Belajar dari Masa Lalu

Belajar dari Masa Lalu

Jejak digital tidak akan pernah bisa hilang. Hati-hati dalam beropini dan bermedia sosial. Atau ada yang dulu berpandangan atheis, kemudian menjadi theis. Lalu kemudian dianggap tidak konsisten dan mencla-mencle. Saya termasuk tidak setuju dengan anggapan itu. Manusia adalah makhluk dinamis. Otak adalah instrumen bagi manusia untuk menikmati dinamika dalam spektrum kehidupan yang luas. Artinya, ketika pemikiran dan sikap berubah, itu biasa saja. Bagi saya itu adalah proses dimana manusia memang seharusnya berubah-ubah cara pandang dan sikapnya, sebagai akibat otaknya belajar hal-hal baru dalam setiap tarikan nafasnya, menemukan premis-premis baru dari peristiwa yang ia alami dan renungi.

Kita yang sekarang, berbeda dengan kita 5 tahun yang lalu, bahkan berbeda dengan kita 5 menit yang lalu. Jadi, saat ada jejak digital yang menunjukkan inkonsistensi sikap kita, tak perlu cemas, santai saja. Justru kita dapat belajar daripadanya. Masa lalu, baik yang telah kita alami sendiri maupun orang lain bisa menjadi modal untuk kita belajar kebijaksanaan lebih jauh lagi. Peristiwa masa lalu menceritakan kebodohan, kenaifan, kecerdikan, kejeniusan seseorang dan lainnya. Begitulah kita bisa belajar dari apa yang disebut dengan Sejarah.

Sejarah adalah salah satu keilmuan yang saya sukai, namun suka disini bukan untuk menjadi ahli ataulah pakar. Hanya sekedar penikmat saja, karena jika saya membaca satu peristiwa sejarah saja yang mengandung titimangsa, beberapa menit kemudian saya sudah tak mengingatnya. Jadi tentu saya hanya penikmat cerita masa lalu. Seperti tentang kekaisaran romawi, mongol, dinasti di tiongkok, dinasti islam pasca khulafaurrasyidin hingga sejarah lokal macam kesultanan mataram, banten, demak, majapahit dan pajajaran. Saya masih ingat saat mahasiswa melahap habis roman sejarah Gajah Maja karya Langit Kresna Hariadi, mengkhatamkan Atlas Walisongo, menikmati buku Di Bawah Bendera Revolusi-nya Sang Proklamator hingga Bung Karno Sang Penyambung Lidah Rakyat dari Cindy Adams. Agaknya sudah banyak bacaan yang terlupakan.

Setelah berumah tangga saat ini, buku memang sudah lama tak disentuh karena beberapa hal. Namun film dengan genre dokumenter sejarah adalah yang cukup sering saya tonton jika punya waktu luang. Di Netflix misalnya, Serial Roman Empire, Rise of Empire: Ottoman, Age of Samurai: Battle of Japan, Queen Cleopatra, the Last Czars dan Vikings adalah film-film sejarah yang keren nan epik yang bisa saya nikmati. Dan yang paling terbaru adalah film lokal garapan Hanung Bramantyo, SULTAN AGUNG: Tahta, Perjuangan, Cinta.

Sembari menonton serial-serial tersebut, acapkali saya imbangi dengan berselancar di google, membuka wikipedia laman demi laman tentang tokoh-tokoh yang saya temukan sepanjang serial itu berlangsung. Semisal saat menonton tentang Mataram Islam, saya berselancar hingga tentang kerajaan-kerajaan tetangganya, seperti kesultanan cirebon, banten, dan lain-lain.

Dari sejarah masa lalu itu, banyak pelajaran yang dapat kita ambil, ambisi, kekuasaan, kenaifan, kepolosan, pengorbanan, kekakuan, perpecahan dan bahkan cinta. Dari peristiwa lampau, bangsa kita pun belajar, dari semula berupa kerajaan-kerajaan kecil yang seringkali bermusuhan, menjadi sasaran empuk devide et impera penjajah, kini sama-sama menurunkan egonya, bersedia menyatakan diri berada dibawah panji merah putih dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi saya, ini bukanlah inkonsistensi atau mencla mencle, jejak sejarah dimana bangsa Indonesia yang dulu terpecah-pecah, kini berubah menjadi bangsa yang bahu membahu menyusun pecahan-pecahan itu menjadi bangunan yang kokoh dibawah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”. Kita harus berbangga dengan langkah para founding fathers kita yang senantiasa mempelajari sejarah, mengambil ibrah dari peristiwa masa lampau, menginternalisasinya dalam setiap langkah lahir maupun batin dalam mendirikan dan mempertahankan bangsa ini.

Beberapa hari lagi kita akan memperingati ulah tahun kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 78 tahun. Sebagai warga negara yang lahir dengan menikmati indahnya menjadi bangsa yang merdeka, sepatutnya memiliki tanggungjawab untuk mengisi kemerdekaan ini dengan sebaik-baiknya. Saat ini, disintegrasi bangsa mengancam kita, dari mulai intoleransi hingga gaduh media sosial, tentu ada potensi potensi yang menuju kearah sana. Meski demikian, sedikit banyak saya yakin, jumlah pembuat gaduh tak seberapa, tapi kita perlu mengingat ungkapan populer yang konon diungkapkan sayyidina Ali Kw., “Kejahatan yang merajalela bukan disebabkan oleh banyaknya orang jahat, tapi karena banyaknya orang baik yang memilih diam.”. Selamat memyongsong HUT RI ke 78, semoga di usia 100 tahun Indonesia di tahun 2045 nanti, kita menjadi saksi hidup kemajuan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang mampu menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, berbekal pengalaman dan pembelajaran yang diambil dari masa lalu para pendahulu kita, Amin ya robb.

Kepala Tiga

Kepala Tiga

Genap 30 tahun sejak saya dilahirkan ke dunia ini. Tentu telah banyak cerita yang telah terukir dalam perjalanan hidup ini. Segala peristiwa yang terjadi dalam hidup, yang masih terekam dalam ingatan, rasa-rasanya baru saja kemarin saya alami, seperti bukan peristiwa yang sudah dalam terpendam. Maka salah satu puisi Gus Mus ada yang berjudul “Rasanya Baru Kemarin”. Ini gambaran sederhana bahwa banyak hal yang telah terjadi dalam hidup, meskipun itu telah berlalu berpuluh-puluh tahun yang lalu, rasanya baru kemarin. Gus Mus menggambarkan dalam puisinya itu, rasanya baru kemarin mahasiswa-mahasiswa yang dulu rajin berdemonstrasi itu, sekarang sudah jadi menteri-menteri, dan menjadi objek yang didemonstrasi oleh mahasiswa-mahasiswa selanjutnya.

Senyum-senyum sendiri, itulah respon alami saat saya menulis tulisan ini, mengingat satu dua peristiwa yang saya alami di masa lalu. Secara garis besarnya, banyak hal yang patut disyukuri, banyak hal yang harus diingat dengan senyuman. Kehidupan “nomaden” sejak SD hingga S2 adalah cerita kehidupan yang luar biasa. Meskipun semuanya terjadi di pulau Jawa. Tapi semua fase berjalan di Kota, bahkan Provinsi yang berbeda-beda. Berinteraksi dengan banyak manusia yang dibentuk dalam budaya yang cukup berbeda, menambah kesadaran diri bahwa hidup harus saling menghargai antar sesama manusia, harus memupuk rasa toleransi seluas-luasnya.

Kini, saya sudah genap mencapai usia 30 tahun, atau dalam istilah lain, sudah masuk “kepala tiga”, usia yang mungkin sudah melalui “quarter life crisis”, sudah paham orientasi hidup dan bagaimana menjalani hidup yang selayaknya. Selain itu, ada juga yang bilang, usia 30 adalah saat dimana idealisme yang berapi-api mulai tergantikan dengan kacamata yang lebih realistis dalam memahami persoalan dalam pergaulan sosial. Apapun itu, saya rasa usia tak bisa menggeneralisir pengalaman orang per orang, tidak bisa menjustifikasi “kematangan” seseorang. Maka bisa saja sikap saya yang meski sudah 30 tahun ini masih seperti BOCIL, atau bahkan hobi menceramahi layaknya “sepuh” yang kenyang pengalaman, hehehe.

Yang pasti, usia yang kita punya ini bukan bertambah, tapi semakin hari adalah semakin berkurang. Teringat dalam syair karya Abu Nawas yang berbunyi, “Umur kami berkurang setiap harinya, sedangkan dosa-dosa terus bertambah, bagaimana kami sanggup memikulnya?”. Syair yang sangat kontemplatif tersebut tentu harus menjadi titik awal untuk bagaimana kita memaknai usia yang terus menerus berkurang setiap harinya. Narasi positifnya adalah kita dalam setiap langkah hidup harus senantiasa menebar kebaikan dan kebermanfaatan untuk sesama, sembari memohon ampunan kepada Sang Pemilik Hidup, atas pilihan-pilihan hidup yang mungkin ternyata tidak terlepas dari dosa-dosa adamiy maupun ilahiy secara langsung.

Keunikan usia 30 ini pada diri saya adalah rambut saya sudah mulai muncul uban. Seperti yang diketahui, uban ini muncul akibat menurunnya produksi eumelanin pada rambut. Penyebabnya bisa macam-macam, alamiah karena usia, genetik, atau mungkin stress. Untuk kasus saya ini, lebih besar kemungkinan karena usia atau genetik, karena kondisi hidup saya tak mengharuskan saya stress. Alhamdulillah, paling tidak kondisi hidup saat ini, betapapun katanya dunia sedang dilanda resesi dan kesulitan ekonomi, masih banyak sekali anugerah diluar itu yang harus bisa saya syukuri. Keberhasilan membangun rumah ditengah krisis misalnya, atau akan hadirnya anggota baru dalam keluarga saya, insyaAllah.

Seperti sebutannya, usia “kepala tiga” mencerminkan cabang yang banyak. Karena dalam gramatika bahasa arab, bilangan tiga sudah dianggap sebagai Jamak/banyak. Jika digunakan ilmu cocoklogi, hehe, artinya di usia kepala tiga ini secara umum kita sudah punya banyak peran dalam kehidupan, didalam pekerjaan, didalam keluarga, juga didalam masyarakat, kita semua punya peran masing-masing, yang peran itu semakin bercabang menjadi ranting-ranting peran kecil yang harus diupayakan semuanya tetap kokoh.

Ada kutipan menarik dari Jiraiya dalam serial Naruto, “Kewajiban kita adalah menjadi contoh dan membantu generasi berikutnya, mempertaruhkan nyawa sambil tersenyum demi itu”, artinya peran dalam hidup kita tak harus 100%  sempurna tanpa cacat, berusahalah semaksimal mungkin, sehingga kelak anak-anak kita akan mencontoh apa yang telah kita lakukan, karena masih menurut Jiraiya, “Seorang ninja tidak diukur dengan bagaimana mereka hidup, melainkan apa yang telah berhasil mereka lakukan sebelum kematian mereka.”. Bisa kita interpretasikan bahwa dalam hidup bukan tentang perannya apa, tapi tentang apa yang akan dan telah kita lakukan dalam menjalani peran itu. Sehingga, generasi kita bahkan orang lain akan melihat dan menilai warisan-warisan moril dari diri kita.

Puncak daripada memainkan peran dalam hidup ini bisa kita temukan dalam syair populer arab yang beberapa kali dikutip oleh Gusdur, yaitu “Waladatka ummuka yabna adama bakiya, wannasu haulaka yadhakuna sururo. Fajhad linafsika an takuna idza bakau, fi yaumi mautika dlohikan masruro.”, artinya Wahai anak adam, ibumu melahirkanmu dimana kamu dalam kondisi menangis, sedangkan orang-orang disekitarmu berbahagia menyambutmu. Maka berupayalah agar kelak ketika kamu meninggalkan dunia, dirimu tersenyum, sedangkan orang-orang disekitarmu menangisi kepergianmu, sebagai orang yang sangat bernilai dimata mereka.

Bagi saya, dan mungkin bagi kita semua, saya kira penting bagi kita selaku orang tua, mewariskan sesuatu kepada generasi kita selanjutnya. Warisan ini bukan hanya yang bernilai materil, tapi juga warisan yang bernilai moril, yakni sebuah keyakinan, sebuah tekad, sebuah uswah, sebuah nilai perjuangan, yang dapat dicontoh dan diteruskan oleh generasi mendatang, yang jika dalam Naruto disebut sebagai “Tekad Api”, atau dalam One Piece disebut “Will of D”. Yah, semoga saja menginjak usia 30 ini, tentang bagaimana saya berperan dalam hidup bisa lebih bermakna, dan setiap umur yang terus berkurang ini dihiasi dengan gerak langkah kebermanfaatan yang akan dinilai sebagai warisan perjuangan yang pantas dilanjutkan oleh generasi selanjutnya. Amin.

“Checkpoint” Rumah Impian Kami

“Checkpoint” Rumah Impian Kami

الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات

Perjuangan setelah berbulan-bulan berkutat dengan pembangunan rumah akhirnya semakin dekat menuju “check point”. Sore tadi, rumah saya dan istri telah “DIADZANI” oleh para Kyai dan tamu undangan.

Ya, Ritual keagamaan di Rajagaluh, daerah tempat saya tinggal memang kental dengan ritual Islam Aswaja. “Ngadzanan rumah baru” adalah salah satu dari sekian banyak ritual keagamaan yang sudah menjadi bagian dari potret sosial keislaman di Rajagaluh.

Tentunya, saya ucapkan terimakasih kepada para kyai, asatidz, kerabat, sahabat dan seluruh tamu undangan yang berkenan menghadiri dan mendoakan untuk keberkahan rumah kami. Semoga amal baik semuanya dibalas oleh Allah SWT berlipat-lipat, amin.

Meskipun rumah ini memang belum selesai 100%, karena memang masih kurang ‘sana sini’, setidaknya sudah bisa kami tinggali. Keluarga mertua dari Malang pun berkenan untuk datang jauh-jauh dan tidur di rumah baru kami. Padahal, saat itu posisi jendela ada yang belum terpasang akibat kemoloran “pemborong jendela” dari deadline yang telah disepakati.

Ditulisan saya sebelumnya terkait dengan MASWINDO, awalnya memang rumah ini akan saya pasrahkan kepada Kontraktor besar itu. Tujuannya agar saya tidak terlalu repot mengontrol pembangunan terus menerus, tidak perlu stand-by mengecek kinerja tukang setiap hari. Namun karena prasyaratnya tidak bisa kami penuhi, khususnya terkait biaya yang harus masuk full diawal, kami akhirnya legowo untuk menghandle sendiri pembangunan rumah kami, meski sebetulnya, pembangunan kami tetap dibangun oleh satu tim kontraktor tertentu, tapi dengan sistem pembayaran upah harian dan material diatur secara penuh oleh saya pribadi.

Dengan sistem seperti itu, tentulah proses pembangunan itu sangat menguras energi saya setiap hari, untungnya saya bukan PNS dan karyawan yang jam kerjanya terjadwal padat. Jadi, setiap hari saya selalu menyempatkan memantau pembangunan, mengecek material yang kurang stau habis,berkonsultasi dengan Pak Mandor, belanja dan mencari info-info tentang material yang bagus dan murah, serta tektek bengek lainnya. Sampe kulit saya belang-belang meski sudah menggunakan sunscreen.

Alhamdulillah, semua proses yang menguras tenaga, emosi dan tentu saja, semua duit yang kami punya ini “sementara” telah usai. Kenapa “sementara” atau “checkpoint” ? Karena masih ada proyek lanjutan dari sekedar rumah tinggal saja. Mohon doanya saja dari seluruh pembaca, semoga apa yang menjadi hajat kami diberi jalan oleh Allah untuk mencapainya. Amin ya robb. Akhiron. Mudah-mudahan rumah baru kami menjadi rumah dengan penuh keberkahan. Amin ya robbal alamin.

Bikin Emosi, di-Prank Tukang Las Berminggu-minggu

Bikin Emosi, di-Prank Tukang Las Berminggu-minggu

Tulisan kali ini tak lebih dari sekedar curhatan pribadi. Namanya manusia, pasti punya sisi emosional. Kadang emosi ini harus diluapkan. Namun peluapan emosi ini bermacam-macam cara, dan saya memilih menulis untuk meluapkan emosi saya.

Kejadian ini bermula sekitar 4 minggu yang lalu. Saya setiap hari jum’at mengemban tugas negara, tepatnya membantu orang tua jualan di pasar, menjadi kuli panggul kerudung-kerudung yang kami jual. Prosesnya diawali dengan pengepakan barang di rumah. Ini cukup berat. Saya harus karungi satu persatu dengan total 8 karung plus printilan kresek ukuran 50 yang cukup banyak pula. Satu mobil granmax terisi penuh. Tidak ada karyawan di rumah. Praktis hanya saya dan adik saya yang mengerjakan. Sebentar. Saya bukan sedang mengeluh akibat dipekerjakan orang tua. Saya dan adik tentu ikhlas melakukannya, karena mau bagaimanapun, ini adalah bentuk bakti kami kepada orang tua. Ini rutinitas yang sudah bertahun-tahun kami jalani.

Setelah sampai ke pasar. Barang dari mobil harus diangkat ke tempat kami jualan. Proses pengangkutan barang dari mobil ke los tempat kami jualan sebetulnya cukup dekat, hanya sekitar 20 meter, dan ada tukang becak yang menjadi kuli panggul membantu mengangkut barang dari mobil. Ini sama sekali bukan masalah, saya dan partner kerja hanya bertugas membongkar barang jualan itu karung demi karung.

Proses packaging saat pulang lah yang menjadi tantangan yang besar. Karena tempat jualan kami ini berbentuk los yang mengharuskan kami membawa pulang semua barang jualan kami. Dahulu kala, proses pengepakan barang saat pulang tidak terlalu berat, karena ada jalan pintas yang bisa digunakan untuk mengemas barang jualan ke dalam mobil. Namun sekitar tahun lalu, jalan pintas itu telah tertutup, yang membuat kami harus mengambil jalan memutar untuk mengangkut barang ke dalam mobil. Prosesnya pun cukup panjang. Kami harus mentransitkan barang tersebut sebanyak 2 kali, plus proses pengepakan kresek demi kresek, karung demi karung.

Apesnya, dari 5 karyawan yang ada, kini hanya tersisa 3 orang, 2 cewe, 1 cowo Dan si cowo ini terhitung karyawan baru dan seringkali gak masuk kerja. Tentulah saya dan Bapak yang harus menjalani pengepakan barang seabrek itu. Sangat melelahkan. Kami seringkali tepar seharian setelah menjalani sore yang berat itu. Tukang becak? Sore sudah pulang semua.

Akhirnya, bapak dan saya memutuskan untuk merenovasi los tempat kami jualan, dibuat tertutup dengan membuat rangka besi dan plat dengan pintu yang bisa tertutup, sehingga kami tak perlu membawa barang jualan ketika akan pulang di sore hari. Dan, kami akhirnya mendapatkan tukang las yang siap untuk mengerjakan proyek itu. Bos tukang las ini terlihat cukup ramah dan berdasarkan penuturannya tecitrakan sebagai “ahli ibadah”, rajin puasa dan sering mengikuti istighosah.

Setelah berdiskusi dan memproses perizinan ke pihak pengelola pasar. Bos tukang las itu menuturkan bahwa proyek akan selesai satu minggu. Saya cukup bernafas lega, meskipun biayanya cukup besar, paling tidak kami bisa nyaman berjualan tanpa dihantui beban berat pengepakan barang untuk dibawa pulang. Namun, dari sinilah ‘prank’ itu dimulai.

Keesokan harinya di hari sabtu, saya meninjau lokasi proyek, belum ada pengerjaan apapun. Saat dihubungi, katanya masih proses belanja. Alasan yang cukup logis, mengingat baru hari pertama. Di hari selasa, kami tinjau kembali ke lokasi, pengerjaannya ternyata baru sekitar 15%! Disinilah kami mulai panik. Apakah proyeknya bisa selesai saat hari jum’at ketika kami berjualan? Dan ternyata, BELUM! Akhirnya di jumat itu, kami menjalani aktivitas packing pulang yang melelahkan lagi. Yasudahlah, kadangkala di negeri Wakanda ini, telat sudah jadi budaya yang dijunjung tinggi, mungkin minggu depannya sudah bisa 100% selesai.

Sabtu lagi, kami tinjau lagi, tidak ada pekerja yang mengerjakan proyek kami. Kami coba telp lagi, alasannya, sabtu masih hari pasar, sulit untuk membawa material ke lokasi. Selasa kami tinjau lagi, proyek tenyata baru berjalan sekitar 50%. Tentu kami panik lagi, kemungkinan besar jum’at belum bisa selesai 100%. Dan benar saja, kami di prank lagi di minggu kedua. Jum’at lelah kami jalani kembali. Ngelus dada, emosi, tapi apa daya, mau marah-marah pun bagaimana, toh sistemnya borongan, bukan harian. Kadang saya berpikir, kalo saya yang borong, tentu saya akan kerjakan dengan cepat, agar uangnya cepat cair, proyek cepat selesai, dan bisa menuju proyek-proyek lainnya untuk mendapatkan uang lagi. Apa bos proyeknya sudah tidak “hubbudduya”? Subhanallah.

Sabtu selanjutnya, kami tinjau lagi. Nihil. Dan si bos tak bisa dihubungi. Selasa kami lihat sudah proses pemasangan keramik, rangka dan plat sudah terpasang. Tinggal gerbang, 85%. Dan, kami menerka-nerka, bisakah selesai di hari jumat? Masih BELUM! Dihari rabu, si bos membalas WA, katanya ia sedang sakit, begitupun karyawannya. Apes lagi kami. Di prank lagi di minggu ketiga. Emosi semakin memuncak, namun apa daya, alasannya SAKIT. Tentu tak bisa disalahkan, tapi tentu kami nggrundel didalam hati, 2 minggu yang lalu kenapa kerjanya super lelet. Asem tenan.

Sudah bisa anda tebak, besok akan menjadi hari yang melelahkan lainnya. 3 minggu kami di prank oleh tukang las itu. Saya pasrah, entah itu akan selesai minggu depan ataupun setahun lagi terserah lah. Toh, rutinitas ini sudah bertahun-tahun saya jalani. Saya yang salah karena berharap kepada selain Tuhan. Ya, menaruh harapan kepada makhluk adalah sebuah kesalahan. Ampuni saya ya Rob.

Namun jika dilihat dari aspek professionalitas kerja. Tentu tindakan tukang las ini sangat tidak professional. Kemoloran pengerjaan ini tentu mengikis kepercayaan kami pada pelayanannya. Singkatnya, saya tidak akan merekomendasikan jasanya kepada orang lain, ataupun untuk saya gunakan lagi sendiri. Dari citranya sebagai orang yang rigid dari sisi “hablumminallah”, harusnya ia juga penuhi dengan “hablumminannas” yang konon katanya harus lebih didahulukan pemenuhannya.

Professionalitas ini memang menjadi isu yang cukup memprihatinkan di negeri ini. Tukang las ini hanya bagian kecil dari banyaknya tindakan unprofessional di belahan Wakanda lainnya. Tentu kita masih belum lupa dengan kasus yang melanda salah satu institusi penegak hukum di Wakanda. Kasus penembakan, peredaran narkoba, dan kesalahan penanganan massa pertandingan sepakbola wakanda adalah contoh besar dari tindakan unprofessional yang terjadi. Semoga tukang las ini hanya oknum dari sekian banyak tukang las lain yang punya jiwa professional yang tinggi. Eh, kata “oknum” ini sudah terlalu sering dijadikan tameng ya? Engga kok engga, takut ah, takut diciduk. Segitu dulu curhatan “Prank” nya, makasih udah mau baca sampai akhir. Salam professional, hehe.

Menambah Kesibukan dengan Mengajar

Menambah Kesibukan dengan Mengajar

“Nak, kalau kamu jadi guru, dosen, atau kyai harus tetep usaha. Harus punya usaha sampingan, biar hati kamu gak selalu mengharap pemberian ataupun bayaran dari orang lain. Karena usaha dengan keringatmu sendiri itu barokah.”, Almaghfurlah KH. Maimun Zubair.

Tipikal manusia didunia ini bermacam-macam, ada yang dalam hidupnya ia nyaman ketika sibuk bekerja, ada juga yang nyaman ketika sibuk menganggur, mencintai kegabutan dan mager. Tapi kedua tipikal manusia ini bersepakat, bahwa tjuan adalah koentji, hahaha. Ya, karena selepas quarter life, kebutuhan akan cuan itu keniscayaan. Memang cuan bukan segalanya, tapi segalanya butuh cuan, begitu kira-kira ungkapan masyhur di negeri Wakanda.

Kalo saya dimasukkan kedalam 2 kategori itu, saya ambil tengah-tengahnya. Terlepas dari aspek tuntutan mencari nafkah, saya benci ketika terlalu sibuk, saya juga jengah ketika gabut tanpa pekerjaan, hahaha. Jadi memang yang tengah-tengah ini justru menjadi assawadul a’dzom, kelompok mayoritas di wakanda ini, termasuk saya.

Kesibukan saya berjualan daring, membantu orang tua jualan luring itu sudah cukup padat. Ditambah sekarang menjadi mandornya mandor di proyek pembangunan rumah sendiri, ya lumayan lah. Sejak bangun pagi hingga terlelap lagi, kesibukan selalu ada, tentu termasuk dengan waktu yang terdistraksi akibat scrolling medsos dan nonton film di layanan streaming, itu juga saya masukkan hitungan.

Sejak dahulu, berjualan ini “bukan passion saya”, tapi karena tuntutan ekonomi, ya tentu saya jalani dengan penuh khidmat, karena seperti ungkapan diatas, tjuan adalah koentji. Namun, tentu passion saya harus tetap dipenuhi dan dikejar demi kepuasan. Karena ada bagian dari diri saya yang menginginkannya. Ya, saya sejak dahulu sedikit banyaknya ingin terlibat dalam dunia pendidikan.

Saya kadang-kadang melirik info cpns, pppk dosen, lowongan dosen tetap PTN , dll, tapi memang seperti kata Fiersa Besari dalam satu kesempatan, “Kita tidak perlu melihat superhero jauh-jauh ke luar negeri, karena superhero itu bisa dilihat dari seorang laki-laki yang rela mimpi-mimpinya diinjak didepan mata demi kepentingan keluarga.”. Idealisme saya tentang menjadi dosen di salah satu PTN bergengsi itu saya kubur dulu di halaman belakang rumah. Saya ambil opsi-opsi yang lebih realistis dengan jalan kehidupan saat ini sembari sedikit berharap ada saatnya nanti saya bisa gali kembali.

Beberapa bulan yang lalu, bagian dari diri saya ini akhirnya bisa menancapkan diri di dunia pendidikan, dengan menjadi guru di sekolah milik pesantren. Sekolah ini adalah satuan pendidikan baru dengan nama Pendidikan Diniyah Formal (disingkat PDF) yang berada dibawah naungan Kemenag. Porsi pelajarannya 75% kitab kuning dan 25% umum. Tentu saya tidak mengambil porsi yang 75%, karena disamping banyak pengajar alumnus Lirboyo yang hebat-hebat, pengetahuan kitab kuning saya sudah “volatil”, sehingga saya mengambil porsi pelajaran umum.

Setelah menjadi Guru, tentu itu masih saya rasa bagian kecil dari mimpi yang tercapai, karena saya memang lebih ingin mengajar di level mahasiswa, karena saya kira belajar bersama mahasiswa ini akan lebih fleksibel, cair dan komunikatif. Konon di level mahasiswa, mereka ini sedang dalam fase pencarian jati diri, hematnya saya ingin berperan sebagai pengantar bagi mereka untuk menemukan jati dirinya, wuih, saha aing? Hahaha. Engga lah, intinya sih karena saya sudah sekolah sampe S2, kalaulah keilmuan yang saya dapatkan ini tidak disalurkan, saya khawatir “volatilitas” keilmuan saya terulang lagi. Salah satu jalan untuk menjaga ilmu adalah dengan mengamalkannya. Dan mengajarkannya adalah salah satunya.

Selanjutnya, Alhamdulillah saya diterima untuk mengajar di perguruan tinggi kesehatan swasta di Cirebon, dan milik pesantren juga. Bisa dibilang, saat ini saya harus banyak bersyukur. Selain memang dari segi bisnis tetap berjalan, passion saya sedikit banyaknya tetap bisa saya kejar. Sudah sekitar 2 pertemuan mengajar di level mahasiswa, rasanya menyenangkan bertemu dengan calon generasi penerus bangsa, wehehehe. Tapi mengajar di PDF juga tak kalah menyenangkan, karena banyak pelajaran yang sudah banyak saya lupakan saat SMP dan SMA dulu, saya bisa mempelajarinya kembali.

Agaknya, kondisi sekarang ini bagi saya paling tidak bisa dianggap sebagai kondisi ideal bagi saya untuk menjalani hidup. Berperan dalam pendidikan sudah saya dapatkan, bisnis sudah berjalan, tinggal bagaimana saya dan istri terus melebarkan sayap untuk ekspansi bisnis untuk lebih mandiri secara ekonomi agar saya bisa jadi Kaya secara finansial. Bukan berarti saya hubbuddunya, tapi jika kita miskin juga kan gak bisa sedekah, hahaha. Seperti dawuh Buya Said Aqil Siroj, kita orang Islam harus kaya, harus ada orang Rajagaluh yang jadi orang paling kaya se Indonesia. Toh, pada dasarnya, ketika kita mengejar sesuatu yang sifatnya duniawi tapi dibarengi dengan niat yang baik, maka akan terkonversi menjadi sesuatu yang bernilai ukhrowi, begitupun sebaliknya.

Sebetulnya dalam kehidupan ini, tidak terlalu penting kita jadi apa dan siapa, yang penting apa yang kita lakukan ini bermanfaat bagi sesama. Tapi jika menjadi apa dan siapa itu adalah wasilah menuju kemanfaatan, tentu harus kita kejar. Karena intinya adalah ketika kita menjadi apa dan siapa itu kita harus menjalaninya dengan sebaik-baiknya. Yang penting, jangan terlalu sibuk, jangan juga terlalu mager, yang sedang-sedang saja, hahaha.

Wallahu a’lam.

Kenapa Saya Menjadi Fans Juventus?

Kenapa Saya Menjadi Fans Juventus?

Ditengah merosotnya prestasi tim-tim italia di kancah sepakbola eropa beberapa dekade ini, kenapa saya masih saja menjadi fans La Vechia Signora? Apalagi saat ini, liga-liga eropa lainnya seperti Premier League menawarkan kompetisi yang lebih dinamis dan berisi nama-nama pelatih dan pemain mentereng macam Pep Guardiola, Juergenn Klopp, Erik Ten Hag, Haaland, de Bruyne, Gabsus, de el el.

Ya begitu sulitnya menerjemahkan kecintaan terhadap klub bola, bisa jadi seseorang menilainya dari popularitas, prestasi, uang, kehebatan satu pemain, histori klub ataupun yang lainnya. Paling tidak seseorang memiliki narasi yang menjadi “Pandangan Pertama” kecintaannya yang bisa ia ceritakan. Uniknya, setelah seseorang tersebut menjatuhkan pilihan pada satu klub, sulit baginya untuk berpaling hati, meskipun klub yang ia sukai itu sedang menjalani tirakat nirgelar. Senelangsa apapu nasib klub kesayangannya itu, tetap ia bela, bahkan rela masuk goa ketika tim kesayangannya kalah oleh rival, hahaha.

Beberapa hari lalu saat berjumpa dengan teman lama, ia bertanya kepada saya, “Biasanya pecinta klub italia itu generasi 70-80an kan? Generasi kita ini jika dipersentasi akan lebih memilih tim-tim kesayangan dari Premier League atau La Liga, kenapa anda berbeda, maszeh? Juve?”, tanyanya sembari menyiratkan senyuman ejekan kekalahan Juve atas Benfica di Liga Champions, wkwkwk.

“Wes pokok e sekali Juve tetep Juve,”, jawabku singkat. Ia semakin ketawa ngece. Asu batinku. Menjawab pertanyaannya ditempat itu sepertinya bukan hal yang tepat. Maka saya akan jawab melalui tulisan ini saja, hehehe.

Jadi, semuanya bermula saat saya masih mondok di salah satu Pesantren di Jateng. Kebetulan di Pesantren itu selalu langganan Koran yang biasanya oleh pengurus pondok dipasang di Mading khusus Koran. Nah, meskipun kami hanya sesekali saja menonton TV sebagai sumber informasi pada saat itu, kami tetep update informasi terkini melalui koran mading yang berganti setiap harinya.

Rubrik sepakbola adalah minat utama saya, dan berita sepakbola yang heboh pada saat itu adalah skandal calciopoli (pengaturan skor) yang melanda Liga Italia. Klub-klub yang terbukti melakukan pengaturan skor mendapatkan pengurangan poin dan yang paling berat adalah Juventus, yang mendapatkan sanksi berupa degradasi ke Serie B dan pencopotan gelar juara serie A 2004/2005 dan 2005/2006. Hasilnya? Pemain-pemain bintang Juventus hengkang. Ibra dan Vieira ke Inter Milan, Cannavaro, Emerson dan Pelatih Fabio Capello ke Real Madrid, sedangkan Zambrotta dan Thuram ke Barcelona.

Tapi kerennya, ada beberapa pemain bintang yang setia menjadi Bianconero, ia adalah Buffon, Del piero, Nedved, Trezeguet dan Camoranesi. Saya ingat 5 foto bintang Juventus itu berjejer ditampilkan di koran yang saya baca di hari itu. Ditambah dengan kutipan meleleh dari Del piero yang berkata, “Seorang Pria Sejati pantang meninggalkan Wanitanya.”. Melting maszeh. Disinilah titik dimana saya mulai menjatuhkan pilihan untuk menjadi fans Juventus. Hari demi hari, koran terus berganti, yang selalu saya cari adalah perkembangan klub asal kota Turin itu pasca terdegradasi. Dan disuatu hari, terdapat foto dan artikel saat Juventus menjuarai serie B dan bisa kembali ke Serie A di musim selanjutnya. Di tengah artikel terdapat foto Didier Deschamps sang pelatih yang juga eks pemain Juventus dengan kacamata hitamnya yang menurut saya keren itu.

Meski sempat terseok-seok setelah promosi ke Serie A, namun Juve kembali menjadi Jawara Italia dari musim 2011/12 hingga 2019/2020, atau 9 kali secara beruntun, yeeeee. Iya saya tahu, Juve saat ini sedang tidak baik-baik saja dan sedang mencoba membangun kembali tim. Dan saya juga termasuk fans yang mendukung #AllegriOut, hahaha. Saya juga menulis ini sambil menonton Juve vs Milan dengan permainan backpass yang membosankan. Hasilnya? Kalah cok, kalah! 2-0! Semoga Gol yang dicetak Tomori & Diaz ini jadi momentum pergantian pelatih dinosaurus itu ke pelatih yang punya konsep baru yang teruji, hahaha.

Meski begitu, saya tetap cinta Juventus. Nilai kesetiaan yang ditunjukkan oleh Del Piero, dkk inilah yang membuat saya menjadi fans Juve. Karena bagaimanapun, kesetiaan itu berharga. Dan bagi saya, seseorang bisa bersikap setia terhadap sesuatu itu karena memang sesuatu tersebut memiliki sebuah nilai yang layak diperjuangkan, baik berupa rasionalisasi maupun dorongan hati. Fino Alla Fine, Berjuang Sampai Akhir. Ayo Bangkit Lagi, Juventus!