Suatu ketika, saya mendengar ceramah ibu-ibu yang sedang membahas suatu hadits.
كن عالما أو متعلما أو مستمعا أو محبا ولاتكن خامسا فتهلك.
Artinya, jadilah orang yang berilmu (kyai, ilmuwan, seorang expert), atau menjadi pembelajar, atau menjadi pemerhati/analis, atau menjadi pencinta, tapi janganlah menjadi nomor 5 yang pasti celaka.
Penceramah menjelaskan maksud hadits ini kepada jamaahnya, “Ibu-ibu jamaah, kita itu diperintahkan untuk jadi orang alim. Kalo tidak bisa jadi orang alim (misal karena kesibukan rumah tangga), paling tidak jadilah orang yang mau belajar. Kalo masih tidak sempat, paling tidak jadilah orang yang mau memperhatikan. Pas ikut pengajian, jangan ngobrol sendiri-sendiri, dengarkan apa yang disampaikan dalam pengajian. Atau misal, dengan berbagai kesibukan, tidak bisa ikut pengajian, ya paling tidak didalam hatinya tertanam rasa cinta terhadap ilmu dan ahli ilmu. Jangan sampai jadi yang ke 5, karena Allah menyatakan bahwa yang nomor 5 adalah orang celaka.”.
Begitulah penggalan ceramah seorang pendakwah. Tentu saja itu adalah hal yang baik dan positif. Cukup relevan untuk disampaikan kepada jamaah ibu-ibu, meski terkesan permisif. Dan saya juga kurang tau persih, begitukah makna sebenarnya dari hadits tersebut. Setidaknya, tafsir ini mengakomodir suatu kaidah ma la yudroku kulluh, la yutroku kulluh. Sederhananya, kalau gak bisa kita capai yang paling ideal, ya jangan lantas akhirnya kamu tinggalkan seluruhnya. Kaidah yang cukup permisif di kalangan santri, tapi dalam satu kondisi, memang kita harus permisif dalam konteks tertentu saat kita tak bisa menancapkan idealisme kita sepenuhnya, hehe.
Saya punya point of view (POV) yang cukup berbeda dalam memaknai hadits ini, setidaknya jika ini disampaikan pada seseorang yang berstatus pelajar, atau bahkan bisa juga untuk kita semua secara universal. Karena, kita pun, selama masih punya semangat belajar, dalam bahasa kerennya adalah “Long-Life Learner”, patut rasanya untuk mempertimbangkan salah satu POV ini.
Bagi saya, alih alih memaknainya top-to-down, saya lebih suka memaknainya down-to-top. Maksudnya begini, anggaplah kita sebagai santri/siswa/mahasiswa ini berada pada kondisi level 5, yaitu calon orang celaka, si “halik”. Agar tak menjadi “halik”, kita harus berupaya naik ke level 4 menjadi orang yang mencintai ilmu, alias “muhibban.”. Misal kita adalah mahasiswa kimia, dan kita belum mencintai ilmu kimia, maka akan sulit bagi kita mempelajari ilmu kimia dengan baik dan menyenangkan. Apapun yang disampaikan dosen, secara tidak langsung akan tertolak.
Maka dari itu, agar kita lebih semangat belajar kimia, kita harus berupaya naik ke level 4, menjadi muhibban. Kita harus mencintai dulu ilmunya. Cara gimana? Kita harus berupaya mencari argumentasi, rasionalisasi dan alasan untuk mencintai suatu ilmu. Karena jikalau kita sudah cinta, maka apapun yang berkaitan dengan sesuatu yang kita cinta, atensi kita akan naik. Seperti halnya orang yang cinta terhadap pujaan hati, sekecil apapun tingkahnya akan menjadi atensi penuh kita. You know lah “the power of love”, wkwkwk. Apakah cinta bisa diargumentasikan? Saya adalah bagian dari orang yang percaya, bahwa dalam satu titik, cinta memerlukan logika, cinta butuh rasionalisasi, tak sepenuhnya 100% bergantung kepada naluri manusia saja.
Saat kita sudah mencapai level 4, menuju level berikutnya akan sangat mudah, yakali jadi stuck jadi muhibbin. Mencapai level 3 sebagai orang yang memperhatikan “kemungkinan besar” akan menjadi konsekuensi dari sikap mencintai. Apapun yang berkaitan dengan sesuatu yang kita cinta, perhatian kita akan lebih banyak kepada objek tersebut. Artinya jika kita sudah mencintai ilmu kimia, hal apapun yang berbau kimia disampaikan, kita tak rela untuk tidak memperhatikannya. Level 3 adalah “mustamian” alias orang yang memperhatikan & penuh atensi.
Orang yang penuh atensi, memperhatikan semua hal, menganalisis segalanya, otaknya akan dipenuhi berbagai macam pertanyaan, benaknya dipenuhi rasa penasaran, berbagai hal yang memerlukan jawaban, sehingga kita akan terpancing sendiri untuk mencapai level 2. Akhirnya, kita akan mempelajari bagian-bagian dalam ilmu tersebut. Kita masuk ke level 2, sang mutaallim, orang yang mencari ilmu.
Ketika kita konsisten dalam pencarian, kita kontinyu dalam mempelajari hal yang kita cintai dan menghabiskan atensi kita, lambat laun pengetahuan kita terhadap hal atau ilmu tersebut akan meningkat. Dan dalam satu kondisi, akan ada anggapan bahwa kita adalah seorang ahli, seorang yang punya kapasitas keilmuan dalam bidang tersebut, yang secara tidak langsung kita masuk ke level tertinggi, yaitu “aliman”, seorang yang alim, seorang yang berpengahuan luas, kyai, ilmuwan, ahli, dsj.
Pemaknaan down-to-top ini saya kira lebih relevan untuk disampaikan kepada pelajar ataupun santri agar bisa memahami titik tolak penting dalam meningkatkan semangat belajar. Ibarat energi aktivasi dalam reaksi kimia multitahap, memang, tahap dari level 5 ke level 4 adalah bagian yang cukup sulit, tetapi jika sudah mampu melewati tahap pertama itu, energi aktivasi untuk tahap reaksi selanjutnya tak sesulit tahap pertama.
Dalam tradisi keislaman di Indonesia, kata barokah sangatlah tidak asing di telinga. Seringkali itu diucapkan sebagai bagian dari doa-doa kebaikan untuk kita sendiri maupun orang lain. Bahkan, tak terhitung berapa toko-toko, warung-warung, perusahaan-perusahaan, dari berbagai segmen, berbagai level, menggunakan kata “barokah”, atau “berkah” sebagai identitasnya. Jika ada orang atau instansi yang mau melakukan sensus penduduk Indonesia yang menggunakan kata barokah untuk nama bisnisnya, saya jamin angkanya akan lebih dari 1 juta.
Tak terhitung pula berapa redaksi doa-doa sehari-hari yang dilantunkan mengandung kata barokah, bahkan doa mau makan pun ada kata barokahnya, doa minta rezeki, doa menyambut bulan ramadhan, doa saat khutbah Jumat, hingga doa untuk pernikahan. Semuanya berkah. Apalagi di kalangan santri, meminum kopi atau teh bekas kyai, mencium tangan kyai, orang tua guru, maupun ustad, dan mungkin akhir-akhir ini, berfoto dengan kyai dan tokoh besar, biasanya kita dimotivasi karena ingin mendapatkan barokahnya.
Namun, apa arti sesungguhnya dari kata barokah? Apakah sesuatu yang bersifat klenik? Dorongan spiritual? Hal Gaib? Aura positif? Atau mungkin laduni? Seperti yang seringkali disampaikan oleh para pendakwah, ketika kita sering berkumpul dengan orang-orang sholeh, orang-orang yang berilmu, maka nantinya kita akan mendapatkan barokahnya. Ketika kita mencium tangan kyai, lalu bibir kita akan fasih dalam berbicara dan presentasi? Atay ketika kita tempelkan kening kita pada tangan guru kita, maka pikiran kita menjadi terbuka menerima ilmu?
Ya, semua itu tak perlu dipertentangkan dengan rasionalitas. Kebanyakan dari keyakinan-keyakinan itu ada dalilnya, ada riwayatnya. Namun, jika kita ingin lebih mengenal kata “barokah” dengan lebih progresif dan “rasional”, maka tradisi intelektual islam juga telah memiliki penjelasannya. Siapa tau anda-anda yang membaca tulisan ini berprofil lebih rational oriented yang “kurang” percaya dengan penafsiran klenik dari kata barokah.
Imam Ghazali menafsirkan “Barokah” sebagai “زيادة الخير” yang berarti bertambahnya kebaikan. Adapula ulama lain yang menyebutkan bahwa البركة هي الزيادة والنماء في الخير yang berarti “Bertambah dan bertumbuhnya kebaikan”. Dari kedua definisi ini, saya kira cukup clear bahwa barokah harus punya implikasi atau dampak, yakni kebaikan yang bertambah, dan kebaikan yang terus bertumbuh dan seterusnya. Maka, semisal beberapa waktu lalu kita baru bertemu seorang ulama, mengharap berkahnya, kita cium tangannya, berfoto dengannya, tetapi setelah itu kita masih malas untuk belajar, malas untuk bekerja, malas untuk berbuat baik, maka sejatinya kita belum mendapatkan berkah dari pertemuan itu.
Sehingga, untuk mendapatkan semangat meraih barokah dari seorang tokoh/kyai, kita harus punya konstruksi dalam pikiran untuk menghadirkan motivasi meniru dan meneladani keberhasilan dan keilmuan kyai/tokoh tersebut. Pelajari profilnya, bagaimana upayanya hingga mendapatkan kedudukan seperti saat ini, lalu motivasi diri kita, lakukan kebaikan-kebaikan yang paling tidak sama dengan yang telah diteladankan. Tidak bisa anda dapatkan barokah hanya dari sekedar mengaji sembari ketiduran atau main hape, lalu anda kebagian nyeruput kopi kyai, lalu anda tidur/main hape lagi. Artinya, barokah bukanlah sesuatu yang mudah dicapai, barokah bukan barang murahan, dan barokah tidaklah “GRATIS”.
Meminjam istilah Ketua PW GP Ansor Jawa Barat, Kang Deni Ahmad Haedari dalam suatu kesempatan, barokah ini ibarat “Laba” didalam bisnis. Jika kita ingin mendapatkan laba, ya kita harus jualan dulu. Dan kita tau, mendapatkan laba besar dari berjualan bukanlah sesuatu yang mudah, perlu usaha ekstra, perlu upaya yang cerdas dan cermat. Mana mungkin anda tidak berjualan lalu anda berharap langsung dapat laba. Begitupun untuk mendapatkan keberkahan atau barokah yang hakiki, tak bisa anda dapatkan dengan hanya kita mencium tangan kyai, lalu kita berlalu seolah tak termotivasi apapun. Barokah bisa kita dapatkan ketika setelah mencium tangan kyai, kemudian muncul semangat dan motivasi untuk meneladani, lalu kita melakukan upaya-upaya yang sudah diteladankan oleh beliau-beliau. Itulah hakikat barokah yang “paling tidak” saya yakini.
Maka, dalam setiap doa-doa barokah yang dipanjatkan, sejatinya ada makna yang sangat mendalam. Memohon ilmu yang barokah, berarti mengharap ilmu yang didapatkan dapat berdampak dan bermanfaat secara luas. Rizki yang barokah, maka rezeki yang didapatkan bisa dialokasikan untuk kerja-kerja kebaikan yang meluas. Rumah tangga yang barokah, berarti suami istri, anak, cucu mampu berperilaku baik dan meneladani kebaikan-kebaikan rumah tangga pendahulu, dan seterusnya. Dan saya kira, untuk mencapai ilmu, rizki, rumah tangga yang barokah semacam itu bukan hal yang mudah, banyak godaan, cobaan, ujian yang merintangi. Begitulah barokah, mudah diucapkan bahkan menjadi nama bagi jutaan warung di Indonesia, akan tetapi untuk mendapatkannya, butuh upaya yang tak mudah, kita harus konsisten melakukan kerja-kerja kebaikan, menambah perbuatan baik, menumbuhkan perilaku baik, layaknya pohon yang terus menerus menumbuhkan cabang dan rantingnya.
Akhiron, hemat saya baiknya kita mencoba tak mendangkalkan makna barokah dengan menafsirkannya sekedar mencium tangan kyai kemudian berlalu begitu saja. Barokah lebih progresif dari itu. Cium tangannya, ambil motivasinya, tiru semangatnya, raih dan tumbuhkan kebaikannya. Sekali lagi saya tegaskan, tak ada salahnya berkeyakinan “barokah cium tangan wolak walik”, tapi lebih dari itu, karena kita tasawwufnya imam ghazali, bukankah antara hakikat dan syariat harus proporsional? Yuk, makan siang di Warung Barokah depan Rumah, hehe.
Wallahu a’lam.
TENTANG SAYA
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.