Saat Bertemu Ridwan Kamil, Sang Mayor Bandung

Saat Bertemu Ridwan Kamil, Sang Mayor Bandung

Oleh : Fawwaz M. Fauzi
Bandung hari itu, penulis bersama sahabat memang sengaja mengunjungi Kota Bandung, katanya mereka ingin jalan-jalan ke Bandung, menikmati keindahan Bandung. “Okelah, saya antar kesana,” berhubung penulis memang asli dari Jawa Barat, Majalengka tepatnya. Tapi sahabat-sahabat Jawa Timur penulis, rata-rata menganggap penulis berasal dari Bandung, meskipun penulis sudah berulang kali jelaskan, bahwa dari rumah penulis menuju Bandung itu perlu waktu sekitar 3-4 jam, dan Jawa Barat bukan hanya Bandung, tapi tetap saja dengan pandangan globalnya, kalo penulis tetap di klaim sebagai orang Bandung, haduh.
 Ya, siang tadi kami baru saja sampai rumah penulis di Majalengka (salah satu kabupaten di Jawa Barat), perjalanan dari Malang ke Cirebon agaknya membuat rasa lelah menghampiri. Kami beristirahar sejenak, melepas lelah. Hingga sore hari, barulah kami memutuskan untuk berangkat ke Kota Bandung, kota yang sangat ingin di kunjungi sahabat-sahabat saya. Oke-oke. Dengan meminjam mobil milik ayahanda penulis, kami berangkat ke Bandung. Disana, kami menikmati keindahan kota Bandung, kota yang terkenal dengan lagunya “Halo-halo Bandung” dan makin terkenal karena Walikota keren, Pak Ridwal Kamil (Kang Emil), yang mampu menyulap Bandung menjadi lebih populer dengan capaian-capaian yang sering terlihat di postingan fanspage beliau, begitu kata sahabat-sahabat penulis.
Esok harinya, kami bertolak dari Bandung menuju ke rumah penulis. Di tengah perjalanan, kami berhenti di ATM Center yang berdampingan dengan sebuah minimarket. Akhirnya, penulis memarkir kendaraan di pinggir jalan. Dalam prosesnya, memarkirnya sangat sulit, namun penulis dibantu oleh seseorang yang memandu parkir sehingga terasa lebih mudah. Ketika penulis keluar dari kendaraan, sontak penulis kaget, karena ternyata yang membantu penulis dalam memarkir mobil adalah Kang Emil, Sang Walikota Bandung. Ha? Masa si?
“Kang Emil ya?”, tanya penulis.
“Iya kang, saya Ridwan Kamil, Walikota kota ini.”, jawab beliau dengan santun.
Wah, penulis masih terheran-heran dengan kondisi ini. Pun demikian sahabat-sahabat penulis. Bisa-bisanya ketemu Kang Emil di depan ATM Center, bantuin parkir mobil pula. Tak habis fikir. Akhirnya kami pun berkenalan dan bersalaman satu per satu. Penulis yang sudah sedikit mencoba merasa terbiasa menghadapi orang-orang besar dalam berdialog, dengan santai tapi deg-degan, penulis bertanya kepada Sang Walikota. “Setelah ini mau kemana pak?”
“Oh iya, saya ini mau pulang, kang. Selesai dari kantor. Tapi masih hoream. Istri saya masih ada urusan euy. Kalo di rumah gak ada istri teh kumaha kitu.”, tanggapnya.
“Wah, ikut kami saja dulu pak?”, celoteh sahabat dari penulis.
“Boleh, hayu atuh.”
Ha? Ko iso gelem? Gening daekeun?Kenapa dengan mudahnya beliau mengiyakan ajakan kami? Lagi-lagi suatu pertanyaan yang sulit terjawab. Ya sudahlah, akhirnya kami persilahkan beliau untuk masuk ke mobil. Daripada berpikir mengenai jawaban yang sulit ditemukan, penulis lebih berpikir pada konsep ada untungnya ketemu pak walkot Bandung, minimal bisa selfie sama beliau nantinya, hahaha.
Diperjalanan, kami berbincang banyak terkait pengembangan kota Bandung, baik dari sisi ekonomi kreatif, arsitektur, budaya dan teknologi. Kebetulan penulis dan sahabat-sahabat berkuliah di jurusan-jurusan sains, adapula yang teknik. Sehingga, obrolan dengan beliau pun, sedikit banyak nyambung ketika berbicara ke arah pengembangan sains dan teknologi, meski secara disiplin ilmu arsitektur yang merupakan background keilmuan beliau, penulis sama sekali tidak paham. Kami berbincang terkait bagaimana seharusnya kita selaku bangsa Indonesia ini bisa maju, memajukan Indonesia. Beliau menuturkan beberapa point-point yang penting dalam membangun bangsa. Penulis juga menuturkan gagasan-gagasan penulis dalam kaitannya membangun negeri ini, serta sedikit banyak memuji langkah beliau dalam proses berpolitiknya. Beliau telah membuktikan bahwa orang yang memiliki background non-social studies mampu memimpin sebuah kota dengan sangat baik. Terbukti dengan berbagai prestasi yang telah di raih. Sehingga, hal ini membuat penulis dan sahabat-sahabat termotivasi bahwa untuk memimpin negeri ini, tidak harus kita bersekolah di jurusan-jurusan yang berbau sosial. Kita yang ber background sains pun bisa. Bahkan dengan sangat baik, fakta memperlihatkan bahwa walikota seperti Kang Emil di Bandung dan Bu Risma di Surabaya yang keduanya berbackground Teknik mampu memimpin negeri ini dengan baik.
Keasyikan mengobrol membuat penulis lupa untuk bertanya dan memberi penjelasan kepada Kang Emil terkait tujuan kami selanjutnya adalah pulang ke rumah di Majalengka dan pada saat itu, kami sudah sampai di perbatasan Bandung-Sumedang. Lagi-lagi kami dikagetkan dengan jawaban beliau, “Oh, santai we lah. Saya ikut dulu ke Majalengka. Ntar pulangnya dianterkeunku kang Fawwaz nya?”. Wah, perjalanan akan tambah seru ini bersama kang Emil. Saya mengangguk dengan matang diiringi dengan teriakan “SIAP KANG!!!”, menandakan bahwa penulis siap mengantar beliau kembali ke Bandung lagi nantinya. Tak apa penulis sedikit lelah, kapan lagi penulis dapat bertemu beliau seperti sekarang ini. Mau diajak ke rumah penulis pula. Mantep iki, Joss Tenan, ujar sahabat-sahabatku.
Kami melanjutkan perbincangan-perbincangan intelektual kami dengan beliau. Beliau menuturkan, bahwa pemimpin itu tidak ditentukan dari apa background study nya, pemimpin pasti dilihat dari apa visi misinya, apa programnya, apa langkahnya dan apa solusinya. Sehingga siapapun bisa jadi pemimpin. Namun memang menjadi lebih baik ketika pemimpin tersebut berlatarbelakang keilmuan sains dan teknik. Karena sejarah menuturkan bahwa perkembangan zaman hingga hari ini dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi secara signifikan. Ketika sepeti itu, secara praktis dapat diartikan bahwa kunci perubahan zaman itu terletak pada para saintis dan teknokrat. Kami manggut-manggut atas pernyataan tersebut. Beliau melanjutkan, bahwa itulah pentingnya seorang saintis dan teknokrat. Ketika memang pemimpinnya buat salahsatu dari kedua background keilmuan tersebut, minimal pemimpin itu memiliki visi-visi yang berkonsentrasi dan peduli kepada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) Indonesia ini. Ketika tidak seperti itu, lebih baik, para saintis dan teknokrat saja yang menjadi pemimpinnya.
Penulis kagum dengan gagasan-gagasan beliau, ternyata, sesuatu yang penulis yakini adalah sebuah keyakinan Kang Emil pula. Terkhusus gagasan kepemimpinan IPTEK. Lebih lanjut, kami bercerita, bahwa kami adalah mahasiswa di UIN Maliki Malang, kami juga berkuliah di jurusan-jurusan MIPA dan Teknik, kami juga aktif di organisasi intra maupun ekstra kampus, beliau mengacungi jempol terkait hal tersebut. Beliau bercerita bahwa dulu, beliau juga sangat aktif di organisasi-organisasi kemahasiswaan, sehingga pengalaman kepemimpinan ketika mahasiswa mampu menjadi pelajaran penting dalam praktik kepemimpinan di dunia nyata. “Memimpin pun perlu pembiasaan, dan mumpung dulu saya masih mahasiswa, saya membiasakan memimpin pada saat itu.”, begitu katanya. Beliau akhirnya bercerita tentang gagasan kepemimpinan transformatif yang isinya tak jauh berbeda dari apa yang pernah beliau sampaikan ketika seminar mahasiswa baru di ITB yang pernah penulis saksikan melalui channel youtube, yakni kepemimpinan transformatif itu harus memiliki sekurang-kurangnya 5 nilai, diantaranya inovatif, berani ambil resiko dengan kalkulatif, problem solver, Strong Will (melakukan apa yang dikonsepkan), dan visioner. Sehingga, dalam proses kepemimpinannya bisa menghasilkan produk-produk kebijakan yang maslahat dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Selanjutnya, kami menuturkan bahwa kami pernah mengundang Mas Ricky Elson dalam acara

OSPEK Fakultas untuk memotivasi adik-adik kami. Kami bercerita kepada beliau bahwa Mas Ricky adalah orang yang luar biasa. Keyakinannya, motivasinya, kekuatannya sangat menginspirasi bagi kami selaku generasi muda bangsa ini. Kang Emil manggut-manggut mendengar cerita kami. Penulis mengusulkan, mungkin kang Emil adalah salah satu pejabat yang bisa menggandeng mas Ricky dalam suatu proyek pembangunan teknologi di Bandung. penulis mengharapkan itu. Karena penulis paham betul, hingga saat ini, tidak ada lirikan sedikitpun dari pemerintah untuk memberdayakan anak bangsa yang prestatif seperti mas Ricky. Kecuali mungkin, mas Ricky mau untuk terjun di dunia politik seperti kang Emil. Mungkin akan sama hebatnya dengan kang Emil. Selain itu, kami pun bertanya akan kesediaannya untuk mengunjungi kampus kami, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, “Wah, kalo itu nanti di agendakeun we, gampang lah, nu penting saya lagi gak ada urusan yang penting pemerintahan.”, jawabnya. Wajah kami sumringah mendengarnya. Mudah-mudahan dengan segera beliau bisa bertandang ke kampus kami di Malang sana.

Tak terasa, kami bersama kang Emil sudah sampai di gang masuk rumah penulis. Perbincangan yang menarik membuat perjalanan ini terasa singkat. Sesampainya di rumah, penulis disambut orang tua penulis dan beberapa kerabat dekat. Penulis mempersilahkan kang Emil untuk turun dari mobil, orang tua dan kerabat penulis sangat terkejut melihatnya, kang Emil sang walikota Bandung itu mengunjungi rumah penulis. Semua masih terheran-heran, namun tidak lupa untuk tetap menjamu beliau. Beliau makan dengan ditemani kami dan paman dari penulis yang sebetulnya tinggal di Bandung. Namun, paman penulis memang sedang berlibur ke rumah penulis ceritanya. Obrolan kami disitu lebih kepada guyonan-guyonan pikaseurieun. Sehingga tak terasa, rasa lelah kami hilang dengan sendirinya. Hingga pada suatu waktu, kang Emil mendapati handphonenya berdering. Beliau sedikit menjauh dari kerumunan kami dan mengobrol dengan santai. Itu istrinya, tebak penulis. Benar saja, setelah menelepon, beliau mengajak penulis untuk mengantarkan beliau pulang ke Bandung. Orang tua penulis menawari untuk bermalam, namun kang Emil menolaknya secara halus, beliau harus bekerja untuk Bandung lagi esok hari. Sahabat dari penulis kemudian mengusulkan untuk berfoto bersama terlebih dahulu. Wah, betul juga, gumam penulis. Kami berfoto bersama, kemudian sahabat-sahabat bergantian meminta waktu untuk selfie bersama beliau. Penulis pun tak mau ketinggalan, Cekrek cekrek cekrek.
Mobil sudah penulis hidupkan kembali, kang Emil sudah mulai pamitan kepada orang-orang di rumah penulis. Tiba-tiba handphone penulis berdering, lagu “Pusing Pala Barbie” pun berdendang dengan kencang. “Ko nada deringnya ganti ya? Lagu ini kan untuk alarm”. Gumam penulis. Penulis mencoba mengabaikan perasaan itu dan mencoba untuk mengangkan teleponnya. Namun, teleponnya tak bisa di angkat, penulis tekan tombolnya berkali-kali, tetap saja tidak bisa. Tiba-tiba saja, penulis berpikir, apa ini memang alarm? Atau ini mimpi? Penulis mencoba melihat sekeliling, tidak ada siapa-siapa. Kagetlah penulis dan akhirnya terbangun dari tidur yang panjang. Ternyata handphone penulis memang berdering dan memang alarm lah yang berbunyi. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 pagi. Penulis duduk dengan perasaan yang bertanya-tanya, ternyata tadi hanya sebuah mimpi, sayang sekali. Gara-gara sebelum tidur, penulis sempat menonton video kang Emil ketika mengisi seminar, jadi kebawa mimpi. Yah, meskipun hanya mimpi, ini adalah sebuah mimpi yang berkualitas, mimpi yang menginspirasi, mimpi yang mentransformasi dan mimpi yang sangat luar biasa. Memang mimpi tak seburuk realita, namun terkadang, mimpi bisa lebih buruk dari realita. Semoga semua yang terwacanakan dalam mimpi mampu terealisasi di dunia nyata. Punten ke kang Emil yang sudah penulis tarik ke dalam mimpi penulis. 😀    Salam Transformasi! 

“Dimanapun kita berada, jadilah bagian dari solusi”

Kamus Sunda :

hoream : malas
kumaha kitu : gimana gitu
Hayu atuh : Ayo kalo gitu
Gening daekeun : kok mau?
dianterkeun : diantarkan
diagendakeun : diagendakan
pikaseurieun : membuat tawa

Menyongsong Satu Abad Indonesia : Berdikari sebagai Solusi

Menyongsong Satu Abad Indonesia : Berdikari sebagai Solusi

Oleh : Fawwaz Muhammad Fauzi *)

sumber : aipi.or.id

70 tahun lebih Indonesia telah merdeka. Indonesia sebagai bangsa yang bhinnekatelah membuktikan, bahwa hingga saat ini, Indonesia mampu mempertahankan ke-bhinneka-an dengan semangat nasionalisme dan persatuan. Isu-isu perpecahan yang berbau SARA belum mampu untuk kemudian menggoyahkan persatuan bangsa Indonesia hingga hari ini dan mampu diselesaikan melalui dialog-dialog semangat keberagaman. Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), dan Operasi Papua Merdeka (OPM) mampu terselesaikan. Meski penulis yakin, sampai hari ini, masih ada elemen-elemen yang meneriakkan semangat organisasi yang memecah belah persatuan, baik dari organ-organ kesukuan dan organ-organ yang mengatasnamakan agama macam Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang bermaksud mendirikan kekhalifahan Islam. Adalah menjadi PR kita bersama untuk memberantas organ-organ yang anti-pancasila dan memecah belah persatuan. Hal tersebut harus tetap kita upayakan melalui kebijakan-kebijakan yang strategis dan visioner. Namun, alangkah baiknya perhatian kita harus pula tertuju kepada bagaimana mengembangkan bangsa ini ke depan? Bagaimana agar Indonesia diperhitungkan di kancah Internasional? Sehingga, langkah kita tidak hanya berhenti pada bagaimana kita menjaga persatuan dan mengatasi perpecahan. Namun, beriringan pula dengan upaya-upaya kolektif menuju Indonesia yang berdikari. Tentu dari berbagai aspek yang dikehendaki.

Secuil pelajaran dari raksasa-raksasa Asia
Siapa yang tidak pernah mendengar kejayaan yang pernah dicapai Kerajaan Majapahit, dengan Mahapatih Gajahmada yang terkenal itu. Pada zamannya, Majapahit adalah salahsatu dari 3 kerajaan terbesar dunia selain Turki Utsmani dan Mongolia. Para pendahulu kita adalah bangsa yang besar dan berpengaruh dalam percaturan internasional saat itu. Dari apa yang kemudian penulis pahami dalam dinamika kekuasaan dan pemerintahan, kejayaan suatu pemerintahan dan kerajaan adalah dipengaruhi oleh kebijakan. Kebijakan adalah faktor utama yang dapat menentukan kemana arah sebuah negara berjalan. Ketika kebijakannya tepat, sebuah negara dipastikan akan mencapai puncak kejayaan. Begitupun sebaliknya, ketika kebijakannya salah kaprah, tentu negara tersebut akan menemui jurang kehancuran dan keterpurukan.
Berbicara mengenai kebijakan yang tepat dan efektif, penulis mencoba belajar atas apa yang telah dilakukan oleh Jepang. Pada abad 16, Jepang mengusir semua kaitan perdagangan dengan negara lain. Para misionaris dan pedagang asal Eropa, terutama Portugis, diusir keluar. Alasannya sederhana, supaya tidak membuat keadaan politik menjadi rumit. Shogun Ieyasu Tokugawa hendak menyatukan seluruh Jepang di bawah kekuasaannya, guna menciptakan kestabilan politik. Di bawah tangannya, Jepang menjalani masa damai lebih dari 200 tahun. Identitas dan budaya Jepang tetap lestari, bahkan semakin mengakar dan berkembang. Identitas dan budaya inilah yang nantinya menjadi dasar bagi Jepang untuk mengembangkan diri, sehingga menjadi salah satu negara maju dunia sekarang ini. Pengusiran bangsa asing dipandang perlu untuk melestarikan dan mengembangkan identitas budaya serta politik.
Apa yang dilakukan jepang adalah melakukan politik menutup diri. Politik “Menutup Diri” disini adalah kebijakan yang diambil adalah kebijakan yang mampu dan berani mengembangkan secara penuh pembangunan mental dan material bangsa secara mandiri tanpa campur tangan asing. Jika kita menelisik lebih dalam, pola seperti ini juga ditemukan di beberapa negara di asia, seperti China, India, dan Korea Selatan.
Cina, negara dengan ukuran ekonomi terbesar kedua di dunia sekarang ini, adalah contoh selanjutnya dari apa yang disebut dengan politik menutup diri. Di bawah pemerintahan Partai Komunis Cina, mereka menutup semua campur tangan asing. Industri lokal didukung dan dikembangkan. Ketika ekonomi dan industri lokal sudah kokoh, dalam arti sudah memiliki modal sumber daya manusia maupun sumber daya ekonomi yang memadai, barulah Partai Komunis Cina membuka peluang untuk investasi asing.
Pun dengan apa yang telah dilakukan China, Korea Selatan yang hari ini terkenal karena SAMSUNG nya, menerapkan kebijakan politik menutup diri. Pada 1950-an, Korea mengalami perang. Sampai sekarang, dua negara tersebut, yakni Korea Utara dan Korea Selatan, masih terus dalam keadaan tegang. Pada awal pembangunannya, AS kerap campur tangan dalam kebijakan ekonomi maupun politik Korea Selatan. Mereka dinilai tidak mampu menghasilkan industri berat dan canggih. Namun, para pimpinan Korea Selatan menolak campur tangan AS dalam soal ini. Mereka lalu memutuskan untuk mengembangkan industri kapal, dan industri mesin-mesin lainnya. Perusahaan-perusahaan local mendapat dukungan penuh dari negara. Mereka berkembang amat pesat, dan kini menjadi salah satu perusahaan elektronik maupun otomotif terbesar di dunia. Korea Selatan menutup “telinga” dari nasihat-nasihat asing yang tak selalu memiliki niat baik.
Dari secuil pelajaran tersebut, seharusnya pemerintah kita mampu dan berani untuk kemudian mengambil kebijakan strategis terkait pengembangan potensi Indonesia, yakni dengan memperhatikan kemandirian negara yang pada kenyataannya, kemandirian adalah pondasi awal yang harus dimiliki sebuah negara sebelum membuka diri untuk berkompetisi di ranah global. Political will dari pemerintahan sangat diharapkan dalam mewujudkan cita-cita ini. Sejatinya, Soekarno, Sang Bapak Proklamator adalah salahsatu penggagas kemandirian negara dengan jargon BERDIKARI alias Berdiri di Kaki sendiri. Fidel Castro, sang Proklamator Kuba pun banyak belajar dari beliau, sehingga Kuba menjadi negara dengan pelayanan kesehatan nomor 1 di dunia. Namun, semua gagasan kemandirian berakhir ketika Soekarno lengser dari kursi kepresidenan dan digantikan oleh Soeharto yang langsung membuka investasi asing ke Indonesia dengan kebijakan yang diambilnya. Dan hingga saat ini, perusahaan multi-nasional macam Freeport dan Newmont dengan nikmatnya terus menguras kekayaan sumber daya alam Indonesia.
Revolusi Mental sebagai Pondasi Awal
Dalam proses Indonesia membuat kebijakan politik menutup diri. Langkah awal yang menurut penulis perlu dilakukan adalah dengan melakukan revolusi mental. Istilah revolusi mental mulai populer di Indonesia pada saat kampanye pemilu Pilpres 2014 melalui pasangan capres-cawapres Jokowi-JK, meski sebetulnya istilah revolusi mental bukanlah hal yang baru dalam istilah sosiologi. Namun, inti dari Revolusi Mental ala Jokowi bukanlah seperti apa yang diungkapkan oleh Karl Marx yang akhirnya cenderung sekuler dan mengarah ke atheisme ketika dipahami secara tekstualis. Namun lebih kepada merevolusi mental bangsa Indonesia yang hari ini mulai tergeser identitas mentalnya dengan budaya-budaya indisipliner, korupsi, nepotisme, konsumerisme, materialisme, dan lain-lain dengan budaya-budaya asli Indonesia yang santun, ramah, mandiri, objektif dan jujur. Sehingga kemudian diharapkan bangsa Indonesia menjadi bangga dan percaya diri atas identitas keindonesiaannya.
Ada anekdot lucu yang pernah penulis dengar dari bibi penulis, bahwa pada saat beliau berada di Jepang, teman dari beliau kehilangan dompet dan melapor ke kepolisian setempat. Jawaban polisi setempat sangat mengagetkan penulis. Praduga yang diutarakan polisi tersebut menyatakan bahwa apabila dompet tersebut ditemukan oleh warga Jepang, pasti akan dikembalikan dalam waktu 1-2 hari. Namun, apabila dompet tersebut ditemukan oleh warga Indonesia atau india, jangan berharap dompetnya kembali. Dari kisah tersebut, jelas bahwa bangsa lain sangat memandang rendah moral bangsa kita. Sehingga, merevolusi mental bangsa ini adalah pondasi yang sangat penting dalam membangun identitas bangsa.
Revolusi mental disini memang masih terlalu umum, sehingga perlu kemudian diturunkan menjadi program-program nyata yang dapat dirasakan oleh kita. Hingga saat ini, penulis melihat belum ada langkah konkrit yang dilakukan pemerintah dalam merealisasikan revolusi mental melalui sebuah program strategis. Menurut penulis, revolusi mental ini bisa diawali melalui dunia pendidikan. Dengan menanamkan semangat nasionalisme pada generasi penerus, bukan hal yang sulit untuk kemudian diikuti dengan kebijakan strategis lain yang dapat memajukan bangsa ini, seperti dalam segi pengembangan ilmu pengetahuan dan perekonomian yang memang hari ini diyakini sebagai faktor yang dapat dijadikan acuan sebuah negara dikatakan sebagai negara yang maju dan sejahtera.
  
Pengembangan Potensi Biodiversitas sebagai Poros Kemandirian Bangsa
Indonesia merupakan negara dengan tingkat biodiversitas tertinggi kedua di dunia setelah Brazil. Fakta tersebut menunjukkan tingginya keanekaragaman sumber daya alam hayati yang dimiliki Indonesia. Tingginya tingkat biodiversitas Indonesia ditunjukkan dengan adanya 10% dari tanaman berbunga yang dikenal di dunia dapat ditemukan di Indonesia, 12% dari mamalia, 16% dari hewan reptil, 17% dari burung, 18% dari jenis terumbu karang, dan 25% dari hewan laut. Di bidang agrikultur, Indonesia juga terkenal atas kekayaan tanaman perkebunannya, seperti biji coklat, karet, kelapa sawit, cengkeh, dan bahkan kayu yang banyak diantaranya menempati urutan atas dari segi produksinya di dunia.  Sumber daya alam di Indonesia tidak terbatas pada kekayaan hayatinya saja. Berbagai daerah di Indonesia juga dikenal sebagai penghasil berbagai jenis bahan tambang, seperti petroleum, timah, gas alam, nikel, tembaga, bauksit, timah, batu bara, emas, dan perak. Di samping itu, Indonesia juga memiliki tanah yang subur dan baik digunakan untuk berbagai jenis tanaman. Wilayah perairan yang mencapai 7,9 juta km2 juga menyediakan potensi alam yang sangat besar (Wikipedia).
Fakta-fakta diatas menunjukkan bahwa kekayaan alam Indonesia sangatlah melimpah. Apabila kita berkaca kepada sejarah, bahwa kerajaan-kerajaan terdahulu, seperti Tarumanegara, Sriwijaya, Majapahit, Singasari, Demak mengandalkan potensi-potensi tersebut sebagai pondasi perekonomiannya dalam bentuk mentahan. Dari sini, penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa sumber daya alam Indonesia merupakan suatu modal yang dapat menjadi kekuatan besar apabila kita dapat mengelolanya dengan baik. Problem yang ada hingga hari ini adalah terkait bagaimana seharusnya pengelolaan yang baik atas sumber daya alam kita. Yang penulis ketahui hingga hari ini, Pemerintah Indonesia sejak Soeharto berkuasa belum mampu dan berani untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri sehingga pengelolaannya dikuasakan kepada perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam prakteknya, perusahaan multinasional ini nyatanya malah memonopoli kekayaan alam kita dengan cara bermain mata dengan para penguasa negeri ini. Penulis kira, realita ini sudah menjadi sesuatu yang menjadi tidak aneh dalam telinga kita. Pun dengan kebijakan pemerintah kita yang telah memperpanjang kontrak Freeport yang berbarengan dengan tragedi Bom Sarinah yang kontroversial itu.
 Sudah saatnya kita sebagai bangsa Indonesia berani untuk mengambil langkah nyata untuk mengelola sumber daya alam secara mandiri. Pengelolaan disini berarti sangat luas, yakni bagaimana untuk mengembangkan riset dan penelitian dari sisi ilmu sains dan bagaimana mengembangkan riset dalam proyeksi ekonomi yang mengarah pada industrialisasi produk-produk kreatif yang dihasilkan. Langkah-langkah yang kolektif, terstruktur, sistematif dan masif harus dilakukan dalam upaya ini, yakni melakukan pengembangan ilmu pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan pengelolaan sumber daya alam. Kita dapat meniru india yang melirik dunia telekomunikasi sebagai sektor yang ingin diupayakan untuk mereka kuasai. Pada rentang tahun 1980-1990, Pemerintah India banyak mengirimkan warganya ke AS untuk belajar mengenai ilmu-ilmu teknologi informasi. Akibat dari kebijakan tersebut, di lembah silikon Amerika Serikat yang terbentang dari San Francisco hingga San Yose itu dari sekitar 150.000 pekerja asing yang bekerja disana sebannyak 60.000 di antaranya adalah pakar software dari India. Sumber daya manusia India ini tentunya memiliki andil bagi berkembangnya industri teknologi informasi Amerika Serikat pada kurun waktu dua dasawarsa terakhir ini. Berkembangnya kekuatan India di negeri Paman Sam tersebut dilirik Narasimha Rao yang menjadi perdana menteri India pada saat itu dan menarik semua ilmuwan yang bekerja di negeri Amerika Serika untuk kembali memajukan India.
Pemerintah Indonesia dapat kemudian menerapkan kebijakan serupa untuk kemudian mengirimkan pelajar-pelajar Indonesia ke luar negeri untuk mengembangkan keilmuannya di bidang ilmu pengetahuan tentang eksplorasi sumber daya alam. Selain itu, untuk juga mengembangkan potensi SDM dalam negeri, universitas-universitas dengan studi-studi tertentu yang ada di Indonesia harus kemudian diarahkan kepada pengembangan ilmu pengetahuan pengelolaan sumber daya alam. Dapat pula dengan mendirikan beberapa instansi riset yang lokasinya berdekatan dengan objek riset, seperti sekolah riset tambang di area dekat pertambangan, sekolah riset kelautan di area dekat pesisir pantai, sekolah riset botani di area dekan perhutanan, dan lain sebagainya. 

Dalam menyongsong Satu Abad Indonesia Merdeka, kiranya itulah yang kemudian menurut penulis menjadi titik-titik penting menuju Indonesia yang BERDIKARI. Namun kemudian, untuk menjadikan Indonesia mampu bersaing di dunia internasional, adalah kembali kepada kebijakan yang diambil pemerintahan. Karena lagi-lagi, harus ada political will dari pemerintah untuk kemudian merealisasikan cita-cita ini. Ketika pemerintah hari ini tidak mampu untuk mengamini gagasan ini, mari kita pressure pemerintahan kita dengan gerakan-gerakan yang transformatif, kolektif dan visioner. Dengan begitu, penulis yakin, pemerintahan kita tidak mungkin untuk tidak mendukung dan berpartisipasi melalui kebijakan yang proaktif. Wallahua’lam.


*) Esai ini dibuat sebagai syarat mengikuti Pelatihan Kader Lanjut (PKL) XIX PMII Cabang Kota Malang.
Menjadi Primordialis yang Bijaksana

Menjadi Primordialis yang Bijaksana

Oleh : Fawwaz Muhammad Fauzi
 
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan benar” ~ Imam Asy-Syafi’i
Selamat Dini Hari Kota Malang, kota yang ramai akan perbedaan. Dimana hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh banyaknya pengungsi akademik yang hijrah ke Kota Malang. Keberagaman Kota Malang adalah hal yang tak mungkin terelakkan, berbagai macam ras, suku, budaya, dan agama berbaur dalam suatu wilayah bernama Kota Malang.
Sejatinya, tak hanya kota malang saja yang memiliki warna warni keberagaman. Dalam konteks yang paling sederhana saja, perbedaan akan sangatlah tampak apabila kita mencoba mengamatinya secara mendalam. Seperti halnya dua bersaudara yang kembar identik, apabila kita mengamatinya dengan seksama atau mungkin karena telah terbiasa, kita dapat melihat banyak perbedaan, baik dari segi fisik maupun psikis. Sehingga, dari dua bersaudara itu saja, nampaklah perbedaan dan keberagaman dari berbagai sisi. Namun, ketika kita tak mengamatinya secara seksama, kita akan menganggap sang kembar identik itu sama dengan kembarannya. Tak ada perbedaan apapun.
Dari suatu sampel diatas, semisal kita adalah orang tuanya, apa yang harus kita lakukan dalam menyikapi perbedaan dari si kembar yang katanya kembar identik? Apakah kita harus mengunggulkan salahsatunya? Apakah kita harus pilih kasih? Penulis kira, hal yang paling  bijak adalah dengan bersikap toleran, moderat, seimbang dan adil terhadap keduanya. Dengan begitu, kita telah bersikap bijaksana terhadap dua hal dimana kita tidak termasuk dalam sistemnya. Dan penulis fikir, ini adalah sikap yang sedikit mudah untuk direalisasikan dalam kehidupan bersosial kita.
Lantas, bagaimana ketika dalam keberagaman, kita termasuk dalam sistem tersebut? Semisal kita adalah bagian dari si kembar identik? Apakah kita harus kemudian mengunggulkan diri sendiri dan menjatuhkan kembaran kita? Atau malah sebaliknya? Bagaimana kita bersikap? Penulis kira, sikap yang paling bijak dalam menyikapinya adalah bersikap santai dan tetap berpegang teuh pada sikap toleran, moderat, seimbang dan adil. Selain itu, kita harus pula memegang prinsip, “Maju tanpa menyingkirkan orang lain, naik tanpa menjatuhkan orang lain, dan berbahagia tanpa menyakiti orang lain”. Sehingga, kita dapat hidup secara damai dan tetap bergandengan tangan meski banyak perbedaan pada diri kita dan orang lain. Namun, hal ini agaknya lebih sulit daripada ketika kita berada diluar system seperti pada perumpamaan pertama. Didalam sistem dimana kita termasuk kedalam sebuah bagian yang harus kita pertahankan adalah menjadi PR yang besar bagi kita semua untuk menjunjung tinggi keberagaman sebagai sunnatullah. Karena apabila kita tidak mampu untuk kemudian menghargai keberagaman, dampak sosialnya akanlah sangat besar. Hal ini disebabkan karena adanya sikap primordialis dan etnosentris dari diri kita masing-masing selaku actor sosial dalam sistem.
Primordialis adalah suatu sikap dimana kita memiliki kecenderungan dalam membela suatu golongan, terlebih kita termasuk kedalam golongan tersebut. Sedangkan etnosentris adalah sikap dimana suatu permasalahan hanya dilihat dari sudut pandang subjektif si pelaku primordial. Namun, sikap primordialis bukanlah hal negatif yang harus kita jauhi. Primordialis berbicara tentang pilihan hidup, dimana hidup adalah tentang bagaimana kita memilah dan memilih dengan berbagai pertimbangan rasional maupun irasional. Ketika kita sudah memilih satu pilihan, ada nilai-nilai substansial yang harus kita perjuangkan dan pertahankan sebagai konsekuensi dari pilihan tersebut. Sehingga kita secara tidak langsung diwajibkan untuk bersikap primordialis. Seperti contoh dalam hal beragama, penulis memilih beragama Islam dan sudah barang tentu menjadi kewajiban penulis untuk memperjuangkan dan mempertahankan nilai-nilai keislaman.
Selain dalam beragama, kita juga mengenal perbedaan-perbedaan dalam perihal suku, keturunan, klan, marga, organisasi, kelompok suporter, aliran, genre music, hobby, dan lain-lain. Kesemuanya adalah hal-hal yang secara tidak langsung mewajibkan kita untuk bersikap primordialis untuk memperjuangkan nilai-nilai yang menjadi alasan primordialis kita. Sehingga, menurut penulis, bersikap primordialis adalah sesuatu yang sah sah saja dalam kehidupan bersosial.
Namun, dibalik sikap primordialis yang ada. Banyak sisi-sisi negatif yang nampak, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh mainset-mainset etnosentris yang berlebihan. Hal ini berdampak terhadap kehidupan sosial yang menjadi kacau dan tidak equilibrium. Perbedaan yang seharusnya menjadi hal yang patut kita syukuri, berubah menjadi permusuhan yang berkepanjangan dan nyaris tanpa ujung. Sebagai contoh, kita ketahui permusuhan yang terjadi antara blok barat (kapitalisme) dan blok timur (komunisme) pada saat perang dunia I dan II. Bahkan hingga saat ini, sisa-sisa permusuhan tersebut masih sangat sering kita dengar, walau masih dalam bahasa-bahasa konspirasi. Dalam ruang lingkup yang lebih kecil, kita pasti mengetahui perseturuan antar suku di Indonesia, seperti halnya sunda dan jawa yang menurut berbagai sumber, bermula dari peristiwa perang bubat, dimana rombongan mempelai wanita dari kerajaan Sunda bernama Dyah Pitaloka yang akan dipersunting oleh Prabu Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit, dihabisi di lapangan bubat oleh prajurit Majapahit. Percaya atau tidak, hingga saat ini, sedikit sesepuh-sesepuh kita di tanah sunda dan jawa masih menganggap, pernikahan antara sunda dan jawa adalah suatu hal yang pamali untuk dilakukan. Masih dalam sampel permusuhan, kita juga mengetahui perseteruan antar organisasi mahasiswa PMII dan HMI, perseteruan antar suporter sepak bola (Viking vs The Jakmania, Aremania vs Bonek).
Dari berbagai contoh diatas, kita sejatinya dapat mengambil benang merah, dimana perseteruan-

perseteruan tersebut lahir dari sikap primordialis yang kurang bijaksana dan adanya etnosentrisme yang berlebihan. Merasa kelompoknya adalah yang paling benar dan akan membunuh siapapun yang berbeda dari apa yang dia pilih. Menurut penulis, ini adalah pemikiran yang sangat primitif dan tidak bijaksana. Hal ini wajib untuk kita tinggalkan, sikap primordialis yang tidak bijaksana.

Lantas bagaimanakah kita harus bersikap sehingga primordialisme kita tidak menyebabkan etnosentrisme berlebihan yang menyebabkan intolerasi terhadap sesama? Sebelumnya, lagi-lagi kita harus memahami, bahwa perbedaan adalah sebuah rahmat dari Allah SWT yang wajib kita syukuri. Allah juga memerintahkan kita untuk saling mengenal, mengerti dan memahami satu sama lain, tanpa perlu mengorbankan eksistensi primordialisme kita (Waja’alnakum syu’uban waqobaa’ila lita’arofuu). Seperti halnya dengan apa yang telah dilakukan oleh sahabat-sahabat dari penulis di Komunitas Gusdurian Malang, dimana sahabat-sahabat GD mengunjungi gereja dalam perayaan natal kemarin untuk menunjukkan rasa saling mengerti, memahami, dan toleran, tentunya tanpa mengorbankan eksistensi primordialis keislamannya. Mereka tetap bagian dari Islam meskipun mereka datang ke Gereja, karena tidak kemudian mengubah keyakinan mereka akan kebenaran Islam. Dengan demikian, keberagaman menjadi sesuatu yang indah, sesuatu yang sangat menyejukkan, berharga, memberikan rasa aman terhadap sesama dan patut kita syukuri bersama. Tidak kemudian menjadi modal permusuhan antar sesama, seperti yang banyak terjadi belakangan ini.
Kita sebagai bangsa Indonesia, dimana Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, berbagai macam tradisi, dan berbagai macam keyakinan beragama, sangat rentan akan perpecahan dan konflik akibat sikap primordialis yang tidak bijaksana. Sehingga, sudah sepatutnya kita bersama-sama menghargai perbedaan atas sesama. Seperti semboyan negara kita “Bhinneka Tunggal Ika, (Berbeda-beda tapi tetap satu jua)”,mari kita bersatu dalam perbedaan, menuju Indonesia berkemajuan. Dan mari kita junjung tinggi sifat Tasamuh (toleran), Tawazun (seimbang), Tawassuth(moderat), dan Ta’addul (adil) sehingga kita dapat menjadi seorang primordialis yang bijaksana. Wallahu a’lam.
Malang, 26/12/15 03.05 WIB
Hari Ibu : Refleksi Gerakan Perempuan atau Ungkapan Kasih Sayang?

Hari Ibu : Refleksi Gerakan Perempuan atau Ungkapan Kasih Sayang?

Oleh : Fawwaz Muhammad Fauzi

Kata mereka diriku slalu dimanja
Kata mereka diriku slalu ditimang
Oh bunda ada dan tiada dirimu
Kan selalu ada di dalam hatiku
(dalam “Bunda” Melly Goeslaw)

Begitulah cuplikan lirik dari lagu Bunda. Dari situ, kita dapat benar-benar merefleksikan dengan tenang, bagaimana peran ibu dalam kehidupan kita, betapa pentingnya ibu bagi kita. Penulis juga memiliki ibu yang sangat penulis sayangi. Beliau yang tak kenal lelah, berjuang membesarkan anaknya, hingga seperti sekarang. Semuanya berkat kedua orang tua penulis, terutama berkat seorang ibu. Maka dari itu, mari sejenak mengucap doa untuknya, dengan harapan, semoga ibu dan ayah kita bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat nanti. Allahummaghrilana Waliwaalidiina Warhamhuma kamaa robbayaana shighooro. Lahumal faatihah…
Ibu memang patut kita hormati. Sebagai orang islam, kita pasti sudah sangat mengenal istilah “Surga ditelapak kaki ibu”, “Ridho Allah terdapat pada Ridho Orang Tua”, dan hadits yang menyebutkan keutamaan ibu sebagai berikut :
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ :يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ، قَالَ أَبُوْكَ
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, belia berkata, “Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Dan orang tersebut kembali bertanya, ‘Kemudian siapa lagi?’ Nabi shalallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Ibumu!’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu.’ Orang tersebut bertanya kembali, ‘Kemudian siapa lagi,’ Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kemudian ayahmu.’” (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Besok (22/12/2015) kita akan merayakan hari ibu. Biasanya, dalam perayaan ini, seseorang yang berposisi sebagai anak akan memberikan sesuatu kepada ibunya, baik berupa materi maupun ungkapan kasih sayang nan menyejukkan seperti lagu diatas, bahkan sebuah do’a yang tercurahkan untuk seorang ibu. Hal itu sudah sagat lumrah terjadi di belahan dunia manapun, dimana hari ibu memang dirayakan untuk kemudian menghargai perjuangan ibu terhadap anak dan keluarganya. Namun, apakah itu pula yang melandasi diperingatinya hari ibu di Indonesia? Jika tidak, lantas bagaimana? Ketika kita mengikuti kata-kata Soekarno, “JASMERAH”, Jangan sekali kali melupakan sejarah, setidaknya kita akan memiliki motivasi lebih dari apa yang telah disebutkan diatas dalam memperingati hari ibu.
Sejarah hari ibu berawal ketika dari berkumpulnya para pejuang perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatra dan mengadakan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta. Salah satu hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Namun penetapan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Bahkan, Presiden Soekarno menetapkan tanggal 22 Desember ini sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959.
Para pejuang perempuan tersebut berkumpul untuk menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Para feminis ini menggarap berbagai isu tentang persatuan perempuan Nusantara, pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, pelibatan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, perdagangan anak-anak dan kaum perempuan. Tak hanya itu, masalah perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan masih banyak lagi, juga dibahas dalam kongres itu.
Jika kita menelisik lebih dalam, hari ibu di Indonesia nyatanya sangat erat kaitannya dengan GERAKAN PEREMPUAN. Dimana isu-isu perempuan dalam konteks partisipasi gerakan perlawanan terhadap penjajahan selalu dikaji, dikupas lebih dalam, hingga kaum perempuan pun dapat memberikan pernyataan sikap terhadap suatu problematika pada masa itu. M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said beserta tokoh perempuan lainnya menggangas hari ibu bukan untuk kemudian merayakannya dengan seremonial-seremonial yang hanya berupa pemberian hadiah, ucapan kasih sayang, dan lain-lain. Melainkan lebih dari itu. Yakni untuk mengenang semangat dan perjuangan para pejuang-pejuang perempuan dalam negeri dalam upayanya berpartisipasi aktif dalam gerakan perbaikan bangsa.
Kini, peringatan hari ibu di Indonesia dalam realisasinya lebih kepada ungkapan rasa sayang kepada para ibu, memuji keibuan para ibu. Seperti yang telah diuraikan diatas, kita berlomba-lomba memberikan hadiah kepada ibu, berlomba-lomba memberikan ungkapan kasih sayang untuk ibu, dan lain-lain. Meski dalam konteks relevansinya dengan sejarah hari ibu sendiri kurang begiu sejalan, hal tesebut bukanlah sesuatu yang negatif yang harus dihindari dalam peringatan hari ibu. Ungkapan kasih sayang dan pemberian hadiah adalah hal yang sangat baik yang dapat dilakukan pada hari ibu.
Lantas apa yang menjadi masalah? Hal diatas (Ungkapan kasih_red) adalah versi baru yang baru dalam peringatan hari ibu. Versi lamanya (Refleksi gerakan_red) adalah bagaimana kita memperingati hari ibu dengan merefleksikan semangat kaum ibu pada masa lampau. Dimana dengan sangat berani, mereka berkecimpung dalam percaturan gerakan nasional pada masa lalu. Versi baru adalah hal yang baik, begitupula versi yang lama. Maka dari itu, tak elok kiranya ketika kita menghilangkan salahsatu dari keduanya. Akan lebih baik, versi lama yang kemudian telah terkikis oleh peringatan versi baru dikembalikan lagi esensinya dalam peringatan hari ibu kali ini. Sehingga hari ibu tidak hanya tentang olah emosional, namun juga olah intelektual yang edukatif dan reflektif. Seperti melaksanakan Seminar pengkajian sejarah hari ibu, bedah buku tokoh-tokoh perempuan, Diskusi seputar isu gender, aksi teatrikal hari ibu, dan lain-lain.
Dengan demikian, eksistensi pejuang perempuan di Indonesia akan lebih bertaji, kaum ibu akan lebih teredukasi dan sadar akan peran, bahkan para calon ibu, yang sejatinya, merekalah yang sangat memerlukan wawasan gerakan perempuan dan keibuan. Sehingga para calon ibu nantinya dapat membesarkan anaknya dengan baik sebagai the next ibna zamaanika. Bukankah para calon ibu ingin anakanya lahir dari rahim seorang wanita yang cerdas? Jelas! Maka dari itu, semoga dari refleksi hari ibu yang lebih komprehensif dalam konteks isu yang diangkat. Para calon iu dapat lebih termotivasi untuk belajar lebih baik lagi sehingga mampu membesarkan anaknya secara bijak dan bijaksana di kemudian hari. SELAMAT HARI IBU.

Malang, 21/12/2015
SANG DOSEN MENYOAL “SELAMAT SIANG”

SANG DOSEN MENYOAL “SELAMAT SIANG”

Oleh : Fawwaz Muhammad Fauzi
Assalamualaikum, SELAMAT SIANG Kota Malang, Kota Toleransi, Kota berkumpulnya berbagai macam suku, ras, budaya, dan agama, sehingga menjadi kota yang berpenduduk sangat bhinneka, dan banyak beberapa komunitas yang mengupayakan sebuah gerakan ‘Tunggal Ika’ nya, sehingga keberagaman penduduk Kota Malang dapat menjadi pondasi persatuan antar sesama warga kota Malang dan menjadi percontohan Kota yang relatif aman dari isu perpecahan akibat konflik SARA.
SELAMAT SIANG? Ya, tulisan ini hanya berangkat dari kata “Selamat Siang”, dimana kemarin penulis menanyakan sebuah problem mata kuliah terhadap salah satu dosen dari penulis. Disini penulis mendapatkan respon yang sangat tidak penulis duga, terheran-heran, karena penulis kira, apa yang penulis sampaikan kepada beliau disampaikan dengan kalimat-kalimat yang terbilang sopan dan ta’dzim. Respon beliau menurut penulis sangat tidak perlu diungkapkan, karena ada beberapa point yang menurut penulis adalah hal yang bertentangan dengan apa yang penulis fahami selama ini.

Begitulan kira-kira percakapan penulis dengan beliau, sang dosen. Ada hal yang kemudian menjadi kegaduhan dalam benak penulis. Mengapa beliau sangat mempermasalahkan kata selamat siang? Mengapa beliau langsung mengkaitkan kata selamat siang dengan tradisi non-muslim? Mengapa beliau malah menanyakan pengakuan keislaman atas dirinya kepada saya? Menurut penulis, ini penyataan yang kacau balau dan gagal paham terkait konsep agama dan sebab musabbab dari kata “Assalamualaikum” itu sendiri.
Pertama, kata Assalamualaikum memang sangat dianjurkan oleh Rasulullah, dimana kita sunnah mengucapkannya, dan wajib kifayah bagi yang mendengarnya untuk menjawab. Ada beberapa hadits Rasulullah yang menerangkan terkait Salam, seperti hadits terkait anjuran berucap salam dan menjawabnya, tatacara mengucapkan salam dan menjawabnya, bagaimana mengucapkan salam kepada non-muslim, bagaimana mengucapkan salam ketika masuk rumah yang kosong, dan hingga hal yang menjadi keutamaan mengapa harus mengucap “Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh”.
Namun, apa yang kemudian menjadi anjuran Rasulullah SAW tidak kemudian menghilangkan sebuah tradisi-tradisi baik yang sudah ada dalam praktek kehidupan sosial pada saat itu, seperti ucapan “Shabaahal khair (Selamat Pagi)”, “Shabaahannur (Selamat Pagi)”, “Nahaaruka sa’iid (Semoga Siangmu bahagia)”, Lailatuka sa’idah (semoga malammu bahagia)”. Jadi, sesuai dengan kaidah “Al Muhaafdzatu alal qadiimisshalih, Wal Akhdu bil jadiidil ashlah”, Rasulullah tidak kemudian mengharamkan ucapan-ucapan diatas dan wajib diganti dengan ucapan “Assalamualaikum”, melainkan hanya hendak membuat ucapan yang lebih afdhal dari ucapan-ucapan tersebut. Sehingga, mengucapkan “Assalamualaikum” adalah sunnah, bukan wajib.
Kedua, tradisi ucapan selamat siang bukanlah tradisi non-muslim. Jika kita melek akan sejarah. Kata selamat siang tidak pernah di syariatkan oleh agama-agama lain. Contohnya adalah agama kristen yang mensyariatkan “Shalom Aleichim b’Shem Ha Mashiach”, Yudaisme yang mensyariatkan “Shalom aleichem”. Dimana sejatinya kedua kalimat itu adalah kalimat yang berasal dari bahasa ibrani. Dan kita perlu tahu bahwa ternyata Bahasa Arab adalah bahasa yang serumpun semitik dengan bahasa ibrani yang banyak digunakan di Timur Tengah. Selain itu, ada agama Buddha yang mensyariatkan salam “Namo Buddhaya” yang artinya “terpujilah buddha”, ada agama hindu yan mensyariatkan “Om Swastiastu” dan “Om Santi Santi Santi Om”, dan masih banyak percontohan ucapan salam agama-agama lain yang bisa pembaca gali sendiri asal muasalnya. Dalam tradisi kesukuan di Indonesia, ada ucapan sampurasun atau Wilujeng Enjing dalam tradisi sunda, ucapan Sugeng Enjing dalam bahasa Jawa, Horas dalam bahasa Batak, Tabea dalam bahasa Papua.
Dari beberapa ucapan diatas, penulis tidak menemukan satupun ucapan “Selamat Siang” yang disyariatkan oleh agama apapun, bahkan dari tradisi kesukuan. Sehingga, pemahaman terkait ucapan Selamat Siang adalah tradisi non-muslim adalah salah kaprah dan perlu diklarifikasi. Karena sejatinya, ucapan selamat siang, selamat pagi, selamat sore, selamat malam adalah ungkapan salam dalam bahasa Indonesia yang perlu digunakan untuk menjalin komunikasi antar suku bangsa Indonesia yang mempunyai keberagaman. Seperti yang kita  ketahui bersama, bahwa Bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu bagi bangsa Indonesia. Apabila kita masih ingat terkait sumpah pemuda, kita akan menemukan sebuah ikrar ke-Indonesia-an dimana salahsatu isinya memuat ikrar Bahasa yang satu, yaitu Bahasa Indonesia.
Ketiga, eksistensi atau pengakuan agama bukanlah hal yang patut dipertanyakan kepada orang lain ataupun khalayak umum. Karena menurut pribadi penulis, keyakinan dalam beragama adalah di dalam hati, bukan didalam pengakuan orang lain, pengakuan dari eksisitensi keyakinan kita terhadap suatu agama, dalam hal ini adalah islam, cukup dengan kalimat “Syahadat”. Karena diluar itu, kita tahu dalam prakteknya, banyak wilayah khilafiyahalias berbeda-beda, termasuk dalam praktek shalat, zakat, puasa dan ibadah haji. Praktek-praktek tersebut mempunyai berbagai macam versi yang diambil dari sumber hukum yang sama namun di-ijtihadkan dengan pemahaman yang berbeda-beda oleh ulama kita, sehingga lahirlah berbagai macam ulama mujtahid.
Apabila kita lagi-lagi menelisik sejarah, dalam ilmu teologi, eksistensi yang berlebihan atas pengakuan keislaman nyatanya malah memberikan dampak buruk terhadap islam itu sendiri. Seperti halnya kita mengetahui sejarah dimana ada beberapa firqoh dalam islam yang lahir karena membutakan eksistensi pengakuan, seperti Jabariyah, Qodariyah, Muktazilah, Syiah, dan Khawarij. Dimana kesemuanya lahir atas problem-problem eksistensi ketauhidan yang ingin diakui dengan kepentingan politik pada masa itu. Sehingga adalah hal yang bodoh ketika kita ingin mengulang sejarah perpecahan tersebut dengan sikap gila eksistensi, apalagi dengan kegilaan eksistensi keimanan. Dalam 6 poin rukun iman saja, semuanya adalah tentang keyakinan hati kita sendiri, bukan keyakinan yang harus dipercayai oleh orang lain. Karena manusia tidak akan pernah mengetahui apa isi hati sesama manusia itu sendiri. Bisa saja keimanan seorang kyai adalah lebih rendah dari keimanan seorang preman. Itulah rahasia hati, dan manusia hanya bisa mengandalkan sebuah kepercayaan atas sesamanya akan hal itu.
Dari beberapa pembahasan diatas, ada beberapa hal yang menjadi penting untuk kemudian difahami bersama, bahwa kita adalah manusia, yang wajib saling melindungi satu sama lain, apalagi dengan sesama muslim. 6 point tujuan syariat islam sendiri adalah upaya untuk melindungi sesama manusia, bukan untuk saling menjatuhkan. Apalagi menjatuhkan demi eksistensi jabatan atau gelar tertentu. Maka dari itu, dalam kehiduan bersosial, perlu kiranya menjunjung tinggi nila-nilai tawassuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleran), dan ta’addul (keadilan). Sehingga terciptalah suatu kondisi dimana ukhuwwah islamiyyah, ukhuwwah wathaniyyah, ukhuwwah basyariyyah terjaga dengan baik dan memunculkan kembali wajah Islam sebagai Agama yang Rahmatan Lil Alamin. Mari bersama-sama menjaga akan hal itu, apapun peran kita, dan apapun jabatan kita. Wallahu a’lam.

“Tidak penting apapun agama atau sukumu… Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu” – GUSDUR

Malang, 12/12/2015 13.54 WIB
Kegaduhan yang Tak Perlu

Kegaduhan yang Tak Perlu

Selamat Malam Kota Malang, Kota penuh cerita, Kota Pergerakan. Ya, kota Pergerakan. Karena di kota ini, terdapat banyak kampus dengan nama besar dan didalamnya terdapat berbagai macam organisasi yang berbasis pergerakan, seperti HMI, PMII, GMNI, PMKRI, dan lain-lain. Pergerakan disini dimaksudkan adalah gerakan kaum intelektual muda yang ditujukan untuk membela kaum mustadh’afindari kebijakan para elit politik dan penguasa yang tidak berpihak pada orang yang mempercayainya.
Penulis adalah anggota dari salahsatu organisasi pergerakan tersebut. Penulis adalah anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), khususnya di Rayon Pencerahan Galileo. Dalam prosesnya, penulis sangat bangga menjadi bagian dari PMII. Dari para sahabat disana, penulis belajar banyak hal, terutama di bidang kapasitas kepemimpinan dan olah intelektual. Penulis meyakini bahwa PMII adalah organisasi mahasiswa yang tepat karena berhaluan ahlussunnah waljamaah, salahsatu ideologi islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi dan pluralitas/ke-bhinneka-an. Penulis juga mengenal banyak sahabat-sahabat yang sangat baik dan menjadi sahabat dalam suka maupun duka. Baik dalam situasi yang sunyi maupun gaduh.
Gaduh, ya memang adakalanya suatu organisasi menjadi gaduh dan tidak terkontrol, karena itu adalah bagian dari pembelajaran dalam berorganisasi. Ada fase dimana sesama anggota saling adu eksistensi, adu intelektualitas, bahkan adu jotos. Penulis kira, ini adalah hal wajar dimana dalam berorganisasi, hal tesebut adalah fase yang normal untuk dilalui, karena kemudian dapat menjadi hal untuk muhasabah dan instropeksi para pegiat organisasi untuk lebih dewasa dan bermartabat untuk menjadi rijalul ghad.
Banyak dari sekian alumni organisasi yang berhasil menjadi manusia, manusia yang bermanfaat bagi ummat, meskipun tak sedikit pula jebolan organisasi yang menjadi maling, tukang jambret, bahkan penjilat rakyat. Namun, tak adil kiranya ketika kita selaku subjek yang menilai, memandang bahwa apa yang dilakukan seseorang mencerminkan apa yang dilakukan organisasinya secara umum. Memang ada pepatah yang menyatakan bahwa Buah tak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya, peribahasa ini tidak adil jika kemudian dijadikan dalil yang jami’dan ditujukkan kepada semua orang. Karena sejatinya, tidak kemudian apa yang kita lakukan akan selalu sama dengan apa yang dilakukan oleh teman kita, meskipun dengan latar belakang organisasi maupun ideologi yang sama, karena ada olahan terlebih dahulu dari apa yang difikirkan menuju apa yang akan dilakukan, sehingga apa yang kita lakukan bisa saja berbeda dengan sahabat kita. Intinya, penulis mengharap, pembaca harus kemudian objektif dalam menilai suatu fenomena yang terjadi, dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun kondisinya, seperti hanya kita menilai suatu berita.
Akhir-akhir ini, sering kita melihat pemberitaan yang memojokkan salahsatu pihak. Dalam artian, pemberitaan yang tidak berimbang, dan sarat dengan asupan yang subjektif para penulis berita. Hal ini sudah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi, dan memang ada ilmu khusus yang membahas terkait bagaimana kemudian seorang penulis berita harus di bingkai sedemikian rupa sehingga berita dapat terlihat berbobot dan menarik untuk dibaca. Namun, pengamalan ilmu yang digunakan untuk praktek kapitalisme-lah yang kemudian mencederai kode etik jurnalistik yang seharusnya ditaati.
Pem-bully-an habis-habisan terhadap organisasi ekstra bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah salah satu contohnya. Sebuah media memberitakan bahwa dana yang digunakan dalam penyelenggaraan Kongres HMI di Riau menyerap APBD Riau hingga menembus angka 3 M dan melebihi alokasi dana APBD untuk korban bencana kabut asap di Riau yang hanya berkisar 1,4 M. Menurut penulis, hal ini memang terlalu berlebihan ketika dana sebesar itu dialokasikan untuk kegiatan kongres organisasi mahasiswa apabila dibandingkan dengan alokasi APBD untuk penanggulangan bencana asap Riau. Sehingga kemudian media banyak memojokkan HMI dengan berbagai pemberitaan yang terkesan sangat gaduh. Disini penulis tidak kemudian hendak membela HMI dan setuju terkait alokasi APBN tersebut, namun penulis mempertanyakan keberpihakan media. Menurut penulis, seharusnya media lebih menyorot terkait apa yang dilakukan pemprov Riau? Apakah Pemprov Riau masih waras? Mengapa alokasi dana untuk korban bencana asap lebih sedikit dari apa yang diberikan kepada HMI untuk Kongresnya? Masihkan pemprov Riau punya hati? Padahal bencana asap menyangkut nyawa manusia, bukan lagi hanya menyangkut kepentingan organisasi.
Entah apa maksud media dengan melakukan pemberitaan tersebut, yang pasti, HMI sangat dirugikan atas kegaduhan ini. Penulis tidak berkomentar atas kerugian yang dialami PB HMI, tapi kerugian atas ruang-ruang professional kader-kader HMI di tingkat basis. Karena kita semua tahu, bahwa kaderisasi di tingkat basis (Komisariat dan Kordinator Komisariat) masih mempraktekkan etika organisasi yang masih bersih dan jauh dari sifat-sifat transaksional. Para kader HMI di tingkat basis dipukul habis-habisan oleh kegaduhan yang sebetulnya tidak perlu, Dalam artian, tidak perlu ditujukan kepada HMI selaku yang diberi dana oleh pemprov Riau. Karena seharusnya yang dihajar habis-habisan adalah pemprov Riau, yang begitu bodohnya, entah apa maksudnya, dengan entengnya memberikan alokasi dana untuk kongres HMI yang nominalnya melebihi alokasi dana untuk korban bencana. Semisal kita adalah anak-anak, kita bisa meminta kepada orang tuanya apapun yang kita mau, namun orang tua akan mengabulkannya sesuai dengan apa yang kita butuhkan, bukan atas apa yang kita inginkan. Ketika orang tua memberikan seluruh apa yang kita minta, sudah barang tentu akan memberikan efek yang tidak baik. Dan apabila kita cermati dengan baik, ketika orang tua tersebut memanjakan anaknya dan kemudian anaknya tersebut mempunyai sifat yang tidak baik, siapakah yang salah? Siapakah yang paling bertanggungjawab? Jelas, orang tualah yang paling bertanggungjawab atasnya. Hal ini berlaku pula terhadap kasus diatas. Penulis semakin mencurigai terkait adanya misi terselubung media untuk terus memojokkan keberadaan organisasi mahasiswa dan memaksa kami dan organisasi mahasiswa yang lainnya untuk bungkam secara tidak langsung.
Media di era globalisasi ini adalah sarana yang produktif untuk mengawal suatu pemerintahan maupun aktivitas-aktivitas manusia pada umumnya. Terlihat dimana kasus Freeport dikawal habis-habisan oleh media-media. Namun ketika praktek media digunakan untuk suatu kepentingan, sisi yang kemudian penting dipegang oleh pegiat media menjadi hilang. Unsur objektivitas semakin terhimpit oleh subjektivitas yang sengaja dibubuhkan kedalam berita dan menghasilkan kegaduhan-kegaduhan yang tak perlu, seperti kasus alokasi dana APBD Riau untuk HMI. Dan jika kita flashback sedikit lebih jauh kebelakang, kita mafhum dengan apa yang terjadi antara kubu KMP dan KIH dengan masing-masing media subjektif penyokongnya.
Semoga kemudian media dapat memunculkan kembali wajah aslinya, media yang objektif, media yang mengungkap fakta, bukan tergantung dapat apa dan berapa. Sehingga tidak terjadi kegaduhan-kegaduhan yang tak perlu dan salah sasaran yang merugikan pihak tertentu. Dan penulis pun berharap, semoga kongres HMI di Riau lancar dan melahirkan gagasan-gagasan baru, serta pemimpin baru yang merepresentasikan wajah asli HMI, yakni sebagai organisasi mahasiswa yang dapat mencetak kader-kader penerus bangsa yang dapat membawa negeri ini ke arah yang lebih baik. Semoga Indonesia terhindar dari bencana-bencana, baik berupa bencana alam, maupun bencana moral. Salam sejahtera, harmoni damai, lestari budaya, Bhinneka Tunggal Ika. SALAM PERGERAKAN!!!