Membela Obat Kimia Sintetis

Membela Obat Kimia Sintetis

Seringkali dalam beberapa obrolan suatu topik, yang terkait dengan kesehatan misalnya, ada orang yang latah menstigma begini, “Hati-hati sama obat kimia, berbahaya. Mending pake yang alami-alami, herbal, itu lebih sehat, lebih ampuh. Kalo obat-obatan kimia nanti suka ada efek sampingnya.”

Statemen macam itu jika didengar sekilas memang terdengar sangat super sekali, mereka yang bicara demikian bisa dianggap sebagai orang yang memegang warisan leluhur, menjunjung tinggi kearifan lokal dalam pengobatan tradisional, atau dalam bahasa kerennya disebut pejuang “back to nature“. Sebelum membahas lebih jauh, saya ingin mengkoreksi istilah “obat kimia”, istilah yang lebih tepat adalah “obat sintetis”. Karena pada dasarnya, yang herbal juga kimia. Dan semua yang ada di dunia ini adalah bahan kimia. Oke?

Ya, obat-obatan sintetis macam parasetamol, ibuprofen, CTM, pseudoephedrine, phenylpropanol amine, waakhwatuha seringkali di cap sebagai obat-obatan yang berbahaya bagi tubuh. Yang lebih aman adalah mengkonsumsi bahan-bahan alami, misalkan kunyit yang dibubukkan, dedaunan yang direbus, akar yang ditumbuk, dan lain lain. Begitu.

Sebagai orang yang pernah belajar ilmu kimia, saya termasuk orang yang tidak setuju dan gusar dengan pandangan tersebut. Kegusaran ini berangkat dari beberapa alasan. Pertama, Jika dilihat dari asal muasalnya, banyak obat-obatan sintesis juga pada awalnya berasal dari bahan-bahan alami. Saya ambil contoh, pseudoephedrine. Senyawa obat yang biasa digunakan sebagai obat pereda flu atau dekongestan ini pada awalnya berasal dari tumbuhan Ephedra sinica yang banyak tumbuh di daratan China. Secara tradisional, tanaman ini memang sejak dahulu digunakan sebagai obat pelega hidung dan tenggorokan. Karena khasiat tradisionalnya, kemudian para peneliti berupaya mengisolasi senyawa yang berperan dalam bioaktivitas tersebut dengan pendekatan bioassay guided isolation hingga didapatkanlah si senyawa kelompok alkaloid ini.

Karena sediaan tumbuhan Ephedra sinica yang terbatas dan rumitnya proses mengisolasi senyawa dari bahan alam. Maka dikembangkanlah mekanisme tertentu untuk mensintesis pseudoephedrine ini di laboratorium. Saat ini, sediaan pseudoephedrine ini tidak diambil dari tumbuhannya, melainkan dari hasil sintesis laboratorium. Pseudoephedrine disintesis melalui mekanisme biotransformasi yang melibatkan dextrose dan bakteri tertentu untuk mendapatkan prekursornya, kemudian diubah menjadi pseudoephedrine melalui proses aminasi reduktif. China dan India adalah dua negara yang banyak memproduksi pseudoephedrine ini dan mengekspornya ke berbagai negara.

Selain pseudoephedrine apa lagi? Masih banyak banget bos, misal morphin dari Papaver somniferum sebagai obat analgesik, vinblastin dan vinchristin dari Catharantus roseus sebagai obat antitumor, Quinine dari Chincona sp sebagai obat antimalaria, dan lain lain. Beberapa obat ini pada awalnya ditemukan dari tumbuhan, kemudian dikembangkan produksinya dengan metode sintesis agar lebih mudah didapat dan menghasilkan rendemen lebih tinggi.

Kedua, satu kandidat obat tidak dinilai dari beberapa orang yang mencoba khasiatnya, melainkan melalui banyak tahapan dalam uji, dari pra klinis hingga klinis. Contohnya saya lanjutkan dengan pseudoephedrine lagi, senyawa tersebut dilakukan uji bioaktivitas hingga uji klinis untuk memastikan efektivitas dan selektivitas kerjanya sebagai kandidat obat. Setelah melalui uji-uji yang rumit itu, barulah si pseudoephedrine ini mendapatkan izin edar/pemasaran dengan tetap mendapatkan pengawasan dan pemantauan dari pihak-pihak tertentu. Jika dalam masa edarnya ada masalah, obat ini bisa saja mengalami nasib buruk dengan ditarik dari pasaran, bisa permanen, bisa juga sementara.

Salah satu contoh obat yang pernah ditarik sementara adalah Ranitidine HCl. Obat tersebut ditarik karena adanya temuan cemaran NDMA yang diduga berasal dari tahapan produksinya. NDMA ini salah satu zat pemicu kanker. Kemudian, obat ini boleh diedarkan kembali di masyarakat karena beberapa merk dari obat ini memiliki kadar NDMA dibawah ambang batas. Fakta ini mungkin adalah salah satu dalil yang dapat digunakan untuk menghakimi obat sintetis sebagai produk yang tidak aman. Namun juga sekaligus juga menjadi dalil yang menjelaskan bahwa pengawasan terhadap obat-obatan sintetis berjalan dengan baik. Dengan kata lain, pendistribusian obat-obat sintetis diatur sedemikian rupa agar penggunaannya tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.

Jadi intinya, menghakimi obat-obatan sintesis ini bagi saya bukan hal yang tepat dan adil. Karena pada dasarnya, meskipun saya atau anda dengan jargon “back to nature” secara bangga mempraktekkan konsumsi jamu-jamu tradisional yang diminum terus-menerus ya tidak tepat juga. Lho kok tidak tepat? Ini berhubungan dengan keterukuran atau ketepatan, baik secara dosis maupun efektivitasnya. Jamu dengan pengolahan tradisionalnya akan sulit diukur efektivitas dan selektivitasnya layaknya senyawa obat hasil isolasi maupun sintesis karena sediaannya biasanya masih berupa crude atau ekstrak kasar. Pada ekstrak kasar ini, disamping zat aktifnya, masih banyak zat-zat atau senyawa-senyawa lain yang memiliki dua kemungkinan, apakah senyawa lain itu berefek sinergis terhadap zat aktif, ataukah bersiifat antagonis/melemahkan kinerja zat aktifnya.

Ketiga, mengkonsumsi jamu tidak selalu lebih sehat dibanding obat-obatan sintetis. Mengkonsumsi jamu jika dilihat dari kajian metodologis sains memang model konsumsi yang bisa dibilang 50:50. Artinya dibalik khasiatnya yang secara turun temurun telah diturunkan dari leluhur, jika metodologi sains berperan, akan ada dua kemungkinan, bisa jadi dia benar-benar bekerja secara selektif dan efektif, bisa juga tidak. Hal ini tak lepas dari sediaannya yang berupa crude. Maka urusan perjamuan ini, BPOM punya pengkategorian tersendiri (agar tidak terlalu liar) dengan membaginya menjadi 3 kelompok, yaitu jamu, obat herbal terstandar (OHT) dan fitofarmaka dengan syarat-syarat tertentu. Untuk menjadi OHT, suatu produk jamu harus memenuhi kriteria keamanan yang ditetapkan, khasiatnya terbukti pada tahapan pra klinis, dan bahan baku nya sudah terstandarisasi dengan baik. Standarisasi bahan baku ini juga ada 3 aspek, yakni standarisasi bahan, standarisasi produk dan standarisasi proses (CPOTB). Sebagai contoh, jamunya orang pintar, si Tolak Angin kemarin-kemarin ini yang awalnya terkategorikan sebagai jamu, sekarang sudah masuk kategori obat herbal terstandar (OHT) karena sudah memenuhi kriteria keamanan yang ditetapkan.

Maksud dari penjelasan diatas, diluar sana mungkin banyak beredar jamu-jamu yang tidak memenuhi kriteria keamanan itu. Konsekuensinya, tidak ada kerangka metodologi sains yang menjamin keamanan konsumsi jamu tersebut yang menakar keterukuran dan ketepatan dosisnya. Karena dosis ini penting. Jika dosis misalnya tidak tepat, jika ternyata berlebih, akan berbahaya bagi tubuh, jika ternyata kurang, maka efek farmakologisnya tidak akan efektif. Halah, kan ada gusti Allah yang menjamin hidup kita, ra sah obat-obatan. Jika diskusinya dibawa kearah sana, kulo no komen mawon, hehe.

Keempat, jamu tidak bisa dijadikan agen utama dalam terapi pengobatan. Pada dasarnya, karena sediaan jamu rata-rata masih berupa crude atau simplisia, jadi kandungan senyawanya pun masih kompleks dan beragam, sehingga efek farmakologisnya sulit terukur dalam satu takaran tertentu, karena ada yang bersifat sinergis maupun antagonis. Hal ini menyebabkan inkonsistensi efek farmakologis dari jamu-jamuan. Sehingga biasanya, jamu akhirnya hanya digunakan sebagai penunjang dalam terapi pengobatan.

Disamping itu, diluar sana banyak penyakit-penyakit yang memang berat tidak akan bisa tertangani dengan meminum jamu saja. Artinya, penyakit itu memerlukan suatu terapi yang spesifik dari suatu senyawa obat, misal dalam kasus kanker, ya mau tidak mau ia harus melalui proses kemoterapi dengan diinjeksikan obat-obatan yang spesifik dan selektif. Dan sepengetahuan saya, saya belum menemukan mereka yang sembuh dari kanker hanya dengan meminum jamu saja. Jadi, semua ada maqom-nya masing-masing.

Inti dari tulisan ini sih begini, kita tidak usah terlalu parno sama yang disebut obat-obatan kimia, bahkan menyerang mereka dan membandingkannya dengan obat-obatan herbal. Bukan apa-apa, satu kandidat obat saja harus melalui tahap-tahap uji yang sangat sulit hingga sampai ke tahap uji klinis terhadap manusia. Dan ribuan kandidat obat diluar sana masih otw untuk bisa benar-benar disebut obat. Ada yang gagal, ada yang berhasil. Artinya untuk mendapatkan satu obat saja, perjalanannya sangatlah panjang.

Jadi, ini urusannya dengan penghargaan terhadap disiplin ilmu pengetahuan. Toh, yang terpenting adalah tidak berlebihan, atau dalam istilah adik saya yang dokter itu, sesuai dosis lah. Misal anda sakit kepala dan demam, anda minum parasetamol sesuai dosis saja. InsyaAllah aman. Atau jika anda yakin itu bisa sembuh dengan Tolak Angin, ya silahkan anda minum Tolak Angin secukupnya. Jika anda minum Tolak Anginnya langsung 5 bungkus ya entahlah apa yang terjadi, saya belum pernah coba, hehe.

Indonesia itu negara kaya dengan biodiversitas yang tinggi sekali, katanya sih no. 2 setelah Brazil. Dibalik kekayaan alam itu, nenek moyang kita meninggalkan kearifan lokal dalam dunia pengobatan klasik, misalnya terkait jamu-jamu ini. Di kampus saya dan banyak universitas lainnya, khususnya prodi yang terkait dengan kajian potensi bahan alam, beberapa memiliki paradigma penelitian yang berangkat dari kearifan lokal itu. Misal suatu tumbuhan secara lokal punya potensi ini itu, peneliti coba membuktikannya dengan bekal metodologis yang ia punya, sehingga senyawa aktif yang terkandung dalam tumbuhan lokal itu dapat diketahui. Biasanya, jika aktivitas farmakologis senyawa dari tumbuhan lokal itu sangat menjanjikan, ia akan diupayakan untuk dicarikan metode sintesisnya hingga didapatkan senyawa tunggal yang diharapkan. Atau minimal, misal dalam tumbuhan lokal itu ternyata ditemukan macam-macam senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan yang baik, maka tumbuhan itu dapat dimanfaatkan untuk dibuat menjadi jamu untuk kemudian kita konsumsi sebagai sumber antioksidan alami. Kira-kira begitu.

Maka, mari kita akhiri saja perdebatan antara obat-obatan sintetis dengan jamu ini. Karena pada dasarnya, mereka ini punya keunggulan dan kekurangan masing-masing. Obat-obatan dengan selektivitasnya, dan herbal dengan kearifannya. Wallahu a’lam.

Wisuda, Emosi dan Perjuangan

Wisuda, Emosi dan Perjuangan

Emosional. Kata itu yang mendeskripsikan wisuda saya kemarin. Memang jika dilihat dari berbagai sisi, studi S2 ini berbeda 360° dengan saat saya menyelesaikan studi S1 dulu. Jika dulu, urusan menyelesaikan S1 ini terbilang saya capai dengan target-target yang santai. Sejak saya masuk Jurusan Kimia di UIN Malang, saya memang realistis saja. Berangkat dari Pesantren yang notabene salaf, dimana urusan sekolah bukan prioritas utama, saya cukup keteteran untuk mengimbangi ritme pembelajaran di Jurusan Kimia. Jelas saja, yang awalnya dipesantren dulu sibuk menghafal jurumiyah hingga alfiyyah dan mengkaji kitab-kitab kuning, saya tiba-tiba harus banting setir menjadi arsitek molekul. Maka memang sejak awal, target saya gak muluk-muluk, tidak akan lulus tepat waktu, melainkan akan lulus di waktu yang tepat, hehe.

Saya menempuh studi S1 selama 10 semester, ngaret setahun dari target umum mahasiswa lain. Selain memang realistis akibat latar belakang saya diatas, saya juga bersyukur bisa memaksimalkan waktunya dengan berkecimpung di organisasi kemahasiswaan, baik di OMIK maupun di OMEK, sehingga soft-skill saya macam public speaking, menulis perjuangan nilai, manajerial dan lain-lain menjadi terasah. Dengan berbagai keriweuhan yang ada saat S1 dulu, jika meminjam istilah Tan Malaka, saya terbentur, terbentur, terbentur, lalu terbentuk. Terimakasih saya ucapkan untuk semua mentor dan rekan organisasi saya. Jadi bagi saya, lulus 10 semester bukan aib, tapi ‘kebanggaan’, hahaha. Saya jadi teringat saat saya masuk perkuliahan pertama kali, saat itu dosen menanyakan satu per satu mengenai alasan masuk Kimia UIN Malang, banyak dari teman-teman saya menjawab ‘kepleset’, sebenernya ingin masuk UB/UM/UNAIR/ITS/DLL, tapi lotrean SNMPTN menunjuknya ke UIN Malang itu, apa boleh buat. Jawaban saya berbeda dari mereka, “Bisa kuliah saja saya bersyukur terlebih di Jurusan Kimia yang di mata teman-teman saya saat MA di pesantren dulu adalah mapel yang menakutkan.”. Begitu.

Saat wisuda S1 dulu, saya merasa tidak perlu ada euforia yang menggebu-gebu. Saya pikir, ya namanya mahasiswa, selama ia tetap ada keinginan dan usaha untuk lulus, kelulusan adalah keniscayaan. Ia akan dilalui. Jadi ya biasa saja. Wisuda hanyalah perayaan atas keniscayaan itu. Begitu pikir saya. Dan saya melakukan apa yang perlu saya lakukan untuk lulus dengan lurus-lurus saja. Seminar Proposal, Ujian Komprehensif, Sidang Skripsi hingga Yudisium saya lalui tanpa emosi yang gimana-gimana gitu. Datar saja.

Tapi saat S2, ternyata pengalamannya berbeda. Saya melanjutkan studi magister kimia di UNPAD Jatinangor. Saat memulai studi, saya memang sudah menikah, bahkan saat wisuda kemarin, saya sudah punya dua bocil. Dengan kondisi yang sudah berkeluarga dan tinggal bersama orang tua, jelas cara menjalaninya sangat berbeda dengan saat S1. Setiap minggunya saya pulang pergi menempuh perjalanan 3-4 jam dari Rajagaluh ke Jatinangor dengan ‘si putih’ Vario yang setia menemani. Berangkat senin pagi, pulang jumat sore. Hal itu terjadi selama satu setengah tahun. Jelaslah kerinduan terhadap istri dan anak adalah magnet yang kuat yang menarik saya untuk tidak menghabiskan akhir pekan di Jatinangor. Apalagi jika istri mulai melantunkan rayuan-rayuan maut, meski raga masih di Jatinangor, jiwa saya sudah otw duluan, haha.

Selain itu, memang saya di rumah merintis usaha bersama istri dengan berjualan online. Yah, alhamdulillah lancar dan cukup untuk menghidupi kami dan keluarga. Karena jualan online ini modalnya otak atik marketplace, bidang ini setidaknya kapasitas dan andil saya. Mempelajari sistem, daftar promo, dekorasi toko hingga desain grafis untuk toko kurang lebih adalah jobdesc saya. Disamping itu juga, sesekali membantu meringankan pekerjaan orang tua. Jadi setiap weekend, saya istirahat dan juga, bekerja. Terlebih, dari semester 3 hingga lulus di semester 6, saya sudah tidak mendapatkan ‘beasiswa orang tua’ lagi alias biaya sendiri.

Corona pun tiba. Semuanya hampir lumpuh dan jatuh. Terlebih si corona ini juga ‘bertamu’ ke keluarga kami pada november 2020 lalu. Studi mandek, bisnis merosot, untungnya saat itu perkuliahan saya sudah selesai dan tinggal tesis saja. Tapi gak untung juga sih, karena mahasiswa kimia tugas akhirnya ya harus ngelab kan, dan laboratorium ditutup saat pandemi COVID-19 melanda. Kadang-kadang dibuka dengan protokol ketat, yang jelas menurunkan efektivitas dan produktivitas kerja lab. Efeknya, studi saya molor sampe 2 semester. Dan, SPP/UKT harus tetap dibayarkan full dengan waktu studi yang angin-anginan akibat si kopid nain tin. Keringanan? Tak seperti mahasiswa S1 yang banjir dukungan dalam keringanan pembayaran, mahasiswa pascasarjana ini bagai dianak tirikan. Bayarnya tetep full, meskipun ada toleransi dalam mekanisme pembayaran yang dibagi kedalam 2 tahap, itupun jika melakukan pengajuan.

Selesailah urusan lab, mulailah melanjutkan BAB IV dan penyusunan jurnal untuk publikasi yang harus internasional. Saya kerjakan semuanya saat mudik ke kampung halaman istri di Malang. Sebetulnya ya bukan mudik sih. Soalnya saya berangkat ke Malang dua bulan setelah hari raya idul fitri, menunggu dulu kira-kira situasi pandemi sudah cukup tertangani. Malu juga sih sama mertua, karena setiap malam mesti melekan untuk berjibaku dengan ‘sandi rumput’-nya NMR wakhwatuha. Syahdan, selesailah penyusunan tesis dan publikasi ini. Saya mendaftar untuk sidang tesis dan terselenggara di tanggal 21 Juli 2021 secara daring, dan alhamdulillah di tanggal 4 November 2021 kemarin bisa mengikuti prosesi ‘WISUDA DRAMATIS’ yang juga daring. Dramatisnya, dilain waktu mungkin akan saya dongengkan.

Berbeda juga dengan saat lulus S1 dulu, saya kurang lebih bersikap bodo amat terkait foto-foto. Mau foto-foto wisuda atau engga pun gak masalah. Cuek cuek saja. Foto-foto itu cenderung tidak penting. Yang penting itu perjuangan setelahnya, begitulah idealisnya saya pada saat itu, hahaha. Tapi sekarang ini, tensi untuk pengen foto-foto ini cukup tinggi. Mungkin efek dari nilai perjuangan untuk lulus yang lebih keras kali ya. Jadi, pagi nya prosesi wisuda, sorenya langsung meluncur ke studio foto untuk melangsungkan cekrek-cekrek bersama keluarga. Meski sebenarnya, kegupuhan foto-foto itu lebih kepada sulitnya nyari waktu di hari-hari setelahnya, kebetulan adik saya lagi persiapan pembekalan internship dokter, sedangkan toga harus segera di kembalikan ke pihak UNPAD. Oh iya, bagi saya toga UNPAD ini keren. Ada kombinasi batik dan warna yang ciamik. Katanya sih sekilas mirip jubah Sekolah Sihir Hogwarts di film Harry Potter. Jika toga sarjana berwarna merah yang mirip merahnya Gryffindor, yang magister ini mirip hijaunya Slytherin. Dan ada juga yang berwarna biru layaknya Ravenclaw.

Mungkin dari pembaca sekalian ada yang berujar, “Ah, perasaan biasa saja, gak ada perjuangannya, sok iyes aja nih,”, dll. Mungkin ini memang berangkat dari aspek yang subjektif, bahwa pergulatan yang terjadi saat studi S2, dimana harus saya bagi waktunya untuk anak istri, juga membantu orang tua atau dalam bahasa lainnya, birrul walidain, kemudian harus menjalankan bisnis untuk minimal, bisa menghidupi keluarga dan membayar uang kuliah, yang waktunya tidak bisa digunakan secara maksimal akibat kopid nain tin itu. Semua itu bagi saya sangat terasa emosional. Kelulusan itu terasa melegakan, atau dalam peribahasa sunda disebut ‘asa bucat bisul’.

Saya sadar bahwa kelulusan ini bukanlah akhir dari perjuangan hidup. Ini justru baru awal. Sama seperti S1 dulu. Lulus menjadi sarjana adalah titik awal dimana hidup yang sebenarnya dimulai. Bahkan saya dan teman-teman sering beranekdot terhadap mereka yang wisuda itu. “Wah, barisan pengangguran baru telah diluncurkan, wkwkwk.”. Tapi katanya, mereka yang melanjutkan ke jenjang magister adalah pengangguran yang terhormat, hahahaha. Dan, apakah saya akan melanjutkan ke jenjang S3 untuk melanjutkan status sebagai pengangguran terhormat? Ya, saya punya keinginan itu. Tapi belum untuk saat ini. Saya ingin mencari pengalaman dulu. Semisal berkecimpung di dunia pendidikan dengan mengajar di kampus. Semoga saja ada peluang itu.

Akhiron, apapun yang terjadi dalam hidup saya kedepan. Yang penting adalah berupaya untuk bermanfaat untuk sesama. Saya teringat dawuh dari Mbah Sahal Mahfudz ini, “Menjadi baik itu mudah, dengan diam, maka yang terlihat adalah kebaikan. Yang sulit itu menjadi bermanfaat, karena itu butuh perjuangan.”. Terimakasih saya ucapkan kepada keluarga saya, orang tua, istri, kedua anak saya, karyawan-karyawan saya yang baik hati, dan semua yang membantu dalam proses studi saya, baik secara moril dan materil. Jazaakumullah ahsanal jaza. Terimakasih juga kepada ibu Dr. Tri Mayanti, M.Si dan ibu Prof. Dr. Tati Herlina, M.Si, duet pembimbing saya yang sangat baik dan sabar dalam membimbing saya. Kepada guru-guru saya, kyai-kyai saya, dosen-dosen saya baik saat S1 maupun S2. Semoga sehat selalu, bahagia dan panjang umur. Amiiin.

Wallahu a’lam.

Simbiosis Ilmu Fiqih dan Perkembangan Bioteknologi

Simbiosis Ilmu Fiqih dan Perkembangan Bioteknologi

Berawal dari iseng-iseng membuka aplikasi google keep di email lama, ada catatan lawas yang kembali terbaca. Tertulis di tanggal 26 Desember 2016. Sudah cukup lama, 5 tahun. Isinya adalah catatan-catatan diskusi bersama KH. Yayan Bunyamin, M.Phil. Kang Yayan, sapaan akrabnya, sekarang ini dikenal sebagai kyai muda dengan keilmuan yang mendalam dan berpengetahuan luas, khususnya dalam keaswajaan dan saat ini menjadi pemateri dari MKNU (Madrasah Kader Nahdlatul Ulama) di wilayah Jawa Barat.

Pertemuan pertama saya dengan beliau ini terjadi secara tidak sengaja saat saya masih berkuliah di UIN Malang. Kalo tidak salah, beliau menjadi utusan dari NU Jabar untuk mengikuti agenda bahtsul masail PWNU Jatim yang bertempat di rektorat UIN Malang. Detilnya saya agak lupa-lupa ingat bagaimana saya bisa bersua dan banyak belajar kepada beliau pada saat itu. Yang pasti, saat saya mengikuti MKNU beberapa bulan yang lalu dan beliau menjadi pematerinya, beliau masih ingat saya, berikut namanya juga. Padahal, saya mah apa atuh, bubuk raginang yang mungkin atau harusnya terlupakan oleh tokoh sekaliber beliau ini. Salam Takdzim saya, Kang.

Jadi, kalo tidak salah, obrolan di warung kopi bersama kang Yayan itu berkutat pada urusan begini, sebetulnya saya ini yang notabene mahasiswa non-islamic studies ini bisa berwacana apa untuk NU dan Islam pada umumnya. Wah, dongeng-dongeng dari beliau ini akhirnya murudul. Terbukti catatan-catatan saya ini lumayan sporadis dan tidak terstruktur. Artinya, obrolannya ngalor ngidul, tapi semuanya berbobot. Misal tentang pesantren, NU, keislaman kontemporer, wacana bioetika islam, transhumanisme, stem cell, hingga patung yang dianggap sebagai perwujudan Nabi Muhammad SAW yang ada di US Supreme Court. Menyoal stem cell, saya disarankan beliau untuk menonton sebuah film berjudul “Transendence”. Film ini bergenre Sci-Fi yang merupakan genre film kesukaan saya. Jadi langsung tancap saja.

Film yang dibintangi oleh Johny Depp ini bercerita seputar perkembangan teknologi kecerdasan buatan, dimana Dr. Will Caster (Johny Depp) di tembak dengan racun radiasi polonium oleh yang disebut dalam film itu sebagai kelompok teroris sehingga ia hanya punya waktu beberapa hari saja untuk hidup. Lalu ia bersama sahabatnya, Max dan pasangannya, Evelyn berupaya memindahkan kesadaran Will kedalam sistem supercomputer. Syahdan, ditengah keputusasaan Max dan Evelyn, ternyata percobaannya berhasil. Mereka berdua mampu memindahkan kesadaran Will kedalam komputer AI itu. “Manusia cenderung takut atas apa yang belum dia pahami”, adalah kutipan favorit dari film ini. Singkat cerita, Will super-AI itu berhasil membuat terobosan baru nanotechnology berupa suatu synthetic stem cell yang mampu meregenerasi jaringan rusak apapun dalam tubuh manusia. Dan sekaligus bisa memprogram dan menguasai kesadaran manusia, serta meningkatkan kemampuan fisiknya. Dibalik ‘transendence’ yang telah digapai, ada kekhawatiran dari beberapa pihak terkait dengan apa yang telah digapai Will Super-komputer itu. Will dan Evelyn dianggap melampai batas kemanusiaan dalam mengembangkan teknologinya.

Dalam dunia nyata, riset tentang stem cell ini adalah bagian yang terus diperjuangkan. Para ilmuwan memang berupaya untuk mengembangkan teknologi stem cell ini untuk digunakan dalam dunia kesehatan, atau secara luasnya, untuk membantu umat manusia bertahan hidup. Barangkali ada yang belum sempat baca, sel dalam tubuh kita itu macam-macam, ada sel darah yang terkait dengan fungsi peredaran, sel kulit untuk fungsi melindungi tubuh, sel otot untuk keperluan kontraksi, dll. Sedangkan stem cell atau sel punca adalah sel yang tidak memiliki struktur dan fungsi yang spesifik. Stem cell memiliki potensi untuk menjadi sel lain dalam tubuh. Tubuh kita menggunakan stem cell untuk mengganti sel-sel yang telah mati. Berdasarkan hal tersebut, ilmuwan mencoba terus menggali potensi stem cell tersebut untuk membuat jaringan tubuh baru yang dapat digunakan untuk mengganti organ yang rusak akibat dari cedera atau penyakit. Sejauh mana penelitiannya? Saya belum membaca sejauh itu.

Dari dongeng diatas, kita bisa mencoba untuk memunculkan pertanyaan begini, bagaimana islam sebagai agama menyikapi kemajuan-kemajuan teknologi ini? Atau misal, apa fatwa-fatwa ulama kita dalam memahami kemajuan teknologi dalam berbagai hal? Serunya, di Nahdlatul Ulama ada lembaga khusus yang mengakomodir persoalan-persoalan macam ini, bernama Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Selain di NU, ada juga komisi fatwa MUI, atau di Mesir, ada Universitas Al Azhar, universitas islam tertua yang dianggap punya otoritas dalam menentukan hukum dari soal begini. Sebetulnya, hukum islam, atau dalam istilah lain adalah fiqih, bisa dikorelasikan dengan bioetika. Bioetika ini berbicara sejauh mana moral membatasi pengembangan teknologi dalam bidang biologi dan kesehatan. Jika kita hubungkan dengan konsep ushul fiqh, khususnya dalam enam poin maqashid syariah yang berisi landasan filosofis dari pengambilan keputusan hukum dalam islam, bioetika bisa dielaborasikan dengan fiqih ini. Karena memang urusan fiqih ini tidak hanya menyoal dimensi peribadatan belaka, melainkan dimensi sosial dan teknologi juga termasuk di dalamnya. Sehingga bisa dibilang, bioetika islam ini menjadi suatu keilmuan kontemporer yang menarik untuk dibaca dan dipelajari, karena disitu dapat didiskusikan antara pengembangan bioteknologi dan bioetika serta kaidah-kaidah fiqih islam.

Maka sesuai judulnya, kira-kira yang diharapkan adalah bagaimana kemudian ilmu fiqih dalam islam ini mampu menjadi ‘pembatas moral ideal’ dalam pengembangan bioteknologi atau teknologi secara umum, yang dalam film ‘Transendence’ tadi dianggap bahwa Will Caster telah melampaui batas moral kemanusiaan. Seperti yang dipelajari saat SMA dulu tentang simbiosis, jangan sampai simbiosis antara fiqih dan teknologi ini bersifat komensalisme atau bahkan parasitisme, namun harus berorientasi pada mutualisme, saling menguntungkan. Sehingga, apa yang dituju dalam maqashid syariah dalam konteks islam dan tujuan mulia para ilmuwan untuk membantu umat manusia ini bisa dicapai dengan baik dan efektif.

Saya sangat tertarik ketika membaca rumusan Bahtsul Masail Waqi’iyah pada saat Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang lalu (26/9/2021), dimana muncul dua pertanyaan terkait dengan bioteknologi. Pertama, adalah terkait dengan gelatin dari kulit atau tulang babi. Kedua, adalah pertanyaan yang lebih kontemporer, yakni terkait dengan hukum mengkonsumsi daging hasil pengembangbiakan sel. Hasil putusannya apik. Dan bagi saya, sangat menunjukkan bahwa para ulama NU ini selain memiliki sanad ilmu keislaman yang terjaga, atau dalam adagium populernya adalah muhafadzoh alal qodimis sholih, tetapi juga ciamik dalam menanggapi persoalan-persoalan kontemporer, atau akhd bil jadidil ashlah. Putusan-putusan keren itu tidak bisa dihasilkan dari cara berfikir yang tertutup. Artinya harus dilandasi dengan sikap-sikap moderat dan adil dalam menyikapi persoalan. Dan untuk melatihnya, dilakukan melalui diskusi-diskusi LBM yang menjadi ruh dalam konteks fikrah dan harakah di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Oh iya, hasil putusan tentang gelatin bisa anda baca sendiri disini. Sedangkan untuk yang daging kultur sel, anda bisa klik juga disini. Singkatnya, untuk daging hasil kultur stem cell ini diputuskan dihukumi haram. Karena sel nya diambil dari hewan yang masih hidup. Sedangkan dalam fiqih, kita sama-sama tahu bahwa daging yang boleh kita konsumsi adalah harus berasal dari hewan yang disembelih secara syar’i. Lalu bagaimana dengan motivasi ilmuwan yang berangkat dari keprihatinan melihat konsumsi daging dunia yang tinggi yang akhirnya juga berkorelasi dengan tingginya produksi daging konvensional, yang berefek buruk terhadap lingkungan karena menghasilkan emisi gas rumah kaca? Hemat saya, ini perlu i’tikad baik dari banyak pihak, karena sebenarnya, konsumsi daging berlebihan juga akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Sehingga perlu dibatasi. Dan selain menjadi dalil agama, sudah menjadi standar moral yang universal juga bahwa segala hal yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Solusi lainnya, ini adalah kesempatan juga bagi para ilmuwan islam, bagaimana semisal meneliti tentang pangan yang juga tetap berpegang pada kaidah-kaidah syariat islam. Disinilah bioetika islam dapat berperan untuk mencari solusi-solusi lain.

Terbaru, beberapa hari yang lalu saya juga membaca di instagram ada isu lain yang menarik menjadi pembahasan dalam dunia kedokteran, dimana ilmuwan di AS berhasil mentransplantasikan ginjal babi terhadap manusia. Menurut mereka, ini dilakukan karena sulitnya mendapatkan pendonor organ dari sesama manusia. Dan kemarin, saya membaca fatwa dari Al Azhar yang memperbolehkan proses xenotransplantasi ini jika dalam keadaan benar-benar mendesak. Anda bisa baca fatwanya disini. Disamping itu, tak sedikit pula pihak yang menentang xenotransplantasi babi ke manusia ini, dan hubungannya juga terkait dengan bioetika. Semisal organisasi Hak Asasi Hewan Dunia yang menentang karena dianggap sebagai keegoisan dan keserakahan manusia yang mengeksploitasi apapun yang dibutuhkannya, selain memang juga dikhawatirkan babi akan membawa virus dan patogen menular yang berbahaya terhadap manusia.

Anda boleh setuju atau tidak terhadap fatwa Al Azhar, tapi setidaknya, para ulama al azhar telah berupaya dan berdialektika demi mendapatkan solusi ditengah permasalahan umat yang kompleks. Forum-forum seperti bahtsul masail, meskipun putusannya dipandang belum solutif, belum menjawab, atau bahkan tidak menghasilkan putusan apapun, itu adalah forum yang luar biasa besar manfaatnya dalam meningkatkan intelektualitas. Seperti dalam urusan bank, saat mendengar pengajian gus baha tentang hukum bank yang melulu ada 3 qoul di kalangan ulama, yakni halal, haram dan syubhat, dan ternyata sejak dulu sampai sekarang, qoulnya ya tetap begitu, hahaha. Dengan kata lain, di luar fakta bahwa ulama berbeda-beda pendapat, disitu para ulama terus-menerus meningkatkan pengetahuannya terkait sistem bank yang juga terus berkembang. Kira-kira muncul pertanyaan begini. “Riba ini sepakat lah haram. Nah, apakah sistem bank sekarang ini bisa dikategorikan sebagai riba atau tidak? Itu persoalan yang tidak sederhana.”.

Kembali ke persoalan perkembangan bioteknologi dan ilmu fiqih. Para ulama ke depan memiliki tantangan yang lebih besar lagi dibandingkan ulama saat ini. Karena yakin, bahwa teknologi akan terus dan cepat berkembang seiring berjalannya waktu, dan tentu memunculkan persoalan-persoalan baru dalam dimensi sosial, minimal bertanya hukumnya ini apa, hukumnya itu apa. Dan ulama harus bisa menjawab itu. Dan di masa depan, ulama-ulamanya adalah santri-santri yang sekarang masih belajar di pondok pesantren. 20-30 tahun ke depan, santri yang kemudian akan bertransformasi menjadi ulama ini akan hidup di zaman yang jelas berbeda dengan sekarang ini, dengan tantangan yang jelas lebih besar. Maka, tugas santri saat ini sangat berat untuk terus belajar dan belajar, baik dari segi pengetahuan agama, maupun pengetahuan tentang teknologi.

Dan saya juga yakin, tidak semua santri akan tercetak menjadi ulama/kyai, itu adalah dawuh guru saya, dan terbukti, saya dulu santri dan saya sekarang bukan ustad, apalagi kyai, hahaha. Saya lulusan S2 Kimia UNPAD, dan beberapa hari lagi mau wisuda, hehe. Artinya, memang santri kedepan tidak melulu harus jadi ulama, santri bisa jadi dokter, apoteker, arsitek, programmer, youtuber, pebisnis, bos besar, ilmuwan kimia ataupun bioteknologi seperti yang dibahas. Sehingga, output dari riset-riset pengembangan bioteknologi tetap berpedoman pada standar moral universal dan juga kaidah-kaidah syariat islam, atau dalam bahasa kerennya, bioetika islam. Akhiron, saya minta maaf karena sudah membuat anda membaca tulisan panjang gak mutu ini. Sebenernya saya ini lagi bantu jualan di pasar, tapi sepinya luar biasa. Efek pandemi terhadap pasar konvensional memang luar biasa. Mohon doanya ya, supaya usaha saya dan keluarga tetap lancar. Haturnuhun.

Wallahu a’lam.

Tentang Kuliah di Jurusan Kimia dan Membuat Bom

Tentang Kuliah di Jurusan Kimia dan Membuat Bom

“Kang, kuliah dimana?”, tanya kang Sodikin.

“Di UNPAD kang”, jawabku

“Jurusan apa kang?”

“Kimia kang.”

“Wah, bisa bikin bom dong.”, ujarnya sembari tertawa.

Deg! Statemen akang Sodikin itu memang bikin jantung saya hampir meledak layaknya TNT. Ah, sebenernya gak segitunya juga sih. Cuma akhirnya saya pengen ngelus dada sendiri, yang sebetulnya ya tinggal di elus aja, asalkan bukan dada orang lain. Jatuhnya nanti kena UU PKS. Eh, kan belum jadi UU ya.

Sebetulnya cuma gak enak aja. Masa saya ngelus dada di depan kang Sodikin. Kan sungkan. Jadi ya udahlah. Saya ikut ketawa aja. Tapi pendek, Ha ha.

Jadi, kang Sodikin ini bukan nama asli. Ini nama samaran. Tapi bukan untuk melindungi identitas pelaku dari serangan buzzer juga ya. Tapi memang saya udah gak inget siapa aja kang Sodikin ini. Biar gak bingung, maksud SODIKIN ini berarti teman. Kalo menurut ilmu nahwu, sodikin ini bentuk jama’ mudzakkar salim, yang alamat rofa’nya pake wawu, sedangkan nashob dan jer-nya pake ya. Jadi artinya teman-teman. Gitu. Bait alfiyahnya

وارفع بواو وبيا اجرر وانصب # سالم جمع عامر ومذنب

Maksud saya, SODIKIN ini menunjukkan banyaknya teman saya yang nanya pertanyaan sejenis dengan pernyataan stigma sejenis juga. Dialog itu bukan hanya terjadi sekali dua kali, tapi berkali-kali, mungkin sepanjang hidup saya, ada lah sepuluh kali lebih.

Sebetulnya pernyataan kang Sodikin ini gak masalah-masalah amat sih. Cuma agak gemes aja gitu. Sejak saya berkuliah S1 di UIN Malang sampe selesai S2 di UNPAD bulan Juli lalu, saya belum pernah dapet mata kuliah kimia tentang per-BOM-an. Kalo perlu saya jelaskan maudlu’-nya nih, pas saya kuliah dulu, Matakuliah di kimia itu terbagi ke dalam 5 sub bidang ilmu, ada kimia organik, kimia anorganik, kimia analitik, kimia fisik, dan biokimia. Dari 5 sub bidang itu juga terus terbagi lagi menjadi sub sub turunannya. Semisal bidang kimia organik yang di Indonesia populer dibagi kembali menjadi 2, yaitu Kimia Organik Bahan Alam (KOBA) dan Kimia Organik Sintesis. Ini juga gak cukup, dimasing-masing sub sub sub bidang itu, masing-masing dosen atau peneliti punya concern atau fokus riset dan keahlian tersendiri. Bisa dibilang, semakin tinggi kita bersekolah di jurusan kimia, ruang lingkup keilmuan kita mengerucut semakin sempit.

Saya kira, itu juga berlaku di berbagai disiplin keilmuan. Seperti contoh lain di dunia pesantren, meski saat di pesantren banyak disiplin keilmuan yang dipelajari dari mulai nahwu, shorof, balaghoh, fiqih, tauhid, tafsir, dan lain-lain. Semakin lama, semakin si santri itu akan berkonsentrasi pada satu atau dua bidang ilmu saja. Hal ini terjadi karena saking luasnya keilmuan yang ada. Bahkan ada satu adagium populer. “Andaikan ilmu Allah itu seluas 7 samudera. Maka ilmu yang dikuasai manusia mungkin hanya satu tetes saja,” atau mungkin saja hanya sebanding dengan 1 molekul H2O saja, atau bahkan 1 atom H nya saja, Wallahu a’lam. Maka ada kata-kata orang bijak begini, “Orang berilmu itu ada 3 tahapan. Yang pertama ia akan sombong, tahap kedua ia akan tawadhu‘. Dan ditahapan selanjutnya, ia akan merasa tidak ada apa-apanya.”.

Kembali ke urusan bom dan kimia tadi. Meskipun saya lulusan S2 kimia, saya sama sekali gak bisa ngerakit bom. Boro-boro bisa bikin bom, jenis-jenis bom aja saya gak tau. Mentok-mentok saya taunya ya bom TNT alias trinitrotoluena. Itupun bukan dari proses belajar saya dibidang ilmu kimia, tapi dari game Crash Team Racing (CTR) PS1 yang sering saya mainkan saat masih SD dulu. Atau jangan-jangan, sebetulnya dosen-dosen saya pernah juga menjelaskan tentang bom-bom kimia, tapi kebetulan saya pas bolos kuliah atau pas tidur di kelas. Oh iya, saya ingat, prinsip kerja bom atom pernah dijelaskan di kelas, saya lupa matakuliah apa, yang pasti bom nuklir adalah hasil reaksi inti atom, baik berupa reaksi fisi maupun reaksi fusi. Seperti bom uranium bernama Little Boy yang diledakkan di Hiroshima, dan bom plutonium (Fat Man) di Nagasaki yang keduanya punya daya ledak luar biasa.

Ya, sebeginilah dhoif-nya saya sebagai lulusan S2 Kimia. Masalah bom kimia saja saya kurang wawasan alias mainnya kurang jauh. Maka saya ucapkan terimakasih kepada Kang Sodikin yang sudah bertanya demikian. Memang sedetik setelah ia berseloroh bahwa yang kuliah kimia bisa ngerakit bom, saya kesal, karena ia hanya memahami kimia sebagai ilmu untuk membuat bom. Tapi detik selanjutnya, saya sadar, dibalik pertanyaan itu, ada instruksi tersirat kepada saya untuk terus belajar dan mengupgrade keilmuan saya di bidang kimia. Tak lain semerta-merta biar saya gak malu-maluin. Masa si Fawwaz yang katanya bergelar M.Si ini urusan bom aja gak ngerti. Ya meski gak bisa merakit sendiri, minimal pahamlah keilmuannya. Jadi, yang katanya bergelar Magister Kimia ini gak malu-maluin.

Dan teruntuk kang Sodikin, saya mau sedikit jelasin kang, kimia ini jangan dikonotasikan pada keilmuan bom-boman. Dikira kimiawan ini karakter bomberman di game nintendo lawas. Seingat saya pas kuliah kimia dasar 1 dulu, dijelaskan bahwa ilmu kimia adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang materi, baik dari segi sifatnya, susunan dan strukturnya, beserta perubahan yang menyertainya. Materi yang dimaksud disini bukan duit atau kekayaan fisik, namun didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang. Gampangnya, segala yang ada disekeliling kita ini bisa dibilang adalah objek kimia, bahkan tubuh kita sendiri adalah kimia. Lebih gampangnya lagi, kurang lebih 60-70% tubuh manusia ini tersusun dari air, air ini rumus molekulnya H2O, terdiri dari 2 atom hidrogen dan 1 atom oksigen. Belum lagi kimia-kimia lainnya seperti makromolekul penting macam karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat. Deal ya kang?

Selamat Jalan, Pak Yos!

Selamat Jalan, Pak Yos!

Beliau adalah Prof. Dr. Soetijoso Soemitro, Guru Besar Biokimia FMIPA UNPAD. Sepeti pada judul tulisan ini, Kami memang memanggilnya Pak Yos. Dengan hem pendek dan tas laptop hitamnya, begitulah style beliau biasa masuk ke kelas kami. Tak lupa beliau membawa botol aqua tanggung yang jika habis, beliau isi kembali dengan air galon yang tersedia di ruang kelas kami.

Perkuliahan saya dengan beliau hanya semester kemarin, sekitar 8 pertemuan. Konsentrasi yang saya ambil memang berbeda dengan disiplin Pak Yos, beliau Biokimia, saya Kimia Organik. Sehingga perkuliahan di semester selanjutnya tidak berkaitan dengan beliau. Perkuliahan beliau ini juga berbeda dengan perkuliahan lainnya. Jika perkuliahan lainnya dilaksanakan di kampus Jatinangor, perkuliahan beliau bertempat di kampus UNPAD Singaperbangsa, Bandung.

Agak malas memang jika harus menempuh perjalanan Jatinangor-Singaperbangsa, tau kan macetnya Bandung, apalagi perkuliahan dimulai bakda ashar, waktu dimana manusia kelas pekerja Bandung pulang kerja atau mungkin gantian shift, macetnya jelas maknyus bosss, dan setelah perkuliahan selesai saat adzan maghrib, adalah jadwalku pulang ke Majalengka dengan waktu tempuh sekitar 3,5 jam dengan Sepeda Motor! Makin maknyusss.

Meski demikian, saya cukup antusias dengan perkuliahan beliau. Mungkin beberapa mahasiswa juga merasakan, meski tidak semuanya, biasanya perkuliahan dengan seorang dosen dengan titel Profesor punya kesan tersendiri dibanding dengan yang lainnya. Contohnya ya pak Yos ini, jika biasanya matakuliah biokimia ini diajarkan dengan materi yang cukup sistematis, dari pengertian, macam-macam, nomenklatur, fungsi, dst. Kelas professor macam beliau ini agak berbeda. Seringkali beliau mengajak kami melihat peristiwa dalam kajian biokimia secara out of the box, bahwa biomolekul tak melulu ttg hafalan-hafalan, tapi mengajak kami menekankan pemahaman atas konsep keberlangsungan hidup. Bahwa biomolekul memiliki peran sentral dalam kompleksisitas kerja organ-organ makhluk hidup. Bisa dibilang, cara mengajarnya lebih filosofis.

Tetapi, entah karena disengaja, atau memang karena faktor usia, dalam setiap perkuliahannya, beliau seringkali mengulang-ulang penjelasan yang sudah beliau jelaskan dipertemuan sebelumnya. Yang paling berkesan dalam memori kami adalah ilustrasi mengenai protein signaling histamin. Itu beliau jelaskan hampir setiap perkuliahan beliau. Namun husnudzon saya, beliau sengaja mengulangnya agar kami lebih mengingatnya. Jika dipaksakan dengan cocokologi, mungkin Pak Yos sedang mempraktekkan metode ala pesantren, yakni mudzakarah atau mutholaah. Hehe. Semakin sering diulang, maka semakin tertancap diotak kita.

Senin kemarin (12/2/2019), saya membaca pesan WA grup yg memberitahukan bahwa beliau telah mendahului kami menghadap kepada-Nya. Sungguh pertemuan yg singkat bersama beliau, namun cukup meninggalkan kesan yang mendalam. Semoga ilmu yg beliau sampaikan pada kami bermanfaat dan menjadi jariyah untuk beliau. Selamat jalan pak Yos.

Pendidikan Indonesia, Sudah Sampai Mana?

Pendidikan Indonesia, Sudah Sampai Mana?

“Pengajaran yang diberikan oleh pemerintah kolonial hanya untuk dapat menjadi buruh, karena adanya ijazah itu tidak untuk mengisi pendidikan yang sesungguhnya, dan tidak untuk mencari pengetahuan guna kemajuan jiwa raga.”
-Ki Hajar Dewantara (@sabdaperubahan)-
sumber : teroponggambong.blogspot.com

Kita sama-sama tau bahwa hari ini (22/05/2017) merupakan peringatan hari pendidikan nasional. Hardiknas ini ditetapkan sebagai apresiasi terhadap kiprah sosok Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional.  Ki Hajar memang dikenal sebagai tokoh yang getol menggelorakan semangat pendidikan di Indonesia. Semboyan Ki Hajar yang paling dikenal adalah “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Ngadyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.

Ing Ngarso sung Tulodho, bahwa guru harus menjadi teladan bagi siswanya. Ing Ngadyo Mangun Karso, bahwa guru harus pula punya asas kebersamaan dengan siswanya, sehingga guru dan siswa memiliki ikatan emosional yang baik. Tut Wuri Handayani, bahwa dari belakang, guru harus mampu memotivasi dan mengarahkan kepada hal-hal yg mampu meningkatkan kapasitas intelektual, spiritual dan emosionalnya.
Seperti dalam kutipan diatas, Ki Hajar juga mengajarkan bahwa pendidikan harus benar-benar menyentuh esensi pendidikan itu sendiri, yakni meningkatkan kapasitas intelektual, spiritual, dan emosional yang membangun bagi peserta didik. Selain itu, Ki Hajar juga menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus kemudian benar-benar diselaraskan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa dalam arti seluas-luasnya.

Namun, dibalik gagasan-gagasan emas Ki Hajar ini, kita patutnya berduka dengan apa yang terjadi dalam sistem pendidikan di negara kita. Bahkan, sahabat saya berseloroh bahwa pendidikan kita lebih butuh diselamatkan daripada diberi ucapan selamat. Alih alih merealisasikan tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 3, pendidikan nasional hari ini malah membawa kita kepada masa-masa pemerintahan kolonial, dimana pendidikan kita hanya mencetak lulusan-lulusan yang tidak berorientasi global, hanya berorientasi pada kemunduran yang dianggapnya lumrah.

Ada beberapa aspek yang menyebabkan mengapa saya menyimpulkan bahwa pendidikan kita telah gagal mencetak lulusan-lulusan yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas. Pertama, aspek ke-bhinneka-an, aspek ini sangatlah penting untuk diperhatikan pendidik kita. Meningkatnya angka radikalisme, intoleransi, dan menyeruaknya isu SARA telah mengancam keindonesiaan kita. Pendidik harus kemudian menjadikan pendidikan kebhinnekaan sebagai fokus utama dalam garapan pendidikan, dimana setiap warga negara harus memahami bahwa kemajumukan bangsa Indonesia adalah sesuatu yang harus diterima oleh setiap warga negara. Dimana suku, ras, dan agama yang berbeda-beda harus mampu hidup berdampingan, menerima perbedaan, bersama-sama bekerjasama membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Kedua, aspek komersil. Seperti yang pernah diungkapkan Almarhum Gusdur, bahwa “Pendidikan hari ini sudah seperti industri komersil, sehingga orang tidak mampu lagi membedakan mana kerja mendidik, mana kerja mengembangkan keterampilan. Dunia pendidikan akhirnya lebih diurusi para birokrat dan manajer pendidikan, ketimbang pemikir yang berperspektif luas dan berpandangan ke depan”. Sudah menjadi pandangan umum, bahwa pendidikan hari ini semakin tidak terjangkau oleh rakyat, mulai sistem UKT dan beasiswa yang seringkali tidak tepat sasaran, fasilitas pendidikan yang tidak selaras dengan iuran yang dibayarkan, ijazah ilegal,  hingga monopoli penerimaan peserta didik yang terkesan transaksional.

Hal diatas menyebabkan pendidikan hanya mampu diakses oleh kalangan elit dan menyingkirkan rakyat miskin. Padahal seharusnya, pendidikan harus terbuka aksesnya untuk seluruh warga negara seperti bunyi UUD 1945. Tidak boleh ada beda! Seringkali pengelola instansi pendidikan berdalih bahwa mahalnya biaya sekolah dikarenakan mahalnya fasilitas-fasilitas pendidikan yang ada. Pradigma kapitalistik seperti ini tidak diperbolehkan hidup di dunia pendidikan. Pemerintah melalui APBN ataupun sekolah-sekolah dalam upaya mandirinya harus kemudian mencari solusi pendanaan untuk pendidikan tanpa harus mencederai esensi penyelenggaraan pendidikan yang harus jauh dari paradigma kapitalistik.

Ketiga, aspek kebebasan. Aspek kebebasan menjadi penting dalam pendidikan kita. Karena melalui kebebasan, seorang siswa akan mampu mengoptimalkan potensi dan kreativitasnya. Ki Hajar juga menyatakan bahwa, “Anak-anak tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun kodratnya itu.”. Disini ki Hajar sangat menekankan bahwa pendidikan tidak boleh memaksa kepada siswa. Setiap siswa/mahasiswa tidak lahir untuk potensi dan peran yang sama, sehingga pendidik harus memahami bahwa pemaksaan terhadap peserta didik akan membunuh karakter dan potensi mereka.

Pailo Freire dalam bukunya menyebutkan bahwa pendidikan haruslah membebaskan. Dalam artian, pendidikan tidak kemudian dipraktikkan seperti praktik perbankan, dimana murid hanya menjadi celengan guru yang diibaratkan seperti penabung. Bagaimanapun, guru harus pula terbuka dalam kaitannya menerima pendapat siswa. Sehingga, pendidikan menjadi bersifat dialogis, dimana guru harus siap disalahkan oleh siswa ketika guru itu memang salah, begitupun sebaliknya. Jika dikorelasikan dengan prinsip Ki Hajar, bisa diasumsikan bahwa prinsip freire ini selaras dengan prinsip “Ing Ngadyo Mangun Karso”.

Dalam praktik pendidikan kita, kita seringkali melihat guru/dosen yang sewenang-wenang memaksakan kehendaknya, hingga terkadang ia berani untuk menabrak prinsip-prinsip pendidikan yang ada, misal dengan melakukan pengurangan nilai atas sesuatu yang sebetulnya tidak berkaitan dengan pembelajaran tersebut. Hal ini cukup efektif membuat peserta didik untuk selalu tunduk pada kehendak pendidik, dan hal ini sangat jelas membunuh potensi peserta didik. Di level mahasiswa, adapula berbagai kebijakan nasional yang membatasi aktivitas organisasi mahasiswa, semacam NKK/BKK baru yang jelas-jelas mencederai proses perkembangan mahasiswa di level organisasi.

Keempat, aspek kepedulian. Aspek kepedulian ini sangat penting sebagai hasil dari tempaan pendidikan. Pendidikan harus kemudian memupuk kepedulian terhadap realitas sosial. Kelanjutan dari gagasan Freire, bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang netral dan bebas nilai, pendidikan harus berpihak. Sedangkan keberpihakan harus ditimbulkan melalui kepedulian.

Melihat realitas sosial kita yang timpang, kita harus menjadi peduli untuk mencoba mengubahnya. Sehingga, dalam praktiknya, pendidik harus menjadikan aspek kepedulian sebagai salahsatu fokus garapan. Tan Malaka mengingatkan kita bahwa sebagai seorang yang terdidik, kita harus mau melebur bersama rakyat miskin, untuk mengurangi ketimpangan sosial yang ada, jika tidak, maka pendidikan itu tidak pantas untuk dirinya.

Ketimpangan kondisi sosial di Indonesia bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Lulusan-lulusan instansi pendidikan harus kemudian berakselerasi dalam mengurangi ketimpangan sosial yang ada disekitarnya. Mereka tidak boleh menjadi lulusan yang seperti ditakutkan Romo Mangun, dimana mereka kaum sekolah akan menjadi penindas-penindas baru dengan kepintaran mereka. Atau dalam konteks budaya jawa, “minteri” rakyat dengan kepintarannya.

Kita harus segera move on dari ketidakpedulian sosial. Sudah cukup para pejabat di era sekarang yang hanya peduli pada diri sendiri dan familinya. Sudah cukup perilaku koruptif dipertontonkan. Pendidikan merupakan jalan efektif memupuk kepedulian generasi kita, bahwa masih banyak kaum tertindas yang perlu diperjuangkan! Bahwa masih panjang perjuangan bangsa kita untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan sejahtera!

Menilik keempat aspek diatas. Agaknya kita memang harus sekuat tenaga berjuang untuk terus berjuang memperbaiki pendidikan kita bersama-sama. Karena bagi saya, pendidikan adalah jalan efektif yang dapat digunakan sebagai alat penyadaran bersama, baik melalui pendidikan formal, informal, maupun non-formal. Dengan pendidikan yang baik, saya berkeyakinan bahwa Indonesia akan mampu mencapai cita-cita kemerdekaannya.

Ditahun 2020-2030, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, dimana angka usia produktif mencapai angka 70%. Angka ini bagai dua sisi mata uang, bisa menjadi berkah, bisa juga menjadi bencana. Berkah dalam artian tingginya usia produktif diiringi dengan kualitas SDM mumpuni yang mampu mengisi ruang-ruang produktif dalam berbangsa dan bernegara. Bencana dalam artian tingginya usia produktif tidak diiringi dengan kualitas SDM yang baik yang tidak mampu bersaing di era global. Instansi pendidikan merupakan instrumen utama yang seharusnya mampu mengelola bonus demografi ini menjadi sebuah berkah bagia kemajuan bangsa.
“Memayu Hayuning Sariro, Memayu Hayuning Bangsa, Memayu hayuning Bawana, (Apapun Yang Di Perbuat Oleh Seseorang Itu, Hendaknya Dapat Bermanfaat Bagi Dirinya Sendiri, Bermanfaat Bagi Bangsanya, Dan Bermanfaat Bagi Manusia Di Dunia Pada Umumnya)”
 – Ki Hajar Dewantara
Selamat Ulang Tahun Ki Hajar Dewantara!
Mari berbenah untuk pendidikan kita!
Arjuno, 02/05/2017
22.45