Saat Bertemu Ridwan Kamil, Sang Mayor Bandung

Saat Bertemu Ridwan Kamil, Sang Mayor Bandung

Oleh : Fawwaz M. Fauzi
Bandung hari itu, penulis bersama sahabat memang sengaja mengunjungi Kota Bandung, katanya mereka ingin jalan-jalan ke Bandung, menikmati keindahan Bandung. “Okelah, saya antar kesana,” berhubung penulis memang asli dari Jawa Barat, Majalengka tepatnya. Tapi sahabat-sahabat Jawa Timur penulis, rata-rata menganggap penulis berasal dari Bandung, meskipun penulis sudah berulang kali jelaskan, bahwa dari rumah penulis menuju Bandung itu perlu waktu sekitar 3-4 jam, dan Jawa Barat bukan hanya Bandung, tapi tetap saja dengan pandangan globalnya, kalo penulis tetap di klaim sebagai orang Bandung, haduh.
 Ya, siang tadi kami baru saja sampai rumah penulis di Majalengka (salah satu kabupaten di Jawa Barat), perjalanan dari Malang ke Cirebon agaknya membuat rasa lelah menghampiri. Kami beristirahar sejenak, melepas lelah. Hingga sore hari, barulah kami memutuskan untuk berangkat ke Kota Bandung, kota yang sangat ingin di kunjungi sahabat-sahabat saya. Oke-oke. Dengan meminjam mobil milik ayahanda penulis, kami berangkat ke Bandung. Disana, kami menikmati keindahan kota Bandung, kota yang terkenal dengan lagunya “Halo-halo Bandung” dan makin terkenal karena Walikota keren, Pak Ridwal Kamil (Kang Emil), yang mampu menyulap Bandung menjadi lebih populer dengan capaian-capaian yang sering terlihat di postingan fanspage beliau, begitu kata sahabat-sahabat penulis.
Esok harinya, kami bertolak dari Bandung menuju ke rumah penulis. Di tengah perjalanan, kami berhenti di ATM Center yang berdampingan dengan sebuah minimarket. Akhirnya, penulis memarkir kendaraan di pinggir jalan. Dalam prosesnya, memarkirnya sangat sulit, namun penulis dibantu oleh seseorang yang memandu parkir sehingga terasa lebih mudah. Ketika penulis keluar dari kendaraan, sontak penulis kaget, karena ternyata yang membantu penulis dalam memarkir mobil adalah Kang Emil, Sang Walikota Bandung. Ha? Masa si?
“Kang Emil ya?”, tanya penulis.
“Iya kang, saya Ridwan Kamil, Walikota kota ini.”, jawab beliau dengan santun.
Wah, penulis masih terheran-heran dengan kondisi ini. Pun demikian sahabat-sahabat penulis. Bisa-bisanya ketemu Kang Emil di depan ATM Center, bantuin parkir mobil pula. Tak habis fikir. Akhirnya kami pun berkenalan dan bersalaman satu per satu. Penulis yang sudah sedikit mencoba merasa terbiasa menghadapi orang-orang besar dalam berdialog, dengan santai tapi deg-degan, penulis bertanya kepada Sang Walikota. “Setelah ini mau kemana pak?”
“Oh iya, saya ini mau pulang, kang. Selesai dari kantor. Tapi masih hoream. Istri saya masih ada urusan euy. Kalo di rumah gak ada istri teh kumaha kitu.”, tanggapnya.
“Wah, ikut kami saja dulu pak?”, celoteh sahabat dari penulis.
“Boleh, hayu atuh.”
Ha? Ko iso gelem? Gening daekeun?Kenapa dengan mudahnya beliau mengiyakan ajakan kami? Lagi-lagi suatu pertanyaan yang sulit terjawab. Ya sudahlah, akhirnya kami persilahkan beliau untuk masuk ke mobil. Daripada berpikir mengenai jawaban yang sulit ditemukan, penulis lebih berpikir pada konsep ada untungnya ketemu pak walkot Bandung, minimal bisa selfie sama beliau nantinya, hahaha.
Diperjalanan, kami berbincang banyak terkait pengembangan kota Bandung, baik dari sisi ekonomi kreatif, arsitektur, budaya dan teknologi. Kebetulan penulis dan sahabat-sahabat berkuliah di jurusan-jurusan sains, adapula yang teknik. Sehingga, obrolan dengan beliau pun, sedikit banyak nyambung ketika berbicara ke arah pengembangan sains dan teknologi, meski secara disiplin ilmu arsitektur yang merupakan background keilmuan beliau, penulis sama sekali tidak paham. Kami berbincang terkait bagaimana seharusnya kita selaku bangsa Indonesia ini bisa maju, memajukan Indonesia. Beliau menuturkan beberapa point-point yang penting dalam membangun bangsa. Penulis juga menuturkan gagasan-gagasan penulis dalam kaitannya membangun negeri ini, serta sedikit banyak memuji langkah beliau dalam proses berpolitiknya. Beliau telah membuktikan bahwa orang yang memiliki background non-social studies mampu memimpin sebuah kota dengan sangat baik. Terbukti dengan berbagai prestasi yang telah di raih. Sehingga, hal ini membuat penulis dan sahabat-sahabat termotivasi bahwa untuk memimpin negeri ini, tidak harus kita bersekolah di jurusan-jurusan yang berbau sosial. Kita yang ber background sains pun bisa. Bahkan dengan sangat baik, fakta memperlihatkan bahwa walikota seperti Kang Emil di Bandung dan Bu Risma di Surabaya yang keduanya berbackground Teknik mampu memimpin negeri ini dengan baik.
Keasyikan mengobrol membuat penulis lupa untuk bertanya dan memberi penjelasan kepada Kang Emil terkait tujuan kami selanjutnya adalah pulang ke rumah di Majalengka dan pada saat itu, kami sudah sampai di perbatasan Bandung-Sumedang. Lagi-lagi kami dikagetkan dengan jawaban beliau, “Oh, santai we lah. Saya ikut dulu ke Majalengka. Ntar pulangnya dianterkeunku kang Fawwaz nya?”. Wah, perjalanan akan tambah seru ini bersama kang Emil. Saya mengangguk dengan matang diiringi dengan teriakan “SIAP KANG!!!”, menandakan bahwa penulis siap mengantar beliau kembali ke Bandung lagi nantinya. Tak apa penulis sedikit lelah, kapan lagi penulis dapat bertemu beliau seperti sekarang ini. Mau diajak ke rumah penulis pula. Mantep iki, Joss Tenan, ujar sahabat-sahabatku.
Kami melanjutkan perbincangan-perbincangan intelektual kami dengan beliau. Beliau menuturkan, bahwa pemimpin itu tidak ditentukan dari apa background study nya, pemimpin pasti dilihat dari apa visi misinya, apa programnya, apa langkahnya dan apa solusinya. Sehingga siapapun bisa jadi pemimpin. Namun memang menjadi lebih baik ketika pemimpin tersebut berlatarbelakang keilmuan sains dan teknik. Karena sejarah menuturkan bahwa perkembangan zaman hingga hari ini dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi secara signifikan. Ketika sepeti itu, secara praktis dapat diartikan bahwa kunci perubahan zaman itu terletak pada para saintis dan teknokrat. Kami manggut-manggut atas pernyataan tersebut. Beliau melanjutkan, bahwa itulah pentingnya seorang saintis dan teknokrat. Ketika memang pemimpinnya buat salahsatu dari kedua background keilmuan tersebut, minimal pemimpin itu memiliki visi-visi yang berkonsentrasi dan peduli kepada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) Indonesia ini. Ketika tidak seperti itu, lebih baik, para saintis dan teknokrat saja yang menjadi pemimpinnya.
Penulis kagum dengan gagasan-gagasan beliau, ternyata, sesuatu yang penulis yakini adalah sebuah keyakinan Kang Emil pula. Terkhusus gagasan kepemimpinan IPTEK. Lebih lanjut, kami bercerita, bahwa kami adalah mahasiswa di UIN Maliki Malang, kami juga berkuliah di jurusan-jurusan MIPA dan Teknik, kami juga aktif di organisasi intra maupun ekstra kampus, beliau mengacungi jempol terkait hal tersebut. Beliau bercerita bahwa dulu, beliau juga sangat aktif di organisasi-organisasi kemahasiswaan, sehingga pengalaman kepemimpinan ketika mahasiswa mampu menjadi pelajaran penting dalam praktik kepemimpinan di dunia nyata. “Memimpin pun perlu pembiasaan, dan mumpung dulu saya masih mahasiswa, saya membiasakan memimpin pada saat itu.”, begitu katanya. Beliau akhirnya bercerita tentang gagasan kepemimpinan transformatif yang isinya tak jauh berbeda dari apa yang pernah beliau sampaikan ketika seminar mahasiswa baru di ITB yang pernah penulis saksikan melalui channel youtube, yakni kepemimpinan transformatif itu harus memiliki sekurang-kurangnya 5 nilai, diantaranya inovatif, berani ambil resiko dengan kalkulatif, problem solver, Strong Will (melakukan apa yang dikonsepkan), dan visioner. Sehingga, dalam proses kepemimpinannya bisa menghasilkan produk-produk kebijakan yang maslahat dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Selanjutnya, kami menuturkan bahwa kami pernah mengundang Mas Ricky Elson dalam acara

OSPEK Fakultas untuk memotivasi adik-adik kami. Kami bercerita kepada beliau bahwa Mas Ricky adalah orang yang luar biasa. Keyakinannya, motivasinya, kekuatannya sangat menginspirasi bagi kami selaku generasi muda bangsa ini. Kang Emil manggut-manggut mendengar cerita kami. Penulis mengusulkan, mungkin kang Emil adalah salah satu pejabat yang bisa menggandeng mas Ricky dalam suatu proyek pembangunan teknologi di Bandung. penulis mengharapkan itu. Karena penulis paham betul, hingga saat ini, tidak ada lirikan sedikitpun dari pemerintah untuk memberdayakan anak bangsa yang prestatif seperti mas Ricky. Kecuali mungkin, mas Ricky mau untuk terjun di dunia politik seperti kang Emil. Mungkin akan sama hebatnya dengan kang Emil. Selain itu, kami pun bertanya akan kesediaannya untuk mengunjungi kampus kami, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, “Wah, kalo itu nanti di agendakeun we, gampang lah, nu penting saya lagi gak ada urusan yang penting pemerintahan.”, jawabnya. Wajah kami sumringah mendengarnya. Mudah-mudahan dengan segera beliau bisa bertandang ke kampus kami di Malang sana.

Tak terasa, kami bersama kang Emil sudah sampai di gang masuk rumah penulis. Perbincangan yang menarik membuat perjalanan ini terasa singkat. Sesampainya di rumah, penulis disambut orang tua penulis dan beberapa kerabat dekat. Penulis mempersilahkan kang Emil untuk turun dari mobil, orang tua dan kerabat penulis sangat terkejut melihatnya, kang Emil sang walikota Bandung itu mengunjungi rumah penulis. Semua masih terheran-heran, namun tidak lupa untuk tetap menjamu beliau. Beliau makan dengan ditemani kami dan paman dari penulis yang sebetulnya tinggal di Bandung. Namun, paman penulis memang sedang berlibur ke rumah penulis ceritanya. Obrolan kami disitu lebih kepada guyonan-guyonan pikaseurieun. Sehingga tak terasa, rasa lelah kami hilang dengan sendirinya. Hingga pada suatu waktu, kang Emil mendapati handphonenya berdering. Beliau sedikit menjauh dari kerumunan kami dan mengobrol dengan santai. Itu istrinya, tebak penulis. Benar saja, setelah menelepon, beliau mengajak penulis untuk mengantarkan beliau pulang ke Bandung. Orang tua penulis menawari untuk bermalam, namun kang Emil menolaknya secara halus, beliau harus bekerja untuk Bandung lagi esok hari. Sahabat dari penulis kemudian mengusulkan untuk berfoto bersama terlebih dahulu. Wah, betul juga, gumam penulis. Kami berfoto bersama, kemudian sahabat-sahabat bergantian meminta waktu untuk selfie bersama beliau. Penulis pun tak mau ketinggalan, Cekrek cekrek cekrek.
Mobil sudah penulis hidupkan kembali, kang Emil sudah mulai pamitan kepada orang-orang di rumah penulis. Tiba-tiba handphone penulis berdering, lagu “Pusing Pala Barbie” pun berdendang dengan kencang. “Ko nada deringnya ganti ya? Lagu ini kan untuk alarm”. Gumam penulis. Penulis mencoba mengabaikan perasaan itu dan mencoba untuk mengangkan teleponnya. Namun, teleponnya tak bisa di angkat, penulis tekan tombolnya berkali-kali, tetap saja tidak bisa. Tiba-tiba saja, penulis berpikir, apa ini memang alarm? Atau ini mimpi? Penulis mencoba melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Kagetlah penulis dan akhirnya terbangun dari tidur yang panjang. Ternyata handphone penulis memang berdering dan memang alarm lah yang berbunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Penulis duduk dengan perasaan yang bertanya-tanya, ternyata tadi hanya sebuah mimpi, sayang sekali. Gara-gara sebelum tidur, penulis sempat menonton video kang Emil ketika mengisi seminar, jadi kebawa mimpi. Yah, meskipun hanya mimpi, ini adalah sebuah mimpi yang berkualitas, mimpi yang menginspirasi, mimpi yang mentransformasi dan mimpi yang sangat luar biasa. Memang mimpi tak seburuk realita, namun terkadang, mimpi bisa lebih buruk dari realita. Semoga semua yang terwacanakan dalam mimpi mampu terealisasi di dunia nyata. Punten ke kang Emil yang sudah penulis tarik ke dalam mimpi penulis. 😀    Salam Transformasi! 

“Dimanapun kita berada, jadilah bagian dari solusi”

Kamus Sunda :

hoream : malas
kumaha kitu : gimana gitu
Hayu atuh : Ayo kalo gitu
Gening daekeun : kok mau?
dianterkeun : diantarkan
diagendakeun : diagendakan
pikaseurieun : membuat tawa

Cerpen : Jalan terbaik

Malam itu, dikamar yang sunyi, tak terdengar gemuruh suara apapun. Padahal sebenarnya, semua benda yang ada di kamar itu berlafadz syahdu menyebut asma-Nya.  Bahkan seluruh komponen biotik dan abiotik di bumi melafadzkan nama-Nya dengan penuh khidmat, suara mereka sangat terdengar oleh-Nya. Hanya manusia yang tidak ditakdirkan untuk bisa mendengar suara dzikir para hamba-Nya diseluruh Alam Semesta ini. Hanya manusia, hanya manusia yang tidak ditakdirkan untuk melafadzkan dan mengagungkan kebesaran ilahi. Hanya segelintir manusia yang masih mengingat akan siapa yang membuatnya bisa merasakan indahnya kehidupan, dan termasyghul dengan kesibukan duniawi. Namun,tak lama,
akhirnya ada juga manusia yang melafadzkan Allahu akbar di muka bumi. Ia Sholat Tahajjud, setelahnya, manusia itu berdzikir menyebut-nyebut asma Tuhannya yang Maha Kuasa dan memanjatkan do’a. Setelah ia bermunajat kepada-Nya, ia lipat sajadah cinta yang ia pakai untuk taqorrub dengan-Nya. Lalu mengambil secarik kertas dan mulai menulis.

Untuk Dinda tercinta
Annisa Hasanatul Fauziah

Nis, ga kerasa waktu kang fauzan disini Cuma tinggal beberapa hari lagi. Kang Fauzan dah minta izin sama Kyai Ahmad untuk mukim dan Alhamdulillah disetujui.
Oh iya, Nisa juga kan seminggu lagi wisuda. Ntar kalo udah wisuda, Kang Fauzan janji bakal melamar Nisa demi menjalankan sunnah Rasul dan beribadah kepada-Nya.
Selama ini mungkin kita hubungan Cuma lewat sepucuk surat demi surat. Ketemu pun Cuma baru lihat dari kejauhan. Kang Fauzan ga mau hubungan yang mendatangkan fitnah. Kang Fauzan pengen ada ikatan yang akan menghalalkan Kang Fauzan untuk meluapkan rasa cinta dan kasih sayang Kang Fauzan ke Nisa.
Cintamu,
Fauzan

    Ia langsung melipat surat berselimut ribuan kasih sayang itu ke saku jacket yang ia pakai saat itu. Waktu menunjukan pukul 03.15, sudah saatnya dia membangunkan santri-santri. “teeeeettt…”bel berbunyi memecah kesunyian waktu fajar dan membangunkan santri-santri. Ia mengumumkan “Kepada semua santri untuk bersiap-siap menunaikan jamaah Shalat Shubuh.”
* * *
Hati Annisa berbunga-bunga, kini ia tinggal menunggu satu atau dua hari lagi. Ia tak sabar, ia ingin kang Fauzan segera mengkhitbah dirinya. Wisuda sudah ia lalui dengan gemilang, ia lulus S1 dengan IPK yang memuaskan, ia juga meninggalkan pesantren dengan restu abah, padahal jarang santri yang mudah mendapat restunya untuk berpindah lokasi berjihad di jalan-Nya. Yah, dialah lulusan terbaik. Di bilik lain, rumah Fauzan, ia nampak bingung, ia bingung dengan beberapa pilihan, pilihan apa? Sewaktu ia pamit untuk kembali ke Cirebon, kampung halamannya, kyai Ahmad malah meminta Fauzan untuk menikahi anak tunggalnya yang sekarang mesantren di Pondok Tahfidzul Qur’an  (PTQ) Magelang. Ia tak kuasa menolak keinginan gurunya. Sebagai murid, ia harus sami’naa wa atho’naa kepada gurunya agar ilmunya bermanfaat.

Seharusnya hari itu adalah hari dimana Fauzan menemui orang tua Annisa. Namun ia masih bingung dengan titah gurunya, menikahi putrinya dan meneruskan syiar kalimat tauhid di pesantren itu. Umur kyai Ahmad sudah berkepala enam, dan beliau sangat membutuhkan pengganti dirinya untuk memimpin pondok pesantren dan ia memilih Fauzan, sang mantan Rois itu.

“Jang, menurut kamu aku harus bagaimana?”. Tanya Fauzan dengan raut wajah berselimut kebingungan.
“Yah kalo aku jadi kamu sih, aku nikahin dua-duanya juga bisa. Toh, Islam juga membolehkan kan, فانكحوا ما طاب لكم من النّساء مثنى وثلاث ورباع  itu dalilnya zan!”. Jawab Jajang enteng.
“Itu boleh dilakuin kalo kita bisa adil nantinya. Aku takut gak bisa adil dan belum tentu mereka mau aku poligami.”
“Adil ? tawakal sama Allah dan berdo’a semoga kita adil, gampang kan? Toh semua ini yang ngatur Allah.”’
“Gak sepraktis yang kamu pikir, oon!”, gerutu Fauzan dengan tekanan darah agak naik.
“Loh kok marah nih kan cuman ngasih saran. Huh, harusnya kamu syukuran sama Allah. Annisa cantik, Nadia juga gak kalah cantik, pinter-pinter lagi, beruntung deh kalo aku ditakdirkan jadi pendamping hidup mereka. Bisa jadi, setiap hari gak bakalan ada bosennya hidup di dunia ini.” Jajang menjawab dengan guyonan.
“Ah aku minta saran, kamu malah bercanda. Udah ah malas aku ngobrol ini sama kamu,” Fauzan tambah kesel. Fauzan hanya bisa pasrah kepada Allah. Di malam hari ia tunaikan shalat istikharah dan berharap jawaban dari-Nya menyelesaikan problema yang ia hadapi.
***
    Semarak suara rebana menyambut kedatangan mempelai pria menuju tempat akad nikah berlangsung. Bapak penghulu sudah siap untuk menikahkan anak cucu adam dan hawa ini, “Saya nikahkan saudara Muhammad Fauzan Hamdan bin Sutarjo dengan Ahsanun Nadia binti KH.Ahmad Fathoni dengan mas kawin kitab Fathul Bari.”
    “Saya terima nikahnya Ahsanun Nadia binti KH. Ahmad Fathoni dengan mas kawin kitab Fathul Bari..” Jawaban Fauzan sangatlah jelas dan ittishal. Penghulu dan saksi men-sahkan akad itu. Fauzan berharap dalam hati,’Ya Allah semoga ini jalan terbaik yang Engkau pilihkan untuk hamba-Mu ini.’
    Disamping masjid tempat akad berlangsung, sepasang mata memandangnya dengan berkaca-kaca. Ia tak kuat menahan sakit hati yang sangat dalam. Ia berlari meninggalkan masjid itu “Kenapa ini harus terjadi pada Annisa ya Allah, hamba pasrah pada-Mu karena hamba yakin, semua ini adalah yang terbaik untuk hamba dan Kang Fauzan.” Hati Nisa menangis.

***
    “Kang Fauzan, sekarang Nadia sudah jadi milik Kang Fauzan. Nadia serahkan jiwa dan raga ini untuk suami Nadia tercinta!” kata-kata Nadia begitu lembut dan sangat mempesona.
    Fauzan menatap istrinya itu dalam-dalam. Tak lama kemudian, ia memalingkan mukanya dan menatap langit di balik jendela dengan tatapan kosong. “Nadia, kang Fauzan pengen ngasih tahu kamu tentang kegundahan hati kang Fauzan sekarang. Tapi kang Fauzan takut kamu gak bisa terima semua ini.”
    “Ceritakan saja Kang, Nadia akan pasrah dan taat dengan apa yang Kang Fauzan lakukan dan putuskan.” “Nadia gak mau kan mempunyai suami yang termasuk orang munafik yang mengingkari janjinya?” Nadia mengangguk pelan. Akhirnya, Fauzan menceritakan semuanya, dari mulai janjinya kepada seorang santriyyah, yang ketika ia hendak menepatinya, Kyai Ahmad malah memintanya untuk menikahi Nadia, putrinya. Dan sekarang Fauzan merasa serba salah atas semua yang telah terjadi. Ia bingung apa yang harus ia lakukan.
    Nadia membalikan badan. Suasana kamar itu mendadak hening. Hampir sepuluh menit mereka diam seribu bahasa. “Nadia izinkan kang Fauzan untuk menepati janji kang Fauzan, Nadia ga mau punya suami yang termasuk munafiqiin. إنّ المنافقين فى الدرك الأسفل من النّار , Nadia ga mau orang yang Nadia cintai ter-khitob dengan Firman Allah itu. Meskipun ini berat buat Nadia, tapi Nadia yakin, Allah pasti akan memberi jalan terbaik akan masalah yang menimpa kita”, Fauzan kagum dengan ketegaran hati istrinya. Tak rugi ia mendapat istri se-cantik dan se-sholehah Nadia.
    Fauzan menangis di pelukan istrinya, tak kuasa menahan air mata yang hendak meleleh. Nadia menghapus air mata suaminya itu. “ Sudahlah, lebih baik sekarang kita sholat sunnah dulu, lalu Nadia ingin kang Fauzan menjalankan kewajiban kang Fauzan sebagai suami Nadia.”
    Mereka tenggelam dan Cinta Sejati yang semata dirajuk hanya karena-Nya. Cinta yang takkan pernah luntur walau diterpa badai dan ombak samudra. Karena mereka saling mencintai hanya karena mengharap Ridho-Nya dan hanya demi berjuang dijalan-Nya. Sungguh indah hikmah yang dipetik dari sebuah keajaiban keagungan cinta.

***
    Pagi nan cerah, Ayam Jago dengan jantannya berkokok memberi Isyarat pagi telah tiba. Kesegaran tetesan embun pagi menetes di hati kedua mempelai yang baru saja merajuk cinta yang amat indah. “Nadia, kang Fauzan mau ngajar ngaji dulu ya….”, kata Fauzan lembut.
    Nadia hanya menjawab dengan anggukan pelan penuh perasaan. “Ntar kalo pulang ngajar, langsung aja makan ya, Nadia bakal siapin menu spesial buat kang Fauzanku tersayang”, ujar Nadia mesra.
    “Jadi nih berangkat ke rumah Annisa?”, Tanya Fauzan dengan penuh kekhawatiran.
    “Tenang dong kang, aku bakal ditemenin ma Sofia, juga mang dodo yang nyupir, kang Fauzan ga usah khawatir, Nadia bakal baik-baik aja kok”, entah mengapa Fauzan begitu takut kehilangan Nadia, padahal Nadia hanya akan pergi sebentar, perasaannya ga enak. Apakah akan terjadi sesuatu? Ah, Fauzan tepis semua firasat buruknya itu. Mungkin karena besar cintanya, ia jadi tak mau ditinggalkan Nadia walau hanya sedetik. Ia mencoba positive thinking.

***
    “Hallo, Assalamu’alaikum…”
    “Wa’alaikumsalam kang, ada apa kang Fauzan nelfon Nadia?”
    “Ga apa-apa, Kang Fauzan cuma takut kamu kenapa-napa, dari tadi perasaan Kang Fauzan ga enak banget”, entah kenapa Fauzan begitu panik.
    “Ah, kang Fauzan itu ada-ada aja, oh iya kang Fauzan, tadi kan udah ketemu ma keluarga Annisa, mereka baik banget. Alhamdulillah ketika Nadia kasih tau maksud kedatangan Nadia, mereka menyambutnya dengan senang hati. Entar besok kang Fauzan ke rumah dia ya. Annisa udah siap semuanya kok. Nadia juga ga sabar pengen satu rumah ma Annisa, seenggaknya kalo Kang Fauzan ga ada, Nadia jadi ada temen ngobrol dan mengisi waktu kosong”, Nadia terlihat begitu bahagia menceritakan itu semua.
    “Nad, disitu hujan gede ya? hati-hati ya, kang Fauzan ga mau kehilangan Nadia”
    “Iya iya Kang, pasti,,, Nadia juga ga mau kehilangan kang Fauzan yang Nadia cintai”, hujan memang mengguyur kota itu sedah hampir satu jam. Tiba-tiba mang dodo kehilangan kontrol, rem mobil itu mendadak blong, tak berfungsi. Buruknya, kini Mobil berada dalam kecepatan penuh 150 km/h.
    “Kenapa mang, kok kaya yang ga beres”, Tanya Sofia panik.
    “Ga tau neng, tiba-tiba remnya ga berfungsi.” Karena kaca mobil tertutup kabut yang tebal, Mang dodo tidak menyadari kalau dibelokan depan ada truk dengan kecepatan tinggi.
    “Mang, Awaaaasssss!!!!!”, Nadia dan Sofia berteriak bersama. Dan ‘Brak Brak Dug’ Mobil sedan yang mereka tumpangi bertabrakan dengan truk itu. Mobil terpelanting dan terjungkal. Telfon Nadia masih dalam keadaan menerima telfon dari Fauzan. Fauzan kaget mendengar teriakan itu. “Nadia Nadia….!!!!!apa yang terjadi Nadia…!!!!”, tak ada jawaban. Ia terus mengulang memanggil nama istrinya itu. Namun tak ada sahutan sedikitpun, tuuutt…tuuuttt…. Tiba-tiba telfon terputus. Tubuh Fauzan mulai basah, keringat dinginpun bercucuran. Ia mencoba menenangkan diri, namun ia yakin, terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Ia tawakkal pada Allah akan semua yang telah Allah suratkan.

***
    Tujuh hari berlalu setelah kejadian itu. Fauzan masih selalu melamun. Ia membayangkan jasad istrinya itu masih bernyawa. Terkadang ia menangis sendiri. Kyai Ahmad yang sudah renta menasihatinya, “Fauzan, sebagai seorang yang faham agama islam. Sikapmu ini seperti menentang akan apa yang kamu yakini. Ikhlashkanlah kepergiannya. Allah lebih tau apa yang terbaik buat kita. Dan mungkin itulah jalan terbaik yang dipilihkan Allah untuk putriku Nadia. Biarkan dia tenang di alam Barzakh untuk mempertanggungjawabkan semua amalnya selama didunia dan semoga ia bisa menikmati nikmat kubur yang diberikan Allah padanya.”
    Fauzan menangis dihadapan guru sekaligus menantunya itu, “Abah, saya sangat bersalah karena tidak mendampingi dia untuk pergi menemui keluarga Annisa. Kalau saja saya…..”
    “Fauzan, ingatlah! Maut itu datang tanpa kita duga. Keadaan bukanlah faktor yang mempengaruhi datangnya kematian. Abah lebih tua daripada Nadia, tapi mengapa malah abah yang masih hidup. Itulah Qudrotullah. Abah tidak usah menjelaskan penjelasan yang sudah pernah Abah sampaikan ketika kamu masih kecil dulu. Dan kamu pikir, Nadia berharap kamu terus seperti ini. Tidak Fauzan, Nadia ingin kamu bahagia. Dia pernah bilang sama Abah, dia ingin kamu nikah sama Annisa itu, agar kamu bisa menepati janjimu. Itulah bukti kalau dia benar-benar mencintaimu karena Allah Azza Wajalla.”, meskipun sudah tua, Kyai ahmad masih sangat lihai berbicara menasihati orang lain.
    Fauzan kaget mendegar penjelasan Kyai Ahmad, “Tapi jika saya menikah dengan Annisa, berarti saya sama saja dengan bahagia diatas penderitaan orang lain”
    “Justru Nadia akan menderita ketika melihat kamu terus seperti ini. Allah pun akan murka melihat kamu terus seperti ini. Percayalah, semua akan baik-baik saja. Abah ingin kamu menikahi Annisa,   membawanya kesini, dan tinggal disini. ”Kyai Ahmad mencoba meyakinkan Fauzan agar tidak terlalu tenggelam dalam kesedihan kehilangan yang dilarang agama. Fauzan menagis tersedu-sedu dipelukan Kyai Ahmad.
***
Prosesi Akad nikah berjalan lancar. Fauzan digiring menuju ruang resepsi pernikahan. Tak lama kemudian, Annisa datang dengan gaun pengantin Muslimah bergaya timur tengah. Ia terlihat sangat anggun, Annisa duduk disamping Fauzan. “Kang Fauzan, Annisa sangat bahagia sekali. Akhirnya kita dipersatukan oleh-Nya. Allah memang sangat mengerti apa yang diinginkan hamba-Nya.”
“Meskipun harus melalui proses yang sangat mengikis rasa dihati. Semoga cinta kita ini kan abadi hingga di yaumil akhir nanti. Kang Fauzan juga berharap dalam hati ini, semoga cinta ini mendapat ridho dari Ilahi, dan ikatan ini kita niatkan semata-mata hanya untuk beribadah kepada Rabbul Izzati dan untuk berjuang fii sabiilillahi robbii.”,Fauzan menyambung kata-kata indah Annisa.
Annisa tersenyum indah, seindah kuncup bunga mawar yang baru merekah. ‘Ya Allah, rasa syukur tak henti-hentinya ku panjatkan hanya pada-Mu. Engkau memang dzat yang maha rahman dan rahiim. Engkau mengganti rasa kehilangan itu dengan rasa cinta yang dapat menghapus semua kepedihan jiwa ini. Ya Allah, hamba berjanji, akan mewakafkan diri hamba dan istri hamba untuk berjuang menegakkan panji-panji Islam di dunia ini. Dan memang itulah jalan terbaik yang akan hamba ambil demi mendapatkan cinta-Mu.’ Fauzan berdo’a dalam hati yang berbalutkan Cinta suci Rabbnya.

(pernah diposting di Majalah Sekolah ‘Dinamis Magazine’ MA Baitul Hikmah Haurkuning Tasikmalaya)
(tulisan waktu Aliyah)