Kenapa Saya Menjadi Fans Juventus?

Kenapa Saya Menjadi Fans Juventus?

Ditengah merosotnya prestasi tim-tim italia di kancah sepakbola eropa beberapa dekade ini, kenapa saya masih saja menjadi fans La Vechia Signora? Apalagi saat ini, liga-liga eropa lainnya seperti Premier League menawarkan kompetisi yang lebih dinamis dan berisi nama-nama pelatih dan pemain mentereng macam Pep Guardiola, Juergenn Klopp, Erik Ten Hag, Haaland, de Bruyne, Gabsus, de el el.

Ya begitu sulitnya menerjemahkan kecintaan terhadap klub bola, bisa jadi seseorang menilainya dari popularitas, prestasi, uang, kehebatan satu pemain, histori klub ataupun yang lainnya. Paling tidak seseorang memiliki narasi yang menjadi “Pandangan Pertama” kecintaannya yang bisa ia ceritakan. Uniknya, setelah seseorang tersebut menjatuhkan pilihan pada satu klub, sulit baginya untuk berpaling hati, meskipun klub yang ia sukai itu sedang menjalani tirakat nirgelar. Senelangsa apapu nasib klub kesayangannya itu, tetap ia bela, bahkan rela masuk goa ketika tim kesayangannya kalah oleh rival, hahaha.

Beberapa hari lalu saat berjumpa dengan teman lama, ia bertanya kepada saya, “Biasanya pecinta klub italia itu generasi 70-80an kan? Generasi kita ini jika dipersentasi akan lebih memilih tim-tim kesayangan dari Premier League atau La Liga, kenapa anda berbeda, maszeh? Juve?”, tanyanya sembari menyiratkan senyuman ejekan kekalahan Juve atas Benfica di Liga Champions, wkwkwk.

“Wes pokok e sekali Juve tetep Juve,”, jawabku singkat. Ia semakin ketawa ngece. Asu batinku. Menjawab pertanyaannya ditempat itu sepertinya bukan hal yang tepat. Maka saya akan jawab melalui tulisan ini saja, hehehe.

Jadi, semuanya bermula saat saya masih mondok di salah satu Pesantren di Jateng. Kebetulan di Pesantren itu selalu langganan Koran yang biasanya oleh pengurus pondok dipasang di Mading khusus Koran. Nah, meskipun kami hanya sesekali saja menonton TV sebagai sumber informasi pada saat itu, kami tetep update informasi terkini melalui koran mading yang berganti setiap harinya.

Rubrik sepakbola adalah minat utama saya, dan berita sepakbola yang heboh pada saat itu adalah skandal calciopoli (pengaturan skor) yang melanda Liga Italia. Klub-klub yang terbukti melakukan pengaturan skor mendapatkan pengurangan poin dan yang paling berat adalah Juventus, yang mendapatkan sanksi berupa degradasi ke Serie B dan pencopotan gelar juara serie A 2004/2005 dan 2005/2006. Hasilnya? Pemain-pemain bintang Juventus hengkang. Ibra dan Vieira ke Inter Milan, Cannavaro, Emerson dan Pelatih Fabio Capello ke Real Madrid, sedangkan Zambrotta dan Thuram ke Barcelona.

Tapi kerennya, ada beberapa pemain bintang yang setia menjadi Bianconero, ia adalah Buffon, Del piero, Nedved, Trezeguet dan Camoranesi. Saya ingat 5 foto bintang Juventus itu berjejer ditampilkan di koran yang saya baca di hari itu. Ditambah dengan kutipan meleleh dari Del piero yang berkata, “Seorang Pria Sejati pantang meninggalkan Wanitanya.”. Melting maszeh. Disinilah titik dimana saya mulai menjatuhkan pilihan untuk menjadi fans Juventus. Hari demi hari, koran terus berganti, yang selalu saya cari adalah perkembangan klub asal kota Turin itu pasca terdegradasi. Dan disuatu hari, terdapat foto dan artikel saat Juventus menjuarai serie B dan bisa kembali ke Serie A di musim selanjutnya. Di tengah artikel terdapat foto Didier Deschamps sang pelatih yang juga eks pemain Juventus dengan kacamata hitamnya yang menurut saya keren itu.

Meski sempat terseok-seok setelah promosi ke Serie A, namun Juve kembali menjadi Jawara Italia dari musim 2011/12 hingga 2019/2020, atau 9 kali secara beruntun, yeeeee. Iya saya tahu, Juve saat ini sedang tidak baik-baik saja dan sedang mencoba membangun kembali tim. Dan saya juga termasuk fans yang mendukung #AllegriOut, hahaha. Saya juga menulis ini sambil menonton Juve vs Milan dengan permainan backpass yang membosankan. Hasilnya? Kalah cok, kalah! 2-0! Semoga Gol yang dicetak Tomori & Diaz ini jadi momentum pergantian pelatih dinosaurus itu ke pelatih yang punya konsep baru yang teruji, hahaha.

Meski begitu, saya tetap cinta Juventus. Nilai kesetiaan yang ditunjukkan oleh Del Piero, dkk inilah yang membuat saya menjadi fans Juve. Karena bagaimanapun, kesetiaan itu berharga. Dan bagi saya, seseorang bisa bersikap setia terhadap sesuatu itu karena memang sesuatu tersebut memiliki sebuah nilai yang layak diperjuangkan, baik berupa rasionalisasi maupun dorongan hati. Fino Alla Fine, Berjuang Sampai Akhir. Ayo Bangkit Lagi, Juventus!

Hari demi Hari Membangun Rumah Impian

Hari demi Hari Membangun Rumah Impian

Sejak dimulai pada tanggal 13 Agustus lalu, alhamdulillah sudah sampai tahap ini, tahap yang bisa anda lihat pada gambar diatas. Ada perasaan bahagia bercampur haru. Tapi, perjalanan masih panjang. Karena katanya, perbandingan durasi antara membangun & finishing itu 50:50. Sedangkan, tahap sekarang ini masih terbilang baru 20-25 %.Jadi yah, dinikmati saja prosesnya. Sampe duit abis, hahaha.

Membangun rumah dengan segala seluk beluk rintangannya memang melelahkan. Kadangkala, terasa sangat lama, karena mau bagaimanapun, kerja tukang itu harus diawasi. Anda tahulah kekhawatiran anda terkait dengan tukang, banyak orang yang maklum dengan itu. Nah, kerja pengawasan ini terasa sangat lama. Namun saat scrolling di galeri sendiri, foto saat peletakan batu pertama memang belum lama, baru 15 hari. Terlebih, banyak ilmu baru didapatkan, dan ilmu tentang pertukangan ini sangat menarik untuk dipelajari dan didalami. Meski tidak secara langsung turun ke lapangan, tapi secara konsep dan tahapannya, semua saya coba pelajari. Minimal, untuk membangun kedepannya, saya tak buta-buta amat tentang pertukangan, maksimalnya, saya tak perlu lagi menggunakan jasa mandor, karena bisa saya mandorin sendiri, hehehe.

Dan, saya bersyukur, dibalik sulitnya kondisi ekonomi seperti ini, saya & keluarga berani untuk bertarung habis-habisan demi rumah impian. Bahkan seringkali banyak yang berujar, “Keadaan lagi kayak gini, berani juga ya?”. Saya hanya menjawab dalam pikiran saja, “Tidak ada jaminan di masa depan, kondisi perekonomian semakin membaik, malah mungkin lebih buruk. Dan, saya hanya sedang menjalani taqdir Allah saat ini, sembari berjalan kepada taqdir Allah yg lainnya. Soal bagaimana ke depannya, disamping berusaha sekuat tenaga, saya yakin bahwa Allah selalu memberi “makhroja” dan memberi rezeki yang “min haitsu laa yahtasib”, kuat dilakoni, nek ra kuat ngopi sek, trus lanjut maneh.”, cukup itu menjadi keyakinan.

Oh iya, ditulisan sebelumnya, saya menjelaskan jika rumahnya ini akan dibangun oleh kontraktor Maswindo Bumi Mas Cabang Sumedang. PT. Maswindo Bumi Mas ini adalah perusahaan kontraktor & developer pimpinan Mas Aswin Yanuar yang belakangan cukup viral di media sosial. Selengkapnya anda bisa baca disini. Tadinya memang saya mau pake jasa beliau. Namun karena satu dan dua alasan, saya mengurungkan niat menggunakan jasa Maswindo. Yang pasti, bukan karena hasil pekerjaannya Maswindo jelek, engga kok, sejujurnya saya sangat suka dengan desain-desain rumah buatan Maswindo. Tapi pengurungan ini didasari hal lain ya.

Akhiron, bagi sahabat-sahabat seusia, usia dimana mungkin sebagian besar ada ditahap yang kurang lebih sama dengan saya. Saya ucapkan Semangat untuk kawula muda. Jalan masih panjang, kencangkan ikat pinggang, singsingkan lengan baju, ayo kita arungi luasnya kehidupan.

Salam hangat.

Catatan Harlah PMII ke 62

Catatan Harlah PMII ke 62

Setiap kali ada momentum harlah PMII, yang saya ingat adalah romantika perjalanan saya menjadi aktivis PMII saat berkuliah S1 dulu, ya, saat berkuliah dulu, saya bergabung di PMII. Yang paling saya ingat ya jelas sahabat-sahabat saya saat itu, beserta kenangan-kenangan manis dan pahit saat berorganisasi dan berproses, asek. Yah, semoga mereka, sahabat-sahabat seperjuangan saya dulu itu diberi kesehatan, kebahagian dan diberi kekuatan untuk meraih impiannya masing-masing, amin.

Beberapa tahun yang lalu, saya juga pernah menulis catatan harlah PMII. Catatan itu ditulis untuk mengikuti sebuah sayembara menulis untuk semacam buku antologi “Kado Ultah PMII”. Kebetulan juga saat pengumuman, tulisan saya termasuk dari 20 tulisan yang terpilih. Sayangnya, hingga saat ini pencetakan buku antologi itu urung dilakukan, atau mungkin gak jadi dicetak. Anda bisa baca dengan klik disini. Tulisannya hanya seputar cerita bagaimana saya mulai masuk ke PMII dan bla bla bla. Jadi bisa anda lewatkan tulisan “lebay” itu.

Sebuah organisasi dimanapun itu berada, apalagi yang berasaskan ideologi tertentu akan menawarkan suatu nilai yang diperjuangkan. Nilai ini yang kemudian diharapkan dapat diterjemahkan kedalam konsep gerakan dan praksisnya. Disinilah para intelektual di organisasi berjibaku menyusun konsep, role model dan atau grand-design. Merumuskan konsepsi atau turunan praktis dari suatu nilai memang cukup pelik. Persisnya adalah ketika dihadapkan pada realitas yang rumit.

Menghadapkan keilmuan dan realitas memang seringkali timpang disatu sisi. Meskipun pada dasarnya, keilmuan lahir dari kajian atas realitas. Hanya saja, variabel yang tak terhingga pada realitas memaksa keilmuan membatasi ruang lingkupnya agar “lebih cepat” dalam menciptakan konsep/aturan.

Begitulah yang menurut saya pun terjadi pada PMII.  Nilai-nilai luhur dan cita-cita perjuangan yang diusung jelas 100% adalah nilai kebaikan. Namun pengejawantahan dari nilai ke PMII an dan hubungannya terhadap realitas seringkali tidak bisa memuaskan banyak pihak. Selain memang realitas ini barang sulit, tidak sedikit juga bagian dari PMII (mis: alumni) lupa terhadap konsepsi dari nilai-nilai keorganisasian. Atau mungkin juga terdistraksi dengan persoalan lain yang lebih rumit.

Tulisan reflektif sahabat saya di link ini adalah salah satu nya. Ia mempertanyakan posisi atau bahkan keputusan strategis PMII sebagai organisasi dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa ini. Misalnya ketimpangan sosial, ketidakadilan hukum, pelanggaran HAM, represivitas aparat, dll. Dimana posisi PMII dalam menyikapi masalah tersebut? Apakah pro? Kontra? Mendukung? Menentang? Dan jika sikap sudah dipilih dan ditunjukkan, lalu apa yang akan dilakukan PMII sebagai sebuah organisasi pergerakan?

Lebih lanjut, sahabat saya ini menyampaikan kritik atas peran mereka yang ia sebut intelektualis PMII. Ia menyampaikan bahwa mereka itu inkonsisten, eksklusif dan tidak substantif. Sehingga dalam kerja-kerja organisasi, dan dalam menghasilkan putusan-putusan organisasi tidak pernah benar-benar strategis. Padahal jika dilihat dari aspek nilai yang diperjuangkan, PMII adalah sebuah wadah yang mengusung nilai paripurna, minimal ini anggapan saya, hehe.

Agaknya, memang begitulah kebanyakan organisasi saat ini. Dengan harapan kolektivitasnya, alih alih menghasilkan putusan atau gerakan yang dapat menjawab tantangan zaman, ia malah terjebak stagnansi akibat dari ketidakmampuan mereka untuk bertindak kolektif. Penyebabnya macam-macam, yang paling kentara bisa saja karena sulitnya membaca dan menganalisis realitas sosial yang harus dihadapi. Atau lebih parahnya, boro-boro membaca, ia terdisktraksi dengan konflik internalnya sendiri dan berputar disitu situ saja.

Apakah kemudian organisasi semacam PMII ini kemudian tidak lagi relevan dengan zaman? Atau tidak lagi mampu menjawab problematika sosial yang dihadapinya? Saya tidak tahu jawaban anda, tapi bagi saya, dengan berbagai syarat-syarat yang harus dipenuhi, PMII atau organisasi sejenisnya masih relevan. Secara nilai, PMII sudah paripurna dan non-debatable, namun subjek dari organisasi itu sendiri yang harus terus berbenah. “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”, perkataan Pram ini menurut saya dapat menjadi pijakan ideal untuk mulai proses berbenah.

Nilai-nilai yang diusung PMII akan terasa tidak ada harganya saat tidak memiliki turunan konsep atau tawaran yang jelas dalam implementasinya. Apa transformasi gerakan yang diusung PMII? Konsep apa yang ditawarkan PMII untuk bangsa ini? Sebagai kader atau alumni misalnya, sulit menjawab pertanyaan ini. Karena dalam tataran konsep dan praksis tak semudah seperti kita menjelaskan nilai-nilai luhur itu, terlebih dengan realitas sosial yang rumit, siapa kawan, siapa lawan, siapa benar, siapa salah, siapa yang objektif, siapa yang subjektif, dan saat terdapat isu-isu tertentu, PMII punya sikap yang ajeg dan teteg dimana ia berdiri dalam isu tersebut.

Mungkin saya harus cukupkan tulisan ambigu saya yang bukan siapa-siapa ini. Intinya, di harlah PMII ke 62 ini, semoga PMII terus dewasa, menjadi organisasi yang matang secara konsep gerakan, sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan PMII bukan hanya sebatas bahan pidato atau orasi agar mulut kita berbusa, tetapi memiliki sederet konsep ciamik untuk memperjuangkannya terhadap realitas sosial yang mudah berubah seperti saat ini.

Dirgahayu Pergerakanku! Selamat Harlah PMII ke 62, Long Live Movement !!!

Tentang Keyakinan Saya pada NU

Tentang Keyakinan Saya pada NU

Jagat maya saat ini, khususnya media sosial memang sedang gencar-gencarnya mempertontonkan perang pengaruh, saling merebut klaim kemayoritasan, klaim paling agamis, tuding menuding, dan sejenisnya. Propaganda sekejam apapun dihalalkan. Goreng menggoreng terus dipraktekkan dalam kehidupan bermedsos sehari-hari. Banyak dugaan bermunculan apakah sebetulnya kegaduhan yang terjadi di dunia medsos kita hari ini adalah bagian dari operasi intelejen dari negara adidaya untuk menancapkan pengaruhnya di negara lain? atau bahkan menghancurkan eksistensi sebuah negara seperti yang terjadi di timur tengah? Barangkali ini bisa jadi diskursus yang menarik untuk dibahas sambil ngopi.

Salah satu organisasi yang saat ini terus menerus menjadi target serangan adalah Nahdlatul Ulama. Sebagai organisasi keagamaan islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia, NU jelas telah menjadi sasaran empuk propaganda dan fitnah. Tujuannya jelas untuk melemahkan posisi NU sebagai salah satu pondasi penting yang berperan besar dalam memperjuangkan, mengisi dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terlebih, catatan-catatan sejarah hari ini mulai membuka kiprah besar Nahdlatul Ulama yang sebelumnya banyak tertutupi, khususnya akibat dari tekanan pemerintah orde baru yang mengerdilkan peran NU dan kader-kadernya, salah satunya? Resolusi Jihad.

Media sosial menjadi medan fitnah yang luar biasa terhadap NU dan bagian-bagian yang terkait dengannya, salah satu yang paling kencang mendapatkan serangan adalah Gerakan Pemuda Ansor dan Bansernya. Anda bisa kroscek sendiri bagaimana narasi-narasi negatif terus dilontarkan, baik di facebook, twitter, instagram, youtube, tiktok dan tak ketinggalan, grup-grup whatsapp. Propaganda yang masif itu mau tidak mau harus diakui memiliki pengaruh dalam mendistorsi persepsi terhadap NU, Ansor, Banser dan yang lainnya disebagian kalangan, meskipun saya yakini tidak banyak. Bahkan kalangan santri pun ada yang ikut nyinyir dan “membenci Ansor dan Banser”.

Saya memang belum terlalu lama berkecimpung di Nahdlatul Ulama. Saat mahasiswa, tergabung di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Kemudian saat kembali ke kampung halaman, tiba-tiba saya langsung ditunjuk menjadi Sekretaris MWC NU Kec. Rajagaluh (saya merasa sangat tidak layak), disusul dengan diberi mandat sebagai Wakil Ketua di PAC GP Ansor Kec. Rajagaluh. Dan beberapa hari ini, saya aktif mempublikasikan keterlibatan saya dalam acara DIKLATSAR BANSER yang merupakan gerbang awal bagi masyarakat yang ingin bergabung dengan Satuan Banser. Komentar yang masuk ke saya cukup beragam. Ada yang mempertanyakan, ada yang mengernyitkan dahi, terheran-heran, kenapa orang seperti saya, yang mungkin menurut mereka seperti “orang lurus” masuk ke dalam organisasi “nyeleneh” macam GP Ansor dan NU. Lagian, anda juga “nyeleneh” juga menuduh saya orang lurus, hahaha.

Lalu bagaimana posisi saya menanggapi banyaknya ujaran negatif terhadap NU? Mengenai ini, saya punya keyakinan. Bahwa NU adalah rumah besar para Ulama, khususnya beliau-beliau yang telah membimbing saya saat di Pesantren dulu. Tidak ada satupun kyai dari Pondok Pesantren almamater saya yang tidak memiliki keterlibatan dan keterkaitan dengan Nahdlatul Ulama. Jadi, jelaslah bahwa keterlibatan saya di NU adalah merupakan suatu upaya ta’dziman, takriman, taqlidan kepada Guru-guru saya di Pesantren dulu. Saya meyakini bahwa guru-guru saya di Pesantren ini tidak akan salah pilih organisasi dan tidak akan asal-asal dalam menentukan wasilah berdakwah, dari mulai di Ciamis, Pati, Brebes, Tasikmalaya dan Malang semua sama, NU!

Kenyelenehan yang mungkin terlihat dari para kyai atau tokoh NU yang seringkali menjadi bahan ‘gorengan haneut’ itu saya yakin memiliki argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Tidak hanya asal ingin beda atau ingin menciptakan sensasi. Keyakinan begini tidak berarti menumpulkan daya kritis saya kepada satu dua persoalan ya, karena pasti saya memiliki persepsi dan pendapat terhadap persoalan itu. Setuju dan tidak. Suka dan tidak. Nyaman dan tidak. Tapi persepsi saya itu tidak akan bisa mendorong saya untuk menjauhi NU. Karena sederhana saja, secara hakikat, saya sudah meyakini bahwa garis perjuangan NU dan para Kyai didalamnya merupakan suatu kebenaran yang patut saya perjuangkan. Jadi, apapun serangan cacian fitnahan yang diarahkan kepada NU, saya akan tetap mengkhidmahkan diri saya untuk ikut berpartisipasi dalam ngurip-nguripi NU, minimal di daerah tempat saya tinggal, termasuk Ansor dan Banser yang juga bagian dari keluarga besar NU, semampu saya tentunya.

Ikan Manfish dan Tetek Bengek Urusan Aquarium

Ikan Manfish dan Tetek Bengek Urusan Aquarium

Setelah sekian purnama, aquarium di rumah akhirnya dibersihkan juga. Beberapa minggu yang lalu saya, bapak dan adik saya membersihkan aquarium yang kurang lebih hampir tiga tahun terbengkalai. Kata mamah sih, dulunya seringkali ikan-ikan yang dibeli dan dipajang di aquarium itu wafat setelah beberapa hari dimasukkan. Selanjutnya, ikan yang dipelihara di aquarium itu hanya ikan mas biasa. Tak cukup indah dipandang, tapi daya survive-nya luar biasa, alias gak gampang ko’it. Semakin si ikan mas itu besar, semakin terasa aquarium itu tidak eye catching. Akhirnya, dipindahlah si ikan mas itu ke balong dan air di aquarium dikosongkan, begitu ceritanya.

Tiga tahun berselang, istri saya bersabda, “Coba dong ini aquarium dimanfaatkan. masa dipajang di ruang depan, tapi kosong.” Sabda istri memang sering mujarab, seketika mampu menstimulasi otak untuk memaksa anggota tubuh lainnya untuk bergerak. Bukan apa-apa, ini demi menghindari sabda selanjutnya. Ya, dimulailah proses pengurasan aquarium itu hingga kami isi dengan 5 galon air isi ulang, hahahaha.

Mamah benar, memelihara ikan di aquarium susah susah gampang. Terutama setelah saya menonton dan membaca seputar urusan perikanan ini. Saya harus memilih mana ikan yang daya survive nya tinggi, boleh dicampur-campur atau tidak, bahkan sampai urusan filter yang ternyata harus dibarengi dengan biofilter sebagai media alami pertumbuhan bakteri nitrifikasi, dan anjuran mengambil batu-batu kecil hiasan dasar aquarium yang dapat berpotensi memicu bom amoniak yang beracun bagi si ikan, banyak sekali ilmu baru di urusan perikanan hias ini.

Korban dari proses belajar saya ngurus ikan hias ini sudah cukup banyak juga. Ada 5 ikan patin kecil yang entah kenapa mati one by one. Ada 2 ikan red eye putih (sebenernya gak tau nama aslinya) yang dilempar ke balong karena terlihat terlalu agresif terhadap ikan lain. Ada 4 ikan mas yang berakhir dilempar ke balong juga karena ya sama sekali gak aesthetic bosss. Dan terakhir ada 10 ikan manfish kecil yang mati akibat stress di bully sama 3 manfish preman dewasa. Semoga mereka semua tenang di tempat barunya, amin.

Proses belajar tentang urusan ikan hias ini masih terus berjalan. Dengan terus membaca literatur-literatur di mbah gugel dan mengamati perilaku ikan-ikannya. Melalui itu lah saya bisa menyimpulkan penyebab wafatnya 10 ikan manfish mini adalah akibat bullying para seniornya yang menyebabkan stress, mogok makan dan akhirnya wassalam.

Dan apa jenis ikan di aquarium rumah saat ini? Yes! 3 manfish preman, 2 ikan tukang sapu-sapu. Dan siang tadi saya membeli 3 ikan manfish baru. Kali ini manfishnya bukan yang kecil-kecil. Kurang lebih hampir seukuran dengan 3 manfish preman yang pertama.

Dari ikan-ikan ini, saya belajar bahwa segala sesuatu juga ada ilmunya. Yang awalnya saya berfikir kalo ngurus ikan itu kayak simpel aja gitu. Tinggal cemplung di kolam atau aquarium, lalu biarkanlah mereka dan cukup beri mereka makan diwaktu-waktu tertentu. Ternyata tidak semudah itu, kita perlu atur aerator untuk meningkatkan kadar oksigen dalam air, kita perlu atur juga arus airnya, kita perlu sistem filtrasi air yang baik juga yang disesuaikan dengan kebutuhan, kita perlu tau suhu dan pH air untuk ikan-ikan tertentu dan terakhir, kita perlu paham karakter masing-masing ikan.

Seperti beberapa hari saya perhatikan bahwa bullying yang dilakukan manfish dewasa terhadap manfish kecil adalah akibat dari karakter manfish dewasa yang bersifat teritorial, artinya ikan manfish dewasa itu merasa punya wilayah kekuasaan sendiri yang tidak boleh direnangi oleh manfish lain. Jika manfishnya kecil, jelaslah di plonga plongo, langsung dikejar dan dibully hingga gak kerasan. Kalo santri masih enak, gak kerasan bisa pulang. Kalo di aquarium, “Bleh, aku kate moleh yo moleh nandi? Aku yo wes lali omahku iki sakjane ndek ndi, ta mati ae wes.“. Begitu kira-kira ujar manfish kecil. Kalo manfish besar, adegan yang harus disensorpun terjadi, mereka berciuman dengan nafsunya. Untuk memahami akan apa yang sedang terjadi (weeee…), langsung saya ketik di gugel, “Manfish ciuman”. Ternyata lagi gelut booossss. Mbuh wes karepmu. Gelut gelutooo. Karepmuuuu slurr.

Ini masih setting aquarium biasa, bukan aquascape yang tetek bengek hiasan aquariumnya lebih rumit karena melibatkan tumbuhan hidup juga. Untuk aquascape, aku mundur alon-alon wae. Hehe.

Tentang Kuliah di Jurusan Kimia dan Membuat Bom

Tentang Kuliah di Jurusan Kimia dan Membuat Bom

“Kang, kuliah dimana?”, tanya kang Sodikin.

“Di UNPAD kang”, jawabku

“Jurusan apa kang?”

“Kimia kang.”

“Wah, bisa bikin bom dong.”, ujarnya sembari tertawa.

Deg! Statemen akang Sodikin itu memang bikin jantung saya hampir meledak layaknya TNT. Ah, sebenernya gak segitunya juga sih. Cuma akhirnya saya pengen ngelus dada sendiri, yang sebetulnya ya tinggal di elus aja, asalkan bukan dada orang lain. Jatuhnya nanti kena UU PKS. Eh, kan belum jadi UU ya.

Sebetulnya cuma gak enak aja. Masa saya ngelus dada di depan kang Sodikin. Kan sungkan. Jadi ya udahlah. Saya ikut ketawa aja. Tapi pendek, Ha ha.

Jadi, kang Sodikin ini bukan nama asli. Ini nama samaran. Tapi bukan untuk melindungi identitas pelaku dari serangan buzzer juga ya. Tapi memang saya udah gak inget siapa aja kang Sodikin ini. Biar gak bingung, maksud SODIKIN ini berarti teman. Kalo menurut ilmu nahwu, sodikin ini bentuk jama’ mudzakkar salim, yang alamat rofa’nya pake wawu, sedangkan nashob dan jer-nya pake ya. Jadi artinya teman-teman. Gitu. Bait alfiyahnya

وارفع بواو وبيا اجرر وانصب # سالم جمع عامر ومذنب

Maksud saya, SODIKIN ini menunjukkan banyaknya teman saya yang nanya pertanyaan sejenis dengan pernyataan stigma sejenis juga. Dialog itu bukan hanya terjadi sekali dua kali, tapi berkali-kali, mungkin sepanjang hidup saya, ada lah sepuluh kali lebih.

Sebetulnya pernyataan kang Sodikin ini gak masalah-masalah amat sih. Cuma agak gemes aja gitu. Sejak saya berkuliah S1 di UIN Malang sampe selesai S2 di UNPAD bulan Juli lalu, saya belum pernah dapet mata kuliah kimia tentang per-BOM-an. Kalo perlu saya jelaskan maudlu’-nya nih, pas saya kuliah dulu, Matakuliah di kimia itu terbagi ke dalam 5 sub bidang ilmu, ada kimia organik, kimia anorganik, kimia analitik, kimia fisik, dan biokimia. Dari 5 sub bidang itu juga terus terbagi lagi menjadi sub sub turunannya. Semisal bidang kimia organik yang di Indonesia populer dibagi kembali menjadi 2, yaitu Kimia Organik Bahan Alam (KOBA) dan Kimia Organik Sintesis. Ini juga gak cukup, dimasing-masing sub sub sub bidang itu, masing-masing dosen atau peneliti punya concern atau fokus riset dan keahlian tersendiri. Bisa dibilang, semakin tinggi kita bersekolah di jurusan kimia, ruang lingkup keilmuan kita mengerucut semakin sempit.

Saya kira, itu juga berlaku di berbagai disiplin keilmuan. Seperti contoh lain di dunia pesantren, meski saat di pesantren banyak disiplin keilmuan yang dipelajari dari mulai nahwu, shorof, balaghoh, fiqih, tauhid, tafsir, dan lain-lain. Semakin lama, semakin si santri itu akan berkonsentrasi pada satu atau dua bidang ilmu saja. Hal ini terjadi karena saking luasnya keilmuan yang ada. Bahkan ada satu adagium populer. “Andaikan ilmu Allah itu seluas 7 samudera. Maka ilmu yang dikuasai manusia mungkin hanya satu tetes saja,” atau mungkin saja hanya sebanding dengan 1 molekul H2O saja, atau bahkan 1 atom H nya saja, Wallahu a’lam. Maka ada kata-kata orang bijak begini, “Orang berilmu itu ada 3 tahapan. Yang pertama ia akan sombong, tahap kedua ia akan tawadhu‘. Dan ditahapan selanjutnya, ia akan merasa tidak ada apa-apanya.”.

Kembali ke urusan bom dan kimia tadi. Meskipun saya lulusan S2 kimia, saya sama sekali gak bisa ngerakit bom. Boro-boro bisa bikin bom, jenis-jenis bom aja saya gak tau. Mentok-mentok saya taunya ya bom TNT alias trinitrotoluena. Itupun bukan dari proses belajar saya dibidang ilmu kimia, tapi dari game Crash Team Racing (CTR) PS1 yang sering saya mainkan saat masih SD dulu. Atau jangan-jangan, sebetulnya dosen-dosen saya pernah juga menjelaskan tentang bom-bom kimia, tapi kebetulan saya pas bolos kuliah atau pas tidur di kelas. Oh iya, saya ingat, prinsip kerja bom atom pernah dijelaskan di kelas, saya lupa matakuliah apa, yang pasti bom nuklir adalah hasil reaksi inti atom, baik berupa reaksi fisi maupun reaksi fusi. Seperti bom uranium bernama Little Boy yang diledakkan di Hiroshima, dan bom plutonium (Fat Man) di Nagasaki yang keduanya punya daya ledak luar biasa.

Ya, sebeginilah dhoif-nya saya sebagai lulusan S2 Kimia. Masalah bom kimia saja saya kurang wawasan alias mainnya kurang jauh. Maka saya ucapkan terimakasih kepada Kang Sodikin yang sudah bertanya demikian. Memang sedetik setelah ia berseloroh bahwa yang kuliah kimia bisa ngerakit bom, saya kesal, karena ia hanya memahami kimia sebagai ilmu untuk membuat bom. Tapi detik selanjutnya, saya sadar, dibalik pertanyaan itu, ada instruksi tersirat kepada saya untuk terus belajar dan mengupgrade keilmuan saya di bidang kimia. Tak lain semerta-merta biar saya gak malu-maluin. Masa si Fawwaz yang katanya bergelar M.Si ini urusan bom aja gak ngerti. Ya meski gak bisa merakit sendiri, minimal pahamlah keilmuannya. Jadi, yang katanya bergelar Magister Kimia ini gak malu-maluin.

Dan teruntuk kang Sodikin, saya mau sedikit jelasin kang, kimia ini jangan dikonotasikan pada keilmuan bom-boman. Dikira kimiawan ini karakter bomberman di game nintendo lawas. Seingat saya pas kuliah kimia dasar 1 dulu, dijelaskan bahwa ilmu kimia adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang materi, baik dari segi sifatnya, susunan dan strukturnya, beserta perubahan yang menyertainya. Materi yang dimaksud disini bukan duit atau kekayaan fisik, namun didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang. Gampangnya, segala yang ada disekeliling kita ini bisa dibilang adalah objek kimia, bahkan tubuh kita sendiri adalah kimia. Lebih gampangnya lagi, kurang lebih 60-70% tubuh manusia ini tersusun dari air, air ini rumus molekulnya H2O, terdiri dari 2 atom hidrogen dan 1 atom oksigen. Belum lagi kimia-kimia lainnya seperti makromolekul penting macam karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat. Deal ya kang?