Efek Domino Perang Harga di Marketplace

Efek Domino Perang Harga di Marketplace

Sejak munculnya platform jual beli online. Perilaku konsumen dalam berbelanja juga berubah. Disrupsi Teknologi dalam praktek ekonomi keseharian rakyat ini benar-benar mentransformasi konsumen dalam pengambilan keputusan membeli suatu barang.

Saat pasar luring berjaya, momentum liburan sekolah akan membuat pasar dipadati lautan manusia yang memburu aneka produk incarannya, dari mulai fashion hingga makanan. Pasar menjadi tempat utama spending money pada saat itu. Era teknologi informasi mendisrupsinya. Munculnya terminologi healing, menjamurnya wisata-wisata baru yang semakin terjangkau, didukung dengan produksi konten-konten marketing wisata instagrammable dari para influencer, membuat orang yang awalnya liburan itu belanja ke pasar, menjadi healing ke tempat wisata.

Disisi lain, muncul pula disrupsi dalam bentuk lainnya berbentuk marketplace. Bagi saya, Shopee yang muncul di tahun 2015 dapat dikatakan sebagai platform tersukses yang menjadi aktor utama disrupsi ini. Promo gratis ongkir, diskon-diskon kemudian menjadi daya tarik luar biasa untuk konsumen mengambil keputusan. Konsumen pada akhirnya terbiasa dengan berbelanja online hingga saat ini, termasuk saya. Pasar konvensional terpukul mundur, tentu saja karena kalah saing. Harga yang ditawarkan penjual online jauh lebih murah dibandingkan yang ditawarkan penjual offline. Gratis ongkir pula. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.

Kedua faktor inilah bagi saya yang menyebabkan banyak pasar tradisional menjadi bak tak berpenghuni. Lalu lalang manusia di banyak pasar tradisional di Indonesia dapat dihitung jari. Omzet menurun. Penjual kemudian mengeluh. Media memberitakan. Tapi apapun itu, ini adalah reformasi dari perkembangan teknologi informasi. Banyak orang bijak berkata, sekuat apapun kau melawan arus, kau akan tetap terombang-ambing. Lebih baik, ikutilah arus, lalu beradaptasi. Maksudnya, ya sudah yang jualan di pasar ikut buka toko online saja, jadi sama-sama jalan kan?

Keluarga saya adalah salah satu contohnya. Melalui saya dan istri, 2018 saya memulai membuka toko di shopee. Alhamdulillah, masih teringat euforia saat orderan pertama itu datang. Selanjutnya disusul dengan membuka banyak toko di platform marketplace lain macam lazada, tokopedia, dan terakhir adalah TikTok. Semuanya berjalan baik hingga datanglah aturan biaya admin dari marketplace, disusul mulai munculnya banyak pesaing diantara seller online.

Dibarengi dengan COVID-19 yang mempengaruhi daya beli masyarakat. Penjualan baik online maupun offline banyak yang sepi. Ya mungkin tak semua kategori produk, produk macam skincare sedang merajalela, tapi fashion? Merosot! Untuk apa beli baju baru, hijab baru, sepatu baru sedang saat COVID kita tak bisa jalan-jalan dan foto-foto dengan fashion baru itu. Produsen juga ikut sengsara. Akibatnya, banyak produsen ikut mencoba direct langsung ke konsumen, memutus jalur distribusi. Konsekuensinya, namanya produsen, ia dapat menjualnya dengan harga yang lebih murah. Ditahap inilah, banyak dari mereka para reseller dan dropshipper menyerah tanpa syarat, sebagian dari mereka ada yang tetap survive dengan mengurangi margin keuntungan.

Persaingan antar platform marketplace juga ikut memanas, mereka mencoba membuat tawaran promosi kepada para seller untuk berlomba-lomba menjual dengan harga murah. Jika ada yang tak ikut serta mengikuti promo, algoritma tak akan menaikkan produk jualan para seller. Disamping itu, marketplace juga telah kehabisan momentum untuk terus membakar uangnya, sehingga menerapkan biaya admin yang cukup “mencekik” kepada seller. Mau tidak mau, seller pun mengikutinya dengan mengurangi margin keuntungan. Menurut beberapa orang, margin keuntungan yang sehat paling tidak jangan kurang dari 10% dari harga barang. Sekarang? Saya tidak bisa berword-word, wkwkwk.

Masih terus berlanjut, dengan persaingan antar seller yang semakin sengit dengan perang harga. Iklan adalah satu opsi yang harus dipilih karena mereka tak bisa menggantungkan tokonya dengan traffic organik. Mereka harus mengalokasikan anggaran dari margin keuntungan yang sudah tipis itu untuk beriklan. Konsekuensinya, keuntungannya semakin menipis, belum lagi kalau ia tak punya skill mengelola ads. Yang ada mereka rugi dan boncosss!!!

Fakta-fakta inilah yang menurut saya menyebabkan efek domino bagi perekonomian masyarakat kecil. Perang harga menyebabkan margin keuntungan seller menipis. Dengan keuntungan yang menipis, tentu mereka akan lebih selektif untuk berbelanja barang sehingga perputaran ekonomi terus melambat. Akhirnya, seller ini juga yang terkena dampaknya, mereka kesulitan menjual produknya karena calon konsumennya (yang mungkin juga sesama seller) tak punya uang berlebih.

Jika memang benar bahwa 99,99% atau 65 juta pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM, maka saya kira mayoritas dari mereka ini juga merupakan seller online. Jika melihat statistik itu, dengan penyerapan tenaga kerja di UMKM yang mencapai 97%, agaknya kita berada dalam situasi ekonomi yang tidak sehat. Jika banyak UMKM kolaps, baik yang offline (yang sudah lebih dulu lesu), maupun yang online (akibat perang harga), maka perekonomian Indonesia dapat dikatakan tidak baik-baik saja. Belum lagi ada isu akan datangnya platform marketplace asal Tiongkok yang dapat menjual produk secara direct ke konsumen dikirim langsung dari sana. Kiamat kiamat, wkwkwk.

Menurut saya, perlu ada kebijakan strategis yang diambil pemerintah untuk mengatasi kondisi ini, agar efek dominonya tak meluas dan berdampak kepada kejatuhan ekonomi. Eh, tapi menurut Najwa Shihab, kita masyarakat ini gak penting di mata pemerintah ya? Lha wong data kita dicuri aja Menkominfo masih tak mau mundur, dan malah berkata Alhamdulillah, hahahaha.

Diakhir tulisan, saya disclaimer dulu. Saya bukan ahli ekonomi, pemerhati UMKM ataupun pakar bisnis. Saya hanya melihatnya dari kacamata orang biasa yang juga berprofesi sebagai seller online. Jadi analisisnya mungkin acakadut, wkwkwk. Saat cangkrukan dengan banyak teman sesama pedagang, mereka banyak sekali mengeluh terkait kondisi sekarang dimana omzet saat ini terjun bebas. Itu juga yang saya alami. Disaat semua harga kebutuhan pokok naik, ekonomi UMKM terjepit. Rumit. Semoga yang disemogakan dapat tersemogakan. Indonesia Emas 2045?

Skeptis dengan Perekonomian Organisasi

Skeptis dengan Perekonomian Organisasi

Organisasi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, LSM dan sejenisnya kebanyakan adalah organisasi non-profit, alias tidak berorientasi pada keuntungan materiil. Kerja-kerja organisasi tersebut biasanya didanai oleh swadaya atau iuran anggota, sumbangan dari loyalis atau simpatisan, hingga pengajuan proposal pada instansi tertentu. Terminologi wajib dalam sumbang menyumbang di organisasi ini adalah “Halal dan Tidak Mengikat”.

Sialnya, iuran anggota tak selalu efektif. Banyak anggota enggan menyumbang karena berbagai faktor, entah memang kurang percaya pada pengurus organisasi, atau memang kere. Sumbangan dari simpatisan, ini paling menarik, sayangnya zaman sekarang orang tak lagi seideologis dulu, loyalis yang militan menjadi semakin berkurang. Proposal? Selain pengurus organisasi wajib bermuka tebal, biasanya mengandung klausul-klausul. Jika ada klausul, tentu itu melanggar term “Tidak Mengikat”, hehe. Selain itu, tentu ada segudang alasan yang akhirnya berkesimpulan bahwa mencari dana untuk menghidupi organisasi bukan hal yang mudah.

Saat aktivitas organisasi terkendala operasional, muncullah berbagai macam ide, seperti mendirikan badan usaha milik organisasi, atau usaha kecil-kecilan, tiada lain tiada bukan adalah untuk membiayai kegiatan-kegiatan organisasi. Dicetuskanlah dalam rapat kerja atau sejenisnya, program kerja kewirausahaan, dengan semangat kemandirian ekonomi organisasi, agar tidak bergantung pada proposal, jamaah atau loyalis, bahkan iuran pengurus.

Lagi-lagi, sayangnya, tak banyak wirausaha organisasi itu yang bisa berhasil, bertumbuh dan berkembang. Paling baik ya stagnan, buruknya, lebih banyak yang “laa yamutu walaa yahya”. Kegagalan ini juga banyak faktor, namun ada dua penyebab kegagalan yang menurut saya cukup fundamental. Pertama, Kepemilikan usaha dan hilangnya semangat. Usaha itu milik organisasi, sehingga pengurus organisasi itu enggan totalitas untuk pengembangannya karena itu bukan miliknya, meski jika ditarik secara ideologis, harusnya dengan keyakinannya itu kita mau totalitas, tapi misal melihat rekan sesama pengurus yang tidak punya semangat yang sama, akhirnya semangat kita pun ikut luntur.

Mengapa tak punya semangat? Tentu karena profitnya tak 100% mengalir untuk dirinya, sekian persen harus direlakan untuk organisasi. Selain itu, tentu ia pun punya usaha sendiri yang butuh perhatian lebih, karena itu adalah jantung perekonomian keluarga, sehingga usaha organisasi ala kadarnya saja.

Kedua, Penyelewengan. Katakanlah poin pertama itu tidak ada, usaha organisasi maju dan berkembang. Ada tangan-tangan iseng yang mencoba bermain-main dengan uang organisasi. Meski awalnya karena kepepet kebutuhan, pinjem bentar misal, lama-lama keenakan dan terjadilah penyelewengan. Penyelewengan ini macam-macam bentuknya, ada korupsi, ada juga yang cuma gak mbayar, dan ini banyak.

Misal, sebuah organisasi memutuskan untuk berjualan kaos atau merchandise. Kemudian ada beberapa anggota bahkan pengurus organisasi memesan, setelah beres, mereka ambil kaosnya, tapi tak mau membayar dengan seribu alasan. Masak ada yang begitu? Banyak, hahaha. Ada yang merasa begitu disini?

Dengan adanya fakta-fakta demikian, saat ada proker wirausaha dicanangkan kepengurusan organisasi, saya lebih sering skeptis dan optimis jika proker itu akan gagal, hahaha. Paling tidak dengan model peristiwa diatas, entah hilang ghiroh atau adanya penyelewengan.

Lalu bagaimana baiknya organisasi agar punya kemandirian? Saya pun belum punya pengalaman yang memuaskan, tentu ada yang berhasil, tapi tak sampai sesuai harapan. Apakah saya akan terus pesimis? Tentu tidak. Saya menulis ini karena saya ingin tercerahkan, siapa tau ada yang membaca tulisan ini, lalu menginformasikan ke saya beberapa contoh wirausaha organisasi yang berhasil dan berkelanjutan. 

Jika harus dicari teladan wirausaha organisasi, saya bisa sebut organisasi Persyarikatan Muhammadiyah. Melalui amal usahanya, Muhammadiyah terlihat mampu menjalankan aktivitas organisasinya dengan pendanaan mandiri. Tak terhitung sekolah dan kampus yang terkelola secara profesional, profit dan tentu berdampak. Tentu saya melihat Muhammadiyah dari sudut pandang orang luar, saya belum paham dalam-dalamnya, seperti kata pepatah, rumput tetangga biasanya terlihat lebih hijau. Aslinya saya tidak tahu, bisa saja terdapat penyelewengan atau hilangnya ghiroh, sama seperti organisasi lainnya. Tapi sejauh pengamatan saya, saya melihat Muhammadiyah adalah teladan kemandirian ekonomi organisasi. Ya, tentu saja saya bisa salah menyimpulkan, mungkin saya kurang membaca atau ngopinya kurang jauh dengan sahabat-sahabat di Muhammadiyah.

Wallahu a’lam.