Menikmati Masa Awal Menjadi Dosen

Menikmati Masa Awal Menjadi Dosen

Belakangan, tagar JanganJadiDosen mengemuka dan viral di jagat maya. Tagar itu menggema disertai dengan banyak skrinsutan slip gaji dosen yang jauh dari kata kategori sejahtera. Untuk dikategorikan sejahtera, slip gaji yang ditunjukkan pada cuitan di tagar JanganJadiDosen itu memang sangat miris. Sudah gaji kecil, ada yang dirapel pula, dan lain-lain. Padahal, menjadi dosen memiliki kualifikasi yang tak main-main. Sejak beberapa tahun yang lalu, untuk menjadi dosen, seseorang diharuskan memiliki minimal strata pendidikan magister (S-2), dan jika ingin berkarir serius di dunia perdosenan, mengejar gelar doktor adalah kewajiban.

Dan, seperti yang anda tahu, biaya studi sarjana di negeri kita ini masih jauh dari kata “terjangkau”, apalagi untuk S-2 dan S-3. Memang ada banyak pilihan beasiswa, itu bisa menjadi topik lain yang tak perlu dibahas pada tulisan ini. Hal ini sangat memprihatinkan saat kita mengetahui satu fakta bahwa persentase warga Indonesia yang berpendidikan tinggi masih dibawah 10%.

Saya sudah berprofesi menjadi dosen selama kurang lebih satu tahun di salah satu kampus swasta di Cirebon. Menjadi dosen atau paling tidak berkecimpung di dunia pendidikan adalah salah satu cita-cita saya. Entah mengapa saat SMA tiba-tiba cita-cita itu muncul, mungkin sistem pembelajaran pesantren tempat saya belajar adalah salah satu yang mempengaruhi diri saya.

Semakin kuat harapan itu saat saya kuliah di Malang. Dunia aktivis mahasiswa adalah salah satu yang memperkuat itu. Dipertemukan dengan orang-orang yang hebat dalam fasilitasi forum, firm saat berbagi cerita, pemikiran, semangat dan keilmuan. Sedikit demi sedikit, ada satu dua forum yang bisa saya coba isi, saya fasilitasi. Meski tak sebaik senior-senior saya, saya merasa berbagi cerita, semangat, pemikiran dan sudut pandang dengan orang lain, berdiskusi, bertukar pikiran itu terasa menyenangkan.

Disamping dari aspek transfer keilmuan yang sesuai dengan disiplin ilmu saya, dari aspek moril, banyak hal yang saya rasa ingin saya bagikan dan ceritakan dengan orang lain, tentang banyak hal dari sisi ideologis, keyakinan, semangat dan sudut pandang yang ingin saya sebarkan kepada sebanyak mungkin orang, meski entah sebetulnya sekuat dan sebaik apa pikiran saya itu. Tapi setidaknya itulah yang saya yakini baik dan perlu disebarkan.

Selepas S-2, saya tentu mencoba mencari lowongan kerja dosen. Singkat cerita, akhirnya saya diterima di salah satu kampus swasta. Awalnya saya cukup idealis, menjadi dosen saya hanya ingin mengajar saja, jadi dosen non tetap. Namun saat saya terjun lebih dalam lagi, saya akhirnya memutuskan untuk menjadi dosen tetap, menikmati tahap demi tahap menjalankan tri dharma perguruan tinggi.

Kelas pertama tentu tak semudah yang dibayangkan, apalagi saat S-1, saya bukan tergolong mahasiswa yang rajin-rajin amat, perlu mutholaah yang sangat mendalam, karena untuk menyampaikan ilmu, tak cukup hanya paham untuk diri sendiri, tapi juga harus mampu memahamkan anak didik kita. Setelah satu tahun lebih, saya cukup menikmati masa-masa awal ini. Penelitian pertama, membimbing mahasiswa pertama, pengabdian pertama, isi BKD pertama, ritme perdosenan pertama, meski masih terbata-bata, saya menikmatinya.

Meski menjadi dosen ini tak menjanjikan secara finansial seperti yang beredar belakangan, saya menikmatinya. Saya berupaya mengisi kebutuhan cuan dari bisnis yang saya jalani bersama istri, dan tak bergantung dari penghasilan saya sebagai dosen. Terdengar ideal bukan? sebenarnya tak seideal itu. Apalagi saat kedua sisi itu menuntut fokus yang sama. Pekerjaan administratif dosen yang seabrek, dan kompetisi jualan onlen yang semakin tak masuk akal terkadang membuat saya cukup pusing. Tapi, bukankah pusing itu tandanya kita berpikir? intinya, saya menikmati semua kepusingan dalam hidup ini, hehehe.

2024: Bersiap untuk Perubahan!

2024: Bersiap untuk Perubahan!

Kata perubahan akhir-akhir ini sangat identik dengan capres nomor urut 1. Judul tulisan ini tentu tak ada kaitannya dengan beliau-beliau ini. Karena pada dasarnya, perubahan adalah keniscayaan. Khususnya perubahan dalam lingkungan kita. Misal dalam persaingan usaha, semua akhir-akhir ini berubah begitu cepat, hingga sampai terjadi disrupsi yang masif.

Cara-cara yang baru beberapa bulan lalu disebut inovasi atau cara baru, dalam waktu singkat terdisrupsi menjadi cara lama, digantikan oleh cara dan metode yang lebih baru lagi. Perubahan diberbagai aspek saat ini menjadi sangat sangat cepat, Sat set, tas tes seperti jargonnya paslon nomor urut 3. Perubahan adalah keniscayaan, namun perubahan yang cepat perlu respon yang tepat. Saya teringat kata-kata dalam buku Homo Deus yang menyatakan bahwa, “Manusia itu seringkali takut dengan perubahan, padahal satu-satunya hal yang paling konsisten di dunia sejak dulu adalah perubahan itu sendiri.”.

Maka, manusia saat ini, termasuk saya dituntut untuk merespon dengan tepat perubahan yang serba cepat itu. Misal dalam 2-3 tahun belakang, bisnis yang saya bangun bersama istri bisa dibilang cukup stabil, saat ini mengalami kemerosotan yang tajam. Faktor penyebabnya tentu berasal dari intrasel maupun ekstra sel. Ekstra sel, disrupsi begitu hebat, cara berjualan online yang pada awalnya bernafaskan ecommerce murni saat ini berubah menjadi tren social commerce dengan live tiktok sebagai referensi utama. Buruk dan fatalnya, secara intrasel, adalah dari dalam diri saya dan istri yang tidak sigap menghadapi disrupsi itu. Sedangkan newcomers semakin menjamur dan lebih militan.

Untuk mengatasi persoalan demikian, tentu kami harus merespon dengan tepat. Harus segera mengambil langkah-langkah merespon perubahan itu, dengan cara bagaimana? Tentu kami harus berubah! Dan bersiap menyongsong perubahan! Sekali lagi ini bukan urusan pilpres ya, camkan! Perubahan disini adalah kita harus mengikuti irama perubahan yang ada dengan skill survival yang harus teruji.

Urusan perubahan ini saya bisa ambil pelajaran dari perubahan yang saya alami sendiri saat mencoba mengatasi obesitas yang saya derita. Alhamdulillah dari 90 kg, saat ini saya berhasil turun ke 72 kg. Apa pelajaran yang saya ambil dari pengalaman tersebut? Pertama, komitmen untuk selalu disiplin. Jika malam saya komitmen tak boleh memakan apapun, maka saya harus komitmen dengan aturan itu. Apapun makanan yang ada didepan saya. Komitmen kedisiplinan ini tentu harus berangkat dari kesadaran atas keinginan kita mencapai tujuan yang kita harapkan.

Kedua, adalah support dari orang-orang terdekat. Dukungan, kontribusi dan kehadiran orang terdekat adalah hal yang sangat penting. Saya tak bisa membayangkan, jika tidak ada kerelaan istri saya mensupport pola diet saya dengan mempersiapkan menu-menu yang menunjang penurunan BB, maka program saya dipastikan 70% akan gagal. Maka peran dari orang yang mensupport ini cukup dominan untuk mencapai tujuan.

Ketiga, adalah ilmu. Yes! Ilmu adalah kunci keberhasilan saya dalam melaksanakan diet. Seperti pada suatu hadits, apapun yang ingin kita capai, baik prestasi dunia, maupun cita-cita di akhirat kelak, kunci utamanya adalah ilmu. Ini yang utama. Maka saat saya merubah diet saya, saya senantiasa bersandar pada ilmu, saya membaca, menonton, memahami segala hal yang berkaitan dengan ilmu diet ini, hingga saya alhamdulillah dapat menuai hasilnya.

Tiga hal tersebut adalah strategi saya dalam menangani obesitas. Maka saya kira, untuk merespon cepatnya perubahan, ya, saya harus cepat merespon perubahan itu. Saya menyusun beberapa hal yang harus saya kejar di 2024 ini. Dan salah satu resolusi bisnis saya di 2024 ini adalah membangun sebuah brand, agar value produk yang saya jual ini meningkat. Lho, bukannya membangun brand itu sulit? Ya, tentu saja. Maka saya akan coba terapkan strategi keberhasilan diet saya ke dalam strategi membuat brand di 2024 ini.

Doakan saja semoga semuanya berjalan lancar. Semoga segala hal yang kita semua rencanakan untuk perubahan hidup yang lebih baik di 2024 diberikan kemudahan oleh Allah subhanahu wataala. Amin.

Catatan untuk Konfercab VIII PCNU Majalengka

Catatan untuk Konfercab VIII PCNU Majalengka

Kemarin adalah pertama kali saya mengikuti agenda musyawarah tertinggi di tingkatan PCNU, Konferensi Cabang VIII Nahdlatul Ulama Kabupaten Majalengka. Seperti tertuang pada AD ART, agenda Konferensi digelar untuk suksesi pergantian kepemimpinan NU di berbagai tingkatan, memilih Rais Syuriyah & Ketua Tanfidziyah.

Saya datang bukan sebagai peninjau, tetapi sebagai delegasi MWCNU Rajagaluh yang diberi mandat melalui Surat Mandat yang dikeluarkan Pengurus MWCNU Rajagaluh, artinya saya punya hak suara dan hak bicara dalam forum tersebut. Saya memang tercatat di SK sebagai pengurus harian MWC. Sebagai bocil atau newbie dalam forum tersebut, tentu saya lebih banyak memperhatikan dinamika yang terjadi dalam forum tersebut, tak ikut berkomentar, disitu forum kyai-kyai bos, isin aku, wkwkwk.

Saat mahasiswa, saya cukup akrab dengan forum seperti ini, misal saat dulu di PMII Kota Malang, ditingkatan paling bawah level rayon, saya mengikuti beberapa kali RTAR (Rapat Tahunan Anggota Rayon), RTK (Rapat Tahunan Komisariat), bahkan Konfercab (Konferensi Cabang) PMII Cabang Kota Malang. Terbaru di akhir 2020, saya ikut menjadi panitia Konferensi MWCNU Kec. Rajagaluh. Artinya secara mekanisme, saya sudah cukup paham, ada beberapa sidang pleno dan komisi, dan diakhiri sidang pleno terpanas, tentu saja pemilihan nahkoda baru organisasi.

Forum tertinggi seperti ini biasanya sarat kepentingan, panas, penuh gengsi, adu tensi, dan bahkan bisa jadi menentukan kedewasaan berorganisasi masing-masing insan organisasi. Posisi ketua, atau bahkan rois adalah posisi yang biasanya diperebutkan dan diinginkan oleh beberapa orang. Dalam kasus tertentu, isu money politics berhembus, biasanya mentarget pemilik hak suara dalam forum. Siapa yang punya hak suara memilih ketua, akan diincar dan digoda oleh mereka yang punya ambisi menjadi ketua. Janjinya macam-macam, nominalnya pun macam-macam. Tentu ini bukan tuduhan, karena sampai saat inipun saya hanya tau isu ini sekedar kabar burung saja, saya tak pernah investigasi sendiri, kebenarannya hanya diketahui oleh pemainnya saja, hehe.

Mencermati Konfercab VIII PCNU Majalengka, satu per satu mekanisme saya coba pahami, adakah yang menurut saya tidak ideal? Adakah yang melenceng? Adakah yang kurang tepat? Daaaan, saya menemukan bahwa agenda konfercab di NU cukup rapi dan tertib. Terlebih, saya melihat ada political will dari PBNU untuk berbenah dan mengawal secara aktif prosesi konfercab ini, agar sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan NU. Reformasi struktural dan peningkatan peofessionalitas organisasi coba ditegakkan PBNU. Dibuktikan dengan diharuskannya sidang langsung dipimpin oleh delegasi dari PBNU, khususnya pada pleno terakhir yang biasanya panas.

Agenda pleno I tentang Tata Tertib berlangsung dinamis, namun tetap santun dan santuy. Tidak ada gontok-gontokan karena tarik ulur kepentingan yang biasanya kentara kalo di forum mahasiswa, hehe. Artinya forum berjalan cukup konstruktif dan tentu saja, cepat. Hahaha.

Yang cukup saya sayangkan adalah di pleno komisi. Poin yang cukup saya kritisi adalah ruangan pleno komisi yang tidak representatif untuk sidang komisi. Sidang dilakukan di aula yang besar dan bersebelahan dengan sidang komisi lain. Tentu suara dari para peserta menggema dan bersahutan tidak jelas. Akibatnya, forum menjadi tidak kondusif dan tidak dinamis. Hasilnya saat dilaporkan, tak banyak perubahan dari rancangan draft yang telah dibuat. Hanya dilaporkan bahwa draft yang dibuat sudah cukup bagus, dan tinggal bagaimana pemimpin NU kedepan bisa benar-benar merealisasikannya. Ini cukup disayangkan karena saya kira, salah satu agenda penting dari konfercab ada disini. Kita bertukar pikiran, gagasan hingga strategi bagaimana untuk menjalankan NU ke depan sesuai dengan tantangan zaman. Memang draft yang ada sudah bagus, tapi jika kita lebih niat lagi untuk membahas, itu bisa lebih maksimal. Saya cukup paham juga sih, kadangkala kita sudah maksimal menggagas ide yang dituangkan di pleno komisi, pada akhirnya, hasil-hasil sidang itu berakhir dalam tumpukan draft yang tidak pernah dibuka lagi, atau bahkan dikilokan hingga menjadi bungkus nasi uduk. Soft file nya hanya ada di laptop operator saat sidang, atau bahkan hilang. Tak ada mekanisme bagaimana mempublikasi draft hasil konfercab tersebut.

Selanjutnya dalam LPJ, pleno nya terkesan buru-buru, komentar dari peserta sidang dibatasi dan sudah diatur untuk orang-orang yang akan mengomentari hasil LPJ. Dan semuanya berakhir mengafirmasi dan mengapresiasi saja. Ada yang mengkritisi, hanya mengkritisi terkait draft LPJ yang disebar soft file nya saja tanpa versi cetak. Bagi saya itu tak substansial. Seharusnya forum LPJ bisa lebih banyak mengkritisi kinerja kepengurusan, dan dalam jawaban ketua PCNU demisioner, ia pun berharap kritik demikian.

Di sidang pleno IV yang merupakan bagian terpanas, justru terlihat sangat elegan. Mekanisme pemilihan di NU memang memilih 2 pimpinan, rois syuriyah dan ketua tanfidziyah. Pemilihan rois dilangsungkan melalui mekanisme sidang ahlul halli wal aqdi, semacam sidang 5 ulama sepuh yang dipilih dari suara yang diusulkan MWC-MWC, yang akan bermusyawarah menentukan siapa yang layak menjadi rois syuriyah. Hasilnya terpilih 5 kyai sepuh yaitu KH. Anwar Sulaeman, KH. Harun Bajuri, KH. Aliyudin, K. Yusuf Karim, dan KH. Abdurrosyid, dimana melahirkan keputusan yang memilih KH. Anwar Sulaeman sebagai Rois syuriyah terpilih PCNU Kabupaten Majalengka masa khidmat 2023-2028. Pemilihan dengan mekanisme ahwa ini saya sangat menyukainya dibanding mekanisme voting seperti pada pemilihan ketua tanfidziyah, dengan beberapa alasan pribadi, hehe.

Sampailah kepada agenda terakhir dalam pleno terakhir, yakni pemilihan ketua tanfidziyah, dengan 1 hak suara dari masing-masing MWC. Mekanisme nya dengan penjaringan bakal calon, kemudian yang memiliki 30% suara akan lanjut ke putaran kedua. Syahdan, dalam pemungutan suara pertama, KH. Muhammad Umar Sobur mendapatkan 19 suara mengungguli KH. Dedi Mulyadi (incumbent) yang mendapatkan 5 suara dari 25 suara, 1 suara tidak sah. Dengan hasil tersebut secara otomatis Kyai Umar terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Majalengka karena Kyai Umar mendapatkan lebih dari 50%+1 suara dan suara Kyai Dedi tidak mencapai 30% suara.

Sesaat setelah penghitungan suara berakhir, Kyai Dedi menghampiri langsung Kyai umar, mengucapkan selamat dan berpelukan. Sebuah sikap keteladanan yang harus kita tiru sebagai generasi muda. Selanjutnya, berkumpul pula disitu kader-kader PMII Majalengka berfoto. Dibrowsing-browsing, lha ternyata Kyai Umar ini Ketua Mabincab PC PMII Kab. Majalengka. Ealaaaaah. Saya baru tau. Pantes pengkondisian suaranya mantap, wkwkwkwk. Overall, selamat mengemban amanah untuk KH. Anwar Sulaeman dan K. Muhammad Umar Sobur sebagai nahkoda baru PCNU Kabupaten Majalengka 5 tahun kedepan. Doa terbaik untuk panjenengan berdua. Semoga NU di Majalengka semakin maju. Ami ya robbal alamin. Dan, terimakasih untuk kesempatan yang diberikan kepada newbie seperti saya untuk mengikuti dengan seksama agenda Konfercab ini, sok sokan ngasih catatan pula. Songong.

Menanggapi Kelakar Zulhas tentang Amin dan Tasyahud Dua Jari

Menanggapi Kelakar Zulhas tentang Amin dan Tasyahud Dua Jari

To the point saja, dalam suatu acara, Zulkifli Hasan, Ketua umum PAN guyon tentang keengganan pendukung paslon nomor 2 menjawab “Amin” setelah membaca surat al faatihah. Juga saat tasyahud biasanya mengangkat 1 telunjuk, katanya, pendukung Prabowo Gibran, tasyahudnya jadi 2 jari hahahaha. Peristiwa detailnya bisa anda googling sendiri.

Bagaimana saya menanggapi itu? Dan bagaimana seharusnya menanggapi itu? Tentu dalam sudut pandang saya. Apakah termasuk penistaan agama? Atau bisa dianggap guyonan biasa saja? Sebelum menjawab itu, saya tegaskan dulu disini kalau saya bukan pendukung Prabowo-Gibran ya, dan bisa dibilang, probabilitas saya memilih paslon No. 2 adalah yang paling kecil dibanding 2 paslon lainnya. Tentu saya punya alasan, seperti jengkelnya saya dengan tragedi Mahkamah Keluarga.

Bagi saya, statemen Zulhas ini saya pikir bisa dianggap sebagai guyonan biasa saja, bukan penistaan agama, bukan politisasi agama, jadi santai saja. Saya kebetulan adalah warga nahdliyyin yang akrab dengan guyonan-guyonan demikian, tentu tak mudah mengafiliasikan guyonan demikian menjadi persoalan serius. Seperti kata Gus Dur, “Dipesantren , humor itu jadi kegiatan sehari-hari. Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup dan pikiran kita menjadi lebih sehat.”.

Ada beberapa guyon agama yang seolah-olah menista, tapi sebenarnya humor yang menyehatkan, wkwkk. Seperti statemen Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj yang menyatakan bahwa sampai saat ini, malaikat mungkar nakir belum sempat menanyai gusdur, “man robbuka, dst”. Kenapa begitu? Seperti pada riwayat, malaikat akan bertanya kepada seorang mayit dalam kubur saat pengantar mayit terakhir telah 7 langkah meninggalkan lokasi pemakaman. Lha makam gusdur ini peziarah terakhir belum sampai 7 langkah, sudah ada yang ziarah lagi, sehingga sampai sekarang, malaikat munkar nakir belum bisa melaksanakan tugasnya, wkwkwk.

Ada juga kisah abu nawas yang berpesan agar ketika meninggal dipakaikan kain kafan dari kain yang sudah lusuh dan kotor. Kenapa demikian? Abu nawas berkelakar, biar malaikat munkar nakir mengira abu nawas ini penghuni lawas atau senior, kalo yang senior kan ospeknya sudah lewat, hahaha. Luar biasa progresif abu nawas berfikir ia mengelabui munkar nakir. Patut kita tiru. Hahaha.

Selain itu masih banyak lagi guyon-guyon berbau agama yang saya kira tidak perlu digiring dan diopinikan terlalu serius hingga dibawa menjadi penistaan agama. Yuk, kita fokuskan energi kita ini untuk memilih paslon berdasarkan gagasan dan tawaran programnya saja, guyon-guyon ini hanya pemanis saja, santuy.

Jadi, bagi saya kelakar Zulhas tentang tasyahud dua jari dan keengganan jawab amin setelah imam baca fatihah itu ya anggap guyon saja. Jika memang dilapangan ada yang benar-benar sesensitif itu terhadap perbedaan pilihan, misal memang dia tidak menjawab amin setelah fatihah, atau tasyahudnya 2 jari atau tiga jari, itu memang bego aja orangnya. Kalo kalian memang saat sholat di masjid satu shaf dengan orang yang tasyahudnya dua jari saat sholat, tinggal tempeleng aja, paling juga yang nempeleng sholatnya batal dan harus mengulang, hahahaha. Udah gitu aja.

Peluang Kontribusi Santri di Bidang Sains dan Teknologi

Peluang Kontribusi Santri di Bidang Sains dan Teknologi

Beberapa dekade lalu, santri diidentikkan sebagai komunitas masyarakat yang tradisional, kaku dan terbelakang. Masyarakat perkotaan notabene seringkali memandang sebelah kaum santri karena dianggap kolot dan anti kemajuan karena dianggap mendahulukan kepercayaan mistis dibanding tradisi pengetahuan modern. Padahal dalam kesehariannya, santri sangat erat kaitannya dengan tradisi akademik yang progresif. 

Tri Dharma ala Santri

Jika dibandingkan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi, santri juga melakukan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat. Hanya saja Tri Dharma santri tak dilaporkan dalam sister BKD seperti dosen, dan terhitung SKS yang formal seperti mahasiswa. Pengajaran dilakukan santri dengan berbagai metode. Kyai atau ustadz bisa melakukannya dengan Bandongan, atau dalam bahasa akademik disebut metode ceramah satu arah. Bisa juga dilakukan dengan sorogan, disimak oleh kyai satu per satu terkait satu pelajaran, bahkan bisa jadi seperti halnya Sidang Komprehensif Skripsi. Teknis sidang kompre santri kira-kira mirip seperti Musabaqoh Qiroatul Kutub. 

Penelitian dilakukan santri melalui studi literatur dan dipublikasi melalui “prosiding” forum bahtsul masail di berbagai tingkatan.  Bahtsul masail adalah kegiatan berkumpulnya para santri dengan bekal buku-buku akademik keislaman (misal:fiqih) dari generasi ke generasi, dari metode satu ke metode lainnya, dari madzhab satu ke madzhab lainnya untuk membahas persoalan-persoalan keislaman kontemporer, kemudian dicari solusi dari persoalan tersebut dan diambil kesepakatan bersama. Kira-kira jika BM level nasional setara dengan jurnal Sinta 1, BM level internal pondok setara dengan Sinta 3-5. Sehingga Bahtsul masail adalah salah satu contoh dari rutinitas santri yang erat kaitannya dengan tradisi akademik bidang Penelitian.

Untuk banyak santri satu dua dekade kebelakang, mungkin Pengabdian Masyarakat adalah kegiatan sehari-hari karena relasi santri dan masyarakat saat itu sangatlah cair dan mutualisme. Santri saat ini dengan sistem dan aturan pesantren yang lebih terstruktur, biasanya pengmas dilakukan selepas santri lulus dari pendidikan pesantren. Meski tak semuanya, beberapa pesantren mewajibkan santri melakukan pengmas wajib selama 1 tahun pasca lulus. Berbeda dengan pendidikan tinggi yang merealisasikan pengmas hanya 1 bulanan.

Peluang Santri terhadap Sains dan Teknologi

Lalu apa hubungan santri dan saintek? Saya membayangkan keunggulan santri dengan metode-metode pembelajarannya, serta fokus yang lebih baik karena konsep boarding schoolnya. Jika dibuat visi, misi, tujuan, rencana induk, rencana strategis, kurikulum dan turunannya yang mengarah pada pembelajaran yang difokuskan pada bidang saintek tertentu, saya yakin jebolannya akan menjadi ahli sains yang handal. Jika di bidang Kesehatan, maka akan menjadi ahli kesehatan yang handal. 

Lantas, bagaimana pembelajaran agamanya? Jangan terlalu dalam, cukup beri pengetahuan praktis dasar saja, misal fiqihnya Safinah mentok-mentok Taqrib, tauhid bisa Tijan atau Jawahirul Kalamiyah, Akhlak cukup Ta’lim Muta’alim, selebihnya fokuskan untuk santri belajar bidang saintek yang ia pilih, konsistenkan proses ini sejak SMP hingga Perguruan Tinggi yang terintegrasi dan tersistem dalam satu naungan Yayasan Pesantren tertentu. Yang farmasi biar farmasi, yang bioteknologi biar bioteknologi, yang nanomaterial biar nanomaterial. Bila masih banyak waktu tersisa, keilmuan multidisplin yang masih beririsan pun bisa dibabad habis.

Dengan konsep yang matang dan implementasi yang terkontrol dengan baik, saya yakin santri jebolan lembaga tersebut akan menjadi terang dalam gelap, jawaban atas pertanyaan, dimana islam dan agama-agama saat dunia saat ini dikuasai oleh orang-orang yang menuhankan sains dan teknologi. Santri harus hadir mencoba menghadapi fenomena dunia yang demikian mengarah kepada penafian kebenaran agama, atau lebih jauhnya menafikan keberadaan Tuhan.

Mengapa saya sebegitu yakin? Karena santri dengan berbagai metode pembelajarannya yang efektif dan sudah eksis sejak dahulu kala, serta model boarding school yang lebih mampu menyingkirkan distraksi, fokus santri terhadap studi bisa lebih dari sekedar siswa dan mahasiswa biasa. Yang lebih mudah teralihkan perhatiaannya dengan hal-hal diluar kepentingan akademisnya.

Maka akan ada yang skeptis, masa santri hanya brlajar kitab-kitab tipis? Nanti ilmu agamanya dangkal dong? Ya jika ingin pembelajaran agama yang lebih mendalam, ada banyak sekali Pesantren “Salaf” yang secara kurikulum mapan di kajian kitab kuning yang bisa dipilih. Pilihlah yang itu. Daripada kita memaksa santri untuk benar-benar “MASAGI”, namun pada akhirnya “Tidak Kemana-mana”, Ilmu Fiqihnya nanggung, Fisikanya ngambang. Sehingga memang perlu satu dua pesantren yang mengadaptasi role model pesantren sains yang lebih mengeksplorasi keilmuan sains. Dan peran pesantren ini nantinya di bidang agama, lebih difokuskan pada pembentukan karakter dari santri itu sendiri.

Mengutip dawuh Romo KH. Anwar Manshur Lirboyo, bahwa Tidak perlu semua santri itu menjadi kyai. Yang penting menjadi santri yang “khoirunnas anfauhum linnas”. Sehingga, poin penting dari santri adalah kemanfaatan. Dimana sayap kemanfaatan santri yang perlu diperlebar lagi adalah dengan berkontribusi lebih dalam pengembangan sains dan teknologi. Yang mana saat ini di sektor tersebut belum banyak terdistribusi santri yang punya kapasitas intelektual terkait.

Hemat saya, peluang untuk santri ini harus kita sambut dengan antusiasme dan kemauan yang tinggi, untuk sedikit keluar dari mainstream, tentu bukan karena ingin gaya-gayaan, tetapi ini dilakukan demi perbaikan ummat, agar kontribusi umat islam terhadap sains dan teknologi lebih berefek dan meluas. Para kyai dan gus gus masa kini saya kira harus merespon peluang ini dengan cermat. Sehingga persepsi masyarakat terhadap santri yang pelan-pelan sudah mulai terbangun baik, akan semakin baik dengan keberanian beliau-beliau untuk mengambil inisiatif merespon peluang ini.

Cerita tentang Gaya Hidup Sehat

Cerita tentang Gaya Hidup Sehat

Sudah sejak beberapa tahun lalu pola hidup saya ini saya rasa sangatlah tidak sehat. Terbukti dengan beberapa bagian di tubuh saya yang mengalami pembengkakan, hahaha. Timbunan lemak semakin bejibun, terkhusus di bagian perut yang kian hari kian membuncit. Saya termasuk dalam kategori “Orang-orang Besar”, hahaha. Dalam beberapa kesempatan, saya merasa kesulitan bernafas, mudah lelah dan mudah terserah penyakit musiman macam flu, sedikit-sedikit pusing dan sakit kepala, dan berbagai keluhan lainnya.

Dengan berat yang sudah mencapai 90 kg pada bulan Juli yang lalu, diikuti dengan gejala sindrom metabolik yang menyertai, saya seringkali berpikir. Akan sampai mana hidup saya jika pola hidup saya begini-begini aja. Apakah akan bisa hidup hingga tua nanti, menyertai anaka-anak bertumbuh dan berkembang. Dan saat tua nanti tak terlalu merepotkan mereka. Benar, bahwa umur adalah rahasia-Nya, takdir dari-Nya, tapi manusia punya kuasa untuk berupaya dan berikhtiar, dan itu bukan suatu kesalahan!

Berbekal keilmuan, saya niatkan untuk mengatur pola makan dan olahraga dengan mempelajari dasar ilmu nutrisinya terlebih dahulu, mulai dari metode diet sampai analisis nutrition fact. Dan alhamdulillah rasa-rasanya tak terlalu sulit untuk memahami dan menerima keilmuannya karena saya punya latar belakang seorang Magister Kimia, kira-kira masih beririsan dengan ilmu nutrisi saat saya pelajari. Belajarlah saya melalui berbagai macam saluran, baik youtube, instagram, dll. Langkah pertama yang saya lakukan untuk menangani obesitas ini adalah membatasi konsumsi sumber-sumber gula, baik gula sederhana maupun kompleks.

Gula disini bukan berarti gula pasir ya. Karena gula ini dalam terminologi gizi adalah salah satu nutrien primer, yakni kelompok karbohidrat (baca:karbo). Gula pasir (sukrosa) adalah karbo sederhana yang mudah dicerna tubuh, karena hanya tersusun dari 2 molekul gula (1 glukosa, 1 fruktosa). Nasi dan tepung adalah gula kompleks, yang perlu waktu yang lebih lama untuk dicerna tubuh daripada gula sederhana. Namun tetap saja, jika terlalu banyak, akan dengan cepat menaikkan berat badan. Mekanisme lebih jauh tentang eksresi insulin dari pankreas, resistensi, gula darah, penyakit sindrom metabolik, silahkan dicari-cari sendiri ya. Karena akan sangat panjang jika dijelaskan disini. Pada intinya, terlalu banyak konsumsi gula, menyebabkan naiknya berat badan dan berpotensi obesitas, atau paling tidak meningkatkan resiko penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus tipe 2.

Jadi, menghindari gula ini, saya tidak mengkonsumsi gula pasir dan semua minuman yang ditambahkan gula pasir. Anti minuman minimarket yang kadar gulanya diatas 8 gram per serving. Dan persis, sulit untuk saya memenuhi kategori itu. Jadi saat saya beli minuman di minimarket, air putih adalah andalan. Selanjutnya, Tidak memakan olahan tepung seperti gorengan, cilor, cilok, sosis, bakso, waakhwatuha. Jika saya terpaksa membeli ayam crispy, crispy nya saya unboxing, wkwkwk. Terakhir, mengurangi segala asupan karbohidrat kompleks seperti nasi dalam sajian makan berat. Selebihnya, saya mempraktekkan intermitter fasting 16-8 setiap hari, jadi sarapan jam 10 siang, tetep pake nasi ya, tapi dibawah 150 gram. Lauknya berfokus di protein dan sayuran. Sore makan maksimal jam 18.00, juga tetep makan nasi dibawah 100 gram dengan lauk prioritas sumber protein dan serat yang tinggi.

Sumber protein utama yang saya pilih adalah telur dan dada ayam, terkadang juga dari seafood, protein nabati macam tahu dan tempe. Alhamdulillah, istri dan orang tua adalah support system terbaik, saya disiapkan berbagai macam olahan dada ayam hampir setiap hari. Bosan? Tentu saja TIDAK. SAYA SUKA DADA AYAM, WKWKWK. Untuk cemilan disela-sela makan berat? Saya biasa makan 1-2 buah-buahan setiap hari. Saya tetap batasi buah-buahan karena beberapa cukup tinggi gula sederhana. Kemudian, jika tergoda makanan-makanan pantangan, saya tak perlu menahan, cukup ambil secuil, yang penting udah nyobain. Jika dulu tergoda bakso pesen 1 mangkok, sekarang cukup 1 biji bakso kecil saja, hehe.

Oh, iya, selain pendekatan analisis nutrisi dan intermitten fasting, saya juga melakukan defisit kalori. Ini dilakukan karena memang salah satu tujuan (kecil) saya adalah fat loss. Kalori perharinya saya batasi maksimal 1900 saja. Dan setiap hari saya catat di aplikasi fat secret, dan berlangsung sekitar 2 bulan. Sejak pertengahan oktober hingga saat ini, saya sudah tak mencatat kalori makanan saya karena saya sedikit banyak sudah bisa memprediksi kalori yang masuk ke tubuh saya yang berasal dari makanan yang saya konsumsi.

Untuk olahraga, saya masih belum bisa mengobati kemalasan olahraga. Di awal-awal, saya sempat mencoba mengikuti gerakan-gerakan olahraga di aplikasi, misal High Intensity Interval Training. Tapi karena kesibukan, olahraga yang dirutinkan saat ini mungkin hanya push up, sit up dan plank kurang lebih 2-3 kali perhari dan terkadang bolong-bolong. Sebetulnya olahraga ini akan saya planning ke depan.

Alhamdulillah, pendekatan-pendekatan gaya hidup diatas saya praktekkan dengan konsisten hingga saat ini. Hasilnya adalah BB saya turun hingga 77 kg. Meskipun tujuan awal saya mengatur gaya hidup ini bukan untuk menurunkan BB, namun saya cukup senang atas pencapaian ini. Lebih dari itu, saya lebih senang ketika saya merasa lebih berenergi, tidak mudah lelah, tidak mudah sakit, mood terkontrol dan kepercayaan diri semakin meningkat pesat, hahaha. Lebih dari semua itu, saya ingin indeks harapan hidup saya meningkat, karena orang dengan obesitas tentu lebih beresiko terkena penyakit sindrom metabolik yang kronis dan mematikan. Dan alhamdulillah, saya rasa saya sedang berada pada jalur yang tepat.

Ada sebuah cerita unik, saya punya 2 kemeja sport hem yang saya beli karena saya menyukainya. Saya membelinya kira-kira sudah 3 tahun yang lalu. Saat dicoba di rumah, ternyata dibagian perut, kemeja tak bisa dikancingkan karena terlalu buncit. Akhirnya, beberapa bulan yang lalu saya berikan ke adik saya untuk dia gunakan sehari-hari. Eman-eman daripada gak kepake. Syahdan, beberapa hari yang lalu, saya iseng membuka lemari adik saya, dan baju yang saya berikan itu belum pernah ia pakai. Kemudian saya iseng mencobanya dan “slep!”, bagian perut bisa terkancing dan masih longgar sekitar 2 jari. Saya terperangah dan terheran-heran sendiri sembari mesam mesem. WOW!!! saya sama sekali tak menyangka bisa sampai ke titik ini! Tak menyangka baju impian itu bisa saya gunakan saat ini, wkwkwk. Akhirnya saya minta lagi baju itu ke adik saya. Toh, adik saya ternyata belum pernah memakainya karena dirasa terlalu longgar, hahaha.

Saya merasa senang dan bahagia. Seperti muslim pada umumnya, saya juga seringkali memanjatkan doa panjang umur kepada Tuhan, memohon di beri kesehatan dan umur yang panjang dan memberi manfaat, sehingga bisa membersamai orang-orang tersayang dengan kondisi yang sehat, prima dan tak merepotkan mereka. Mungkin, konsistensi saya, komitmen saya untuk menciptakan habit baru, pola baru, gaya hidup baru saya ini adalah jawaban dari doa-doa yang senantiasa terpanjatkan. Karena, bukankah dikabulkannya doa itu tidak ujug-ujug dikabulkan seketika? tapi melalui wasilah ataupun isyarat yang mesti dilalui maupun diikuti hamba-Nya itu? Begitu kan?

Semoga, ke depan, konsistensi ini saya bisa coba terapkan pada komitmen saya untuk memulai olahraga yang teratur, melalui ikut serta pada gym yang berfokus pada latihan beban dan kardio. Selain itu, saya juga ingin mencoba menambahkan satu pendekatan yang belum maksimal, yakni mengurangi penyajian makanan dengan deep frying. Semoga dua upaya ini dimudahkan dan diberi jalan konsistensi yang lebih lagi dari apa yang pernah saya praktekkan. Karena memang buncitnya masih ada meskipun hanya tinggal sedikit lagi, wkwkwk.

Wallahu a’lam.