-jamu tradisional yang diminum terus-menerus ya tidak tepat juga. Lho kok tidak tepat? Ini berhubungan dengan keterukuran atau ketepatan, baik secara dosis maupun efektivitasnya. Jamu dengan pengolahan tradisionalnya akan sulit diukur efektivitas dan selektivitasnya layaknya senyawa obat hasil isolasi maupun sintesis karena sediaannya biasanya masih berupa crude atau ekstrak kasar. Pada ekstrak kasar ini, disamping zat aktifnya, masih banyak zat-zat atau senyawa-senyawa lain yang memiliki dua kemungkinan, apakah senyawa lain itu berefek sinergis terhadap zat aktif, ataukah bersiifat antagonis/melemahkan kinerja zat aktifnya.

Ketiga, mengkonsumsi jamu tidak selalu lebih sehat dibanding obat-obatan sintetis. Mengkonsumsi jamu jika dilihat dari kajian metodologis sains memang model konsumsi yang bisa dibilang 50:50. Artinya dibalik khasiatnya yang secara turun temurun telah diturunkan dari leluhur, jika metodologi sains berperan, akan ada dua kemungkinan, bisa jadi dia benar-benar bekerja secara selektif dan efektif, bisa juga tidak. Hal ini tak lepas dari sediaannya yang berupa crude. Maka urusan perjamuan ini, BPOM punya pengkategorian tersendiri (agar tidak terlalu liar) dengan membaginya menjadi 3 kelompok, yaitu jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka dengan syarat-syarat tertentu. Untuk menjadi OHT, suatu produk jamu harus memenuhi kriteria keamanan yang ditetapkan, khasiatnya terbukti pada tahapan pra klinis, dan bahan baku nya sudah terstandarisasi dengan baik. Standarisasi bahan baku ini juga ada 3 aspek, yakni standarisasi bahan, standarisasi produk dan standarisasi proses (CPOTB). Sebagai contoh, jamunya orang pintar, si Tolak Angin kemarin-kemarin ini yang awalnya terkategorikan sebagai jamu, sekarang sudah masuk kategori obat herbal terstandar (OHT) karena sudah memenuhi kriteria keamanan yang ditetapkan.

Maksud dari penjelasan diatas, diluar sana mungkin banyak beredar jamu-jamu yang tidak memenuhi kriteria keamanan itu. Konsekuensinya, tidak ada kerangka metodologi sains yang menjamin keamanan konsumsi jamu tersebut yang menakar keterukuran dan ketepatan dosisnya. Karena dosis ini penting. Jika dosis misalnya tidak tepat, jika ternyata berlebih, akan berbahaya bagi tubuh, jika ternyata kurang, maka efek farmakologisnya tidak akan efektif. Halah, kan ada gusti Allah yang menjamin hidup kita, ra sah obat-obatan. Jika diskusinya dibawa kearah sana, kulo no komen mawon, hehe.

Keempat, jamu tidak bisa dijadikan agen utama dalam terapi pengobatan. Pada dasarnya, karena sediaan jamu rata-rata masih berupa crude atau simplisia, jadi kandungan senyawanya pun masih kompleks dan beragam, sehingga efek farmakologisnya sulit terukur dalam satu takaran tertentu, karena ada yang bersifat sinergis maupun antagonis. Hal ini menyebabkan inkonsistensi efek farmakologis dari jamu-jamuan. Sehingga biasanya, jamu akhirnya hanya digunakan sebagai penunjang dalam terapi pengobatan.

Disamping itu, diluar sana banyak penyakit-penyakit yang memang berat tidak akan bisa tertangani dengan meminum jamu saja. Artinya, penyakit itu memerlukan suatu terapi yang spesifik dari suatu senyawa obat, misal dalam kasus kanker, ya mau tidak mau ia harus melalui proses kemoterapi dengan diinjeksikan obat-obatan yang spesifik dan selektif. Dan sepengetahuan saya, saya belum menemukan mereka yang sembuh dari kanker hanya dengan meminum jamu saja. Jadi, semua ada maqom-nya masing-masing.

Inti dari tulisan ini sih begini, kita tidak usah terlalu parno sama yang disebut obat-obatan kimia, bahkan menyerang mereka dan membandingkannya dengan obat-obatan herbal. Bukan apa-apa, satu kandidat obat saja harus melalui tahap-tahap uji yang sangat sulit hingga sampai ke tahap uji klinis terhadap manusia. Dan ribuan kandidat obat diluar sana masih otw untuk bisa benar-benar disebut obat. Ada yang gagal, ada yang berhasil. Artinya untuk mendapatkan satu obat saja, perjalanannya sangatlah panjang.

Jadi, ini urusannya dengan penghargaan terhadap disiplin ilmu pengetahuan. Toh, yang terpenting adalah tidak berlebihan, atau dalam istilah adik saya yang dokter itu, sesuai dosis lah. Misal anda sakit kepala dan demam, anda minum parasetamol sesuai dosis saja. InsyaAllah aman. Atau jika anda yakin itu bisa sembuh dengan Tolak Angin, ya silahkan anda minum Tolak Angin secukupnya. Jika anda minum Tolak Anginnya langsung 5 bungkus ya entahlah apa yang terjadi, saya belum pernah coba, hehe.

Indonesia itu negara kaya dengan biodiversitas yang tinggi sekali, katanya sih no. 2 setelah Brazil. Dibalik kekayaan alam itu, nenek moyang kita meninggalkan kearifan lokal dalam dunia pengobatan klasik, misalnya terkait jamu-jamu ini. Di kampus saya dan banyak universitas lainnya, khususnya prodi yang terkait dengan kajian potensi bahan alam, beberapa memiliki paradigma penelitian yang berangkat dari kearifan lokal itu. Misal suatu tumbuhan secara lokal punya potensi ini itu, peneliti coba membuktikannya dengan bekal metodologis yang ia punya, sehingga senyawa aktif yang terkandung dalam tumbuhan lokal itu dapat diketahui. Biasanya, jika aktivitas farmakologis senyawa dari tumbuhan lokal itu sangat menjanjikan, ia akan diupayakan untuk dicarikan metode sintesisnya hingga didapatkan senyawa tunggal yang diharapkan. Atau minimal, misal dalam tumbuhan lokal itu ternyata ditemukan macam-macam senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan yang baik, maka tumbuhan itu dapat dimanfaatkan untuk dibuat menjadi jamu untuk kemudian kita konsumsi sebagai sumber antioksidan alami. Kira-kira begitu.

Maka, mari kita akhiri saja perdebatan antara obat-obatan sintetis dengan jamu ini. Karena pada dasarnya, mereka ini punya keunggulan dan kekurangan masing-masing. Obat-obatan dengan selektivitasnya, dan herbal dengan kearifannya. Wallahu a’lam.

Wisuda, Emosi dan Perjuangan

Wisuda, Emosi dan Perjuangan

Emosional. Kata itu yang mendeskripsikan wisuda saya kemarin. Memang jika dilihat dari berbagai sisi, studi S2 ini berbeda 360° dengan saat saya menyelesaikan studi S1 dulu. Jika dulu, urusan menyelesaikan S1 ini terbilang saya capai dengan target-target yang santai. Sejak saya masuk Jurusan Kimia di UIN Malang, saya memang realistis saja. Berangkat dari Pesantren yang notabene salaf, dimana urusan sekolah bukan prioritas utama, saya cukup keteteran untuk mengimbangi ritme pembelajaran di Jurusan Kimia. Jelas saja, yang awalnya dipesantren dulu sibuk menghafal jurumiyah hingga alfiyyah dan mengkaji kitab-kitab kuning, saya tiba-tiba harus banting setir menjadi arsitek molekul. Maka memang sejak awal, target saya gak muluk-muluk, tidak akan lulus tepat waktu, melainkan akan lulus di waktu yang tepat, hehe.

Saya menempuh studi S1 selama 10 semester, ngaret setahun dari target umum mahasiswa lain. Selain memang realistis akibat latar belakang saya diatas, saya juga bersyukur bisa memaksimalkan waktunya dengan berkecimpung di organisasi kemahasiswaan, baik di OMIK maupun di OMEK, sehingga soft-skill saya macam public speaking, menulis perjuangan nilai, manajerial dan lain-lain menjadi terasah. Dengan berbagai keriweuhan yang ada saat S1 dulu, jika meminjam istilah Tan Malaka, saya terbentur, terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Terimakasih saya ucapkan untuk semua mentor dan rekan organisasi saya. Jadi bagi saya, lulus 10 semester bukan aib, tapi ‘kebanggaan’, hahaha. Saya jadi teringat saat saya masuk perkuliahan pertama kali, saat itu dosen menanyakan satu per satu mengenai alasan masuk Kimia UIN Malang, banyak dari teman-teman saya menjawab ‘kepleset’, sebenernya ingin masuk UB/UM/UNAIR/ITS/DLL, tapi lotrean SNMPTN menunjuknya ke UIN Malang itu, apa boleh buat. Jawaban saya berbeda dari mereka, “Bisa kuliah saja saya bersyukur terlebih di Jurusan Kimia yang di mata teman-teman saya saat MA di pesantren dulu adalah mapel yang menakutkan.”. Begitu.

Saat wisuda S1 dulu, saya merasa tidak perlu ada euforia yang menggebu-gebu. Saya pikir, ya namanya mahasiswa, selama ia tetap ada keinginan dan usaha untuk lulus, kelulusan adalah keniscayaan. Ia akan dilalui. Jadi ya biasa saja. Wisuda hanyalah perayaan atas keniscayaan itu. Begitu pikir saya. Dan saya melakukan apa yang perlu saya lakukan untuk lulus dengan lurus-lurus saja. Seminar Proposal, Ujian Komprehensif, Sidang Skripsi hingga Yudisium saya lalui tanpa emosi yang gimana-gimana gitu. Datar saja.

Tapi saat S2, ternyata pengalamannya berbeda. Saya melanjutkan studi magister kimia di UNPAD Jatinangor. Saat memulai studi, saya memang sudah menikah, bahkan saat wisuda kemarin, saya sudah punya dua bocil. Dengan kondisi yang sudah berkeluarga dan tinggal bersama orang tua, jelas cara menjalaninya sangat berbeda dengan saat S1. Setiap minggunya saya pulang pergi menempuh perjalanan 3-4 jam dari Rajagaluh ke Jatinangor dengan ‘si putih’ Vario yang setia menemani. Berangkat senin pagi, pulang jumat sore. Hal itu terjadi selama satu setengah tahun. Jelaslah kerinduan terhadap istri dan anak adalah magnet yang kuat yang menarik saya untuk tidak menghabiskan akhir pekan di Jatinangor. Apalagi jika istri mulai melantunkan rayuan-rayuan maut, meski raga masih di Jatinangor, jiwa saya sudah otw duluan, haha.

Selain itu, memang saya di rumah merintis usaha bersama istri dengan berjualan online. Yah, alhamdulillah lancar dan cukup untuk menghidupi kami dan keluarga. Karena jualan online ini modalnya otak atik marketplace, bidang ini setidaknya kapasitas dan andil saya. Mempelajari sistem, daftar promo, dekorasi toko hingga desain grafis untuk toko kurang lebih adalah jobdesc saya. Disamping itu juga, sesekali membantu meringankan pekerjaan orang tua. Jadi setiap weekend, saya istirahat dan juga, bekerja. Terlebih, dari semester 3 hingga lulus di semester 6, saya sudah tidak mendapatkan ‘beasiswa orang tua’ lagi alias biaya sendiri.

Corona pun tiba. Semuanya hampir lumpuh dan jatuh. Terlebih si corona ini juga ‘bertamu’ ke keluarga kami pada november 2020 lalu. Studi mandek, bisnis merosot, untungnya saat itu perkuliahan saya sudah selesai dan tinggal tesis saja. Tapi gak untung juga sih, karena mahasiswa kimia tugas akhirnya ya harus ngelab kan, dan laboratorium ditutup saat pandemi COVID-19 melanda. Kadang-kadang dibuka dengan protokol ketat, yang jelas menurunkan efektivitas dan produktivitas kerja lab. Efeknya, studi saya molor sampe 2 semester. Dan, SPP/UKT harus tetap dibayarkan full dengan waktu studi yang angin-anginan akibat si kopid nain tin. Keringanan? Tak seperti mahasiswa S1 yang banjir dukungan dalam keringanan pembayaran, mahasiswa pascasarjana ini bagai dianak tirikan. Bayarnya tetep full, meskipun ada toleransi dalam mekanisme pembayaran yang dibagi kedalam 2 tahap, itupun jika melakukan pengajuan.

Selesailah urusan lab, mulailah melanjutkan BAB IV dan penyusunan jurnal untuk publikasi yang harus internasional. Saya kerjakan semuanya saat mudik ke kampung halaman istri di Malang. Sebetulnya ya bukan mudik sih. Soalnya saya berangkat ke Malang dua bulan setelah hari raya idul fitri, menunggu dulu kira-kira situasi pandemi sudah cukup tertangani. Malu juga sih sama mertua, karena setiap malam mesti melekan untuk berjibaku dengan ‘sandi rumput’-nya NMR wakhwatuha. Syahdan, selesailah penyusunan tesis dan publikasi ini. Saya mendaftar untuk sidang tesis dan terselenggara di tanggal 21 Juli 2021 secara daring, dan alhamdulillah di tanggal 4 November 2021 kemarin bisa mengikuti prosesi ‘WISUDA DRAMATIS’ yang juga daring. Dramatisnya, dilain waktu mungkin akan saya dongengkan.

Berbeda juga dengan saat lulus S1 dulu, saya kurang lebih bersikap bodo amat terkait foto-foto. Mau foto-foto wisuda atau engga pun gak masalah. Cuek cuek saja. Foto-foto itu cenderung tidak penting. Yang penting itu perjuangan setelahnya, begitulah idealisnya saya pada saat itu, hahaha. Tapi sekarang ini, tensi untuk pengen foto-foto ini cukup tinggi. Mungkin efek dari nilai perjuangan untuk lulus yang lebih keras kali ya. Jadi, pagi nya prosesi wisuda, sorenya langsung meluncur ke studio foto untuk melangsungkan cekrek-cekrek bersama keluarga. Meski sebenarnya, kegupuhan foto-foto itu lebih kepada sulitnya nyari waktu di hari-hari setelahnya, kebetulan adik saya lagi persiapan pembekalan internship dokter, sedangkan toga harus segera di kembalikan ke pihak UNPAD. Oh iya, bagi saya toga UNPAD ini keren. Ada kombinasi batik dan warna yang ciamik. Katanya sih sekilas mirip jubah Sekolah Sihir Hogwarts di film Harry Potter. Jika toga sarjana berwarna merah yang mirip merahnya Gryffindor, yang magister ini mirip hijaunya Slytherin. Dan ada juga yang berwarna biru layaknya Ravenclaw.

Mungkin dari pembaca sekalian ada yang berujar, “Ah, perasaan biasa saja, gak ada perjuangannya, sok iyes aja nih,”, dll. Mungkin ini memang berangkat dari aspek yang subjektif, bahwa pergulatan yang terjadi saat studi S2, dimana harus saya bagi waktunya untuk anak istri, juga membantu orang tua atau dalam bahasa lainnya, birrul walidain, kemudian harus menjalankan bisnis untuk minimal, bisa menghidupi keluarga dan membayar uang kuliah, yang waktunya tidak bisa digunakan secara maksimal akibat kopid nain tin itu. Semua itu bagi saya sangat terasa emosional. Kelulusan itu terasa melegakan, atau dalam peribahasa sunda disebut ‘asa bucat bisul’.

Saya sadar bahwa kelulusan ini bukanlah akhir dari perjuangan hidup. Ini justru baru awal. Sama seperti S1 dulu. Lulus menjadi sarjana adalah titik awal dimana hidup yang sebenarnya dimulai. Bahkan saya dan teman-teman sering beranekdot terhadap mereka yang wisuda itu. “Wah, barisan pengangguran baru telah diluncurkan, wkwkwk.”. Tapi katanya, mereka yang melanjutkan ke jenjang magister adalah pengangguran yang terhormat, hahahaha. Dan, apakah saya akan melanjutkan ke jenjang S3 untuk melanjutkan status sebagai pengangguran terhormat? Ya, saya punya keinginan itu. Tapi belum untuk saat ini. Saya ingin mencari pengalaman dulu. Semisal berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di kampus. Semoga saja ada peluang itu.

Akhiron, apapun yang terjadi dalam hidup saya kedepan. Yang penting adalah berupaya untuk bermanfaat untuk sesama. Saya teringat dawuh dari Mbah Sahal Mahfudz ini, “Menjadi baik itu mudah, dengan diam, maka yang terlihat adalah kebaikan. Yang sulit itu menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan.”. Terimakasih saya ucapkan kepada keluarga saya, orang tua, istri, kedua anak saya, karyawan-karyawan saya yang baik hati, dan semua yang membantu dalam proses studi saya, baik secara moril dan materil. Jazaakumullah ahsanal jaza. Terimakasih juga kepada ibu Dr. Tri Mayanti, M.Si dan ibu Prof. Dr. Tati Herlina, M.Si, duet pembimbing saya yang sangat baik dan sabar dalam membimbing saya. Kepada guru-guru saya, kyai-kyai saya, dosen-dosen saya baik saat S1 maupun S2. Semoga sehat selalu, bahagia dan panjang umur. Amiiin.

Wallahu a’lam.