Skeptis dengan Perekonomian Organisasi

Skeptis dengan Perekonomian Organisasi

Organisasi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, LSM dan sejenisnya kebanyakan adalah organisasi non-profit, alias tidak berorientasi pada keuntungan materiil. Kerja-kerja organisasi tersebut biasanya didanai oleh swadaya atau iuran anggota, sumbangan dari loyalis atau simpatisan, hingga pengajuan proposal pada instansi tertentu. Terminologi wajib dalam sumbang menyumbang di organisasi ini adalah “Halal dan Tidak Mengikat”.

Sialnya, iuran anggota tak selalu efektif. Banyak anggota enggan menyumbang karena berbagai faktor, entah memang kurang percaya pada pengurus organisasi, atau memang kere. Sumbangan dari simpatisan, ini paling menarik, sayangnya zaman sekarang orang tak lagi seideologis dulu, loyalis yang militan menjadi semakin berkurang. Proposal? Selain pengurus organisasi wajib bermuka tebal, biasanya mengandung klausul-klausul. Jika ada klausul, tentu itu melanggar term “Tidak Mengikat”, hehe. Selain itu, tentu ada segudang alasan yang akhirnya berkesimpulan bahwa mencari dana untuk menghidupi organisasi bukan hal yang mudah.

Saat aktivitas organisasi terkendala operasional, muncullah berbagai macam ide, seperti mendirikan badan usaha milik organisasi, atau usaha kecil-kecilan, tiada lain tiada bukan adalah untuk membiayai kegiatan-kegiatan organisasi. Dicetuskanlah dalam rapat kerja atau sejenisnya, program kerja kewirausahaan, dengan semangat kemandirian ekonomi organisasi, agar tidak bergantung pada proposal, jamaah atau loyalis, bahkan iuran pengurus.

Lagi-lagi, sayangnya, tak banyak wirausaha organisasi itu yang bisa berhasil, bertumbuh dan berkembang. Paling baik ya stagnan, buruknya, lebih banyak yang “laa yamutu walaa yahya”. Kegagalan ini juga banyak faktor, namun ada dua penyebab kegagalan yang menurut saya cukup fundamental. Pertama, Kepemilikan usaha dan hilangnya semangat. Usaha itu milik organisasi, sehingga pengurus organisasi itu enggan totalitas untuk pengembangannya karena itu bukan miliknya, meski jika ditarik secara ideologis, harusnya dengan keyakinannya itu kita mau totalitas, tapi misal melihat rekan sesama pengurus yang tidak punya semangat yang sama, akhirnya semangat kita pun ikut luntur.

Mengapa tak punya semangat? Tentu karena profitnya tak 100% mengalir untuk dirinya, sekian persen harus direlakan untuk organisasi. Selain itu, tentu ia pun punya usaha sendiri yang butuh perhatian lebih, karena itu adalah jantung perekonomian keluarga, sehingga usaha organisasi ala kadarnya saja.

Kedua, Penyelewengan. Katakanlah poin pertama itu tidak ada, usaha organisasi maju dan berkembang. Ada tangan-tangan iseng yang mencoba bermain-main dengan uang organisasi. Meski awalnya karena kepepet kebutuhan, pinjem bentar misal, lama-lama keenakan dan terjadilah penyelewengan. Penyelewengan ini macam-macam bentuknya, ada korupsi, ada juga yang cuma gak mbayar, dan ini banyak.

Misal, sebuah organisasi memutuskan untuk berjualan kaos atau merchandise. Kemudian ada beberapa anggota bahkan pengurus organisasi memesan, setelah beres, mereka ambil kaosnya, tapi tak mau membayar dengan seribu alasan. Masak ada yang begitu? Banyak, hahaha. Ada yang merasa begitu disini?

Dengan adanya fakta-fakta demikian, saat ada proker wirausaha dicanangkan kepengurusan organisasi, saya lebih sering skeptis dan optimis jika proker itu akan gagal, hahaha. Paling tidak dengan model peristiwa diatas, entah hilang ghiroh atau adanya penyelewengan.

Lalu bagaimana baiknya organisasi agar punya kemandirian? Saya pun belum punya pengalaman yang memuaskan, tentu ada yang berhasil, tapi tak sampai sesuai harapan. Apakah saya akan terus pesimis? Tentu tidak. Saya menulis ini karena saya ingin tercerahkan, siapa tau ada yang membaca tulisan ini, lalu menginformasikan ke saya beberapa contoh wirausaha organisasi yang berhasil dan berkelanjutan. 

Jika harus dicari teladan wirausaha organisasi, saya bisa sebut organisasi Persyarikatan Muhammadiyah. Melalui amal usahanya, Muhammadiyah terlihat mampu menjalankan aktivitas organisasinya dengan pendanaan mandiri. Tak terhitung sekolah dan kampus yang terkelola secara profesional, profit dan tentu berdampak. Tentu saya melihat Muhammadiyah dari sudut pandang orang luar, saya belum paham dalam-dalamnya, seperti kata pepatah, rumput tetangga biasanya terlihat lebih hijau. Aslinya saya tidak tahu, bisa saja terdapat penyelewengan atau hilangnya ghiroh, sama seperti organisasi lainnya. Tapi sejauh pengamatan saya, saya melihat Muhammadiyah adalah teladan kemandirian ekonomi organisasi. Ya, tentu saja saya bisa salah menyimpulkan, mungkin saya kurang membaca atau ngopinya kurang jauh dengan sahabat-sahabat di Muhammadiyah.

Wallahu a’lam.

Menikmati Masa Awal Menjadi Dosen

Menikmati Masa Awal Menjadi Dosen

Belakangan, tagar JanganJadiDosen mengemuka dan viral di jagat maya. Tagar itu menggema disertai dengan banyak skrinsutan slip gaji dosen yang jauh dari kata kategori sejahtera. Untuk dikategorikan sejahtera, slip gaji yang ditunjukkan pada cuitan di tagar JanganJadiDosen itu memang sangat miris. Sudah gaji kecil, ada yang dirapel pula, dan lain-lain. Padahal, menjadi dosen memiliki kualifikasi yang tak main-main. Sejak beberapa tahun yang lalu, untuk menjadi dosen, seseorang diharuskan memiliki minimal strata pendidikan magister (S-2), dan jika ingin berkarir serius di dunia perdosenan, mengejar gelar doktor adalah kewajiban.

Dan, seperti yang anda tahu, biaya studi sarjana di negeri kita ini masih jauh dari kata “terjangkau”, apalagi untuk S-2 dan S-3. Memang ada banyak pilihan beasiswa, itu bisa menjadi topik lain yang tak perlu dibahas pada tulisan ini. Hal ini sangat memprihatinkan saat kita mengetahui satu fakta bahwa persentase warga Indonesia yang berpendidikan tinggi masih dibawah 10%.

Saya sudah berprofesi menjadi dosen selama kurang lebih satu tahun di salah satu kampus swasta di Cirebon. Menjadi dosen atau paling tidak berkecimpung di dunia pendidikan adalah salah satu cita-cita saya. Entah mengapa saat SMA tiba-tiba cita-cita itu muncul, mungkin sistem pembelajaran pesantren tempat saya belajar adalah salah satu yang mempengaruhi diri saya.

Semakin kuat harapan itu saat saya kuliah di Malang. Dunia aktivis mahasiswa adalah salah satu yang memperkuat itu. Dipertemukan dengan orang-orang yang hebat dalam fasilitasi forum, firm saat berbagi cerita, pemikiran, semangat dan keilmuan. Sedikit demi sedikit, ada satu dua forum yang bisa saya coba isi, saya fasilitasi. Meski tak sebaik senior-senior saya, saya merasa berbagi cerita, semangat, pemikiran dan sudut pandang dengan orang lain, berdiskusi, bertukar pikiran itu terasa menyenangkan.

Disamping dari aspek transfer keilmuan yang sesuai dengan disiplin ilmu saya, dari aspek moril, banyak hal yang saya rasa ingin saya bagikan dan ceritakan dengan orang lain, tentang banyak hal dari sisi ideologis, keyakinan, semangat dan sudut pandang yang ingin saya sebarkan kepada sebanyak mungkin orang, meski entah sebetulnya sekuat dan sebaik apa pikiran saya itu. Tapi setidaknya itulah yang saya yakini baik dan perlu disebarkan.

Selepas S-2, saya tentu mencoba mencari lowongan kerja dosen. Singkat cerita, akhirnya saya diterima di salah satu kampus swasta. Awalnya saya cukup idealis, menjadi dosen saya hanya ingin mengajar saja, jadi dosen non tetap. Namun saat saya terjun lebih dalam lagi, saya akhirnya memutuskan untuk menjadi dosen tetap, menikmati tahap demi tahap menjalankan tri dharma perguruan tinggi.

Kelas pertama tentu tak semudah yang dibayangkan, apalagi saat S-1, saya bukan tergolong mahasiswa yang rajin-rajin amat, perlu mutholaah yang sangat mendalam, karena untuk menyampaikan ilmu, tak cukup hanya paham untuk diri sendiri, tapi juga harus mampu memahamkan anak didik kita. Setelah satu tahun lebih, saya cukup menikmati masa-masa awal ini. Penelitian pertama, membimbing mahasiswa pertama, pengabdian pertama, isi BKD pertama, ritme perdosenan pertama, meski masih terbata-bata, saya menikmatinya.

Meski menjadi dosen ini tak menjanjikan secara finansial seperti yang beredar belakangan, saya menikmatinya. Saya berupaya mengisi kebutuhan cuan dari bisnis yang saya jalani bersama istri, dan tak bergantung dari penghasilan saya sebagai dosen. Terdengar ideal bukan? sebenarnya tak seideal itu. Apalagi saat kedua sisi itu menuntut fokus yang sama. Pekerjaan administratif dosen yang seabrek, dan kompetisi jualan onlen yang semakin tak masuk akal terkadang membuat saya cukup pusing. Tapi, bukankah pusing itu tandanya kita berpikir? intinya, saya menikmati semua kepusingan dalam hidup ini, hehehe.

Catatan untuk Konfercab VIII PCNU Majalengka

Catatan untuk Konfercab VIII PCNU Majalengka

Kemarin adalah pertama kali saya mengikuti agenda musyawarah tertinggi di tingkatan PCNU, Konferensi Cabang VIII Nahdlatul Ulama Kabupaten Majalengka. Seperti tertuang pada AD ART, agenda Konferensi digelar untuk suksesi pergantian kepemimpinan NU di berbagai tingkatan, memilih Rais Syuriyah & Ketua Tanfidziyah.

Saya datang bukan sebagai peninjau, tetapi sebagai delegasi MWCNU Rajagaluh yang diberi mandat melalui Surat Mandat yang dikeluarkan Pengurus MWCNU Rajagaluh, artinya saya punya hak suara dan hak bicara dalam forum tersebut. Saya memang tercatat di SK sebagai pengurus harian MWC. Sebagai bocil atau newbie dalam forum tersebut, tentu saya lebih banyak memperhatikan dinamika yang terjadi dalam forum tersebut, tak ikut berkomentar, disitu forum kyai-kyai bos, isin aku, wkwkwk.

Saat mahasiswa, saya cukup akrab dengan forum seperti ini, misal saat dulu di PMII Kota Malang, ditingkatan paling bawah level rayon, saya mengikuti beberapa kali RTAR (Rapat Tahunan Anggota Rayon), RTK (Rapat Tahunan Komisariat), bahkan Konfercab (Konferensi Cabang) PMII Cabang Kota Malang. Terbaru di akhir 2020, saya ikut menjadi panitia Konferensi MWCNU Kec. Rajagaluh. Artinya secara mekanisme, saya sudah cukup paham, ada beberapa sidang pleno dan komisi, dan diakhiri sidang pleno terpanas, tentu saja pemilihan nahkoda baru organisasi.

Forum tertinggi seperti ini biasanya sarat kepentingan, panas, penuh gengsi, adu tensi, dan bahkan bisa jadi menentukan kedewasaan berorganisasi masing-masing insan organisasi. Posisi ketua, atau bahkan rois adalah posisi yang biasanya diperebutkan dan diinginkan oleh beberapa orang. Dalam kasus tertentu, isu money politics berhembus, biasanya mentarget pemilik hak suara dalam forum. Siapa yang punya hak suara memilih ketua, akan diincar dan digoda oleh mereka yang punya ambisi menjadi ketua. Janjinya macam-macam, nominalnya pun macam-macam. Tentu ini bukan tuduhan, karena sampai saat inipun saya hanya tau isu ini sekedar kabar burung saja, saya tak pernah investigasi sendiri, kebenarannya hanya diketahui oleh pemainnya saja, hehe.

Mencermati Konfercab VIII PCNU Majalengka, satu per satu mekanisme saya coba pahami, adakah yang menurut saya tidak ideal? Adakah yang melenceng? Adakah yang kurang tepat? Daaaan, saya menemukan bahwa agenda konfercab di NU cukup rapi dan tertib. Terlebih, saya melihat ada political will dari PBNU untuk berbenah dan mengawal secara aktif prosesi konfercab ini, agar sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan NU. Reformasi struktural dan peningkatan peofessionalitas organisasi coba ditegakkan PBNU. Dibuktikan dengan diharuskannya sidang langsung dipimpin oleh delegasi dari PBNU, khususnya pada pleno terakhir yang biasanya panas.

Agenda pleno I tentang Tata Tertib berlangsung dinamis, namun tetap santun dan santuy. Tidak ada gontok-gontokan karena tarik ulur kepentingan yang biasanya kentara kalo di forum mahasiswa, hehe. Artinya forum berjalan cukup konstruktif dan tentu saja, cepat. Hahaha.

Yang cukup saya sayangkan adalah di pleno komisi. Poin yang cukup saya kritisi adalah ruangan pleno komisi yang tidak representatif untuk sidang komisi. Sidang dilakukan di aula yang besar dan bersebelahan dengan sidang komisi lain. Tentu suara dari para peserta menggema dan bersahutan tidak jelas. Akibatnya, forum menjadi tidak kondusif dan tidak dinamis. Hasilnya saat dilaporkan, tak banyak perubahan dari rancangan draft yang telah dibuat. Hanya dilaporkan bahwa draft yang dibuat sudah cukup bagus, dan tinggal bagaimana pemimpin NU kedepan bisa benar-benar merealisasikannya. Ini cukup disayangkan karena saya kira, salah satu agenda penting dari konfercab ada disini. Kita bertukar pikiran, gagasan hingga strategi bagaimana untuk menjalankan NU ke depan sesuai dengan tantangan zaman. Memang draft yang ada sudah bagus, tapi jika kita lebih niat lagi untuk membahas, itu bisa lebih maksimal. Saya cukup paham juga sih, kadangkala kita sudah maksimal menggagas ide yang dituangkan di pleno komisi, pada akhirnya, hasil-hasil sidang itu berakhir dalam tumpukan draft yang tidak pernah dibuka lagi, atau bahkan dikilokan hingga menjadi bungkus nasi uduk. Soft file nya hanya ada di laptop operator saat sidang, atau bahkan hilang. Tak ada mekanisme bagaimana mempublikasi draft hasil konfercab tersebut.

Selanjutnya dalam LPJ, pleno nya terkesan buru-buru, komentar dari peserta sidang dibatasi dan sudah diatur untuk orang-orang yang akan mengomentari hasil LPJ. Dan semuanya berakhir mengafirmasi dan mengapresiasi saja. Ada yang mengkritisi, hanya mengkritisi terkait draft LPJ yang disebar soft file nya saja tanpa versi cetak. Bagi saya itu tak substansial. Seharusnya forum LPJ bisa lebih banyak mengkritisi kinerja kepengurusan, dan dalam jawaban ketua PCNU demisioner, ia pun berharap kritik demikian.

Di sidang pleno IV yang merupakan bagian terpanas, justru terlihat sangat elegan. Mekanisme pemilihan di NU memang memilih 2 pimpinan, rois syuriyah dan ketua tanfidziyah. Pemilihan rois dilangsungkan melalui mekanisme sidang ahlul halli wal aqdi, semacam sidang 5 ulama sepuh yang dipilih dari suara yang diusulkan MWC-MWC, yang akan bermusyawarah menentukan siapa yang layak menjadi rois syuriyah. Hasilnya terpilih 5 kyai sepuh yaitu KH. Anwar Sulaeman, KH. Harun Bajuri, KH. Aliyudin, K. Yusuf Karim, dan KH. Abdurrosyid, dimana melahirkan keputusan yang memilih KH. Anwar Sulaeman sebagai Rois syuriyah terpilih PCNU Kabupaten Majalengka masa khidmat 2023-2028. Pemilihan dengan mekanisme ahwa ini saya sangat menyukainya dibanding mekanisme voting seperti pada pemilihan ketua tanfidziyah, dengan beberapa alasan pribadi, hehe.

Sampailah kepada agenda terakhir dalam pleno terakhir, yakni pemilihan ketua tanfidziyah, dengan 1 hak suara dari masing-masing MWC. Mekanisme nya dengan penjaringan bakal calon, kemudian yang memiliki 30% suara akan lanjut ke putaran kedua. Syahdan, dalam pemungutan suara pertama, KH. Muhammad Umar Sobur mendapatkan 19 suara mengungguli KH. Dedi Mulyadi (incumbent) yang mendapatkan 5 suara dari 25 suara, 1 suara tidak sah. Dengan hasil tersebut secara otomatis Kyai Umar terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Majalengka karena Kyai Umar mendapatkan lebih dari 50%+1 suara dan suara Kyai Dedi tidak mencapai 30% suara.

Sesaat setelah penghitungan suara berakhir, Kyai Dedi menghampiri langsung Kyai umar, mengucapkan selamat dan berpelukan. Sebuah sikap keteladanan yang harus kita tiru sebagai generasi muda. Selanjutnya, berkumpul pula disitu kader-kader PMII Majalengka berfoto. Dibrowsing-browsing, lha ternyata Kyai Umar ini Ketua Mabincab PC PMII Kab. Majalengka. Ealaaaaah. Saya baru tau. Pantes pengkondisian suaranya mantap, wkwkwkwk. Overall, selamat mengemban amanah untuk KH. Anwar Sulaeman dan K. Muhammad Umar Sobur sebagai nahkoda baru PCNU Kabupaten Majalengka 5 tahun kedepan. Doa terbaik untuk panjenengan berdua. Semoga NU di Majalengka semakin maju. Ami ya robbal alamin. Dan, terimakasih untuk kesempatan yang diberikan kepada newbie seperti saya untuk mengikuti dengan seksama agenda Konfercab ini, sok sokan ngasih catatan pula. Songong.

Perspektif Baru Kang Iip

Perspektif Baru Kang Iip

Hari ini adalah hari dimana seharusnya saya menghadiri pengajian alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning, Tasikmalaya atau yang dikenal dengan sebutan PESANHIKMAH zona Ciayumajakuning & Jateng. Dorongan kuat untuk hadir sebetulnya sangat tinggi, terlebih yang akan hadir adalah salah satu dewan kyai yang paling saya idolakan sejak masih di pondok dahulu, beliau adalah KH. Iip Miftahul Faoz, atau yang akrab disapa Kang Iip.

Namun, terkait dengan realitas kehidupan dan sekelumitnya, saya harus mengerem hasrat untuk menghadiri agenda tersebut. Ya Allah, ingin sekali rasanya hadir bertemu Guru yang selalu menggetarkan hati dengan motivasinya selepas shubuh, tapi tangan tak sampai, semoga dilain waktu silaturahmi bisa tetap bisa saya haturkan kepada beliau.

Sebagai obat kesedihan karena tidak bisa hadir di acara tersebut, mungkin akan sedikit akan saya luapkan melalui tulisan ini, satu dua hal dari sekian banyak pengalaman yang saya dapatkan saat belajar kepada beliau. Saya masih ingat betul cara bicaranya, cara beliau memegang kitabnya, memaknai dan menjelaskan dengan gamblang hadits demi hadits dalam kitab mukhtarul ahadits, sembari mengkorelasikannya dengan konteks global. Sekali-kali beliau lontarkan ide-ide bagaimana harusnya santri hidup dan berkontribusi di masa depan nanti.

Hal yang paling saya ingat betul adalah beliau beberapa kali pernah kurang lebihngendika begini, “Santri teh ulah caricing disisi wae, ulah nyararisi wae. Ayeuna mah kudu wani katarengah, asup ka perkotaan, asup ka pamarentahan, asup ka perusahaan. Da kaluar tidieu maraneh teh moal jadi kyai kabeh, aya nu bakal jadi PNS, supir, karyawan, menteri, presiden saha nu apal. Matak tingkatkan kapasitas diri ulah ngan saukur nalar jurumiyah imrithi alfiyah, nu kitu mah geus loba. Tapi santri nu nalar wawasan kontemporer, nalar hukum, nalar sains, nalar ekonomi, can aya, can loba. Matak sok sing rarajin diajarna, cita-cita sing luhur, udag sebisa mungkin, tantangan kahareup geus leuwih beurat.”.

Bagi saya, kata-kata itu terasa seperti suatu pelecut semangat untuk kembali berpikir. Apa benar begini, apa benar begitu, berkontemplasi dan berefleksi. Dan disitulah titik balik dimana saya sedikit memutarkan kemudi, “Oke, setelah ini, saya harus berkuliah pada bidang Sains, bidang yang bisa dibilang belum banyak digandrungi dan disukai oleh para santri dan orang-orang NU pada umumnya.”. Setidaknya itulah motivasi saya hingga bisa lulus S2 Kimia saat ini. Tentunya kedepan saya masih punya harapan untuk lanjut lagi S3 dan seterusnya. Mohon doanya.

Sebetulnya, saat ini santri dengan gelar pendidikan umum sudah mulai banyak bermunculan. Dari periode 2000 an sampai sekarang ini, jumlah santri yang menimba multidisplin keilmuan semakin banyak, sehingga harapan positif ke depan, bahwa diaspora santri diberbagai sektor kehidupan bisa benar-benar mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita, menebarkan benih-benih positif, membela agama dan mencintai negara.

Dalam pandangan saya, pemangku kepentingan lebih baiknya dipegang oleh seorang santri. Karena santri ini digembleng dan diajarkan moralitas setiap hari oleh guru-gurunya di pesantren. Boleh dibilang, praktik pendidikan di pesantren lah yang benar-benar mengimplementasikan transfer of knowledges and transfer of values. Sehingga mudah-mudahan, saat pengambilan kebijakan, ia tidak berpaling akibat tarikan duniawi, dan mengambil suatu putusan yang didasarkan pada kaidah yang mereka pelajari, yaitu “tasharruful imam ala roiyyah manutun bil maslahah.”. Namun syaratnya, santri yang ingin menggenggam amanah itu haruslah MASAGI, atau dalam bahasa kerennya, intelektual yang ulama, ulama yang intelek. Jangan sampai ia hafal dan faham kitab-kitab klasikal, namun gagap dalam memimpin.

Untuk membentuk SDM yang “MASAGI” itu, paling tidak para santri harus diberi Perspektif baru, seperti perspektif baru yang diungkapkan Kang Iip di kelas saya dan teman-teman dulu, yang membuka cakrawala berpikir saya, untuk mau mengambil pilihan-pilihan tidak populer dari para santri. Karena bagaimanapun, hal yang paling mempengaruhi seseorang untuk sukses, untuk kaya, untuk berhasil, untuk bermanfaat, adalah berangkat dari mindset, atau perspektif yang dia ambil dalam melihat kehidupan.

Terimakasih Kang Iip, terimakasih semua guruku, laula al murabbi, ma araftu robbi.

Mengemban Amanah yang Berat

Mengemban Amanah yang Berat

Menjadi pimpinan dalam suatu organisasi adalah hal yang lebih sering saya hindari. Meski sebetulnya ambisi itu terkadang ada, tapi konsekuensinya lah yang seringkali lebih saya pikirkan. Tanggungjawab moral dan menjadi pengambil keputusan final adalah hal yang cukup berat bagi saya, sehingga saya lebih nyaman menjadi orang nomor 2 atau nomor 3, atau bahkan anggota yang biasa saja.

Maka, jika dilihat dari track record berorganisasi sejak di sekolah, saya mengambil peran yang tidak terlalu menjadi pusat perhatian, atau paling tidak bukan yang paling disorot membawa organisasi tersebut. Satu-satunya jabatan ketua yang pernah saya emban adalah saat menjadi ketua himpunan mahasiswa prodi kimia saat S1 dulu. Itupun saya putuskan berdasarkan desakan keadaan yang mengharuskan saya mengambil keputusan itu. Setelah itu, hanya peran yang biasa-biasa saja.

Saya sadar betul, saya adalah orang yang cukup sulit bergaul dengan orang baru, atau dalam bahasa populer saat ini, saya adalah orang yang introvert. Lebih suka menghabiskan waktu sendiri, tidak terlalu menyukai keramaian, dan tidak hobi nongkrong, apalagi pembahasannya gak penting-penting amat. Meski begitu, seringkali sikap yang menurut saya cukup asosial itu seringkali saya lawan, agar saya punya teman, karena terkadang, tak punya teman sama sekali juga membosankan.

Sejak kembali dari studi S1 di Malang, dalam beberapa kesempatan saya mencoba untuk mencari ruang aktualisasi berorganisasi di kampung halaman. Karena saya berasal dari lingkungan dengan kultur NU, maka saat ada informasi tentang PKD GP Ansor, saya ikuti. Kemudian, PKPNU juga saya ikuti, nebeng dengan saudara. PKPNU ini mengantarkan saya mengenal aktivis-aktivis NU di kampung halaman saya, dan selepas Konferensi MWCNU, saya didapuk menjadi sekretaris MWCNU . Jika dianalogikan dengan game Mobile Legends, saya adalah pemain dengan rank MASTER yang diajak mabar dengan pemain rank MYTHIC. Tapi dalam istilah NU, sam’an wathoatan harus dikedepankan, apa boleh buat, saya menerima dan menjalaninya meski berat.

Kemudian karena saya ini tergolong usia milenial, tentu saya juga menjalin pertemanan dengan aktivis NU dari kalangan milenial juga, dimana jika dirunut secara keorganisasian di NU, mereka masih dalam rentang usia yang harusnya aktif di GP Ansor. Sehingga saya pun bisa dianggap ikut aktif di GP Ansor menjadi anggota biasa.

Hingga hari itu tiba, dimana tanpa saya duga, dengan suasana forum yang sangat menyebalkan itu, konferancab GP Ansor Kec. Rajagaluh menetapkan saya sebagai Ketua PAC GP Ansor Kec. Rajagaluh. Jabatan yang paling saya hindari itu pada akhirnya hinggap di pundak saya. Ini tak diduga, karena seharusnya saya aman dari pencalonan, apalagi dari keterpilihan. Karena saya sudah menjadi pengurus harian di MWCNU, pikir saya tak mungkin ada yang mencalonkan saya dalam kontestasi itu. Dengan demikian, peran sebagai pengurus harian di dua organisasi menabrak aturan rangkap jabatan. Hasil konsultasi menghasilkan mundurnya saya dari sekretaris MWCNU, konon, saya lebih dibutuhkan di Ansor. Habislah sudah.

Dengan berat hati, mau tidak mau saya terima keputusan forum itu. Ya, seperti yang sudah dijelaskan diawal tulisan, bagi saya menjadi ketua itu adalah amanah yang berat, apalagi memimpin organisasi kepemudaan Islam di level kecamatan, saya merasa tidak pantas. Saya seringkali terngiang-ngiang bahasa para senior saat masih aktif di PMII dulu, menjadi aktivis itu sejatinya harus sudah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga ia bisa totalitas berproses dalam organisasi tersebut. Dan masalahnya, saya bukan orang yang sudah selesai dengan diri saya sendiri, masih sangat jauh.

Itu masih hanya soal aspek kepatutan internal pribadi, belum dilihat dari aspek eksternal yang lebih kompleks, banyak PR yang harus diselesaikan. Pada akhirnya, saya meminta doa dari pembaca sekalian, semoga saya bisa menjadi pimpinan yang mampu mengemban amanah yang berat ini, mampu menyelesaikan tanggungjawab keorganisasian yang tidak mudah, melakukan apa yang bisa dilakukan, dan mengambil pengalaman maksimal dari peran menjadi supir organisasi yang baik ini, amin ya robbal alamin.

Wallahu a’lam

Catatan Harlah PMII ke 62

Catatan Harlah PMII ke 62

Setiap kali ada momentum harlah PMII, yang saya ingat adalah romantika perjalanan saya menjadi aktivis PMII saat berkuliah S1 dulu, ya, saat berkuliah dulu, saya bergabung di PMII. Yang paling saya ingat ya jelas sahabat-sahabat saya saat itu, beserta kenangan-kenangan manis dan pahit saat berorganisasi dan berproses, asek. Yah, semoga mereka, sahabat-sahabat seperjuangan saya dulu itu diberi kesehatan, kebahagian dan diberi kekuatan untuk meraih impiannya masing-masing, amin.

Beberapa tahun yang lalu, saya juga pernah menulis catatan harlah PMII. Catatan itu ditulis untuk mengikuti sebuah sayembara menulis untuk semacam buku antologi “Kado Ultah PMII”. Kebetulan juga saat pengumuman, tulisan saya termasuk dari 20 tulisan yang terpilih. Sayangnya, hingga saat ini pencetakan buku antologi itu urung dilakukan, atau mungkin gak jadi dicetak. Anda bisa baca dengan klik disini. Tulisannya hanya seputar cerita bagaimana saya mulai masuk ke PMII dan bla bla bla. Jadi bisa anda lewatkan tulisan “lebay” itu.

Sebuah organisasi dimanapun itu berada, apalagi yang berasaskan ideologi tertentu akan menawarkan suatu nilai yang diperjuangkan. Nilai ini yang kemudian diharapkan dapat diterjemahkan kedalam konsep gerakan dan praksisnya. Disinilah para intelektual di organisasi berjibaku menyusun konsep, role model dan atau grand-design. Merumuskan konsepsi atau turunan praktis dari suatu nilai memang cukup pelik. Persisnya adalah ketika dihadapkan pada realitas yang rumit.

Menghadapkan keilmuan dan realitas memang seringkali timpang disatu sisi. Meskipun pada dasarnya, keilmuan lahir dari kajian atas realitas. Hanya saja, variabel yang tak terhingga pada realitas memaksa keilmuan membatasi ruang lingkupnya agar “lebih cepat” dalam menciptakan konsep/aturan.

Begitulah yang menurut saya pun terjadi pada PMII.  Nilai-nilai luhur dan cita-cita perjuangan yang diusung jelas 100% adalah nilai kebaikan. Namun pengejawantahan dari nilai ke PMII an dan hubungannya terhadap realitas seringkali tidak bisa memuaskan banyak pihak. Selain memang realitas ini barang sulit, tidak sedikit juga bagian dari PMII (mis: alumni) lupa terhadap konsepsi dari nilai-nilai keorganisasian. Atau mungkin juga terdistraksi dengan persoalan lain yang lebih rumit.

Tulisan reflektif sahabat saya di link ini adalah salah satu nya. Ia mempertanyakan posisi atau bahkan keputusan strategis PMII sebagai organisasi dalam menyikapi persoalan-persoalan bangsa ini. Misalnya ketimpangan sosial, ketidakadilan hukum, pelanggaran HAM, represivitas aparat, dll. Dimana posisi PMII dalam menyikapi masalah tersebut? Apakah pro? Kontra? Mendukung? Menentang? Dan jika sikap sudah dipilih dan ditunjukkan, lalu apa yang akan dilakukan PMII sebagai sebuah organisasi pergerakan?

Lebih lanjut, sahabat saya ini menyampaikan kritik atas peran mereka yang ia sebut intelektualis PMII. Ia menyampaikan bahwa mereka itu inkonsisten, eksklusif dan tidak substantif. Sehingga dalam kerja-kerja organisasi, dan dalam menghasilkan putusan-putusan organisasi tidak pernah benar-benar strategis. Padahal jika dilihat dari aspek nilai yang diperjuangkan, PMII adalah sebuah wadah yang mengusung nilai paripurna, minimal ini anggapan saya, hehe.

Agaknya, memang begitulah kebanyakan organisasi saat ini. Dengan harapan kolektivitasnya, alih alih menghasilkan putusan atau gerakan yang dapat menjawab tantangan zaman, ia malah terjebak stagnansi akibat dari ketidakmampuan mereka untuk bertindak kolektif. Penyebabnya macam-macam, yang paling kentara bisa saja karena sulitnya membaca dan menganalisis realitas sosial yang harus dihadapi. Atau lebih parahnya, boro-boro membaca, ia terdisktraksi dengan konflik internalnya sendiri dan berputar disitu situ saja.

Apakah kemudian organisasi semacam PMII ini kemudian tidak lagi relevan dengan zaman? Atau tidak lagi mampu menjawab problematika sosial yang dihadapinya? Saya tidak tahu jawaban anda, tapi bagi saya, dengan berbagai syarat-syarat yang harus dipenuhi, PMII atau organisasi sejenisnya masih relevan. Secara nilai, PMII sudah paripurna dan non-debatable, namun subjek dari organisasi itu sendiri yang harus terus berbenah. “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.”, perkataan Pram ini menurut saya dapat menjadi pijakan ideal untuk mulai proses berbenah.

Nilai-nilai yang diusung PMII akan terasa tidak ada harganya saat tidak memiliki turunan konsep atau tawaran yang jelas dalam implementasinya. Apa transformasi gerakan yang diusung PMII? Konsep apa yang ditawarkan PMII untuk bangsa ini? Sebagai kader atau alumni misalnya, sulit menjawab pertanyaan ini. Karena dalam tataran konsep dan praksis tak semudah seperti kita menjelaskan nilai-nilai luhur itu, terlebih dengan realitas sosial yang rumit, siapa kawan, siapa lawan, siapa benar, siapa salah, siapa yang objektif, siapa yang subjektif, dan saat terdapat isu-isu tertentu, PMII punya sikap yang ajeg dan teteg dimana ia berdiri dalam isu tersebut.

Mungkin saya harus cukupkan tulisan ambigu saya yang bukan siapa-siapa ini. Intinya, di harlah PMII ke 62 ini, semoga PMII terus dewasa, menjadi organisasi yang matang secara konsep gerakan, sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan PMII bukan hanya sebatas bahan pidato atau orasi agar mulut kita berbusa, tetapi memiliki sederet konsep ciamik untuk memperjuangkannya terhadap realitas sosial yang mudah berubah seperti saat ini.

Dirgahayu Pergerakanku! Selamat Harlah PMII ke 62, Long Live Movement !!!