Barisan Yalal Balad dan Pengantin yang Malang

Barisan Yalal Balad dan Pengantin yang Malang

Saat mendengar kabar bahwa sahabat seangkatan ada yang hendak melepas lajang, saya yg sekarang sudah dilucuti status kemahasiswaannya dan menjadi pengangguran merasa terpanggil untuk memenuhi undangannya, terlebih si mempelai wanita nya juga teman seangkatan saat di pesantren dulu. Ini adalah undangan nikah pertama dari teman di pesantren yang bisa kuhadiri. Dalam undangan-undangan pernikahan sebelumnya, tentu saya tidak bisa hadir, jarak dan waktu jadi alasan logisnya. Saya masih dalam proses berjuang menjadi pengangguran bergelar di bumi Ken Arok.

Saat tiba di Garut, sungguh tak ada yg membuat saya keheranan, tidak ada yang berubah daru mereka, sahabat-sahabat saya masih sama seperti dulu, malah mereka terheran-heran kepada saya menanyakan bagaimana bisa saya mengembang sebesar ini? Apa terlalu banyak ragi roti? Hahaha. Ah, sudahlah. Aceng Gehu, Sang pengantin juga tetap tak berubah, tetap dengan kepalanya yg besar, untung besarnya tak bertambah, bukan begitu, Ceng?

Setelah selesai berfoto dg pengantin, kami singgah di rumah salah satu sahabat di daerah wanaraja, ihsan namanya. Ikan dan Nasi Liwet jadi hidangan yang disajikan. Tak lupa sambal menjadi pelengkap kenikmatan hidangan malam itu. Saya pun akhirnya terlelap melepas rasa lelah setelah perjalanan yg cukup jauh.

Esoknya, dengan beberapa upaya lobbying, kami kembali ke lokasi pernikahan, kali ini bukan acara formal resepsi, hanya forum sahabat heureuy ngalor ngidul sambil menginterogasi si Aceng, sang pengantin. Kami menamai gerakan kami “Ya lalbalad”, sebutan yang cukup rahasia untuk bisa saya ceritakan dalam tulisan ini. Ini demi melindungi Sang kreator, Rizka dan Adam dari jeratan hukum, hahaha.

Akibat dari proses mediasi yang berhasil, sore harinya kami mengunjungi Wisata Darajat Pass, pemandian air panas terkenal di seantero jawa barat. Tak lupa kami nyanyikan lagu “Ya lalbalad” (balad= sahabat/koncokentel) sebagai ucapan terimakasih. Kami videokan dan dikirim ke korban pemalakan kami, siapa lagi kalau bukan kedua mempelai teman kami. Berendam di air hangat dalam cuaca dingin itu kenikmatan yg luar biasa. Aslina dak. Maknyuss.

Kami pulang dengan perasaan puas, undangan plus plus, gumamku. Sepulang dari Darajat, saya berpisah dengan sahabat2, mereka masih hendak mengunjungi Annur Malangbong, tempat gus Bahar. Kabarnya, bakakak ayam jadi menu hidangan disana. Luar biasa militan barisan “Yalalbalad” ini, pikirku.

Sampai jumpa lagi komando! Rizka, adam, jajang, hilmi, rendi fatur, ihsan, yayang, dll.

Mem-Bandung Episode 2

Mem-Bandung Episode 2

Saya cenderung tidak punya teman di lingkungan tempat tinggal saya. Karena sejak kecil saya menghabiskan waktu diluar kandang. Sehingga bila bersinggah di suatu Kota yang ditinggali sahabat saya, entah memang itu rumahnya, atau memang karena alasan studi maupun pekerjaan. Saya harus mengesampingkan rasa sungkan dan sejenisnya. Jadi, merepotkan mereka sudah saya anggap sebagai hal yang biasa saja. Saya berpikir positif saya, semoga saja mereka berpikir sama seperti saya. Selepas perpisahan di pesantren, karena jarak dan kesibukan masing-masing, saya dan mereka jarang atau bahkan tidak pernah bertemu sama sekali. Bertahun-tahun. Maka meluangkan waktu untuk sekedar ngopi-ngopi cangkrukan melepas kerinduan sehari dua hari saya pikir tidak akan mengganggu rutinitas mereka. Toh, mereka juga masih Jomblo. Haha.

Kunjungan kedua saya ke Bandung dengan motoran selama 3 jam saya coba manfaatkan untuk menjalin silaturahmi dengan sahabat-sahabat lama. Rute pertama, yang saya singgahi malah seorang betina, Ijul namanya. Ia sahabat sejak mesantren di Haurkuning, Tasikmalaya yang hingga sekarang tetap istiqomah melanjutkan petualangannya di penjara suci dekat UIN. Bedanya, ia sambi aktivitas kuliah dan pesantrennya dengan pekerjaan sebagai tutor salah satu lembaga privat.

“Masih jomblo? Belum move on ti si eta?”, canda saya.

Jawabannya cukup panjang, mungkin ada sekitar 3 paragraf jika dirangkum, hahaha. Saya mengobrol gak terlalu lama, karena memang ketemu bakda maghrib, dan ia memang ada jadwal mengaji bakda isya di pondok. Selanjutnya, motor saya gas lagi dari Cibiru ke Cihanjuang. Lumayan jauh. Disitu saya cuma numpang ngorok di kosan sepupu.

Karena cuaca yang begitu sejuk dan memagerkan, saya baru keluar kosan di sore hari. Saya memberanikan diri menghubungi mas muwafiq, senior PMII Kota Malang yang tempo hari ada insiden dengan saya, hehe. Meski begitu, silaturahmi harus tetap dijaga, toh kami sudah bermaaf-maafan. wkwkwk. Saya bertemu dengan beliau di sebuah warkop di tengah Kota Bandung, saya lupa namanya. Kemudian saya diajak lanjut ngopi di kediamannya di daerah Ciumbuleuit. Sungguh suasana yang memagerkan, hawa sejuk malam menyebabkan penyeruputan kopi dan pembakaran asap sederhana lebih cepat dan intens. Sayangnya, saking asyiknya ngobrol, kami jadi lupa mengabadikan momen ngopi itu. Hilang sudah satu bahan untuk diupload. Tapi yang terpenting, kami berbicara banyak hal, dari mulai organisasi, ideologi sampai kehidupan. Maturnuwun, mas.

Esoknya, saya mengagendakan bertemu dengan sahabat semasa mesantren di Al Hikmah 2 Brebes dulu, ada azwar, desainer dan juga kaligrafer handal yang menurut galih sudah menjadi “budak kapitalis”, hahaha. Nah, galih ini sejak keluar pondok sampai sekarang ini baru ketemu, total 8 tahun hilang tanpa jejak. Yang bikin saya kaget adalah ketika ia membuka helmnya, rambutnya luar biasa. Selain galih, ada samsul. Kalo Samsul ini calon perawat dengan senyum pepsodent mata merem yang istiqomah dia jaga hingga sekarang. hahaha.

Akhiron, terimakasih atas sambutan yang hangat dari semua sahabat yang saya kunjungi. Semoga gak kapok jika saya berkunjung kembali, hehe. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga, kata Nabi SAW, Silaturahmi itu menangguhkan kematian dan memperluas rezeki. Saya sangat meyakini hadits tersebut. Bagaimana tidak? karena dengan bersilaturahmi, kita bisa melepas beban dan penat dengan bercanda tawa. Bukankah suasana hati tanpa beban dan perasaan senang mampu meremajakan usia sel tubuh kita? Dan karena dengan Silaturahmi juga, siapa yang tahu kita bisa bekerja sama membangun suatu bisnis. Bukankah semakin banyak kita mrmbangun relasi, makin banyak peluang kita dlam membangun relasi bisnis? Salam.

BUKAN HIMPUNAN TAPI PERGERAKAN

BUKAN HIMPUNAN TAPI PERGERAKAN

Saya menulis kado ini tepat 4 hari sebelum PMII berulang tahun. Secara momentum, insya Allah tulisan ini tidak menjadi kado yang terlambat untuk saya berikan kepada PMII. PMII akan genap berusia 56 tahun. Usia yang tak lagi muda untuk ukuran sebuah organisasi kemahasiswaan. Usia yang apabila dimiliki oleh manusia, adalah usia yang kenyang akan pengalaman, dan sudah banyak kontribusi yang diberikan dalam sebuah masyarakat. Sehingga kemudian saya berharap, semoga dalam momentum ini, dengan berbagai pengalaman yang telah dimiliki PMII di masa lalu, PMII mampu berkontribusi secara nyata melalui gagasan dan gerakan yang dimiliki kader PMII untuk agama dan bangsa. Seperti yang termaktub dalam Mars PMII, alunan indah nada “Pembela Bangsa, Penegak Agama” menjadi sebuah alunan indah pergerakan revolusi Indonesia menuju tercapainya cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

PMII yang merupakan singkatan dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memiliki diksi ideal yang menggambarkan sebuah organisasi yang notabene memiliki asas dinamis, progresif, dan berkemajuan. Bergerak berarti maju, tak berdiam, dan anti-stagnansi. Berbeda dengan organisasi lain yang notabene banyak menggunakan kata “Himpunan”. Himpunan yang berarti berkumpul, sering dikonotasikan sebagai antonim dari kata “Pergerakan”. Himpunan cenderung diasumsikan dengan bahasa stagnasi, anti-dinamis, anti-progresif, diam, dan tak berkemajuan. Secara kontekstual, dapat diartikan bahwa PMII dengan Pergerakannya selalu harus lebih maju dari organisasi yang hanya berlabel Himpunan. Begitu kata senior saya saat mengikuti MAPABA tiga tahun silam.

Meskipun perkataan senior saya ini cenderung berbau doktrinasi, namun perkataan ini tak serendah bahasa doktrinasi. Memang pada dasarnya, diksi Pergerakan lebih bermakna daripada diksi Himpunan, meski dalam konteks yang lain, penggabungan 2 kata ini bisa dibilang memberikan arti yang lebih ideal. Saya teringat akan sebuah quote berbahasa arab yang berarti, “Tidak ada kemenangan tanpa kekuatan, tiada kekuatan tanpa pergerakan, tiada pergerakan tanpa kebersamaan, tiada kebersamaan tanpa persatuan”. Statemen ini menggambarkan hubungan kata pergerakan, himpunan, dan persatuan yang saling membangun satu sama lain. Terlepas dari hal tersebut, sebagai organisasi yang didalam namanya mengandung kata pergerakan, PMII dan kadernya memiliki nilai lebih, yakni bagaimana kemudian secara moril, PMII dan para kadernya dituntut untuk terus bergerak secara dinamis dan progresif menuju terealisasinya tujuan organisasi (Pasal 4 AD PMII). Sehingga kemudian, kader PMII pantas menyandang sebagai kader pergerakan, warga pergerakan atau apapun istilah yang berkonotasi ke arah sana. Bagaimana PMII mengartikan sebuah makna pergerakan juga tersirat dari idiom yang masyhur di PMII, “Mundur satu langkah adalah suatu bentuk PENGKHIANATAN!”. Idiom tersebut mensinyalir akan bagaimana PMII sangat menuntut kadernya untuk bergerak maju dan dinamis, tak boleh mundur sedikitpun, bahkan hanya satu langkah.

Sebetulnya, dalam tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan sedikit hal terkait pengalaman pribadi saya dalam berproses di PMII. Secara eksplisit, tidak ada sedikitpun hubungan antara judul yang saya ambil dengan tujuan saya menulis ini. Bisa dibilang, judul tulisan ini agak ngawur. Namun secara implisit, insya Allah pembaca akan mendapatkan korelasi antara judul yang saya ambil dengan isi tulisan ini. Karena pada proses saya belajar di PMII, saya merasa ada beberapa tahapan dimana saya merasa berkembang dan mengalami progres secara keorganisasian dan soft skill di PMII, meskipun saya masih tetap bodoh dan tak kunjung pandai hingga saat ini.

Mengawali tulisan ini, saya mencoba menerawang kembali atas apa yang terjadi 3 tahun yang lalu, dimana saya menginjakkan kaki pertama kali di PMII. Sebelumnya, saat SMA, saya sudah mengenal PMII dari adik sepupu saya yang berkuliah di ITS. Pada saat itu, saya hanya tahu bahwa PMII adalah organisasi berhaluan ASWAJA. Maklum, saya merupakan alumni pondok pesantren dan ber-background NU. Ketika saya masuk kampus dan menemukan banyak senior di kampus yang merupakan kader PMII, saya tak berpikir panjang lagi untuk bergabung dan menjadi bagian dari PMII. Berhubung saya berkuliah di Fakultas Sains dan Teknologi, bergabunglah saya dengan PMII Rayon “Pencerahan” Galileo yang merupakan rayon yang menaungi kader-kader eksakta di UIN Maliki Malang

Dalam proses mengikuti MAPABA, saya sejujurnya terkagum-kagum dengan narasumber MAPABA. Materi-materi yang ada memang benar-benar ilmu baru bagi saya dan terdapat pengembangan pemikiran daripada apa yang pernah saya pelajari di pondok pesantren dulu, salahsatunya adalah bagaimana PMII memposisikan ASWAJA sebagai Manhaj. Singkatnya, ada perubahan paradigma berpikir. Yang paling membuat saya sangat terinspirasi adalah grand design kaderisasi PMII Rayon “Pencerahan” Galileo pada saat itu yang mengusung gagasan “SAINTIS AKTIVIS”. Sepemahaman saya, SAINTIS AKTIVIS bisa didefinisikan sebagai mahasiswa yang berlatarbelakang disiplin ilmu sains yang berbeda dengan mahasiswa sains lainnya. Mereka dituntut untuk aktif pula dalam berbagai macam interaksi sosial di lingkungannya, belajar berkontribusi terhadap masyarakat sekitar, dan berorganisasi sebagai langkah pengkolektifan pengembangan sains di Indonesia. Saya benar-benar terilhami akan gagasan tersebut.

Gagasan tersebut juga berhubungan dengan berbagai fakta menarik terkait bagaimana perjalanan PMII dalam bingkai perkembangan dunia sains dan teknologi. Hingga saya menjadi pengurus rayon, saya sering mendapatkan beberapa ungkapan akan adanya perbedaan antara mahasiswa eksakta (baca: sains) dengan mahasiswa non-eksakta, baik itu dari konsep kaderisasi, pengembangan wacana, bahkan arah dan lapangan geraknya. Sahabat-sahabat saya juga sering bercerita kalau mereka pernah mendapatkan dongeng dari senior, bahwa sahabat-sahabat senior (baca: pasca-rayon) pernah mengemukakan gagasan-gagasan akan pentingnya perumusan silabus kaderisasi khusus rayon eksakta di beberapa forum-forum formal PMII, seperti MUSPIMCAB, namun seringkali tak menemukan hasil yang konkrit dan selesai di meja forum saja.

Secara pribadi, saya menilai bahwa gagasan diatas sangat perlu untuk diperjuangkan karena memiliki unsur-unsur progresif dan dinamis yang patut diperjuangkan. Di era globalisasi yang sarat akan persaingan pengembangan IPTEK, menurut saya, sangat penting untuk kemudian Indonesia dibawa ke ranah pengembangan IPTEK berkelanjutan. Dan saya sangat berharap, gagasan dan gerakan tersebut lahir dari PMII selaku organisasi yang (seharusnya) menjunjung tinggi progresivitas dan anti-stagnansi. Sehingga, saya beserta sahabat-sahabat mencoba untuk menjadi promotor akan pengembangan wacana pengembangan sains dan teknologi di PMII dari berbagai aspek melalui sebuah gerakan menulis dengan mengangkat tema “PMII dalam bingkai Eksakta”, yang nantinya diharapkan menjadi sebuah buku yang menampung gagasan sahabat-sahabat yang berasal dari rayon/komisariat eksakta terkait wacana ini. Semoga.

Dalam konteks eksistensi, saya juga sempat dipercayai untuk menjadi delegasi di organisasi intra kampus sebagai Ketua HMJ Kimia, menjadi Sekretaris DEMA-FST dan berupaya pula untuk mencalonkan diri menjadi presiden DEMA UIN Maliki Malang meski gagal di konvensi heksa rayon pada saat itu. Pengalaman ini tentu tidak akan saya lupakan dan menjadi pelajaran berharga bagi saya pribadi.

Selain pengalaman diatas, banyak pengalaman berharga yang saya dapati di PMII yang akan melebihi syarat penulisan esay ini apabila saya tulis seluruhnya. Kepercayaan, persahabatan, pembelajaran, nasihat, dan dinamika berorganisasi PMII secara menyeluruh sangat mempengaruhi progresivitas keilmuan saya hingga saat ini. Sebuah pengalaman yang tidak akan bisa didapatkan oleh saya di luar PMII. Saya adalah seorang perantau dari kota kecil di Jawa Barat. Sebagai manusia yang perlu diakui keberadaannya, adalah sebuah kebanggaan yang luar biasa bisa bertemu sahabat-sahabat yang menyambut baik keberadaan saya di PMII hingga saya masih tetap bertahan bersama PMII hingga hari ini. Terimakasih untuk sahabat-sahabati PMII di seluruh Indonesia. Terimakasih atas ilmu yang telah diberikan oleh sahabat-sahabati sekalian.

Akhir kata, semoga tulisan saya ini pantas menjadi kado ulang tahun PMII ke 56 dan bisa menjadi inspirasi bagi warga pergerakan dimanapun berada. Saya sadar bahwa tulisan ini banyak terdapat unsur subjektif dalam opini-opini yang tertuang didalamnya. Hal tersebut tak luput dari kebodohan saya selaku manusia yang masih goblok dan perlu terus belajar dalam menjalani kehidupan. Tulisan ini saya dedikasikan sebagai kado Ulang Tahun PMII yang ke 56. Semoga ke depan, PMII terus istiqomah melahirkan generasi “Pembela Bangsa, Penegak Agama”. Semoga PMII mampu untuk terus mendinamisasi pergerakannya (karena bukan sekedar himpunan/ikatan), sehingga memiliki relevansi output kader yang mampu menjadi garda terdepan bangsa ini. Teringat akan apa yang pernah dikatakan sahabat Rodli Kaelani, “Kun Ibna Zamaanika!, Jadilah Generasi Emas di Zamanmu!”, maka kader PMII harus menjadi generasi emas yang mampu membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik dimasa depan. Selaku bagian dari kader PMII eksakta, saya berharap ke depan akan tercipta sebuah blueprint pola pengembangan kader eksakta di PMII. Bahkan tak hanya eksakta, mungkin bisa juga dirancang sebuah blueprint pengembangan kader PMII sesuai disiplin ilmunya, sehingga pengembangan potensi kader PMII bisa lebih terarah dan mampu menjadi leader di sektor-sektor penting komponen bangsa ini. Tentunya dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai dan tujuan PMII. Selamat Ulang Tahun PMII yang ke-56! Bersemilah, bersemilah, Tunas PMII… Tumbuh Subur, Tumbuh Subur, Kader PMII, Kau Harapan Bangsa….

Fawwaz Muhammad Fauzi

PMII Rayon Pencerahan Galileo

Komisariat Sunan Ampel Malang