Cara Berwudhu yang Peka Sosial

Cara Berwudhu yang Peka Sosial

Seperti keluarga middle-class muslim negara ber-flower pada umumnya. Hari sabtu sesekali kami isi dengan nge-Mall ke Cirebon. Terlebih, aturan PPKM sekarang semakin longgar. Anak-anak sudah diperbolehkan masuk Mall, saya dan istri juga sudah mengikuti vaksinasi lengkap. Dengan ini, setidaknya tubuh kami akan lebih banyak memproduksi endorfin yang menyebabkan perasaan lebih tenang dan senang.

Entah sudah berapa lama kami gak nge-Mall, yang pasti, si sulung, Faqih loncat-loncat kegirangan, khususnya ketika saya ajak ke tempat bermain di Mall. Faqih yang sekarang sudah hampir menginjak usia 3 tahun, sudah lebih mahir bermain ‘sosorodotan‘ dan sejenisnya.

Jika waktu sholat tiba, kami biasanya menggunakan fasilitas musholla yang terdapat di pusat perbelanjaan itu. Karena Faqih sedang bermain di lantai 3 bersama kakek neneknya dan Fathia lagi disuapi bundanya, pergilah saya sendiri ke mushola, sholatnya bergantian, saya kebagian duluan. Seperti biasanya, sholat maghrib di mushola mall tepat di malam minggu seringkali padat. Saya antri berwudhu hingga tibalah giliran saya. Saya buka kran, lalu saya tempelkan kedua tangan saya dan menengadahkannya untuk nampani air dari pancuran kran. Tiba-tiba,

“Ceplak, ceplak, ceplak.”,

cipratan air dari orang yg berwudhu di sebelah saya. Ternyata ia sedang membasuh mukanya. Seketika saya buang air yang sudah saya tampani dengan tangan. Spontan saya mengernyitkan dahi dan menggerutu. Saya heran, kenapa ngebasuh muka aja kok sampe kayak ngepretin muka sendiri. Kan bisa lebih selow gitu ya. Atau sekalian minta dikepretin ustadz ujang bustomi sekalian, pak pak pak! Sokbeker! Sebetulnya bukan masalah musta’malnya air itu, karena saya juga belum tau apakah ikatan hidrogen pada air itu melemah atau menguat jika dibandingkan dengan air thohir muthohir. Eh, maksudnya, saya ngerasa gelay aja sama cara wudhunya, Kadita aja kalo ulti cipratannya gak segitunya. Ah, sudahlah.

Saya berhenti sejenak menunggu ia selesai basuh muka. Mungkin saja untuk membasuh tangan dan rukun lainnya gak akan sampe sebegitunya. Eh, ternyata pas ia basuh rambut,

“Plok plok plok”,

Haduh, ini bapak-bapak, basuh rambut sampe dahinya dipukul-pukulnya sendiri. Mbok ya sekalian pakek palu Terizla atau Lolita gitu loh. Saya yang baru sampai basuh tangan akhirnya masa bodo lah. Meneruskan lagi rukun demi rukun hingga selesai berwudhu. Kemudian mendirikan sholat.

Selesai sholat, saya berdiri kembali dan bergegas keluar dari musholla. Membaca wirid singkat saya sembari berjalan saja. Karena memang, kondisi musholla yang lumayan antri, agar jamaah lain bisa segera mendirikan sholat lagi, hematku. Saya tidak tau kondisi selepas itu, apakah semuanya melakukan hal yang sama dengan saya, bergegas keluar dari musholla, atau malah duduk berlama-lama dan berdzikir. Tapi saya beberapa kali menemukan, dimana ada beberapa orang yang masa bodo dengan orang yang mengantri tempat sholat setelahnya.

Kejadian itu memang sepele. Gak perlu dibesar-besarkan. Tapi dari hal sepele itulah kita bisa melihat gambaran sejauh mana kepekaan seseorang terhadap kondisi sosialnya, ini gambaran kecil. Contoh lain, di gang menuju rumah saya yang hanya cukup satu mobil itu, seringkali ada orang yang bertamu. Kadang-kadang, mereka yang bertamu ini berkendara dengan mobil dan diparkir sembarangan. Dan rumah yang ia sambangi cukup jauh dari tempat ia parkir, agak masuk-masuk gang lagi lah. Urusan parkir ini kadang memang pelik. Ketika ada saudara atau tetangga yang mau keluar dengan mobil. Aksesnya terhalang oleh mobil tamu yang parkir sembarangan itu. Dan kadang-kadang, gak ada yang tau kemana si empunya mobil itu bertamu. Akhirnya, banyaklah orang yang menggerutu terkait si tamu itu,

“Kalo bertamu harusnya tau etika dong, parkir gak boleh sembarangan. Gimana kalo ada mobil lain yang mau lewat? Disuruh loncat?”, ungkap salah seorang tetangga yang kesal.

Seringnya kejadian itu berulang, bapak saya beberapa kali menasihati, “Kalo kamu bertamu, misal parkirin mobil itu ya harus pake otak, pikirin orang lain atau warga setempat, mengganggu orang lain apa engga. Kita harus punya kepekaan atau rasa peduli dengan sekitar kita.”. Ya, saya cukup mengilhami nasihat bapak terkait ini.

Dari kisah berwudhu yang barbar, parkir yang gak ngotak, atau kisah lain yang serupa, kita perlu belajar, bahwa melatih kepekaan sosial bisa dimulai dari hal-hal kecil, sehingga bisa jadi, kedepan, kita bisa punya kepekaan sosial pada hal-hal yang lebih besar. Laa dhoror, walaa dhiror, Tidak boleh memudhorotkan diri sendiri maupun orang lain. Mungkin, disinilah letak konsep yang disebut Gusmus sebagai “KESALEHAN SOSIAL”, memiliki kepekaan terhadap kondisi sosial sekecil apapun itu. Sebisa mungkin, kita hindari perilaku kita yang mungkin akan mengganggu orang lain, meskipun kemungkinannya kecil. Karena itu juga bernilai ibadah. Tapi, saya tidak tau dengan tragedi ibu-ibu yang sen kanan belok kiri, apakah itu manifestasi ketidakpekaan? atau memang faktor genetik wanita yang hanya dapat di transkripsi oleh RNA polymerase saat wanita itu sudah sah bergelar ibu-ibu? Saya tidak tahu.

Kehadiran Putri Kecil Kami

Kehadiran Putri Kecil Kami

Alhamdulillah, atas karunianya, telah lahir anak kami yg kedua pada hari Ahad, 28 Februari 2021 pukul 19.25 WIB di RSIA Livasya, Majalengka dalam kondisi sehat (W = 2900 g, H = 49 cm) melalui persalinan normal. Seorang putri di keluarga kami adalah anugerah yang sangat tidak terkira. Bagaimana tidak. Saya ini dua bersaudara, Cowok dua-duanya. Ibu saya tak punya anak istri. Mungkin anda bisa bayangkan betapa bahagianya Ibu saya, memiliki cucu putri di keluarga ini. Dan, sayapun sangat berbahagia. Selain karena memang kehadirannya saja sudah menjadi kebahagiaan yang luar biasa. Saya juga bahagia karena bisa memenuhi rasa penasaran ibu saya memiliki peri mungil nan lucu diantara kami.

Seperti adagium popoler bahwa dalam sebuah nama, tersirat sebuah doa dan harapan. FATHIA (Fathiyyah) terinspirasi dari peristiwa Fathu Makkah Rasulullah SAW, Penaklukan dengan Pembebasan, Revolusi tanpa darah. Atau yang seperti pepatah Jawa bilang, Menang tanpo ngasorake. Semoga kelak engkau menjadi seorang pemenang yang bijaksana, nak. Amin.

KAMILA, diambil dari nama nenek dari jalur ibu. Nenek saya adalah seorang janda dengan 5 anak yg semuanya msih kecil sejak suaminya (alm kakek) meninggal dunia dan berjibaku melawan kerasnya dunia, menjadi sosok ibu sekaligus bapak untuk anak-anaknya. Sewaktu usiaku 1 tahun, kedua orangtuaku berangkat ke Tanah Suci selama beberapa tahun. Selama orang tua saya disana, beliaulah yg mengurus saya. Bagi saya, nenek adalah contoh sederhana dari sosok wanita yang kuat dan luar biasa. Alhamdulillah hingga saat ini beliau saat ini masih diberi umur panjang, dan beberapa bulan lalu telah sembuh dari COVID-19. Semoga nenek saya senantiasa diberi umur panjang dan kesehatan. Amin. Kamila juga berarti sempurna. Saya tak mengharapkanmu menjadi seorang yg sempurna, nak. Karena kesempurnaan bukanlah milik makhluk yang fana seperti kita ini. Namun saya berharap dalam hidupmu nanti, engkau menjadikan sang Insan Kamil, Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan utamamu. Shollu ‘alannabi Muhammad.

PUTRI, seperti yang disinggung di awal tulisan, berangkat dari fakta bahwa aku hanya 2 bersaudara laki-laki dan anakku yg pertama juga seorang jagoan, jelas engkau adalah seorang PUTRI yg kami semua dambakan hadir di lingkaran keluarga ini, sayang.

FAUZIYA, seperti kakakmu, MUHAMMAD FAQIH ZEWAIL ALFAUZI, kemenangan, kesuksesan, kejayaan, semoga engkau mengilhaminya dalam kehidupanmu di masa depan nanti

FATHIA KAMILA PUTRI FAUZIYA

Welcome to the World, My princess!

Panggilannya? Aku & istriku sepakat utk memanggilnya dg sebutan TETEH. Artinya, belum ada rencana untuk mengendurkan giat reproduksi. Kamu siap gak istriku sayang? Hehe.

Dan, makasih buat Nida, sepupu saya yang baik hati, berkenan menemani dan banyak membantu kami berdua selama di rumah sakit. Sampai-sampai dibuatkan video yang keren. semoga kebaikanmu dibalas lebih oleh Allah Subhanahu wata’ala, amiiin.

Halo teteh cantik, semoga hidupmu dipenuhi keberkahan, amiiiin ya mujibassailin.

اللهم اجعلها برا تقيا رشيدا وأنبتها فى الإسلام نباتا حسنا

1st Wedding Anniversary, Kebahagiaan yang Makin Lengkap

1st Wedding Anniversary, Kebahagiaan yang Makin Lengkap

Besok adalah tepat tgl 4 Maret, dimana tahun lalu, saya telah mengucap ikrar menjadi seorang suami dari seorang putri yang berasal dari kaki gunung Bromo, tepatnya Poncokusumo, Kabupaten Malang.

Hari itu tentu merupakan momen yang unforgettable bagi kami. Bagaimana tidak, saat berangkat menuju rumah calon mertua saya saat itu, tujuannya hanya satu, yaitu khitbah/lamaran. Dasar sama-sama berkultur keluarga Islam tradisionalis alias NU kultural, tak hanya khitbah, akad nikah pun kami langsungkan setelah lamaranku diterima. KH. Mahfud, besan dari mertua saya adalah penginterupsi yg mengusulkan akad dadakan itu. Dengan diskusi singkat dipihak keluarga besar saya pada saat itu, akhirnya menyetujui untuk akad langsung. Semoga beliau selalu diberi kesehatan, bahagia dunia akhirat. Amin.

Dalam menjalani satu tahun pernikahan ini, alhamdulillah kami selalu diselimuti rasa bahagia, rasa syukur atas nikmat yang Allah berikan kepada kami, terkhusus dengan kehadiran jagoan cilik kami, Muhammad Faqih Zewail Alfauzi, ia adalah sosok pelengkap kehidupan kami berdua. Saya, istri dan kedua orang tua saya memanggilnya dengan sebutan kakak. Sebutan agar dia segera punya adik, eh.

Terimakasih saya dan istri ucapkan buat mamah dan bapa yg udh bikin surprise kue Anniversary yg luar biasa. Makasih juga utk semua yg ikut memeriahkan dan ikut merencanakan surprise ini.

Akhirnya, kami mohon doa kepada semua pembaca, semoga hidup kami selalu dalam berkah dan ridho Allah SWT. Amin.

Selamat Jalan, Pak Yos!

Selamat Jalan, Pak Yos!

Beliau adalah Prof. Dr. Soetijoso Soemitro, Guru Besar Biokimia FMIPA UNPAD. Sepeti pada judul tulisan ini, Kami memang memanggilnya Pak Yos. Dengan hem pendek dan tas laptop hitamnya, begitulah style beliau biasa masuk ke kelas kami. Tak lupa beliau membawa botol aqua tanggung yang jika habis, beliau isi kembali dengan air galon yang tersedia di ruang kelas kami.

Perkuliahan saya dengan beliau hanya semester kemarin, sekitar 8 pertemuan. Konsentrasi yang saya ambil memang berbeda dengan disiplin Pak Yos, beliau Biokimia, saya Kimia Organik. Sehingga perkuliahan di semester selanjutnya tidak berkaitan dengan beliau. Perkuliahan beliau ini juga berbeda dengan perkuliahan lainnya. Jika perkuliahan lainnya dilaksanakan di kampus Jatinangor, perkuliahan beliau bertempat di kampus UNPAD Singaperbangsa, Bandung.

Agak malas memang jika harus menempuh perjalanan Jatinangor-Singaperbangsa, tau kan macetnya Bandung, apalagi perkuliahan dimulai bakda ashar, waktu dimana manusia kelas pekerja Bandung pulang kerja atau mungkin gantian shift, macetnya jelas maknyus bosss, dan setelah perkuliahan selesai saat adzan maghrib, adalah jadwalku pulang ke Majalengka dengan waktu tempuh sekitar 3,5 jam dengan Sepeda Motor! Makin maknyusss.

Meski demikian, saya cukup antusias dengan perkuliahan beliau. Mungkin beberapa mahasiswa juga merasakan, meski tidak semuanya, biasanya perkuliahan dengan seorang dosen dengan titel Profesor punya kesan tersendiri dibanding dengan yang lainnya. Contohnya ya pak Yos ini, jika biasanya matakuliah biokimia ini diajarkan dengan materi yang cukup sistematis, dari pengertian, macam-macam, nomenklatur, fungsi, dst. Kelas professor macam beliau ini agak berbeda. Seringkali beliau mengajak kami melihat peristiwa dalam kajian biokimia secara out of the box, bahwa biomolekul tak melulu ttg hafalan-hafalan, tapi mengajak kami menekankan pemahaman atas konsep keberlangsungan hidup. Bahwa biomolekul memiliki peran sentral dalam kompleksisitas kerja organ-organ makhluk hidup. Bisa dibilang, cara mengajarnya lebih filosofis.

Tetapi, entah karena disengaja, atau memang karena faktor usia, dalam setiap perkuliahannya, beliau seringkali mengulang-ulang penjelasan yang sudah beliau jelaskan dipertemuan sebelumnya. Yang paling berkesan dalam memori kami adalah ilustrasi mengenai protein signaling histamin. Itu beliau jelaskan hampir setiap perkuliahan beliau. Namun husnudzon saya, beliau sengaja mengulangnya agar kami lebih mengingatnya. Jika dipaksakan dengan cocokologi, mungkin Pak Yos sedang mempraktekkan metode ala pesantren, yakni mudzakarah atau mutholaah. Hehe. Semakin sering diulang, maka semakin tertancap diotak kita.

Senin kemarin (12/2/2019), saya membaca pesan WA grup yg memberitahukan bahwa beliau telah mendahului kami menghadap kepada-Nya. Sungguh pertemuan yg singkat bersama beliau, namun cukup meninggalkan kesan yang mendalam. Semoga ilmu yg beliau sampaikan pada kami bermanfaat dan menjadi jariyah untuk beliau. Selamat jalan pak Yos.

Barisan Yalal Balad dan Pengantin yang Malang

Barisan Yalal Balad dan Pengantin yang Malang

Saat mendengar kabar bahwa sahabat seangkatan ada yang hendak melepas lajang, saya yg sekarang sudah dilucuti status kemahasiswaannya dan menjadi pengangguran merasa terpanggil untuk memenuhi undangannya, terlebih si mempelai wanita nya juga teman seangkatan saat di pesantren dulu. Ini adalah undangan nikah pertama dari teman di pesantren yang bisa kuhadiri. Dalam undangan-undangan pernikahan sebelumnya, tentu saya tidak bisa hadir, jarak dan waktu jadi alasan logisnya. Saya masih dalam proses berjuang menjadi pengangguran bergelar di bumi Ken Arok.

Saat tiba di Garut, sungguh tak ada yg membuat saya keheranan, tidak ada yang berubah daru mereka, sahabat-sahabat saya masih sama seperti dulu, malah mereka terheran-heran kepada saya menanyakan bagaimana bisa saya mengembang sebesar ini? Apa terlalu banyak ragi roti? Hahaha. Ah, sudahlah. Aceng Gehu, Sang pengantin juga tetap tak berubah, tetap dengan kepalanya yg besar, untung besarnya tak bertambah, bukan begitu, Ceng?

Setelah selesai berfoto dg pengantin, kami singgah di rumah salah satu sahabat di daerah wanaraja, ihsan namanya. Ikan dan Nasi Liwet jadi hidangan yang disajikan. Tak lupa sambal menjadi pelengkap kenikmatan hidangan malam itu. Saya pun akhirnya terlelap melepas rasa lelah setelah perjalanan yg cukup jauh.

Esoknya, dengan beberapa upaya lobbying, kami kembali ke lokasi pernikahan, kali ini bukan acara formal resepsi, hanya forum sahabat heureuy ngalor ngidul sambil menginterogasi si Aceng, sang pengantin. Kami menamai gerakan kami “Ya lalbalad”, sebutan yang cukup rahasia untuk bisa saya ceritakan dalam tulisan ini. Ini demi melindungi Sang kreator, Rizka dan Adam dari jeratan hukum, hahaha.

Akibat dari proses mediasi yang berhasil, sore harinya kami mengunjungi Wisata Darajat Pass, pemandian air panas terkenal di seantero jawa barat. Tak lupa kami nyanyikan lagu “Ya lalbalad” (balad= sahabat/koncokentel) sebagai ucapan terimakasih. Kami videokan dan dikirim ke korban pemalakan kami, siapa lagi kalau bukan kedua mempelai teman kami. Berendam di air hangat dalam cuaca dingin itu kenikmatan yg luar biasa. Aslina dak. Maknyuss.

Kami pulang dengan perasaan puas, undangan plus plus, gumamku. Sepulang dari Darajat, saya berpisah dengan sahabat2, mereka masih hendak mengunjungi Annur Malangbong, tempat gus Bahar. Kabarnya, bakakak ayam jadi menu hidangan disana. Luar biasa militan barisan “Yalalbalad” ini, pikirku.

Sampai jumpa lagi komando! Rizka, adam, jajang, hilmi, rendi fatur, ihsan, yayang, dll.

Mem-Bandung Episode 2

Mem-Bandung Episode 2

Saya cenderung tidak punya teman di lingkungan tempat tinggal saya. Karena sejak kecil saya menghabiskan waktu diluar kandang. Sehingga bila bersinggah di suatu Kota yang ditinggali sahabat saya, entah memang itu rumahnya, atau memang karena alasan studi maupun pekerjaan. Saya harus mengesampingkan rasa sungkan dan sejenisnya. Jadi, merepotkan mereka sudah saya anggap sebagai hal yang biasa saja. Saya berpikir positif saya, semoga saja mereka berpikir sama seperti saya. Selepas perpisahan di pesantren, karena jarak dan kesibukan masing-masing, saya dan mereka jarang atau bahkan tidak pernah bertemu sama sekali. Bertahun-tahun. Maka meluangkan waktu untuk sekedar ngopi-ngopi cangkrukan melepas kerinduan sehari dua hari saya pikir tidak akan mengganggu rutinitas mereka. Toh, mereka juga masih Jomblo. Haha.

Kunjungan kedua saya ke Bandung dengan motoran selama 3 jam saya coba manfaatkan untuk menjalin silaturahmi dengan sahabat-sahabat lama. Rute pertama, yang saya singgahi malah seorang betina, Ijul namanya. Ia sahabat sejak mesantren di Haurkuning, Tasikmalaya yang hingga sekarang tetap istiqomah melanjutkan petualangannya di penjara suci dekat UIN. Bedanya, ia sambi aktivitas kuliah dan pesantrennya dengan pekerjaan sebagai tutor salah satu lembaga privat.

“Masih jomblo? Belum move on ti si eta?”, canda saya.

Jawabannya cukup panjang, mungkin ada sekitar 3 paragraf jika dirangkum, hahaha. Saya mengobrol gak terlalu lama, karena memang ketemu bakda maghrib, dan ia memang ada jadwal mengaji bakda isya di pondok. Selanjutnya, motor saya gas lagi dari Cibiru ke Cihanjuang. Lumayan jauh. Disitu saya cuma numpang ngorok di kosan sepupu.

Karena cuaca yang begitu sejuk dan memagerkan, saya baru keluar kosan di sore hari. Saya memberanikan diri menghubungi mas muwafiq, senior PMII Kota Malang yang tempo hari ada insiden dengan saya, hehe. Meski begitu, silaturahmi harus tetap dijaga, toh kami sudah bermaaf-maafan. wkwkwk. Saya bertemu dengan beliau di sebuah warkop di tengah Kota Bandung, saya lupa namanya. Kemudian saya diajak lanjut ngopi di kediamannya di daerah Ciumbuleuit. Sungguh suasana yang memagerkan, hawa sejuk malam menyebabkan penyeruputan kopi dan pembakaran asap sederhana lebih cepat dan intens. Sayangnya, saking asyiknya ngobrol, kami jadi lupa mengabadikan momen ngopi itu. Hilang sudah satu bahan untuk diupload. Tapi yang terpenting, kami berbicara banyak hal, dari mulai organisasi, ideologi sampai kehidupan. Maturnuwun, mas.

Esoknya, saya mengagendakan bertemu dengan sahabat semasa mesantren di Al Hikmah 2 Brebes dulu, ada azwar, desainer dan juga kaligrafer handal yang menurut galih sudah menjadi “budak kapitalis”, hahaha. Nah, galih ini sejak keluar pondok sampai sekarang ini baru ketemu, total 8 tahun hilang tanpa jejak. Yang bikin saya kaget adalah ketika ia membuka helmnya, rambutnya luar biasa. Selain galih, ada samsul. Kalo Samsul ini calon perawat dengan senyum pepsodent mata merem yang istiqomah dia jaga hingga sekarang. hahaha.

Akhiron, terimakasih atas sambutan yang hangat dari semua sahabat yang saya kunjungi. Semoga gak kapok jika saya berkunjung kembali, hehe. Semoga silaturahmi kita tetap terjaga, kata Nabi SAW, Silaturahmi itu menangguhkan kematian dan memperluas rezeki. Saya sangat meyakini hadits tersebut. Bagaimana tidak? karena dengan bersilaturahmi, kita bisa melepas beban dan penat dengan bercanda tawa. Bukankah suasana hati tanpa beban dan perasaan senang mampu meremajakan usia sel tubuh kita? Dan karena dengan Silaturahmi juga, siapa yang tahu kita bisa bekerja sama membangun suatu bisnis. Bukankah semakin banyak kita mrmbangun relasi, makin banyak peluang kita dlam membangun relasi bisnis? Salam.