Simbiosis Ilmu Fiqih dan Perkembangan Bioteknologi

Simbiosis Ilmu Fiqih dan Perkembangan Bioteknologi

Berawal dari iseng-iseng membuka aplikasi google keep di email lama, ada catatan lawas yang kembali terbaca. Tertulis di tanggal 26 Desember 2016. Sudah cukup lama, 5 tahun. Isinya adalah catatan-catatan diskusi bersama KH. Yayan Bunyamin, M.Phil. Kang Yayan, sapaan akrabnya, sekarang ini dikenal sebagai kyai muda dengan keilmuan yang mendalam dan berpengetahuan luas, khususnya dalam keaswajaan dan saat ini menjadi pemateri dari MKNU (Madrasah Kader Nahdlatul Ulama) di wilayah Jawa Barat.

Pertemuan pertama saya dengan beliau ini terjadi secara tidak sengaja saat saya masih berkuliah di UIN Malang. Kalo tidak salah, beliau menjadi utusan dari NU Jabar untuk mengikuti agenda bahtsul masail PWNU Jatim yang bertempat di rektorat UIN Malang. Detilnya saya agak lupa-lupa ingat bagaimana saya bisa bersua dan banyak belajar kepada beliau pada saat itu. Yang pasti, saat saya mengikuti MKNU beberapa bulan yang lalu dan beliau menjadi pematerinya, beliau masih ingat saya, berikut namanya juga. Padahal, saya mah apa atuh, bubuk raginang yang mungkin atau harusnya terlupakan oleh tokoh sekaliber beliau ini. Salam Takdzim saya, Kang.

Jadi, kalo tidak salah, obrolan di warung kopi bersama kang Yayan itu berkutat pada urusan begini, sebetulnya saya ini yang notabene mahasiswa non-islamic studies ini bisa berwacana apa untuk NU dan Islam pada umumnya. Wah, dongeng-dongeng dari beliau ini akhirnya murudul. Terbukti catatan-catatan saya ini lumayan sporadis dan tidak terstruktur. Artinya, obrolannya ngalor ngidul, tapi semuanya berbobot. Misal tentang pesantren, NU, keislaman kontemporer, wacana bioetika islam, transhumanisme, stem cell, hingga patung yang dianggap sebagai perwujudan Nabi Muhammad SAW yang ada di US Supreme Court. Menyoal stem cell, saya disarankan beliau untuk menonton sebuah film berjudul “Transendence”. Film ini bergenre Sci-Fi yang merupakan genre film kesukaan saya. Jadi langsung tancap saja.

Film yang dibintangi oleh Johny Depp ini bercerita seputar perkembangan teknologi kecerdasan buatan, dimana Dr. Will Caster (Johny Depp) di tembak dengan racun radiasi polonium oleh yang disebut dalam film itu sebagai kelompok teroris sehingga ia hanya punya waktu beberapa hari saja untuk hidup. Lalu ia bersama sahabatnya, Max dan pasangannya, Evelyn berupaya memindahkan kesadaran Will kedalam sistem supercomputer. Syahdan, ditengah keputusasaan Max dan Evelyn, ternyata percobaannya berhasil. Mereka berdua mampu memindahkan kesadaran Will kedalam komputer AI itu. “Manusia cenderung takut atas apa yang belum dia pahami”, adalah kutipan favorit dari film ini. Singkat cerita, Will super-AI itu berhasil membuat terobosan baru nanotechnology berupa suatu synthetic stem cell yang mampu meregenerasi jaringan rusak apapun dalam tubuh manusia. Dan sekaligus bisa memprogram dan menguasai kesadaran manusia, serta meningkatkan kemampuan fisiknya. Dibalik ‘transendence’ yang telah digapai, ada kekhawatiran dari beberapa pihak terkait dengan apa yang telah digapai Will Super-komputer itu. Will dan Evelyn dianggap melampai batas kemanusiaan dalam mengembangkan teknologinya.

Dalam dunia nyata, riset tentang stem cell ini adalah bagian yang terus diperjuangkan. Para ilmuwan memang berupaya untuk mengembangkan teknologi stem cell ini untuk digunakan dalam dunia kesehatan, atau secara luasnya, untuk membantu umat manusia bertahan hidup. Barangkali ada yang belum sempat baca, sel dalam tubuh kita itu macam-macam, ada sel darah yang terkait dengan fungsi peredaran, sel kulit untuk fungsi melindungi tubuh, sel otot untuk keperluan kontraksi, dll. Sedangkan stem cell atau sel punca adalah sel yang tidak memiliki struktur dan fungsi yang spesifik. Stem cell memiliki potensi untuk menjadi sel lain dalam tubuh. Tubuh kita menggunakan stem cell untuk mengganti sel-sel yang telah mati. Berdasarkan hal tersebut, ilmuwan mencoba terus menggali potensi stem cell tersebut untuk membuat jaringan tubuh baru yang dapat digunakan untuk mengganti organ yang rusak akibat dari cedera atau penyakit. Sejauh mana penelitiannya? Saya belum membaca sejauh itu.

Dari dongeng diatas, kita bisa mencoba untuk memunculkan pertanyaan begini, bagaimana islam sebagai agama menyikapi kemajuan-kemajuan teknologi ini? Atau misal, apa fatwa-fatwa ulama kita dalam memahami kemajuan teknologi dalam berbagai hal? Serunya, di Nahdlatul Ulama ada lembaga khusus yang mengakomodir persoalan-persoalan macam ini, bernama Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Selain di NU, ada juga komisi fatwa MUI, atau di Mesir, ada Universitas Al Azhar, universitas islam tertua yang dianggap punya otoritas dalam menentukan hukum dari soal begini. Sebetulnya, hukum islam, atau dalam istilah lain adalah fiqih, bisa dikorelasikan dengan bioetika. Bioetika ini berbicara sejauh mana moral membatasi pengembangan teknologi dalam bidang biologi dan kesehatan. Jika kita hubungkan dengan konsep ushul fiqh, khususnya dalam enam poin maqashid syariah yang berisi landasan filosofis dari pengambilan keputusan hukum dalam islam, bioetika bisa dielaborasikan dengan fiqih ini. Karena memang urusan fiqih ini tidak hanya menyoal dimensi peribadatan belaka, melainkan dimensi sosial dan teknologi juga termasuk di dalamnya. Sehingga bisa dibilang, bioetika islam ini menjadi suatu keilmuan kontemporer yang menarik untuk dibaca dan dipelajari, karena disitu dapat didiskusikan antara pengembangan bioteknologi dan bioetika serta kaidah-kaidah fiqih islam.

Maka sesuai judulnya, kira-kira yang diharapkan adalah bagaimana kemudian ilmu fiqih dalam islam ini mampu menjadi ‘pembatas moral ideal’ dalam pengembangan bioteknologi atau teknologi secara umum, yang dalam film ‘Transendence’ tadi dianggap bahwa Will Caster telah melampaui batas moral kemanusiaan. Seperti yang dipelajari saat SMA dulu tentang simbiosis, jangan sampai simbiosis antara fiqih dan teknologi ini bersifat komensalisme atau bahkan parasitisme, namun harus berorientasi pada mutualisme, saling menguntungkan. Sehingga, apa yang dituju dalam maqashid syariah dalam konteks islam dan tujuan mulia para ilmuwan untuk membantu umat manusia ini bisa dicapai dengan baik dan efektif.

Saya sangat tertarik ketika membaca rumusan Bahtsul Masail Waqi’iyah pada saat Munas Alim Ulama dan Konbes NU yang lalu (26/9/2021), dimana muncul dua pertanyaan terkait dengan bioteknologi. Pertama, adalah terkait dengan gelatin dari kulit atau tulang babi. Kedua, adalah pertanyaan yang lebih kontemporer, yakni terkait dengan hukum mengkonsumsi daging hasil pengembangbiakan sel. Hasil putusannya apik. Dan bagi saya, sangat menunjukkan bahwa para ulama NU ini selain memiliki sanad ilmu keislaman yang terjaga, atau dalam adagium populernya adalah muhafadzoh alal qodimis sholih, tetapi juga ciamik dalam menanggapi persoalan-persoalan kontemporer, atau akhd bil jadidil ashlah. Putusan-putusan keren itu tidak bisa dihasilkan dari cara berfikir yang tertutup. Artinya harus dilandasi dengan sikap-sikap moderat dan adil dalam menyikapi persoalan. Dan untuk melatihnya, dilakukan melalui diskusi-diskusi LBM yang menjadi ruh dalam konteks fikrah dan harakah di lingkungan Nahdlatul Ulama.

Oh iya, hasil putusan tentang gelatin bisa anda baca sendiri disini. Sedangkan untuk yang daging kultur sel, anda bisa klik juga disini. Singkatnya, untuk daging hasil kultur stem cell ini diputuskan dihukumi haram. Karena sel nya diambil dari hewan yang masih hidup. Sedangkan dalam fiqih, kita sama-sama tahu bahwa daging yang boleh kita konsumsi adalah harus berasal dari hewan yang disembelih secara syar’i. Lalu bagaimana dengan motivasi ilmuwan yang berangkat dari keprihatinan melihat konsumsi daging dunia yang tinggi yang akhirnya juga berkorelasi dengan tingginya produksi daging konvensional, yang berefek buruk terhadap lingkungan karena menghasilkan emisi gas rumah kaca? Hemat saya, ini perlu i’tikad baik dari banyak pihak, karena sebenarnya, konsumsi daging berlebihan juga akan menyebabkan berbagai masalah kesehatan. Sehingga perlu dibatasi. Dan selain menjadi dalil agama, sudah menjadi standar moral yang universal juga bahwa segala hal yang berlebih-lebihan itu tidak baik. Solusi lainnya, ini adalah kesempatan juga bagi para ilmuwan islam, bagaimana semisal meneliti tentang pangan yang juga tetap berpegang pada kaidah-kaidah syariat islam. Disinilah bioetika islam dapat berperan untuk mencari solusi-solusi lain.

Terbaru, beberapa hari yang lalu saya juga membaca di instagram ada isu lain yang menarik menjadi pembahasan dalam dunia kedokteran, dimana ilmuwan di AS berhasil mentransplantasikan ginjal babi terhadap manusia. Menurut mereka, ini dilakukan karena sulitnya mendapatkan pendonor organ dari sesama manusia. Dan kemarin, saya membaca fatwa dari Al Azhar yang memperbolehkan proses xenotransplantasi ini jika dalam keadaan benar-benar mendesak. Anda bisa baca fatwanya disini. Disamping itu, tak sedikit pula pihak yang menentang xenotransplantasi babi ke manusia ini, dan hubungannya juga terkait dengan bioetika. Semisal organisasi Hak Asasi Hewan Dunia yang menentang karena dianggap sebagai keegoisan dan keserakahan manusia yang mengeksploitasi apapun yang dibutuhkannya, selain memang juga dikhawatirkan babi akan membawa virus dan patogen menular yang berbahaya terhadap manusia.

Anda boleh setuju atau tidak terhadap fatwa Al Azhar, tapi setidaknya, para ulama al azhar telah berupaya dan berdialektika demi mendapatkan solusi ditengah permasalahan umat yang kompleks. Forum-forum seperti bahtsul masail, meskipun putusannya dipandang belum solutif, belum menjawab, atau bahkan tidak menghasilkan putusan apapun, itu adalah forum yang luar biasa besar manfaatnya dalam meningkatkan intelektualitas. Seperti dalam urusan bank, saat mendengar pengajian gus baha tentang hukum bank yang melulu ada 3 qoul di kalangan ulama, yakni halal, haram dan syubhat, dan ternyata sejak dulu sampai sekarang, qoulnya ya tetap begitu, hahaha. Dengan kata lain, di luar fakta bahwa ulama berbeda-beda pendapat, disitu para ulama terus-menerus meningkatkan pengetahuannya terkait sistem bank yang juga terus berkembang. Kira-kira muncul pertanyaan begini. “Riba ini sepakat lah haram. Nah, apakah sistem bank sekarang ini bisa dikategorikan sebagai riba atau tidak? Itu persoalan yang tidak sederhana.”.

Kembali ke persoalan perkembangan bioteknologi dan ilmu fiqih. Para ulama ke depan memiliki tantangan yang lebih besar lagi dibandingkan ulama saat ini. Karena yakin, bahwa teknologi akan terus dan cepat berkembang seiring berjalannya waktu, dan tentu memunculkan persoalan-persoalan baru dalam dimensi sosial, minimal bertanya hukumnya ini apa, hukumnya itu apa. Dan ulama harus bisa menjawab itu. Dan di masa depan, ulama-ulamanya adalah santri-santri yang sekarang masih belajar di pondok pesantren. 20-30 tahun ke depan, santri yang kemudian akan bertransformasi menjadi ulama ini akan hidup di zaman yang jelas berbeda dengan sekarang ini, dengan tantangan yang jelas lebih besar. Maka, tugas santri saat ini sangat berat untuk terus belajar dan belajar, baik dari segi pengetahuan agama, maupun pengetahuan tentang teknologi.

Dan saya juga yakin, tidak semua santri akan tercetak menjadi ulama/kyai, itu adalah dawuh guru saya, dan terbukti, saya dulu santri dan saya sekarang bukan ustad, apalagi kyai, hahaha. Saya lulusan S2 Kimia UNPAD, dan beberapa hari lagi mau wisuda, hehe. Artinya, memang santri kedepan tidak melulu harus jadi ulama, santri bisa jadi dokter, apoteker, arsitek, programmer, youtuber, pebisnis, bos besar, ilmuwan kimia ataupun bioteknologi seperti yang dibahas. Sehingga, output dari riset-riset pengembangan bioteknologi tetap berpedoman pada standar moral universal dan juga kaidah-kaidah syariat islam, atau dalam bahasa kerennya, bioetika islam. Akhiron, saya minta maaf karena sudah membuat anda membaca tulisan panjang gak mutu ini. Sebenernya saya ini lagi bantu jualan di pasar, tapi sepinya luar biasa. Efek pandemi terhadap pasar konvensional memang luar biasa. Mohon doanya ya, supaya usaha saya dan keluarga tetap lancar. Haturnuhun.

Wallahu a’lam.

Tentang Kuliah di Jurusan Kimia dan Membuat Bom

Tentang Kuliah di Jurusan Kimia dan Membuat Bom

“Kang, kuliah dimana?”, tanya kang Sodikin.

“Di UNPAD kang”, jawabku

“Jurusan apa kang?”

“Kimia kang.”

“Wah, bisa bikin bom dong.”, ujarnya sembari tertawa.

Deg! Statemen akang Sodikin itu memang bikin jantung saya hampir meledak layaknya TNT. Ah, sebenernya gak segitunya juga sih. Cuma akhirnya saya pengen ngelus dada sendiri, yang sebetulnya ya tinggal di elus aja, asalkan bukan dada orang lain. Jatuhnya nanti kena UU PKS. Eh, kan belum jadi UU ya.

Sebetulnya cuma gak enak aja. Masa saya ngelus dada di depan kang Sodikin. Kan sungkan. Jadi ya udahlah. Saya ikut ketawa aja. Tapi pendek, Ha ha.

Jadi, kang Sodikin ini bukan nama asli. Ini nama samaran. Tapi bukan untuk melindungi identitas pelaku dari serangan buzzer juga ya. Tapi memang saya udah gak inget siapa aja kang Sodikin ini. Biar gak bingung, maksud SODIKIN ini berarti teman. Kalo menurut ilmu nahwu, sodikin ini bentuk jama’ mudzakkar salim, yang alamat rofa’nya pake wawu, sedangkan nashob dan jer-nya pake ya. Jadi artinya teman-teman. Gitu. Bait alfiyahnya

وارفع بواو وبيا اجرر وانصب # سالم جمع عامر ومذنب

Maksud saya, SODIKIN ini menunjukkan banyaknya teman saya yang nanya pertanyaan sejenis dengan pernyataan stigma sejenis juga. Dialog itu bukan hanya terjadi sekali dua kali, tapi berkali-kali, mungkin sepanjang hidup saya, ada lah sepuluh kali lebih.

Sebetulnya pernyataan kang Sodikin ini gak masalah-masalah amat sih. Cuma agak gemes aja gitu. Sejak saya berkuliah S1 di UIN Malang sampe selesai S2 di UNPAD bulan Juli lalu, saya belum pernah dapet mata kuliah kimia tentang per-BOM-an. Kalo perlu saya jelaskan maudlu’-nya nih, pas saya kuliah dulu, Matakuliah di kimia itu terbagi ke dalam 5 sub bidang ilmu, ada kimia organik, kimia anorganik, kimia analitik, kimia fisik, dan biokimia. Dari 5 sub bidang itu juga terus terbagi lagi menjadi sub sub turunannya. Semisal bidang kimia organik yang di Indonesia populer dibagi kembali menjadi 2, yaitu Kimia Organik Bahan Alam (KOBA) dan Kimia Organik Sintesis. Ini juga gak cukup, dimasing-masing sub sub sub bidang itu, masing-masing dosen atau peneliti punya concern atau fokus riset dan keahlian tersendiri. Bisa dibilang, semakin tinggi kita bersekolah di jurusan kimia, ruang lingkup keilmuan kita mengerucut semakin sempit.

Saya kira, itu juga berlaku di berbagai disiplin keilmuan. Seperti contoh lain di dunia pesantren, meski saat di pesantren banyak disiplin keilmuan yang dipelajari dari mulai nahwu, shorof, balaghoh, fiqih, tauhid, tafsir, dan lain-lain. Semakin lama, semakin si santri itu akan berkonsentrasi pada satu atau dua bidang ilmu saja. Hal ini terjadi karena saking luasnya keilmuan yang ada. Bahkan ada satu adagium populer. “Andaikan ilmu Allah itu seluas 7 samudera. Maka ilmu yang dikuasai manusia mungkin hanya satu tetes saja,” atau mungkin saja hanya sebanding dengan 1 molekul H2O saja, atau bahkan 1 atom H nya saja, Wallahu a’lam. Maka ada kata-kata orang bijak begini, “Orang berilmu itu ada 3 tahapan. Yang pertama ia akan sombong, tahap kedua ia akan tawadhu‘. Dan ditahapan selanjutnya, ia akan merasa tidak ada apa-apanya.”.

Kembali ke urusan bom dan kimia tadi. Meskipun saya lulusan S2 kimia, saya sama sekali gak bisa ngerakit bom. Boro-boro bisa bikin bom, jenis-jenis bom aja saya gak tau. Mentok-mentok saya taunya ya bom TNT alias trinitrotoluena. Itupun bukan dari proses belajar saya dibidang ilmu kimia, tapi dari game Crash Team Racing (CTR) PS1 yang sering saya mainkan saat masih SD dulu. Atau jangan-jangan, sebetulnya dosen-dosen saya pernah juga menjelaskan tentang bom-bom kimia, tapi kebetulan saya pas bolos kuliah atau pas tidur di kelas. Oh iya, saya ingat, prinsip kerja bom atom pernah dijelaskan di kelas, saya lupa matakuliah apa, yang pasti bom nuklir adalah hasil reaksi inti atom, baik berupa reaksi fisi maupun reaksi fusi. Seperti bom uranium bernama Little Boy yang diledakkan di Hiroshima, dan bom plutonium (Fat Man) di Nagasaki yang keduanya punya daya ledak luar biasa.

Ya, sebeginilah dhoif-nya saya sebagai lulusan S2 Kimia. Masalah bom kimia saja saya kurang wawasan alias mainnya kurang jauh. Maka saya ucapkan terimakasih kepada Kang Sodikin yang sudah bertanya demikian. Memang sedetik setelah ia berseloroh bahwa yang kuliah kimia bisa ngerakit bom, saya kesal, karena ia hanya memahami kimia sebagai ilmu untuk membuat bom. Tapi detik selanjutnya, saya sadar, dibalik pertanyaan itu, ada instruksi tersirat kepada saya untuk terus belajar dan mengupgrade keilmuan saya di bidang kimia. Tak lain semerta-merta biar saya gak malu-maluin. Masa si Fawwaz yang katanya bergelar M.Si ini urusan bom aja gak ngerti. Ya meski gak bisa merakit sendiri, minimal pahamlah keilmuannya. Jadi, yang katanya bergelar Magister Kimia ini gak malu-maluin.

Dan teruntuk kang Sodikin, saya mau sedikit jelasin kang, kimia ini jangan dikonotasikan pada keilmuan bom-boman. Dikira kimiawan ini karakter bomberman di game nintendo lawas. Seingat saya pas kuliah kimia dasar 1 dulu, dijelaskan bahwa ilmu kimia adalah suatu cabang ilmu yang mempelajari tentang materi, baik dari segi sifatnya, susunan dan strukturnya, beserta perubahan yang menyertainya. Materi yang dimaksud disini bukan duit atau kekayaan fisik, namun didefinisikan sebagai segala sesuatu yang memiliki massa dan menempati ruang. Gampangnya, segala yang ada disekeliling kita ini bisa dibilang adalah objek kimia, bahkan tubuh kita sendiri adalah kimia. Lebih gampangnya lagi, kurang lebih 60-70% tubuh manusia ini tersusun dari air, air ini rumus molekulnya H2O, terdiri dari 2 atom hidrogen dan 1 atom oksigen. Belum lagi kimia-kimia lainnya seperti makromolekul penting macam karbohidrat, protein, lipid dan asam nukleat. Deal ya kang?

Selamat Jalan, Pak Yos!

Selamat Jalan, Pak Yos!

Beliau adalah Prof. Dr. Soetijoso Soemitro, Guru Besar Biokimia FMIPA UNPAD. Sepeti pada judul tulisan ini, Kami memang memanggilnya Pak Yos. Dengan hem pendek dan tas laptop hitamnya, begitulah style beliau biasa masuk ke kelas kami. Tak lupa beliau membawa botol aqua tanggung yang jika habis, beliau isi kembali dengan air galon yang tersedia di ruang kelas kami.

Perkuliahan saya dengan beliau hanya semester kemarin, sekitar 8 pertemuan. Konsentrasi yang saya ambil memang berbeda dengan disiplin Pak Yos, beliau Biokimia, saya Kimia Organik. Sehingga perkuliahan di semester selanjutnya tidak berkaitan dengan beliau. Perkuliahan beliau ini juga berbeda dengan perkuliahan lainnya. Jika perkuliahan lainnya dilaksanakan di kampus Jatinangor, perkuliahan beliau bertempat di kampus UNPAD Singaperbangsa, Bandung.

Agak malas memang jika harus menempuh perjalanan Jatinangor-Singaperbangsa, tau kan macetnya Bandung, apalagi perkuliahan dimulai bakda ashar, waktu dimana manusia kelas pekerja Bandung pulang kerja atau mungkin gantian shift, macetnya jelas maknyus bosss, dan setelah perkuliahan selesai saat adzan maghrib, adalah jadwalku pulang ke Majalengka dengan waktu tempuh sekitar 3,5 jam dengan Sepeda Motor! Makin maknyusss.

Meski demikian, saya cukup antusias dengan perkuliahan beliau. Mungkin beberapa mahasiswa juga merasakan, meski tidak semuanya, biasanya perkuliahan dengan seorang dosen dengan titel Profesor punya kesan tersendiri dibanding dengan yang lainnya. Contohnya ya pak Yos ini, jika biasanya matakuliah biokimia ini diajarkan dengan materi yang cukup sistematis, dari pengertian, macam-macam, nomenklatur, fungsi, dst. Kelas professor macam beliau ini agak berbeda. Seringkali beliau mengajak kami melihat peristiwa dalam kajian biokimia secara out of the box, bahwa biomolekul tak melulu ttg hafalan-hafalan, tapi mengajak kami menekankan pemahaman atas konsep keberlangsungan hidup. Bahwa biomolekul memiliki peran sentral dalam kompleksisitas kerja organ-organ makhluk hidup. Bisa dibilang, cara mengajarnya lebih filosofis.

Tetapi, entah karena disengaja, atau memang karena faktor usia, dalam setiap perkuliahannya, beliau seringkali mengulang-ulang penjelasan yang sudah beliau jelaskan dipertemuan sebelumnya. Yang paling berkesan dalam memori kami adalah ilustrasi mengenai protein signaling histamin. Itu beliau jelaskan hampir setiap perkuliahan beliau. Namun husnudzon saya, beliau sengaja mengulangnya agar kami lebih mengingatnya. Jika dipaksakan dengan cocokologi, mungkin Pak Yos sedang mempraktekkan metode ala pesantren, yakni mudzakarah atau mutholaah. Hehe. Semakin sering diulang, maka semakin tertancap diotak kita.

Senin kemarin (12/2/2019), saya membaca pesan WA grup yg memberitahukan bahwa beliau telah mendahului kami menghadap kepada-Nya. Sungguh pertemuan yg singkat bersama beliau, namun cukup meninggalkan kesan yang mendalam. Semoga ilmu yg beliau sampaikan pada kami bermanfaat dan menjadi jariyah untuk beliau. Selamat jalan pak Yos.

Pendidikan Indonesia, Sudah Sampai Mana?

Pendidikan Indonesia, Sudah Sampai Mana?

“Pengajaran yang diberikan oleh pemerintah kolonial hanya untuk dapat menjadi buruh, karena adanya ijazah itu tidak untuk mengisi pendidikan yang sesungguhnya, dan tidak untuk mencari pengetahuan guna kemajuan jiwa raga.”
-Ki Hajar Dewantara (@sabdaperubahan)-
sumber : teroponggambong.blogspot.com

Kita sama-sama tau bahwa hari ini (22/05/2017) merupakan peringatan hari pendidikan nasional. Hardiknas ini ditetapkan sebagai apresiasi terhadap kiprah sosok Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional.  Ki Hajar memang dikenal sebagai tokoh yang getol menggelorakan semangat pendidikan di Indonesia. Semboyan Ki Hajar yang paling dikenal adalah “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Ngadyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.

Ing Ngarso sung Tulodho, bahwa guru harus menjadi teladan bagi siswanya. Ing Ngadyo Mangun Karso, bahwa guru harus pula punya asas kebersamaan dengan siswanya, sehingga guru dan siswa memiliki ikatan emosional yang baik. Tut Wuri Handayani, bahwa dari belakang, guru harus mampu memotivasi dan mengarahkan kepada hal-hal yg mampu meningkatkan kapasitas intelektual, spiritual dan emosionalnya.
Seperti dalam kutipan diatas, Ki Hajar juga mengajarkan bahwa pendidikan harus benar-benar menyentuh esensi pendidikan itu sendiri, yakni meningkatkan kapasitas intelektual, spiritual, dan emosional yang membangun bagi peserta didik. Selain itu, Ki Hajar juga menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus kemudian benar-benar diselaraskan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa dalam arti seluas-luasnya.

Namun, dibalik gagasan-gagasan emas Ki Hajar ini, kita patutnya berduka dengan apa yang terjadi dalam sistem pendidikan di negara kita. Bahkan, sahabat saya berseloroh bahwa pendidikan kita lebih butuh diselamatkan daripada diberi ucapan selamat. Alih alih merealisasikan tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 3, pendidikan nasional hari ini malah membawa kita kepada masa-masa pemerintahan kolonial, dimana pendidikan kita hanya mencetak lulusan-lulusan yang tidak berorientasi global, hanya berorientasi pada kemunduran yang dianggapnya lumrah.

Ada beberapa aspek yang menyebabkan mengapa saya menyimpulkan bahwa pendidikan kita telah gagal mencetak lulusan-lulusan yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas. Pertama, aspek ke-bhinneka-an, aspek ini sangatlah penting untuk diperhatikan pendidik kita. Meningkatnya angka radikalisme, intoleransi, dan menyeruaknya isu SARA telah mengancam keindonesiaan kita. Pendidik harus kemudian menjadikan pendidikan kebhinnekaan sebagai fokus utama dalam garapan pendidikan, dimana setiap warga negara harus memahami bahwa kemajumukan bangsa Indonesia adalah sesuatu yang harus diterima oleh setiap warga negara. Dimana suku, ras, dan agama yang berbeda-beda harus mampu hidup berdampingan, menerima perbedaan, bersama-sama bekerjasama membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Kedua, aspek komersil. Seperti yang pernah diungkapkan Almarhum Gusdur, bahwa “Pendidikan hari ini sudah seperti industri komersil, sehingga orang tidak mampu lagi membedakan mana kerja mendidik, mana kerja mengembangkan keterampilan. Dunia pendidikan akhirnya lebih diurusi para birokrat dan manajer pendidikan, ketimbang pemikir yang berperspektif luas dan berpandangan ke depan”. Sudah menjadi pandangan umum, bahwa pendidikan hari ini semakin tidak terjangkau oleh rakyat, mulai sistem UKT dan beasiswa yang seringkali tidak tepat sasaran, fasilitas pendidikan yang tidak selaras dengan iuran yang dibayarkan, ijazah ilegal,  hingga monopoli penerimaan peserta didik yang terkesan transaksional.

Hal diatas menyebabkan pendidikan hanya mampu diakses oleh kalangan elit dan menyingkirkan rakyat miskin. Padahal seharusnya, pendidikan harus terbuka aksesnya untuk seluruh warga negara seperti bunyi UUD 1945. Tidak boleh ada beda! Seringkali pengelola instansi pendidikan berdalih bahwa mahalnya biaya sekolah dikarenakan mahalnya fasilitas-fasilitas pendidikan yang ada. Pradigma kapitalistik seperti ini tidak diperbolehkan hidup di dunia pendidikan. Pemerintah melalui APBN ataupun sekolah-sekolah dalam upaya mandirinya harus kemudian mencari solusi pendanaan untuk pendidikan tanpa harus mencederai esensi penyelenggaraan pendidikan yang harus jauh dari paradigma kapitalistik.

Ketiga, aspek kebebasan. Aspek kebebasan menjadi penting dalam pendidikan kita. Karena melalui kebebasan, seorang siswa akan mampu mengoptimalkan potensi dan kreativitasnya. Ki Hajar juga menyatakan bahwa, “Anak-anak tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun kodratnya itu.”. Disini ki Hajar sangat menekankan bahwa pendidikan tidak boleh memaksa kepada siswa. Setiap siswa/mahasiswa tidak lahir untuk potensi dan peran yang sama, sehingga pendidik harus memahami bahwa pemaksaan terhadap peserta didik akan membunuh karakter dan potensi mereka.

Pailo Freire dalam bukunya menyebutkan bahwa pendidikan haruslah membebaskan. Dalam artian, pendidikan tidak kemudian dipraktikkan seperti praktik perbankan, dimana murid hanya menjadi celengan guru yang diibaratkan seperti penabung. Bagaimanapun, guru harus pula terbuka dalam kaitannya menerima pendapat siswa. Sehingga, pendidikan menjadi bersifat dialogis, dimana guru harus siap disalahkan oleh siswa ketika guru itu memang salah, begitupun sebaliknya. Jika dikorelasikan dengan prinsip Ki Hajar, bisa diasumsikan bahwa prinsip freire ini selaras dengan prinsip “Ing Ngadyo Mangun Karso”.

Dalam praktik pendidikan kita, kita seringkali melihat guru/dosen yang sewenang-wenang memaksakan kehendaknya, hingga terkadang ia berani untuk menabrak prinsip-prinsip pendidikan yang ada, misal dengan melakukan pengurangan nilai atas sesuatu yang sebetulnya tidak berkaitan dengan pembelajaran tersebut. Hal ini cukup efektif membuat peserta didik untuk selalu tunduk pada kehendak pendidik, dan hal ini sangat jelas membunuh potensi peserta didik. Di level mahasiswa, adapula berbagai kebijakan nasional yang membatasi aktivitas organisasi mahasiswa, semacam NKK/BKK baru yang jelas-jelas mencederai proses perkembangan mahasiswa di level organisasi.

Keempat, aspek kepedulian. Aspek kepedulian ini sangat penting sebagai hasil dari tempaan pendidikan. Pendidikan harus kemudian memupuk kepedulian terhadap realitas sosial. Kelanjutan dari gagasan Freire, bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang netral dan bebas nilai, pendidikan harus berpihak. Sedangkan keberpihakan harus ditimbulkan melalui kepedulian.

Melihat realitas sosial kita yang timpang, kita harus menjadi peduli untuk mencoba mengubahnya. Sehingga, dalam praktiknya, pendidik harus menjadikan aspek kepedulian sebagai salahsatu fokus garapan. Tan Malaka mengingatkan kita bahwa sebagai seorang yang terdidik, kita harus mau melebur bersama rakyat miskin, untuk mengurangi ketimpangan sosial yang ada, jika tidak, maka pendidikan itu tidak pantas untuk dirinya.

Ketimpangan kondisi sosial di Indonesia bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Lulusan-lulusan instansi pendidikan harus kemudian berakselerasi dalam mengurangi ketimpangan sosial yang ada disekitarnya. Mereka tidak boleh menjadi lulusan yang seperti ditakutkan Romo Mangun, dimana mereka kaum sekolah akan menjadi penindas-penindas baru dengan kepintaran mereka. Atau dalam konteks budaya jawa, “minteri” rakyat dengan kepintarannya.

Kita harus segera move on dari ketidakpedulian sosial. Sudah cukup para pejabat di era sekarang yang hanya peduli pada diri sendiri dan familinya. Sudah cukup perilaku koruptif dipertontonkan. Pendidikan merupakan jalan efektif memupuk kepedulian generasi kita, bahwa masih banyak kaum tertindas yang perlu diperjuangkan! Bahwa masih panjang perjuangan bangsa kita untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan sejahtera!

Menilik keempat aspek diatas. Agaknya kita memang harus sekuat tenaga berjuang untuk terus berjuang memperbaiki pendidikan kita bersama-sama. Karena bagi saya, pendidikan adalah jalan efektif yang dapat digunakan sebagai alat penyadaran bersama, baik melalui pendidikan formal, informal, maupun non-formal. Dengan pendidikan yang baik, saya berkeyakinan bahwa Indonesia akan mampu mencapai cita-cita kemerdekaannya.

Ditahun 2020-2030, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, dimana angka usia produktif mencapai angka 70%. Angka ini bagai dua sisi mata uang, bisa menjadi berkah, bisa juga menjadi bencana. Berkah dalam artian tingginya usia produktif diiringi dengan kualitas SDM mumpuni yang mampu mengisi ruang-ruang produktif dalam berbangsa dan bernegara. Bencana dalam artian tingginya usia produktif tidak diiringi dengan kualitas SDM yang baik yang tidak mampu bersaing di era global. Instansi pendidikan merupakan instrumen utama yang seharusnya mampu mengelola bonus demografi ini menjadi sebuah berkah bagia kemajuan bangsa.
“Memayu Hayuning Sariro, Memayu Hayuning Bangsa, Memayu hayuning Bawana, (Apapun Yang Di Perbuat Oleh Seseorang Itu, Hendaknya Dapat Bermanfaat Bagi Dirinya Sendiri, Bermanfaat Bagi Bangsanya, Dan Bermanfaat Bagi Manusia Di Dunia Pada Umumnya)”
 – Ki Hajar Dewantara
Selamat Ulang Tahun Ki Hajar Dewantara!
Mari berbenah untuk pendidikan kita!
Arjuno, 02/05/2017
22.45
Mencari Sola(u)si Macet

Mencari Sola(u)si Macet

Hampir setiap hari, Kota Malang dilanda kemacetan. Kalau sudah macet, waktu banyak yg terkorbankan, jadwal ketemu sama si pacar jadi lebih sebentar karena lebih lama dijalan. Waktu kuliah pun sama. Bahkan, meski dari kos sudah berniat kuliah, kadang gara-gara macet, kita gak jadi kuliah dan malah belok ke warung kopi. hahaha. Saya berujar, ini masih Kota Malang, bukan kota besar macam Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya. Bagaimana macetnya kota-kota besar itu, tak bisa dibayangkan. Eh, sepertinya bisa, saya pernah suatu waktu jalan-jalan ke surabaya, bihhhh, jalanan begitu macet. Jalan masuk utama dari Kota Sidoarjo ini mantap sekali, kalo pake mobil, bisa berjam jam, tapi berhubung saya pake sepeda motor, yah, trotoar banyak yang kosong untuk dijadikan rute alternatif, hahaha (lagi).


Saat saya liburan pun begitu. Ayah saya seringkali mengeluh, “Dulu itu kalo ke Cirebon cukup 30-45 menit, sekarang 1 jam lebih, jalannya padat.”, ujarnya sambil menyalip kendaraan di depan. Daerah saya itu lho, ya kota kecil, jarang dikenal, tapi sudah macet, mau tau nama daerah saya itu? Kabupaten Majalengka, kenal? Yang tau mungkin yang asli Jawa Barat, selain asli sunda, pasti dia akan memberikan pertanyaan susulan, “Majalengka itu dimana ya?”. Saya sudah tau gelagat orang seperti ini, nilai Mata Pelajaran Geografi di SMA paling dapet 60, maka langsung saya jawab, “Tetangganya Cirebon mas.”. Biasanya, orang lebih mudah mengenal Cirebon, kotanya cukup terkenal. Cirebon merupakan rumah asal dari Kang Said, Ketua Umum PBNU dan terdapat makam salahsatu walisongo, yakni Sunan Gunung Jati. Saya pikir, jawaban tambahan itu sudah membuat si penanya mengerti, namun tak dikira-kira, ternyata teman saya itu masih juga melayangkan pertanyaan lain, “Cirebon iku Jawa Tengah yo mas? Endi ne pekalongan mas?”. Jancuk a, gumamku. “Iyo, jateng. Tonggone Pekalongan pas bro.”, jawabku mantap. Nilai geografi ne arek iki piro to? Masak harus menunggu saya jadi Bupati Majalengka untuk Majalengka bisa dikenal, eh. Yah, beginilah hasil dari sistem pendidikan di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Eistein, bahwa semua orang itu cerdas, namun adalah hal bodoh bila kau menyuruh ikan untuk memanjat pohon seperti monyet. Namun, disini saya tidak ingin bercerita pendidikan, saya sekarang sedang galau tentang kemacetan yang tiada tara.


Siapa yang tidak tahu, di Indonesia ini, khususnya pulau jawa, hampir setiap rumah memiliki kendaraan pribadi, mulai mobil, motor, bahkan sepeda pancal ataupun sepeda goes milik balita. Penduduk pulau jawa juga sangat padat. Menurut BPS, 54,7% (sekitar 141 juta jiwa) penduduk Indonesia berada di pulau jawa. Jadi, lebih dari setengah penduduk Indonesia ini menetap pulau jawa. Contoh kecil deh, berapa mahasiswa di Malang yang tidak menggondol sepeda motor dari rumahnya? jangan dulu lingkup Malang deh, kampus saya, UIN, berapa yang tidak bawa sepeda motor untuk pergi ke kampus? Parkiran kampus sekelas WCU (World Class University) saja sudah tidak muat, apalagi kampus UB yang kampusnya cuma akreditasi institusi B. Eh, kok malah ngomongin kampus. kembali ke parkir, eh macet.


Nah, trus bagaimana nih? menurut saya, kemacetan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kalo tidak boleh dibiarkan, berarti hal tersebut adalah masalah, kalo masalah itu harus diatasi, kalo perlu diatasi, berarti harus memikirkan SOLASI, eh SOLUSI. Bagaimana solasinya? Saya juga belum tau betul bagaimana solusinya, saya kurang pengalaman, gak ada sama sekali pengalaman kerja di Dishub ataupun yang lainnya. Tapi kata Gus Dur, bukankah untuk jadi presiden gak harus pengalaman jadi presiden dulu? Saya ingin mencoba meraba dan menerka solusi itu. Menurut saya, kunci untuk mengatasi kemacetan adalah dengan menekan kepemilikan kendaraan, memperketat realisasi regulasi lalu lintas, dan meningkatkan kualitas fasilitas dan transportasi umum.


Pertama, menekan jumlah kepemilikan kendaraan. Ya, kepemilikan kendaraan harus dibatasi. Lha, bagaimana volume kendaraan mau berkurang kalo mobil sekarang bisa sangat murah dengan sistem kredit yang memudahkan. Maka harus dimahalkan. Selain itu, kepemilikan kendaraan di Indonesia tidak dibatasi waktu. Harusnya, kepemilikan kendaraan dibatasi waktu. Misal setiap 5 tahun harus masuk rongsok dan di kilo, hahaha. Dengan begitu, orang akan enggan membeli kendaraan. Kalo bicara statistik, lagi-lagi, silahkan tanya mbah google. Kalo saya main logika sederhana aja. Kalo kata mbah Jiwo, IQ? IQ? IQ?


Kedua, memperketat realisasi regulasi. Nah, ini yang sulit, budaya suap, pungli, dll yang masih sangat akrab dengan sendi-sendi kehidupan kita. Kalo ini saya tak mau banyak bicara, ayo kita sadar bersama-sama, stop praktik pungli dan suap. Sudah cukup saat balita kita disuapi, masak sudah jadi PNS dan Polisi masih pengen disuapi. Kitanya juga nih, mau aja nyuapin yang bukan anak kita. Kalo masih seperti ini, yaaaa terserah, mau makan dimana, di warung sana juga boleh, di warung sini juga boleh, terserah kamu, asal jangan lalapan, bosen.


Ketiga, meningkatkan kualitas transportasi dan fadilitas umum. Ini yang menjadi konsekuensi yang harus benar-benar diupayakan guna mendukung opsi pertama dalam membatasi kepemilikan kendaraan. Sehingga, rakyat semakin aman dan nyaman menggunakan transportasi umum. Yah, mau gimana aman dan nyaman, kadangkala masih ada yang ribut tarif angkot antara supir dan penumpang. Adapula ORGANDA dan PPAD yang naikkan tarif ketika ada kenaikan BBM. Semakin tinggi lah jurang pemisah antara ongkos transportasi umum dan kendaraan pribadi. Ini sangat berpengaruh. Contohnya begini, saya kalo harus pulang dari malang ke jawa barat menggunakan mobil pribadi, bisa sampai menghabiskan 500 ribu, untuk bensin dan makan, belum lagi mesin mobil yang panas dan perlu servis serta lelahnya menyetir dengan perjalanan ratusan kilometer saking jauhnya. Saya lebih memilih naik kereta api, cukup uang 100-150 ribu, saya sudah bisa sampai rumah. Lah, berbeda dengan ANGKOT, jauh dekat 4 ribu, sedangkan untuk ke lokasi yang saya tuju harus naik angkot 3 kali, berarti butuh dana 12 ribu, PP 24 ribu. Berbeda dengan menggunakan sepeda motor pribadi, cukup 8 ribu/liter, PP masih sisa banyak. Maka harus dipikirkan kemudian formulasi dan konsepsi transportasi jarak dekat yang terjangkau oleh rakyat jelata, kopi lanang dan unyil coffee, dimana ongkos transportasi umum bisa lebih murah daripada menggunakan kendaraan pribadi. Kalaupun tidak bisa lebih murah, fasilitasnya ditingkatkan, sehingga lebih nyaman.


Yah, mau bagaimanapun, ini cuma tulisan dan harapan saya ke depan. Mengkonsep dan menulisnya memang mudah, tapi merealisasikannya tak semudah menulisnya, bukan? Butuh kerja ekstra, keterlibatan dan dukungan berbagai pihak untuk merealisasikannya. Oh iya, selaku pemuda (untuk yang masih muda2 lho), cobalah untuk mengendalikan budaya konsumtif kita, cobalah berfikir untuk mengarah ke pola pikir produktif. Kita semua pasti lelah, semua teknologi yang kita gunakan, gak ada yang MADE IN INDONESIA. Ayo bergerak bersama! Masa depan bangsa ini ditangan kita. Masih dengan semangat sumpah pemuda. Salam Pemuda! Salam Pergerakan! Selamat mengopi! Srupuuuut…


Kos-kosan cedek.e pondok putri

Sabtu, 29/10/2016

10.35 WIB

PROKLAMASI BUNG KARNO 2016

PROKLAMASI BUNG KARNO 2016

instagram @sabdaperubahan 
Saya terhenyak membaca puisi ini. Meski sudah berulang kali saya membaca, hati saya tetap berdebar, sementara otak ini terus berpikir, sebegitu hancurkah negeri ini? Puisi ini adalah buah karya seorang senior saya di suatu organisasi. Sejujurnya saya kagum dengan puisi ini. Begitu merepresentasikan kondisi negeri ini, dengan berbagai problem disudut sana dan sini.
Siang tadi, saya diberi kesempatan untuk memberikan materi dalam sebuah acara. Malamnya, saya membuat materi untuk acara tersebut, dan saya memasukkan puisi ini ke dalam slide presentasi saya, tepatnya untuk menutup presentasi saya. 
Di akhir acara, saya benar-benar membaca puisi tersebut. Saat itu adalah saat dimana saya membacakan sebuah puisi di depan umum sejak TK. Lalu apa hasilnya? Saya tidak tau apa yang dirasakan peserta forum tersebut, tapi yang pasti, badan saya bergetar! Hati saya bukan lagi tersentuh! Tapi benar-benar disentuh, bahkan serasa di tusuk lara yang hebat. Sungguh puisi yang luar biasa!
Sebelumnya mohon maaf kepada senior saya, karena tanpa izin, saya menggunakan puisi njenengan dalam presentasi saya. Tapi tenang saja, saya bukan plagiator, saya tetap cantumkan nama panjenengan. Meski tetap, saya masih terbilang TIDAK SOPAN, tidak izin dulu.
Nah, tapi saya malah tambah TIDAK SOPAN, sekarang saya ingin memposting puisi ini di blog saya. Dengan harapan, tamu-tamu blog ini bisa juga membacanya dan terilhami oleh isi puisi ini untuk melakukan sesuatu. Sopan atau tidak, saya yakin ini adalah sebuah langkah yang bermanfaat, jadi mungkin ketidaksopanan itu akan sedikit tertutupi. 🙂
Yah, ini lah puisi nya, Selamat membaca puisi reflektif dalam Sahabat Em Yasin Arief.
PROKLAMASI BUNG KARNO 2016
Oleh : Em Yasin Arief

Bung Karno bangkit dari kubur
Dia haus ingin minum
Ku suguhkan air mineral

Dia hanya bingung tak mau minum

Karena tanah airnya tinggal tanah
Sedang airnya milik Prancis sudah
Ku seduhkan segelas teh celup
Dia hanya termenung tak mau minum
Karena kebun tehnya tinggal kebun
Lahan tebunya tinggal lahan
Gulanya milik Malaysia
Tehnya Inggris yang punya
Lalu ku bukakan susu kaleng
Bung Karno hanya menggeleng
Kandang sapinya tinggal kandang
Sedang sapinya milik Selandia
Diperah Swiss dan Belanda

Bung Karno bangkit dari kubur
Dia lapar ingin sarapan
Ku hidangkan nasi putih
Dia tak mau makan hanya bersedih
Karena sawahnya tinggal sawah
Lumbung padinya tinggal lumbung
Padinya milik Vietnam
Berasnya milik Thailand
Ku sulutkan sebatang rokok
Dia menggeleng tak mau merokok
Tembakau memang miliknya
Cengkehnya dari kebunnya
Tapi pabriknya milik Amerika

Bung Karno bingung bertanya-tanya
Sabun pasta gigi, kenapa Inggris yang punya
Toko-toko milik Prancis dan Malaysia
Alat komunikasi punya Qatar dan Singapura
Mesin dan perabotan rumah tangga
Kenapa dikuasai Jepang, Korea dan China
Bung Karno tersungkur ketanah
Hatinya sakit teriris-iris
Setelah tau emasnya dikeruk habis
Setelah tau minyaknya dirampok iblis
Bung karno menangis darah
ndonesia kembali terjajah
Indonesia telah melupakan sejarah

Bung Karno membaca Proklamasi
Kami bangsa Indonesia,
Dengan ini menyatakan

Ketidak-merdekaan Indonesia. 

Hal-hal mengenai penindasan
Dan kekuasaan asing,
Telah terlaksana sudah lama,
Dengan cara seksama,
Dan dalam tempo
yang tak dapat dikira-kira.

Tujuh Belas Agustus,
Dua Ribu Enam Belas.


– Malang, 07 Agustus 2016