Menyelenggarakan Kaderisasi Ansor

Menyelenggarakan Kaderisasi Ansor

Kaderisasi adalah hal yang wajib dilakukan oleh sebuah organisasi. Tentu saja untuk pengembangan SDM dan regenerasi organisasi. Kader (Cadre) berasal dari bahasa Yunani berarti Bingkai. Artinya perkumpulan orang yang dibingkai untuk dibina demi tujuan tertentu.

Maka, demi mencapai apa yang dituju oleh GP Ansor, GP Ansor punya mekanisme kaderisasi bagi anggota yang dapat diikuti, dari mulai PKD (Pelatihan Kepemimpinan Dasar), PKL (Lanjut), hingga PKN (Nasional) bahkan LI (Latihan Instruktur). Dan, alhamdulillah, PAC GP Ansor Rajagaluh yang saya pimpin telah berhasil menyelenggarakan PKD yang diikuti total 70 peserta pada tanggal 31 agustus-1 september lalu di PP. Mansyaut thullab, Rajagaluhlor asuhan KH. Jazaul Ihsan.

Saat mahasiswa, saya diberi pemahaman bahwa jenis kaderisasi ada 3, yaitu formal, informal dan non formal. Formal seperti agenda PKD, PKL, dan sejenisnya, informal seperti pelatihan softskill, dan non-formal macam ngopi-ngopi dan ngaliwet. Artinya, PKD Ansor ini bukan hal aneh. Sudah kewajiban yang harus dilakukan, dan merupakan agenda rutinan.

Meski sudah rutinan, konsolidasi organisasi menjadi kunci untuk penyelenggaraan PKD. Karena tanpa ada tim atau kepanitiaan yang kompak, agenda kaderisasi tak akan bisa berjalan dengan baik. Hal yang paling penting adalah terkait dengan rekrutmen peserta dan strateginya. Ini sangatlah rumit, karena untuk mengajak orang untuk bergabung di organisasi bukan hal mudah, apalagi organisasi macam Ansor ini bersifat non-profit.

3 bulan kita lakukan serangkaian strategi untuk bagaimana dapat merekrut calon-calon kader yang diharapkan dapat membersamai bahkan melanjutkan estafet organisasi. Alhamdulillah, serangkaian strategi rekrutmen yang kami laksanakan membuahkan hasil 71 kader baru GP Ansor, dimana 80% diantaranya adalah putra daerah asli Rajagaluh, yang tentunya ke depan akan mewarnai pergerakan GP Ansor di wilayah Kecamatan Rajagaluh.

Tugas yang sebenarnya baru saja akan dimulai. Pengalaman berbicara, fase pasca pelatihan adalah fase krusial dimana kader baru itu akan tetap aktif atau menghilang. Mengapa demikian? Fakta di beberapa organisasi menunjukkan bahwa justru setelah pelatihan, banyak kader yang awalnya semangat, kemudian menghilang. Padahal seharusnya, setelah diberikan materi ideologisasi dan pengembangan diri, kader bisa lebih ideologis dan skillfull. Seharusnya. Tapi fakta ternyata berkata lain. Ini sebetulnya perlu dilakukan studi terkait mengapa itu bisa terjadi, yang menyebabkan rasa-rasanya kok agenda kaderisasi yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, pikiran, bahkan cuan yang tidak sedikit tidak berefek signifikan terhadap militansi kader.

Terkait studi, itu soal lain. Tapi yang perlu kita lakukan adalah bagaimana kita memastikan gejala ini tak berulang di GP Ansor Rajagaluh. Maka kita akan siapkan pendampingan-pendampingan di fase pasca kaderisasi, melalui kaderisasi informal macam penambahan pengetahuan dan soft skill, atau kaderisasi non-formal macam ngopi-ngopi dan ngaliwet. Karena untuk kebutuhan saat ini, meski organisasi macam Ansor dan NU ini kita yakini penuh dengan barokah, itu saja tidak cukup. Kita perlu siapkan Ansor menjadi ruangan yang nyaman untuk pengembangan diri, media yang tepat untuk membangun jejaring, tempat yang indah untuk menjalin persaudaraan dalam perjuangan.

Maka saya sepakat dengan agenda ketum Addin Jauharudin dengan platform ASTA BISA, Bisnis, Inovasi Teknologi Media, SDM dan Anak Muda, itu harus diwujudkan dan direalisasikan hingga akar rumput. Terlebih, terdapat planning program bernama ANSOR UNIVERSITY dibawah komando Sahabat Dwi Winarno, saya cukup optimis meski ada pesimis-pesimisnya, hahaha. PR masih banyak, seperti pembentukan ranting dan rekrutmen anggota Banser. Mohon doa, semoga Sahabat Ansor di Rajagaluh dapat tetap kompak dan berkembang menuju Ansor Masa Depan BISA!

Mengemban Amanah yang Berat

Mengemban Amanah yang Berat

Menjadi pimpinan dalam suatu organisasi adalah hal yang lebih sering saya hindari. Meski sebetulnya ambisi itu terkadang ada, tapi konsekuensinya lah yang seringkali lebih saya pikirkan. Tanggungjawab moral dan menjadi pengambil keputusan final adalah hal yang cukup berat bagi saya, sehingga saya lebih nyaman menjadi orang nomor 2 atau nomor 3, atau bahkan anggota yang biasa saja.

Maka, jika dilihat dari track record berorganisasi sejak di sekolah, saya mengambil peran yang tidak terlalu menjadi pusat perhatian, atau paling tidak bukan yang paling disorot membawa organisasi tersebut. Satu-satunya jabatan ketua yang pernah saya emban adalah saat menjadi ketua himpunan mahasiswa prodi kimia saat S1 dulu. Itupun saya putuskan berdasarkan desakan keadaan yang mengharuskan saya mengambil keputusan itu. Setelah itu, hanya peran yang biasa-biasa saja.

Saya sadar betul, saya adalah orang yang cukup sulit bergaul dengan orang baru, atau dalam bahasa populer saat ini, saya adalah orang yang introvert. Lebih suka menghabiskan waktu sendiri, tidak terlalu menyukai keramaian, dan tidak hobi nongkrong, apalagi pembahasannya gak penting-penting amat. Meski begitu, seringkali sikap yang menurut saya cukup asosial itu seringkali saya lawan, agar saya punya teman, karena terkadang, tak punya teman sama sekali juga membosankan.

Sejak kembali dari studi S1 di Malang, dalam beberapa kesempatan saya mencoba untuk mencari ruang aktualisasi berorganisasi di kampung halaman. Karena saya berasal dari lingkungan dengan kultur NU, maka saat ada informasi tentang PKD GP Ansor, saya ikuti. Kemudian, PKPNU juga saya ikuti, nebeng dengan saudara. PKPNU ini mengantarkan saya mengenal aktivis-aktivis NU di kampung halaman saya, dan selepas Konferensi MWCNU, saya didapuk menjadi sekretaris MWCNU . Jika dianalogikan dengan game Mobile Legends, saya adalah pemain dengan rank MASTER yang diajak mabar dengan pemain rank MYTHIC. Tapi dalam istilah NU, sam’an wathoatan harus dikedepankan, apa boleh buat, saya menerima dan menjalaninya meski berat.

Kemudian karena saya ini tergolong usia milenial, tentu saya juga menjalin pertemanan dengan aktivis NU dari kalangan milenial juga, dimana jika dirunut secara keorganisasian di NU, mereka masih dalam rentang usia yang harusnya aktif di GP Ansor. Sehingga saya pun bisa dianggap ikut aktif di GP Ansor menjadi anggota biasa.

Hingga hari itu tiba, dimana tanpa saya duga, dengan suasana forum yang sangat menyebalkan itu, konferancab GP Ansor Kec. Rajagaluh menetapkan saya sebagai Ketua PAC GP Ansor Kec. Rajagaluh. Jabatan yang paling saya hindari itu pada akhirnya hinggap di pundak saya. Ini tak diduga, karena seharusnya saya aman dari pencalonan, apalagi dari keterpilihan. Karena saya sudah menjadi pengurus harian di MWCNU, pikir saya tak mungkin ada yang mencalonkan saya dalam kontestasi itu. Dengan demikian, peran sebagai pengurus harian di dua organisasi menabrak aturan rangkap jabatan. Hasil konsultasi menghasilkan mundurnya saya dari sekretaris MWCNU, konon, saya lebih dibutuhkan di Ansor. Habislah sudah.

Dengan berat hati, mau tidak mau saya terima keputusan forum itu. Ya, seperti yang sudah dijelaskan diawal tulisan, bagi saya menjadi ketua itu adalah amanah yang berat, apalagi memimpin organisasi kepemudaan Islam di level kecamatan, saya merasa tidak pantas. Saya seringkali terngiang-ngiang bahasa para senior saat masih aktif di PMII dulu, menjadi aktivis itu sejatinya harus sudah selesai dengan dirinya sendiri, sehingga ia bisa totalitas berproses dalam organisasi tersebut. Dan masalahnya, saya bukan orang yang sudah selesai dengan diri saya sendiri, masih sangat jauh.

Itu masih hanya soal aspek kepatutan internal pribadi, belum dilihat dari aspek eksternal yang lebih kompleks, banyak PR yang harus diselesaikan. Pada akhirnya, saya meminta doa dari pembaca sekalian, semoga saya bisa menjadi pimpinan yang mampu mengemban amanah yang berat ini, mampu menyelesaikan tanggungjawab keorganisasian yang tidak mudah, melakukan apa yang bisa dilakukan, dan mengambil pengalaman maksimal dari peran menjadi supir organisasi yang baik ini, amin ya robbal alamin.

Wallahu a’lam