Saat ini, kita sudah sampai di pertengahan Desember. Sebentar lagi, kita akan memasuki tahun yang baru. Seperti halnya manusia-manusia lainnya, saya pun memiliki beberapa resolusi yang telah dicapai di tahun 2024, dan resolusi yang ingin dicapai di tahun 2025. Tapi, itu semua gak ‘saklek’ ya, karena saya meyakini, manusia ini kewajibannya ya berencana dan berusaha, Allah lah yang menentukan.
Banyak hal dalam hidup yang kita rencanakan dengan baik, ternyata tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan. Sebaliknya, banyak juga hal yang tak kita rencanakan, tapi secara insidentil menjadi satu milestone dalam hidup. Begitulah hakikatnya, Allah lebih tau apa yang terbaik untuk hidup kita daripada kita sendiri. Rencana-Nya pasti lebih indah. Itu yang saya yakini.
2024 ini cukup menarik, saya tak banyak memasang target yang ambisius. Cukup memasang target konsistensi atas capaian di 2023 dalam berbagai aspek hidup. Jalannya tentu saja berliku, ada kemunduran, ada kemajuan, saya sikapi dengan positif, saya yakin bahwa Allah sedang menuntun jalan hidup saya menuju rencana terbaik-Nya.
Satu hal yang menjadi milestone di luar rencana 2024 adalah keikutsertaan dalam suatu seleksi. Tak disangka dan tak dinyana, saya mampu melalui 1 tahapannya. Saat ini, satu tahap lagi menuju kelulusan yang diharapkan. Jujur saja, keikut sertaan saya bukanlah bagian dari rencana, saya mengikutinya dengan keputusan yang spontan saja. Saya yakin, mentalitas yang saya tunjukkan, kegigihan yang saya berikan, itu adalah skenario yang telah ditulis-Nya sehingga saya sampai pada tahap ini. Tentu saja berkat doa dan dukungan orang terdekat saya, keluarga.
Lalu, bagaimana jika tak berhasil memenangkannya? Saya tak masalah dengan hasil. Yang penting, saya sudah memberikan segala kemampuan yang saya punya, saya pastikan bahwa saya melakukannya dengan kegigihan dan usaha maksimal. Saya berusaha saja meyakini bahwa “hasil tidak akan mengkhianati proses”. Jika gagal, berarti mereka diluar sana punya usaha yang lebih dari saya sehingga lebih layak. Yang salah tentu saja jika kita berharap berhasil, tapi tak disertai usaha yang maksimal, hehehe. Saya percaya, berhasil atau tidaknya, ada skenario keren yang sedang dipersiapkan Allah untuk saya. Tugas kita hanya berusaha. Kata-kata yang mbulet sekali, wkwkwk.
Ya intinya begitu, akhir tahun 2024 ini adalah akhir tahun yang cukup menentukan dalam karir dan kehidupan saya. Saya tak berdoa untuk kelulusan atau kemenangan atas seleksi tersebut. Yang saya minta adalah berdoa diberikan takdir yang terbaik untuk kehidupan saya dan keluarga di masa depan. Kalaulah lulus adalah takdir terbaik, maka luluskanlah ya Allah, kalaulah tidak lulus adalah takdir terbaik, maka buatlah lulus menjadi takdir terbaik, hehe. Maafkan hamba-Mu yang suka guyon ini.
Inilah yang bisa saya sebut tawakkal dan berpasrah. Setelah berupaya keras disertai berdoa, hasilnya adalah domain Allah yang menentukan. Domain makhluk adalah gaspolll maksimal.
Ya Allah, berilah hamba takdir terbaik untuk kehidupan hamba di masa depan, amin ya robbal alamin.
Karena suatu alasan, saya harus mencari argumentasi dan bukti yang menguatkan bahwa saya punya kapasitas berbicara dalam bahasa arab. Tentu saja saya cukup memahami, meski tak seperti alumni gontor dan pesantren bahasa, presentasi adalah sesuatu yang dipersiapan, by design, sehingga dengan basic yang cukup. Kita bisa melakukannya.
Kebetulan saja saya adalah seorang santri yang dulu cukup concern mempelajari gramatika bahasa arab, nahwu, shorof dan (sedikit) balaghoh. Kekurangannya santri salaf, tentu saja dari aspek speaking, kalo aspek reading sudah paling jago mereka. Tapi lemah bukan berarti tidak bisa sama sekali, bisa dipersiapkan, bisa dilatih, bisa disetting.
Saat pembukaan pendaftaran seminar proposal skripsi saat S1 dulu, terdapat edaran bahwa presentasi dapat disampaikan menggunakan bahasa arab atau inggris atau indonesia. Melihat itu, saya mulai tertarik dan berpikir untuk melakukan presentasi menggunakan bahasa arab. Ada beberapa alasan mengapa saya memilih bahasa arab. Pertama, tentu saja men-challenge diri. Tantangannya tentu saja bagaimana mentranslate istilah-istilah kimia ke dalam bahasa arab. Google translate menjadi salah satu opsi, tapi tentu saja saya harus mengecek kembali istilah sebenarnya melalui riset kata per kata. Karena jangan sampai, misal saya translate “Lidah buaya” ke dalam bahasa inggris jadi “Crocodile tongue” atau “Lisanut Timsal”, wkwkwk.
Kedua, ingin berbeda dari yang lain. Terbukti di satu angkatan saya, hanya saya sendiri yang mempresentasikan proposal skripsi hingga sidang skripsi dengan bahasa arab, hehe. Sombong amat. Ketiga, agar tak banyak dikomen penguji terkait performa presentasi, wkwkwk. Tapi ini tak terlalu ampuh, karena dosen sudah punya naskah skripsi saya yang berbahasa indonesia, dan secara konteks, slide per slide mereka paham apa yang sedang saya jelaskan. Jadi pertanyaan-pertanyaan penguji tetap saja horor, hahaha.
Yes! Jadi itulah pengalaman saya mempresentasikan Kimia dalam bahasa arab. Ya, ternyata bisa-bisa saja. Karena pasti di timur tengah sana pun, bahasa pengantar pembelajaran ilmu kimia maupun ilmu alam, teknik hingga kesehatan dengan bahasa arab juga bukan?
Belakangan, tagar JanganJadiDosen mengemuka dan viral di jagat maya. Tagar itu menggema disertai dengan banyak skrinsutan slip gaji dosen yang jauh dari kata kategori sejahtera. Untuk dikategorikan sejahtera, slip gaji yang ditunjukkan pada cuitan di tagar JanganJadiDosen itu memang sangat miris. Sudah gaji kecil, ada yang dirapel pula, dan lain-lain. Padahal, menjadi dosen memiliki kualifikasi yang tak main-main. Sejak beberapa tahun yang lalu, untuk menjadi dosen, seseorang diharuskan memiliki minimal strata pendidikan magister (S-2), dan jika ingin berkarir serius di dunia perdosenan, mengejar gelar doktor adalah kewajiban.
Dan, seperti yang anda tahu, biaya studi sarjana di negeri kita ini masih jauh dari kata “terjangkau”, apalagi untuk S-2 dan S-3. Memang ada banyak pilihan beasiswa, itu bisa menjadi topik lain yang tak perlu dibahas pada tulisan ini. Hal ini sangat memprihatinkan saat kita mengetahui satu fakta bahwa persentase warga Indonesia yang berpendidikan tinggi masih dibawah 10%.
Saya sudah berprofesi menjadi dosen selama kurang lebih satu tahun di salah satu kampus swasta di Cirebon. Menjadi dosen atau paling tidak berkecimpung di dunia pendidikan adalah salah satu cita-cita saya. Entah mengapa saat SMA tiba-tiba cita-cita itu muncul, mungkin sistem pembelajaran pesantren tempat saya belajar adalah salah satu yang mempengaruhi diri saya.
Semakin kuat harapan itu saat saya kuliah di Malang. Dunia aktivis mahasiswa adalah salah satu yang memperkuat itu. Dipertemukan dengan orang-orang yang hebat dalam fasilitasi forum, firm saat berbagi cerita, pemikiran, semangat dan keilmuan. Sedikit demi sedikit, ada satu dua forum yang bisa saya coba isi, saya fasilitasi. Meski tak sebaik senior-senior saya, saya merasa berbagi cerita, semangat, pemikiran dan sudut pandang dengan orang lain, berdiskusi, bertukar pikiran itu terasa menyenangkan.
Disamping dari aspek transfer keilmuan yang sesuai dengan disiplin ilmu saya, dari aspek moril, banyak hal yang saya rasa ingin saya bagikan dan ceritakan dengan orang lain, tentang banyak hal dari sisi ideologis, keyakinan, semangat dan sudut pandang yang ingin saya sebarkan kepada sebanyak mungkin orang, meski entah sebetulnya sekuat dan sebaik apa pikiran saya itu. Tapi setidaknya itulah yang saya yakini baik dan perlu disebarkan.
Selepas S-2, saya tentu mencoba mencari lowongan kerja dosen. Singkat cerita, akhirnya saya diterima di salah satu kampus swasta. Awalnya saya cukup idealis, menjadi dosen saya hanya ingin mengajar saja, jadi dosen non tetap. Namun saat saya terjun lebih dalam lagi, saya akhirnya memutuskan untuk menjadi dosen tetap, menikmati tahap demi tahap menjalankan tri dharma perguruan tinggi.
Kelas pertama tentu tak semudah yang dibayangkan, apalagi saat S-1, saya bukan tergolong mahasiswa yang rajin-rajin amat, perlu mutholaah yang sangat mendalam, karena untuk menyampaikan ilmu, tak cukup hanya paham untuk diri sendiri, tapi juga harus mampu memahamkan anak didik kita. Setelah satu tahun lebih, saya cukup menikmati masa-masa awal ini. Penelitian pertama, membimbing mahasiswa pertama, pengabdian pertama, isi BKD pertama, ritme perdosenan pertama, meski masih terbata-bata, saya menikmatinya.
Meski menjadi dosen ini tak menjanjikan secara finansial seperti yang beredar belakangan, saya menikmatinya. Saya berupaya mengisi kebutuhan cuan dari bisnis yang saya jalani bersama istri, dan tak bergantung dari penghasilan saya sebagai dosen. Terdengar ideal bukan? sebenarnya tak seideal itu. Apalagi saat kedua sisi itu menuntut fokus yang sama. Pekerjaan administratif dosen yang seabrek, dan kompetisi jualan onlen yang semakin tak masuk akal terkadang membuat saya cukup pusing. Tapi, bukankah pusing itu tandanya kita berpikir? intinya, saya menikmati semua kepusingan dalam hidup ini, hehehe.
Beberapa dekade lalu, santri diidentikkan sebagai komunitas masyarakat yang tradisional, kaku dan terbelakang. Masyarakat perkotaan notabene seringkali memandang sebelah kaum santri karena dianggap kolot dan anti kemajuan karena dianggap mendahulukan kepercayaan mistis dibanding tradisi pengetahuan modern. Padahal dalam kesehariannya, santri sangat erat kaitannya dengan tradisi akademik yang progresif.
Tri Dharma ala Santri
Jika dibandingkan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, santri juga melakukan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Hanya saja Tri Dharma santri tak dilaporkan dalam sister BKD seperti dosen, dan terhitung SKS yang formal seperti mahasiswa. Pengajaran dilakukan santri dengan berbagai metode. Kyai atau ustadz bisa melakukannya dengan Bandongan, atau dalam bahasa akademik disebut metode ceramah satu arah. Bisa juga dilakukan dengan sorogan, disimak oleh kyai satu per satu terkait satu pelajaran, bahkan bisa jadi seperti halnya Sidang Komprehensif Skripsi. Teknis sidang kompre santri kira-kira mirip seperti Musabaqoh Qiroatul Kutub.
Penelitian dilakukan santri melalui studi literatur dan dipublikasi melalui “prosiding” forum bahtsul masail di berbagai tingkatan. Bahtsul masail adalah kegiatan berkumpulnya para santri dengan bekal buku-buku akademik keislaman (misal:fiqih) dari generasi ke generasi, dari metode satu ke metode lainnya, dari madzhab satu ke madzhab lainnya untuk membahas persoalan-persoalan keislaman kontemporer, kemudian dicari solusi dari persoalan tersebut dan diambil kesepakatan bersama. Kira-kira jika BM level nasional setara dengan jurnal Sinta 1, BM level internal pondok setara dengan Sinta 3-5. Sehingga Bahtsul masail adalah salah satu contoh dari rutinitas santri yang erat kaitannya dengan tradisi akademik bidang Penelitian.
Untuk banyak santri satu dua dekade kebelakang, mungkin Pengabdian Masyarakat adalah kegiatan sehari-hari karena relasi santri dan masyarakat saat itu sangatlah cair dan mutualisme. Santri saat ini dengan sistem dan aturan pesantren yang lebih terstruktur, biasanya pengmas dilakukan selepas santri lulus dari pendidikan pesantren. Meski tak semuanya, beberapa pesantren mewajibkan santri melakukan pengmas wajib selama 1 tahun pasca lulus. Berbeda dengan pendidikan tinggi yang merealisasikan pengmas hanya 1 bulanan.
Peluang Santri terhadap Sains dan Teknologi
Lalu apa hubungan santri dan saintek? Saya membayangkan keunggulan santri dengan metode-metode pembelajarannya, serta fokus yang lebih baik karena konsep boarding schoolnya. Jika dibuat visi, misi, tujuan, rencana induk, rencana strategis, kurikulum dan turunannya yang mengarah pada pembelajaran yang difokuskan pada bidang saintek tertentu, saya yakin jebolannya akan menjadi ahli sains yang handal. Jika di bidang Kesehatan, maka akan menjadi ahli kesehatan yang handal.
Lantas, bagaimana pembelajaran agamanya? Jangan terlalu dalam, cukup beri pengetahuan praktis dasar saja, misal fiqihnya Safinah mentok-mentok Taqrib, tauhid bisa Tijan atau Jawahirul Kalamiyah, Akhlak cukup Ta’lim Muta’alim, selebihnya fokuskan untuk santri belajar bidang saintek yang ia pilih, konsistenkan proses ini sejak SMP hingga Perguruan Tinggi yang terintegrasi dan tersistem dalam satu naungan Yayasan Pesantren tertentu. Yang farmasi biar farmasi, yang bioteknologi biar bioteknologi, yang nanomaterial biar nanomaterial. Bila masih banyak waktu tersisa, keilmuan multidisplin yang masih beririsan pun bisa dibabad habis.
Dengan konsep yang matang dan implementasi yang terkontrol dengan baik, saya yakin santri jebolan lembaga tersebut akan menjadi terang dalam gelap, jawaban atas pertanyaan, dimana islam dan agama-agama saat dunia saat ini dikuasai oleh orang-orang yang menuhankan sains dan teknologi. Santri harus hadir mencoba menghadapi fenomena dunia yang demikian mengarah kepada penafian kebenaran agama, atau lebih jauhnya menafikan keberadaan Tuhan.
Mengapa saya sebegitu yakin? Karena santri dengan berbagai metode pembelajarannya yang efektif dan sudah eksis sejak dahulu kala, serta model boarding school yang lebih mampu menyingkirkan distraksi, fokus santri terhadap studi bisa lebih dari sekedar siswa dan mahasiswa biasa. Yang lebih mudah teralihkan perhatiaannya dengan hal-hal diluar kepentingan akademisnya.
Maka akan ada yang skeptis, masa santri hanya brlajar kitab-kitab tipis? Nanti ilmu agamanya dangkal dong? Ya jika ingin pembelajaran agama yang lebih mendalam, ada banyak sekali Pesantren “Salaf” yang secara kurikulum mapan di kajian kitab kuning yang bisa dipilih. Pilihlah yang itu. Daripada kita memaksa santri untuk benar-benar “MASAGI”, namun pada akhirnya “Tidak Kemana-mana”, Ilmu Fiqihnya nanggung, Fisikanya ngambang. Sehingga memang perlu satu dua pesantren yang mengadaptasi role model pesantren sains yang lebih mengeksplorasi keilmuan sains. Dan peran pesantren ini nantinya di bidang agama, lebih difokuskan pada pembentukan karakter dari santri itu sendiri.
Mengutip dawuh Romo KH. Anwar Manshur Lirboyo, bahwa Tidak perlu semua santri itu menjadi kyai. Yang penting menjadi santri yang “khoirunnas anfauhum linnas”. Sehingga, poin penting dari santri adalah kemanfaatan. Dimana sayap kemanfaatan santri yang perlu diperlebar lagi adalah dengan berkontribusi lebih dalam pengembangan sains dan teknologi. Yang mana saat ini di sektor tersebut belum banyak terdistribusi santri yang punya kapasitas intelektual terkait.
Hemat saya, peluang untuk santri ini harus kita sambut dengan antusiasme dan kemauan yang tinggi, untuk sedikit keluar dari mainstream, tentu bukan karena ingin gaya-gayaan, tetapi ini dilakukan demi perbaikan ummat, agar kontribusi umat islam terhadap sains dan teknologi lebih berefek dan meluas. Para kyai dan gus gus masa kini saya kira harus merespon peluang ini dengan cermat. Sehingga persepsi masyarakat terhadap santri yang pelan-pelan sudah mulai terbangun baik, akan semakin baik dengan keberanian beliau-beliau untuk mengambil inisiatif merespon peluang ini.
Emosional. Kata itu yang mendeskripsikan wisuda saya kemarin. Memang jika dilihat dari berbagai sisi, studi S2 ini berbeda 360° dengan saat saya menyelesaikan studi S1 dulu. Jika dulu, urusan menyelesaikan S1 ini terbilang saya capai dengan target-target yang santai. Sejak saya masuk Jurusan Kimia di UIN Malang, saya memang realistis saja. Berangkat dari Pesantren yang notabene salaf, dimana urusan sekolah bukan prioritas utama, saya cukup keteteran untuk mengimbangi ritme pembelajaran di Jurusan Kimia. Jelas saja, yang awalnya dipesantren dulu sibuk menghafal jurumiyah hingga alfiyyah dan mengkaji kitab-kitab kuning, saya tiba-tiba harus banting setir menjadi arsitek molekul. Maka memang sejak awal, target saya gak muluk-muluk, tidak akan lulus tepat waktu, melainkan akan lulus di waktu yang tepat, hehe.
Saya menempuh studi S1 selama 10 semester, ngaret setahun dari target umum mahasiswa lain. Selain memang realistis akibat latar belakang saya diatas, saya juga bersyukur bisa memaksimalkan waktunya dengan berkecimpung di organisasi kemahasiswaan, baik di OMIK maupun di OMEK, sehingga soft-skill saya macam public speaking, menulis perjuangan nilai, manajerial dan lain-lain menjadi terasah. Dengan berbagai keriweuhan yang ada saat S1 dulu, jika meminjam istilah Tan Malaka, saya terbentur, terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Terimakasih saya ucapkan untuk semua mentor dan rekan organisasi saya. Jadi bagi saya, lulus 10 semester bukan aib, tapi ‘kebanggaan’, hahaha. Saya jadi teringat saat saya masuk perkuliahan pertama kali, saat itu dosen menanyakan satu per satu mengenai alasan masuk Kimia UIN Malang, banyak dari teman-teman saya menjawab ‘kepleset’, sebenernya ingin masuk UB/UM/UNAIR/ITS/DLL, tapi lotrean SNMPTN menunjuknya ke UIN Malang itu, apa boleh buat. Jawaban saya berbeda dari mereka, “Bisa kuliah saja saya bersyukur terlebih di Jurusan Kimia yang di mata teman-teman saya saat MA di pesantren dulu adalah mapel yang menakutkan.”. Begitu.
Saat wisuda S1 dulu, saya merasa tidak perlu ada euforia yang menggebu-gebu. Saya pikir, ya namanya mahasiswa, selama ia tetap ada keinginan dan usaha untuk lulus, kelulusan adalah keniscayaan. Ia akan dilalui. Jadi ya biasa saja. Wisuda hanyalah perayaan atas keniscayaan itu. Begitu pikir saya. Dan saya melakukan apa yang perlu saya lakukan untuk lulus dengan lurus-lurus saja. Seminar Proposal, Ujian Komprehensif, Sidang Skripsi hingga Yudisium saya lalui tanpa emosi yang gimana-gimana gitu. Datar saja.
Tapi saat S2, ternyata pengalamannya berbeda. Saya melanjutkan studi magister kimia di UNPAD Jatinangor. Saat memulai studi, saya memang sudah menikah, bahkan saat wisuda kemarin, saya sudah punya dua bocil. Dengan kondisi yang sudah berkeluarga dan tinggal bersama orang tua, jelas cara menjalaninya sangat berbeda dengan saat S1. Setiap minggunya saya pulang pergi menempuh perjalanan 3-4 jam dari Rajagaluh ke Jatinangor dengan ‘si putih’ Vario yang setia menemani. Berangkat senin pagi, pulang jumat sore. Hal itu terjadi selama satu setengah tahun. Jelaslah kerinduan terhadap istri dan anak adalah magnet yang kuat yang menarik saya untuk tidak menghabiskan akhir pekan di Jatinangor. Apalagi jika istri mulai melantunkan rayuan-rayuan maut, meski raga masih di Jatinangor, jiwa saya sudah otw duluan, haha.
Selain itu, memang saya di rumah merintis usaha bersama istri dengan berjualan online. Yah, alhamdulillah lancar dan cukup untuk menghidupi kami dan keluarga. Karena jualan online ini modalnya otak atik marketplace, bidang ini setidaknya kapasitas dan andil saya. Mempelajari sistem, daftar promo, dekorasi toko hingga desain grafis untuk toko kurang lebih adalah jobdesc saya. Disamping itu juga, sesekali membantu meringankan pekerjaan orang tua. Jadi setiap weekend, saya istirahat dan juga, bekerja. Terlebih, dari semester 3 hingga lulus di semester 6, saya sudah tidak mendapatkan ‘beasiswa orang tua’ lagi alias biaya sendiri.
Corona pun tiba. Semuanya hampir lumpuh dan jatuh. Terlebih si corona ini juga ‘bertamu’ ke keluarga kami pada november 2020 lalu. Studi mandek, bisnis merosot, untungnya saat itu perkuliahan saya sudah selesai dan tinggal tesis saja. Tapi gak untung juga sih, karena mahasiswa kimia tugas akhirnya ya harus ngelab kan, dan laboratorium ditutup saat pandemi COVID-19 melanda. Kadang-kadang dibuka dengan protokol ketat, yang jelas menurunkan efektivitas dan produktivitas kerja lab. Efeknya, studi saya molor sampe 2 semester. Dan, SPP/UKT harus tetap dibayarkan full dengan waktu studi yang angin-anginan akibat si kopid nain tin. Keringanan? Tak seperti mahasiswa S1 yang banjir dukungan dalam keringanan pembayaran, mahasiswa pascasarjana ini bagai dianak tirikan. Bayarnya tetep full, meskipun ada toleransi dalam mekanisme pembayaran yang dibagi kedalam 2 tahap, itupun jika melakukan pengajuan.
Selesailah urusan lab, mulailah melanjutkan BAB IV dan penyusunan jurnal untuk publikasi yang harus internasional. Saya kerjakan semuanya saat mudik ke kampung halaman istri di Malang. Sebetulnya ya bukan mudik sih. Soalnya saya berangkat ke Malang dua bulan setelah hari raya idul fitri, menunggu dulu kira-kira situasi pandemi sudah cukup tertangani. Malu juga sih sama mertua, karena setiap malam mesti melekan untuk berjibaku dengan ‘sandi rumput’-nya NMR wakhwatuha. Syahdan, selesailah penyusunan tesis dan publikasi ini. Saya mendaftar untuk sidang tesis dan terselenggara di tanggal 21 Juli 2021 secara daring, dan alhamdulillah di tanggal 4 November 2021 kemarin bisa mengikuti prosesi ‘WISUDA DRAMATIS’ yang juga daring. Dramatisnya, dilain waktu mungkin akan saya dongengkan.
Berbeda juga dengan saat lulus S1 dulu, saya kurang lebih bersikap bodo amat terkait foto-foto. Mau foto-foto wisuda atau engga pun gak masalah. Cuek cuek saja. Foto-foto itu cenderung tidak penting. Yang penting itu perjuangan setelahnya, begitulah idealisnya saya pada saat itu, hahaha. Tapi sekarang ini, tensi untuk pengen foto-foto ini cukup tinggi. Mungkin efek dari nilai perjuangan untuk lulus yang lebih keras kali ya. Jadi, pagi nya prosesi wisuda, sorenya langsung meluncur ke studio foto untuk melangsungkan cekrek-cekrek bersama keluarga. Meski sebenarnya, kegupuhan foto-foto itu lebih kepada sulitnya nyari waktu di hari-hari setelahnya, kebetulan adik saya lagi persiapan pembekalan internship dokter, sedangkan toga harus segera di kembalikan ke pihak UNPAD. Oh iya, bagi saya toga UNPAD ini keren. Ada kombinasi batik dan warna yang ciamik. Katanya sih sekilas mirip jubah Sekolah Sihir Hogwarts di film Harry Potter. Jika toga sarjana berwarna merah yang mirip merahnya Gryffindor, yang magister ini mirip hijaunya Slytherin. Dan ada juga yang berwarna biru layaknya Ravenclaw.
Mungkin dari pembaca sekalian ada yang berujar, “Ah, perasaan biasa saja, gak ada perjuangannya, sok iyes aja nih,”, dll. Mungkin ini memang berangkat dari aspek yang subjektif, bahwa pergulatan yang terjadi saat studi S2, dimana harus saya bagi waktunya untuk anak istri, juga membantu orang tua atau dalam bahasa lainnya, birrul walidain, kemudian harus menjalankan bisnis untuk minimal, bisa menghidupi keluarga dan membayar uang kuliah, yang waktunya tidak bisa digunakan secara maksimal akibat kopid nain tin itu. Semua itu bagi saya sangat terasa emosional. Kelulusan itu terasa melegakan, atau dalam peribahasa sunda disebut ‘asa bucat bisul’.
Saya sadar bahwa kelulusan ini bukanlah akhir dari perjuangan hidup. Ini justru baru awal. Sama seperti S1 dulu. Lulus menjadi sarjana adalah titik awal dimana hidup yang sebenarnya dimulai. Bahkan saya dan teman-teman sering beranekdot terhadap mereka yang wisuda itu. “Wah, barisan pengangguran baru telah diluncurkan, wkwkwk.”. Tapi katanya, mereka yang melanjutkan ke jenjang magister adalah pengangguran yang terhormat, hahahaha. Dan, apakah saya akan melanjutkan ke jenjang S3 untuk melanjutkan status sebagai pengangguran terhormat? Ya, saya punya keinginan itu. Tapi belum untuk saat ini. Saya ingin mencari pengalaman dulu. Semisal berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di kampus. Semoga saja ada peluang itu.
Akhiron, apapun yang terjadi dalam hidup saya kedepan. Yang penting adalah berupaya untuk bermanfaat untuk sesama. Saya teringat dawuh dari Mbah Sahal Mahfudz ini, “Menjadi baik itu mudah, dengan diam, maka yang terlihat adalah kebaikan. Yang sulit itu menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan.”. Terimakasih saya ucapkan kepada keluarga saya, orang tua, istri, kedua anak saya, karyawan-karyawan saya yang baik hati, dan semua yang membantu dalam proses studi saya, baik secara moril dan materil. Jazaakumullah ahsanal jaza. Terimakasih juga kepada ibu Dr. Tri Mayanti, M.Si dan ibu Prof. Dr. Tati Herlina, M.Si, duet pembimbing saya yang sangat baik dan sabar dalam membimbing saya. Kepada guru-guru saya, kyai-kyai saya, dosen-dosen saya baik saat S1 maupun S2. Semoga sehat selalu, bahagia dan panjang umur. Amiiin.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.