Berawal dari iseng-iseng membuka aplikasi google keep di email lama, ada catatan lawas yang kembali terbaca. Tertulis di tanggal 26 Desember 2016. Sudah cukup lama, 5 tahun. Isinya adalah catatan-catatan diskusi bersama KH. Yayan Bunyamin, M.Phil. Kang Yayan, sapaan akrabnya, sekarang ini dikenal sebagai kyai muda dengan keilmuan yang mendalam dan berpengetahuan luas, khususnya dalam keaswajaan dan saat ini menjadi pemateri dari MKNU (Madrasah Kader Nahdlatul Ulama) di wilayah Jawa Barat.
Pertemuan pertama saya dengan beliau ini terjadi secara tidak sengaja saat saya masih berkuliah di UIN Malang. Kalo tidak salah, beliau menjadi utusan dari NU Jabar untuk mengikuti agenda bahtsul masail PWNU Jatim yang bertempat di rektorat UIN Malang. Detilnya saya agak lupa-lupa ingat bagaimana saya bisa bersua dan banyak belajar kepada beliau pada saat itu. Yang pasti, saat saya mengikuti MKNU beberapa bulan yang lalu dan beliau menjadi pematerinya, beliau masih ingat saya, berikut namanya juga. Padahal, saya mah apa atuh, bubuk raginang yang mungkin atau harusnya terlupakan oleh tokoh sekaliber beliau ini. Salam Takdzim saya, Kang.
Jadi, kalo tidak salah, obrolan di warung kopi bersama kang Yayan itu berkutat pada urusan begini, sebetulnya saya ini yang notabene mahasiswa non-islamic studies ini bisa berwacana apa untuk NU dan Islam pada umumnya. Wah, dongeng-dongeng dari beliau ini akhirnya murudul. Terbukti catatan-catatan saya ini lumayan sporadis dan tidak terstruktur. Artinya, obrolannya ngalor ngidul, tapi semuanya berbobot. Misal tentang pesantren, NU, keislaman kontemporer, wacana bioetika islam, transhumanisme, stem cell, hingga patung yang dianggap sebagai perwujudan Nabi Muhammad SAW yang ada di US Supreme Court. Menyoal stem cell, saya disarankan beliau untuk menonton sebuah film berjudul “Transendence”. Film ini bergenre Sci-Fi yang merupakan genre film kesukaan saya. Jadi langsung tancap saja.
Film yang dibintangi oleh Johny Depp ini bercerita seputar perkembangan teknologi kecerdasan buatan, dimana Dr. Will Caster (Johny Depp) di tembak dengan racun radiasi polonium oleh yang disebut dalam film itu sebagai kelompok teroris sehingga ia hanya punya waktu beberapa hari saja untuk hidup. Lalu ia bersama sahabatnya, Max dan pasangannya, Evelyn berupaya memindahkan kesadaran Will kedalam sistem supercomputer. Syahdan, ditengah keputusasaan Max dan Evelyn, ternyata percobaannya berhasil. Mereka berdua mampu memindahkan kesadaran Will kedalam komputer AI itu. “Manusia cenderung takut atas apa yang belum dia pahami”, adalah kutipan favorit dari film ini. Singkat cerita, Will super-AI itu berhasil membuat terobosan baru nanotechnology berupa suatu synthetic stem cell yang mampu meregenerasi jaringan rusak apapun dalam tubuh manusia. Dan sekaligus bisa memprogram dan menguasai kesadaran manusia, serta meningkatkan kemampuan fisiknya. Dibalik ‘transendence’ yang telah digapai, ada kekhawatiran dari beberapa pihak terkait dengan apa yang telah digapai Will Super-komputer itu. Will dan Evelyn dianggap melampai batas kemanusiaan dalam mengembangkan teknologinya.
Dalam dunia nyata, riset tentang stem cell ini adalah bagian yang terus diperjuangkan. Para ilmuwan memang berupaya untuk mengembangkan teknologi stem cell ini untuk digunakan dalam dunia kesehatan, atau secara luasnya, untuk membantu umat manusia bertahan hidup. Barangkali ada yang belum sempat baca, sel dalam tubuh kita itu macam-macam, ada sel darah yang terkait dengan fungsi peredaran, sel kulit untuk fungsi melindungi tubuh, sel otot untuk keperluan kontraksi, dll. Sedangkan stem cell atau sel punca adalah sel yang tidak memiliki struktur dan fungsi yang spesifik. Stem cell memiliki potensi untuk menjadi sel lain dalam tubuh. Tubuh kita menggunakan stem cell untuk mengganti sel-sel yang telah mati. Berdasarkan hal tersebut, ilmuwan mencoba terus menggali potensi stem cell tersebut untuk membuat jaringan tubuh baru yang dapat digunakan untuk mengganti organ yang rusak akibat dari cedera atau penyakit. Sejauh mana penelitiannya? Saya belum membaca sejauh itu.
Dari dongeng diatas, kita bisa mencoba untuk memunculkan pertanyaan begini, bagaimana islam sebagai agama menyikapi kemajuan-kemajuan teknologi ini? Atau misal, apa fatwa-fatwa ulama kita dalam memahami kemajuan teknologi dalam berbagai hal? Serunya, di Nahdlatul Ulama ada lembaga khusus yang mengakomodir persoalan-persoalan macam ini, bernama Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Selain di NU, ada juga komisi fatwa MUI, atau di Mesir, ada Universitas Al Azhar, universitas islam tertua yang dianggap punya otoritas dalam menentukan hukum dari soal begini. Sebetulnya, hukum islam, atau dalam istilah lain adalah fiqih, bisa dikorelasikan dengan bioetika. Bioetika ini berbicara sejauh mana moral membatasi pengembangan teknologi dalam bidang biologi dan kesehatan. Jika kita hubungkan dengan konsep ushul fiqh, khususnya dalam enam poin maqashid syariah yang berisi landasan filosofis dari pengambilan keputusan hukum dalam islam, bioetika bisa dielaborasikan dengan fiqih ini. Karena memang urusan fiqih ini tidak hanya menyoal dimensi peribadatan belaka, melainkan dimensi sosial dan teknologi juga termasuk di dalamnya. Sehingga bisa dibilang, bioetika islam ini menjadi suatu keilmuan kontemporer yang menarik untuk dibaca dan dipelajari, karena disitu dapat didiskusikan antara pengembangan bioteknologi dan bioetika serta kaidah-kaidah fiqih islam.
Maka sesuai judulnya, kira-kira yang diharapkan adalah bagaimana kemudian ilmu fiqih dalam islam ini mampu menjadi ‘pembatas moral ideal’ dalam pengembangan bioteknologi atau teknologi secara umum, yang dalam film ‘Transendence’ tadi dianggap bahwa Will Caster telah melampaui batas moral kemanusiaan. Seperti yang dipelajari saat SMA dulu tentang simbiosis, jangan sampai simbiosis antara fiqih dan teknologi ini bersifat komensalisme atau bahkan parasitisme, namun harus berorientasi pada mutualisme, saling menguntungkan. Sehingga, apa yang dituju dalam maqashid syariah dalam konteks islam dan tujuan mulia para ilmuwan untuk membantu umat manusia ini bisa dicapai dengan baik dan efektif.
Saya sangat tertarik ketika membaca rumusan Bahtsul Masail Waqi’iyah pada saat Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang lalu (26/9/2021), dimana muncul dua pertanyaan terkait dengan bioteknologi. Pertama, adalah terkait dengan gelatin dari kulit atau tulang babi. Kedua, adalah pertanyaan yang lebih kontemporer, yakni terkait dengan hukum mengkonsumsi daging hasil pengembangbiakan sel. Hasil putusannya apik. Dan bagi saya, sangat menunjukkan bahwa para ulama NU ini selain memiliki sanad ilmu keislaman yang terjaga, atau dalam adagium populernya adalah muhafadzoh alal qodimis sholih, tetapi juga ciamik dalam menanggapi persoalan-persoalan kontemporer, atau akhd bil jadidil ashlah. Putusan-putusan keren itu tidak bisa dihasilkan dari cara berfikir yang tertutup. Artinya harus dilandasi dengan sikap-sikap moderat dan adil dalam menyikapi persoalan. Dan untuk melatihnya, dilakukan melalui diskusi-diskusi LBM yang menjadi ruh dalam konteks fikrah dan harakah di lingkungan Nahdlatul Ulama.
Oh iya, hasil putusan tentang gelatin bisa anda baca sendiri disini. Sedangkan untuk yang daging kultur sel, anda bisa klik juga disini. Singkatnya, untuk daging hasil kultur stem cell ini diputuskan dihukumi haram. Karena sel nya diambil dari hewan yang masih hidup. Sedangkan dalam fiqih, kita sama-sama tahu bahwa daging yang boleh kita konsumsi adalah harus berasal dari hewan yang disembelih secara syar’i. Lalu bagaimana dengan motivasi ilmuwan yang berangkat dari keprihatinan melihat konsumsi daging dunia yang tinggi yang akhirnya juga berkorelasi dengan tingginya produksi daging konvensional, yang berefek buruk terhadap lingkungan karena menghasilkan emisi gas rumah kaca? Hemat saya, ini perlu i’tikad baik dari banyak pihak, karena sebenarnya, konsumsi daging berlebihan juga akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Sehingga perlu dibatasi. Dan selain menjadi dalil agama, sudah menjadi standar moral yang universal juga bahwa segala hal yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Solusi lainnya, ini adalah kesempatan juga bagi para ilmuwan islam, bagaimana semisal meneliti tentang pangan yang juga tetap berpegang pada kaidah-kaidah syariat islam. Disinilah bioetika islam dapat berperan untuk mencari solusi-solusi lain.
Terbaru, beberapa hari yang lalu saya juga membaca di instagram ada isu lain yang menarik menjadi pembahasan dalam dunia kedokteran, dimana ilmuwan di AS berhasil mentransplantasikan ginjal babi terhadap manusia. Menurut mereka, ini dilakukan karena sulitnya mendapatkan pendonor organ dari sesama manusia. Dan kemarin, saya membaca fatwa dari Al Azhar yang memperbolehkan proses xenotransplantasi ini jika dalam keadaan benar-benar mendesak. Anda bisa baca fatwanya disini. Disamping itu, tak sedikit pula pihak yang menentang xenotransplantasi babi ke manusia ini, dan hubungannya juga terkait dengan bioetika. Semisal organisasi Hak Asasi Hewan Dunia yang menentang karena dianggap sebagai keegoisan dan keserakahan manusia yang mengeksploitasi apapun yang dibutuhkannya, selain memang juga dikhawatirkan babi akan membawa virus dan patogen menular yang berbahaya terhadap manusia.
Anda boleh setuju atau tidak terhadap fatwa Al Azhar, tapi setidaknya, para ulama al azhar telah berupaya dan berdialektika demi mendapatkan solusi ditengah permasalahan umat yang kompleks. Forum-forum seperti bahtsul masail, meskipun putusannya dipandang belum solutif, belum menjawab, atau bahkan tidak menghasilkan putusan apapun, itu adalah forum yang luar biasa besar manfaatnya dalam meningkatkan intelektualitas. Seperti dalam urusan bank, saat mendengar pengajian gus baha tentang hukum bank yang melulu ada 3 qoul di kalangan ulama, yakni halal, haram dan syubhat, dan ternyata sejak dulu sampai sekarang, qoulnya ya tetap begitu, hahaha. Dengan kata lain, di luar fakta bahwa ulama berbeda-beda pendapat, disitu para ulama terus-menerus meningkatkan pengetahuannya terkait sistem bank yang juga terus berkembang. Kira-kira muncul pertanyaan begini. “Riba ini sepakat lah haram. Nah, apakah sistem bank sekarang ini bisa dikategorikan sebagai riba atau tidak? Itu persoalan yang tidak sederhana.”.
Kembali ke persoalan perkembangan bioteknologi dan ilmu fiqih. Para ulama ke depan memiliki tantangan yang lebih besar lagi dibandingkan ulama saat ini. Karena yakin, bahwa teknologi akan terus dan cepat berkembang seiring berjalannya waktu, dan tentu memunculkan persoalan-persoalan baru dalam dimensi sosial, minimal bertanya hukumnya ini apa, hukumnya itu apa. Dan ulama harus bisa menjawab itu. Dan di masa depan, ulama-ulamanya adalah santri-santri yang sekarang masih belajar di pondok pesantren. 20-30 tahun ke depan, santri yang kemudian akan bertransformasi menjadi ulama ini akan hidup di zaman yang jelas berbeda dengan sekarang ini, dengan tantangan yang jelas lebih besar. Maka, tugas santri saat ini sangat berat untuk terus belajar dan belajar, baik dari segi pengetahuan agama, maupun pengetahuan tentang teknologi.
Dan saya juga yakin, tidak semua santri akan tercetak menjadi ulama/kyai, itu adalah dawuh guru saya, dan terbukti, saya dulu santri dan saya sekarang bukan ustad, apalagi kyai, hahaha. Saya lulusan S2 Kimia UNPAD, dan beberapa hari lagi mau wisuda, hehe. Artinya, memang santri kedepan tidak melulu harus jadi ulama, santri bisa jadi dokter, apoteker, arsitek, programmer, youtuber, pebisnis, bos besar, ilmuwan kimia ataupun bioteknologi seperti yang dibahas. Sehingga, output dari riset-riset pengembangan bioteknologi tetap berpedoman pada standar moral universal dan juga kaidah-kaidah syariat islam, atau dalam bahasa kerennya, bioetika islam. Akhiron, saya minta maaf karena sudah membuat anda membaca tulisan panjang gak mutu ini. Sebenernya saya ini lagi bantu jualan di pasar, tapi sepinya luar biasa. Efek pandemi terhadap pasar konvensional memang luar biasa. Mohon doanya ya, supaya usaha saya dan keluarga tetap lancar. Haturnuhun.
Nulis judulnya juga emang agak berat sih. Menyandingkan manajemen waktu dan nahdliyyin itu macam menghadapkan dua magnet dengan kutub yang sama, pasti saling tolak menolak, hahaha. Ngapunten, niki guyon nggeh. Saat saya ke bekasi untuk jalan-jalan bersama istri, anak dan orang tua sabtu (23/10/21) lalu, saya memang wajib menyempatkan waktu untuk mengisi pelatihan keorganisasian di almamater saya, HIMASKA “Helium” UIN Maliki Malang via daring. Materinya? Manajemen Waktu.
Manajemen waktu ini sebetulnya materi yang sederhana, namun dalam prakteknya, dibutuhkan keteguhan hati untuk merealisasikannya. Dalil-dalil qur’an, hadits, kalam ulama, kata-kata dosen, nasihat orang tua tentang waktu ini sudah sangat banyak, tapi dalam praktiknya, sulitnya bukan main. Makanya saya pas diminta ngisi materi ini agak bingung. Kalo ditolak, saya gak enak. Sudah beberapa kali ada yang minta saya ngisi pelatihan via daring, saya tolak. Yang terakhir kalo tidak salah, diminta mengisi MAPABA di PMII, saya tolak karena saat itu sedang terserang flu berat. Kalo diterima, materi Manajemen Waktu ini sebetulnya kurang pas, ya karena memang saya sendiri masih belajar untuk benar-benar bisa efektif dalam memanajemen waktu. Tapi akhirnya saya terima juga, meskipun dalam forum berkali-kali saya tegaskan, disitu jangan anggap saya pemateri, tapi sekedar pemantik diskusi dan sharing bersama.
Sepengalaman saya nih ya, memang ketika berkegiatan di lingkungan Nahdlatul Ulama, baik yang kultur maupun yang struktur. Manajemen waktu saya cenderung kacau. Sebagai contoh, ada panggilan rapat kegiatan bakda maghrib, mayoritas jam 9 atau jam 10 malam baru kumpul. Pernah juga saya memenuhi undangan rapat di PCNU tertera jam 13.00, dan rapat baru mulai pukul 15.00, mantaaaap. Masalahnya, jam 15.00 ini saya sudah ada agenda lain, jadi ya, kacau.
Saya sendiri memang lahir di keluarga dengan kultur NU. Dan sebetulnya juga gak aneh-aneh amat dengan fenomena demikian. Cuma memang, fenomena itu justru tak terlihat ketika saya mondok. Di Pesantren, semua serba tersistem, baik dari segi waktu dan kegiatan apa yang dilakukan. Telat sedikit saja, misal sholat jamaah, siap-siap aja ta’ziran menanti. Kalo zaman saya mondok dulu, persinggungan antara telapak kaki dan kayu rotan adalah harmoni yang indah, haha. Kayaknya kalo zaman sekarang, orang tua santri mungkun sudah bikin laporan ke polisi.
Fenomena jam ngaret ala NU ini cukup kental terasa saat berkecimpung di organisasi saat kuliah dulu, tepatnya di PMII. Sebetulnya di PMII dibilang parah gak parah-parah amat lah. Misal acara direncanakan pukul 13.00, paling parah ngaretnya sejaman lah, jam 14.00. Kecuali rapat-rapat tahunan itu, ngaretnya bisa naudzubillah. Sebetulnya ngaret di PMII ini masih bisa ditolerir. Mungkin ada beberapa yang memang masih ada perkuliahan di kelas, praktikum, dan lain lain. Tapi tetap saja, WINU (Waktu Indonesia NU) ini bukan hanya terkenal di internal kalangan nahdliyyin saja, tapi sudah lintas organisasi, bahkan lintas iman. Begini ceritanya, teman saya suatu ketika mengundang seorang aktivis lingkungan, namanya Pak Daniel S. Stephanus, dosen Universitas Ma Chung, Malang yang beragama Kristen. Ketika saya dan teman saya nyowani beliau untuk ngisi materi pelatihan tertentu, beliau nanya begini, “Jam 8-nya ini jam 8 NU apa Muhammadiyyah? Soalnya kalo jam 8 NU, nanti saya datangnya jam 9 saja.”. Benar saja, saat acara itu digelar, pak Daniel yang sudah rawuh sejak pukul setengah 9, baru bisa menyampaikan materi pukul 9. Bagaimana tidak, saat pak Daniel datang itu, baru ada 5 kepala yang hadir di forum termasuk panitia. Jadi tak bisa kita pungkiri bahwa WINU begini ini memang sudah dikenal hingga lintas iman.
Selain di lingkup mahasiswa, ya di keluarga saya sendiri. Malam jum’at adalah waktu dimana rutinan yasinan keluarga besar. Undangannya bakda maghrib, jam 9 baru kumpul dan mulai. Hehe. Jika dibanding-bandingkan dengan kultur Muhammadiyah yang katanya sangat tepat waktu itu, tenang dulu, saya punya pembelaan untuk kaum nahdliyyin, yang didalamnya termasuk saya nih. Jadi mereka-mereka yang jadi pengurus Muhammadiyah ini rata-rata memiliki pekerjaan dengan jam kerja yang tetap setiap harinya, seperti guru, dosen, pegawai kementrian, PNS, dll. Sehingga ketika ada rapat-rapat, lebih mudah menentukan jadwalnya, karena memang jam istirahat dan pulangnya mayoritas sama. Lain halnya dengan pengurus-pengurus NU, ada yang mengurus pesantren, jadi guru ngaji, ustad, pedagang, petani, dan pekerjaan lain yang jam kerjanya notabene tidak teratur. Lebih proletar. Jadi semisal pagi-siang pengurus NU yang pedagang dan petani sibuk, yang jadi guru ngaji longgar. Sedangkan malam, pedagang-petani longgar, guru ngaji, kyai dan ustad yang sibuk. Konsekuensinya, rapat-rapat seringkali efektif diatas jam 10 malam. Begitu kira-kira alibinya. Hehe.
Intinya, stigma jam ngaret NU ini tidak semerta-merta kita bisa salahkan kepada pengurus bahkan warga nahdliyyin pada umumnya, melainkan ini adalah taqdir dari Allah Subhanahu wata’ala, yang menjadikan warga nahdliyyin ini sangat banyak dan heterogen dalam hal kesibukan dan profesi. Sehingga, ketika saya bahkan anda adalah warga nahdliyyin, kita punya tugas yang lebih berat dalam memanajemen waktu, minimal harus punya toleransi jam ngaret sekitar 2 jam perkegiatan di lingkungan NU, itu standar minimal ya, haha.
Tapi, mau bagaimanapun, jam ngaret ini bukan hal positif dan tidak boleh terus diwariskan dari generasi ke generasi. Ke depan, persaingan dalam berbagai bidang sangat terkait dengan kecepatan dan ketepatan waktu. Jadi kita tidak bisa leyeh leyeh untuk bersaing dengan yang lainnya. Maka saya selalu ‘sok bijak’ mengajak teman-teman saya di lingkungan GP Ansor Rajagaluh untuk mengadakan kegiatan dengan ketepatan waktu yang baik. Buang jauh-jauh budaya ngaret itu. Minimal itu bisa dipupuk di generasi muda macam Ansor dan IPNU-IPPNU. Karena dengan manajemen waktu yang baik, kita bisa lebih bisa produktif dan bahagia. Caranya bagaimana? Kita harus menghapus stigma macam begini, “Kalo undangan jam 8, berarti saya berangkatnya jam 9 aja, toh, kalo berangkat jam 8, pasti belum ada siapa-siapa.”. Jika semuanya berfikir demikian, jelaslah budaya ngaret ini akan senantiasa eksis hingga hari kiamat.
Untuk menjadi pribadi yang pandai mengatur atau memanajemen waktu, saya bahkan anda pasti sudah punya banyak dalil dan teorinya. Begitupula dengan motivasinya yang tinggal digali saja masing-masing. Dan sebetulnya, banyak tokoh-tokoh NU yang meraih sukses karena kepandaiannya dalam mengatur waktu. Pesantren-pesantren besar yang ada juga saya yakin dipimpin oleh kyai-kyai dengan kedisiplinan waktu yang tinggi dan banyak hal positif lainnya.
Sekali lagi ngapunten, bukan maksud saya menghina atau men-judge warga nahdliyyin atau pengurus NU. Karena yang punya budaya ngaret di NU ini juga gak semua, cuma banyak aja. Selain itu, gak masuk akal juga lah kalo saya dianggap menghina, bagi saya ini adalah otokritik, minimal untuk saya pribadi. Toh, saya juga pengurus NU yang belum bisa amanah dan seringkali tidak mampu memanajemen waktu dengan baik, sehingga saya malu kepada kyai saya karena saya masih belum bisa berkhidmat dengan maksimal di Nahdlatul Ulama. Contoh lainnya adalah di urusan nulis ini. Diawal sebetulnya saya ingin pertiga hari ada tulisan yang terpublikasi di website, tapi ternyata, hanya bisa satu tulisan saja perminggu, bahkan per dua minggu. Apalagi dalihnya selain karena memang saya belum bisa memanajemen waktu dengan baik. Makanya saya gak berani nulis dalil satupun di tulisan ini. Ketok’ekok bakal wagu. Wallahu alam bisshowab.
Sudah menjadi tradisi di daerah tempat tinggal saya jika bulan robiul awwal tiba, undangan untuk menghadiri acara maulid nabi datang bertubi-tubi. Undangan itu berasal dari jamaah musholla, majlis, lingkungan, keluarga besar, bahkan personal rumah per rumah.
Suasana maulid di kampung saya memang sangat semarak. Saya juga baru tau beberapa tahun belakangan ini. Ya, karena memang sejak kecil saya jarang ada di rumah. Dan di pesantren saya dulu, bulan maulid bukan jadwalnya libur untuk pulang kampung. Cuma libur saja, tak boleh pulang.
Terhitung sudah sekitar 4 tahunan saya mengikuti rutinitas tahunan maulid di kampung. Bahkan, rowi maulid diba macam fayaqulul haqqu waizzati, ahdiruu quluubakun dan fahtazzal arsyu itu bisa hafal dengan sendirinya, tanpa dihafal. Saking seringnya mendengar. Karena memang rowi diba ini tidak hanya dibaca saat maulid tiba, di agenda rutinan mingguan yasinan keluarga juga dibaca. Jadi, wajarlah kalo tiba-tiba hafal.
Saya tidak sedang membahas khilafiyah tentang hukum maulidan ya. Karena bagi saya, seperti yang didawuhkan oleh Habib Abu Bakar Al Adni, bahwa Kita tidak perlu dalil untuk mencintai Rasulullah SAW, sebagaimana Rasulullah SAW tidak perlu syarat untuk mencintai ummatnya. Jika untuk mencintai Rasulullah SAW saja kita masih perlu mencari dalil, layakkah kita untuk mendapatkan syafaatnya? Jadi, barangkali ada yang berbeda pendapat dengan saya terkait peringatan maulid ini, silahkan saja. Itu hak masing-masing dari anda untuk punya cara sendiri dalam mengungkapkan kecintaan terhadap Baginda Nabi Muhammad SAW, itu urusan anda. Tapi jangan usik cara kami dalam mengungkapkan rasa cinta terhadap kanjeng Nabi Muhammad SAW. Oke?
Yang membedakan maulid sekarang ini dengan tahun-tahun sebelumnya adalah ketika saya diutus menemani saudara untuk sowan-sowan kepada para kyai di wilayah cirebon. Rutenya dimulai dengan menuju daerah Susukan, kemudian daerah tegalgubug di PP. Al Anwariyah dan Arjawinangun di PP. Daruttauhid (KH. Ibnu Ubaidillah Syatori), PP. Darul Quran (KH. Ahsin Sakho Muhammad) dan PP. Darul Fikr (KH. Husein Muhammad). Selanjutnya, menuju PP. Geyongan dengan melalui lintasan yang cukup menantang. Dan alhamdulillah kami disambut dengan baik oleh pengasuh PP. Roudlotul Qur’an Geyongan, KH. Ridwan Anas Tahmid. Kesan saya, beliau adalah sosok kyai yang sangat santun dan ramah, atau dalam bahasa kerennya, sangat low profile. Masalahnya, saya baru pertama kali bertemu dengan beliau, tapi beliau dengan senang hati mengajak kami mengobrol banyak hal. Menanyai kami tentang kehidupan kami dan sesekali menceritakan hikmah dari kehidupan para kyai dan ulama terdahulu. Salam takdzim kepada beliau.
Selesai dari Geyongan, perjalanan dilanjutkan menuju PP. Tahsinul Akhlaq Winong dan PP. Kempek. Di Winong, kami sowan kepada Kyai Ulin, sedangkan di Kempek, kami sowan kepada KH. Mustofa Aqiel Siroj. Sebetulnya kami berupaya sowan kepada para kyai yang lainnya, namun mungkin beliau-beliau ini belum bisa ditemui karena kesibukannya. Destinasi pamungkas adalah Babakan, Ciwaringin yang diakhiri di PP. Kebon Jambu. Disitu kami disuguhi kopi hitam yang rasanya mantap oleh kyai muda yang luar biasa, K. Hasan Rohmat (Kang Omat, sapaan akrabnya). Haturnuhun kang.
Agenda puncak maulid di kampungku biasanya jatuh pada tanggal 8 robiul awwal. Namun karena pada tanggal tersebut ternyata hari jumat, jadi semua bersepakat untuk di majukan ke tanggal 7. Hari itu, para tamu undangan tiba, termasuk para kyai yang sebelumnya kami sowani juga alhamdulillah berkenan menghadiri. Alhamdulillah acara maulid berjalan dengan lancar, syair-syair pujian dan sejarah Nabi Muhammad SAW dilantunkan dengan syahdu dan tentu saja khidmat. Dan yang paling penting, kami selaku panitia harus memastikan, jangan sampai jamaah maulid ada yang tidak kebagian berkat, hehe.
Yang lebih mantap lagi adalah saat malam tanggal 12 robiul awwal. Di kampung saya, ada istilah mulud ider. Ider artinya berkeliling, jadi maksud ider ini nantinya ada beberapa tim yang diutus dari musholla setempat untuk ditugaskan berkeliling rumah-rumah untuk melantunkan maulid. Dan pemilik rumah akan menyiapkan suguhan-suguhan sederhana untuk tim mulud ider tersebut. Tak ketinggalan nasi tumpeng/nasi kuning disiapkan. Setelah pembacaan maulid selesai di satu rumah, tumpeng kemudian dibawa ke musholla setempat, dikumpulkan bersama tumpeng dari rumah lainnya. Mantap.
Yang lebih joss dari mulud ider di desa saya adalah di desa tetangga. Sebetulnya meskipun beda desa juga satu kampung sih, karena rumah saya ini perbatasan desa, toh saya juga jumatan di desa tetangga, karena masjidnya lebih dekat, dan rumah saya juga menghadap ke desa tetangga, hehe. Kembali ke urusan mulud ider, jika di desa saya yang dibaca per rumah hanya 3-4 rowi plus mahallul qiyam dan do’a, di desa sebelah itu, yang dibaca per rumah itu satu khataman full, misal barzanji sampai khatam, dibai, maulid azab dan syaroful anam pun demikian. Waktunya, dimulai bakda isya, selesai menjelang shubuh, mantap betul bukan? Yah, selain memang sudah tradisi, ini juga tak lepas dari besarnya mahabbah kepada Nabi Agung Muhammad SAW. Laulaaka laulaaka lamaa kholaqtul aflaaka.
Seperti di awal tulisan saya singgung, undangan menghadiri maulid itu datang bertubi-tubi, terkadang sehari ada sampai tiga tempat. Bahkan ada yang waktunya bertabrakan, sehingga harus membagi personil dengan cermat, agar berkatnya tetap bisa didapat, hahaha. Yah, begitulah tradisi maulid di daerah saya. Bagaimana di daerahmu? Saya yakin ada yang lebih militan dari kami. Selamat memperingati maulid Nabi Muhammad SAW, 12 Robiul Awwal 1443 H. Semoga shalawat dan salam selalu tercurahkan kepadanya, kepada para sahabatnya, para tabiin, atbauttabiin, para ulama salafussholih, hingga sampai kepada kita. Amiiin ya Robbal Alamin.
Seperti keluarga middle-class muslim negara ber-flower pada umumnya. Hari sabtu sesekali kami isi dengan nge-Mall ke Cirebon. Terlebih, aturan PPKM sekarang semakin longgar. Anak-anak sudah diperbolehkan masuk Mall, saya dan istri juga sudah mengikuti vaksinasi lengkap. Dengan ini, setidaknya tubuh kami akan lebih banyak memproduksi endorfin yang menyebabkan perasaan lebih tenang dan senang.
Entah sudah berapa lama kami gak nge-Mall, yang pasti, si sulung, Faqih loncat-loncat kegirangan, khususnya ketika saya ajak ke tempat bermain di Mall. Faqih yang sekarang sudah hampir menginjak usia 3 tahun, sudah lebih mahir bermain ‘sosorodotan‘ dan sejenisnya.
Jika waktu sholat tiba, kami biasanya menggunakan fasilitas musholla yang terdapat di pusat perbelanjaan itu. Karena Faqih sedang bermain di lantai 3 bersama kakek neneknya dan Fathia lagi disuapi bundanya, pergilah saya sendiri ke mushola, sholatnya bergantian, saya kebagian duluan. Seperti biasanya, sholat maghrib di mushola mall tepat di malam minggu seringkali padat. Saya antri berwudhu hingga tibalah giliran saya. Saya buka kran, lalu saya tempelkan kedua tangan saya dan menengadahkannya untuk nampani air dari pancuran kran. Tiba-tiba,
“Ceplak, ceplak, ceplak.”,
cipratan air dari orang yg berwudhu di sebelah saya. Ternyata ia sedang membasuh mukanya. Seketika saya buang air yang sudah saya tampani dengan tangan. Spontan saya mengernyitkan dahi dan menggerutu. Saya heran, kenapa ngebasuh muka aja kok sampe kayak ngepretin muka sendiri. Kan bisa lebih selow gitu ya. Atau sekalian minta dikepretin ustadz ujang bustomi sekalian, pak pak pak! Sokbeker! Sebetulnya bukan masalah musta’malnya air itu, karena saya juga belum tau apakah ikatan hidrogen pada air itu melemah atau menguat jika dibandingkan dengan air thohir muthohir. Eh, maksudnya, saya ngerasa gelay aja sama cara wudhunya, Kadita aja kalo ulti cipratannya gak segitunya. Ah, sudahlah.
Saya berhenti sejenak menunggu ia selesai basuh muka. Mungkin saja untuk membasuh tangan dan rukun lainnya gak akan sampe sebegitunya. Eh, ternyata pas ia basuh rambut,
“Plok plok plok”,
Haduh, ini bapak-bapak, basuh rambut sampe dahinya dipukul-pukulnya sendiri. Mbok ya sekalian pakek palu Terizla atau Lolita gitu loh. Saya yang baru sampai basuh tangan akhirnya masa bodo lah. Meneruskan lagi rukun demi rukun hingga selesai berwudhu. Kemudian mendirikan sholat.
Selesai sholat, saya berdiri kembali dan bergegas keluar dari musholla. Membaca wirid singkat saya sembari berjalan saja. Karena memang, kondisi musholla yang lumayan antri, agar jamaah lain bisa segera mendirikan sholat lagi, hematku. Saya tidak tau kondisi selepas itu, apakah semuanya melakukan hal yang sama dengan saya, bergegas keluar dari musholla, atau malah duduk berlama-lama dan berdzikir. Tapi saya beberapa kali menemukan, dimana ada beberapa orang yang masa bodo dengan orang yang mengantri tempat sholat setelahnya.
Kejadian itu memang sepele. Gak perlu dibesar-besarkan. Tapi dari hal sepele itulah kita bisa melihat gambaran sejauh mana kepekaan seseorang terhadap kondisi sosialnya, ini gambaran kecil. Contoh lain, di gang menuju rumah saya yang hanya cukup satu mobil itu, seringkali ada orang yang bertamu. Kadang-kadang, mereka yang bertamu ini berkendara dengan mobil dan diparkir sembarangan. Dan rumah yang ia sambangi cukup jauh dari tempat ia parkir, agak masuk-masuk gang lagi lah. Urusan parkir ini kadang memang pelik. Ketika ada saudara atau tetangga yang mau keluar dengan mobil. Aksesnya terhalang oleh mobil tamu yang parkir sembarangan itu. Dan kadang-kadang, gak ada yang tau kemana si empunya mobil itu bertamu. Akhirnya, banyaklah orang yang menggerutu terkait si tamu itu,
“Kalo bertamu harusnya tau etika dong, parkir gak boleh sembarangan. Gimana kalo ada mobil lain yang mau lewat? Disuruh loncat?”, ungkap salah seorang tetangga yang kesal.
Seringnya kejadian itu berulang, bapak saya beberapa kali menasihati, “Kalo kamu bertamu, misal parkirin mobil itu ya harus pake otak, pikirin orang lain atau warga setempat, mengganggu orang lain apa engga. Kita harus punya kepekaan atau rasa peduli dengan sekitar kita.”. Ya, saya cukup mengilhami nasihat bapak terkait ini.
Dari kisah berwudhu yang barbar, parkir yang gak ngotak, atau kisah lain yang serupa, kita perlu belajar, bahwa melatih kepekaan sosial bisa dimulai dari hal-hal kecil, sehingga bisa jadi, kedepan, kita bisa punya kepekaan sosial pada hal-hal yang lebih besar. Laa dhoror, walaa dhiror, Tidak boleh memudhorotkan diri sendiri maupun orang lain. Mungkin, disinilah letak konsep yang disebut Gusmus sebagai “KESALEHAN SOSIAL”, memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial sekecil apapun itu. Sebisa mungkin, kita hindari perilaku kita yang mungkin akan mengganggu orang lain, meskipun kemungkinannya kecil. Karena itu juga bernilai ibadah. Tapi, saya tidak tau dengan tragedi ibu-ibu yang sen kanan belok kiri, apakah itu manifestasi ketidakpekaan? atau memang faktor genetik wanita yang hanya dapat di transkripsi oleh RNA polymerase saat wanita itu sudah sah bergelar ibu-ibu? Saya tidak tahu.
Kemarin, baru saja saya membaca pesan di grup WA Ngaji Aswaja NU mengenai perilaku kehidupan dan saat kematian Mustafa Kemal Attaturk, Revolusioner dan Bapak Bangsa Turki.
Pesan itu menceritakan Attaturk yg sangat an ti-Arab dengan gagasan sekuler-radikal nya. Mengganti Adzan dengan bahasa turki, melarang pakaian ‘kearab-araban, hingga membunuh ulama-ulama yg tidak sepaham dengannya. Kemudian diceritakan bahwa “SI ANTI ARAB” ini diakhir hayatnya menderita berbagai macam penyakit, kemudian disebut bahwa bumi tidak menerima jasad Attaturk, sehingga Attaturk tidak dikebumikan, melainkan jasadnya hanya ditanam di celah-celah batu marmer.
Diakhir pesan grup itu, si penyebar menulis : ” Begitulah kematian si Anti Arab, ada yang mau mengikutinya?”
Saya memandang pesan ini sangat tendensius. Mencoba mendogmatisasi umat muslim, khususnya Nahdliyyin untuk menjauhi NU dan Kyainya secara perlahan.
Pesan itu mencoba menipu pemahaman kita akan apa yang diperjuangkan NU. Harus kita pahami, bahwa apa yang dikampanyekan NU bukanlah kampanye anti-Arab atau bahkan program sekularisme seperti yg dilakukan Kamal Atatturk di Turki. Yang dilakukan NU dalam melindungi tradisi Nusantara dan mengintegrasikannya dengan praktik keagamaan islam adalah bahwa NU sangat memahami akan pentingnya budaya sebagai pondasi kemajuan suatu bangsa. Sehingga budaya hari ini, termasuk dalam praktik asimilasi kebudayaan dan religiusitas harus dilindungi sebagai identitas dan local wisdom.
Sedangkan apa yang dilakukan Attaturk terhadap Turki adalah dengan tidak mengakui islam sebagai agama yang memiliki nilai progresivitas dalam membangun bangsa. Ia meminggirkan islam ke pojokan dan memandang islam sebagai agama yang tidak bisa mendukung kemajuan dalam praktik bernegara. Hal ini jelas jauh berbeda dengan pemahaman NU dimana NU mengimani bahwa nilai-nilai keislaman memiliki ruh yang berkemajuan sebagai modal bagi bangsa kita untuk tetap kokoh bersatu dan terus melaju. Terbukti dengan diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara dan meyakini bahwa didalam Pancasila mengandung nilai-nilai inklusif islam yang layak diperjuangkan oleh seluruh elemen Nahdliyyin Nusantara.
Selain itu, mengenai klaim anti-Arab secara tidak langsung pada NU, tuan-tuan dan puan-puan bisa cek di pesantren-pesantren NU, bahwa pembelajaran awal yang dilakukan adalah pembelajaran bahasa arab melalui kitab-kitab klasik macam Jurumiyah, Imrithi, Al Maqshud, Alfiyyah Ibn Malik, dan Amtsilah Tasrifiyyah. Termasuk pesantren almamater saya sendiri yang memiliki kekhasan takhossus Ilmu Bahasa Arab.
Bagaimana bisa NU anti-Arab dengan mempelajarinya. Sama dengan tuan tidak menyukai kopi, tetapi tetap meminumnya. 😁
Mengenai relasi Arab dan Islam, bahwa islam memiliki kaitan dengan arab, tapi tidak selalu yang berbau arab itu islam.
“Kelapa memang bulat, tapi tidak setiap yg bulat itu kelapa.”
Jadi, sudahlah, jangan sampai kita mau dijauhkan dari NU dan para kyai dengan asumsi dangkal dan penggiringan opini kaum sumbu pendek, bahwa NU sedang melakukan kampanye anti-Arab. NU hanya sedang mengajak kita untuk bangga menjadi umat islam dan bangsa indonesia yang berkepribadian.
Anti Arab memang salah, karena seharusnya Huwa Arab atau Anti Arabti, hehe
Selamat malam sahabat. Selamat Malam Madiun, Kereta yg mengantarkan saya pulang kebetulan sudah sampai Madiun, Kota yang namanya saya kenal dari Buku Sejarah SD/SMP/SMA tentang pemberontakan PKI dulu. Sekarang saya kebetulan berkuliah di Malang, Kota yang satu provinsi dengan Madiun. Karena secara geografis cukup dekat, maka tak heran kalau teman-teman saya di Malang, ada yg berasal dari madiun. Pertama kali melihat mereka, teman-teman madiun saya itu, saya sama sekali tak melihat ada wajah-wajah pelaku atau korban pemberontakan PKI dulu. Mereka tampak baik-baik saja, tetap guyon dengan saya yang secara biologis berdarah Nahdliyyin ini.
Mereka mungkin terlihat baik-baik saja karena memang tidak mengalami masa pemberontakan itu. Itu sudah lama sekali. Katanya, pelaku 1948 juga sudah diadili, rekonsiliasi sudah dilakukan. Berbeda dengan tragedi 1965, yang sampai hari ini, tuntutan korban belum terpenuhi, tindakan diskriminatif terhadap “terduga” PKI juga masih banyak terjadi, pembredelan diskusi pengungkapan tragedi itu juga masih sering saya jumpai. Kata salah seorang yg pernah saya temui, kalo mau ngobrol terkait PKI, harus pintar mem-framming acara, jangan sampai lebay meng-share info diskusinya. Kalo terlalu lebay, tamatlah kau ditangan intel.
Berbicara mengenai kata “Share”, hari ini sudah sangat familiar. Bagi pemakai media sosial Facebook di Android, kata share ada di pojok kanan bawah setiap status. Kalo facebook sahabat-sahabat pembaca berbahasa indonesia, tidak akan ditemui tulisan “Share”, kata “share” diganti dengan kata “Bagikan”. Meskipun berbeda, artinya sama saja. Jangan sampai karena saya lebih sering menggunakan kata “share” dibandingkan kata “bagikan”, sahabat-sahabat share tulisan ini dengan kutipan berikut : “Tulisan ini adalah tulisan antek Amerika, agen CIA, anti-nasionalisme, karena lebih sering menggunakan kata SHARE, daripada kata BAGIKAN.” Lha wong saya ini orang biasa, kok disebut agen, bahkan untuk disebut agen of change ala mahasiswa pun, saya belum pantas.
Alhamdulillah nih, setiap status si zaidun sekarang sudah ribuan yang share, dan puluhan juta yang komentar. Sehingga, dia mendapat gelar “Imam Asshareiyyah Wal Komentariyyah” Pemimpin alirah Shareiyyah Komentariyyah. Selain si Zaidun, masih banyak imam-imam lain dari aliran ini, jumlahnya ribuan.
Ada lagi cerita Imam aliran Shareiyyah dan Komentariyah selain zaidun, kiprahnya juga cukup luar biasa dibanding Zaidun. Penasaran? Siapa dia? Bagaimana kiprahnya? (JANGAN) DITUNGGU KELANJUTANNYA! Karena kelanjutannya adalah realitas praktek bermedia dan besosial kita, termasuk saya.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi. Saya berasal dari Majalengka, Jawa Barat. Jualan daring adalah profesi saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.