Saya tercengang ketika melihat susunan acara masa orientasi santri baru yang tertulis bahwa saya harus mengisi materi “Menjadi Wirausahawan Muda”. Bagaimana tidak, saya hanyalah pedagang daring kecil yang terombang-ambil dengan persaingan yang semakin sengit. Disamping itu, 90% perdagangan itu telah dihandle oleh istri saya. Saat ini saya lebih dominan menyibukkan diri dengan menjadi dosen dan guru dengan segala beban administrasinya.
Praktis, saya memutar otak untuk mencoba mencari landasan-landasan pemikiran yang unik guna memberikan sudut pandang yang baik agar santri punya geliat mengembangkan jiwa enterpreneurshipnya. Minimal jangan seperti saya lah, hehehe.
Disamping dari beberapa pengajian yang saya ikuti, dalam pencarian, saya mendapatkan sudut pandang yang unik tentang bagaimana Islam memandang kekayaan materiil yang mungkin berbeda dari pandangan umum. Mari kita runut dari hulunya.
Tugas Manusia
Terdapat 2 tugas dari Allah swt bagi manusia di muka bumi ini, yaitu abdullah dan khalifatullah. Abdullah berlandaskan pada ayat “Wamaa kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun.”, sedangkan khalifatullah berlandaskan pada ayat, “Waidz qoola robbuka lil malaikati inni jailun fil ardli kholifah”, kholifah disini diartikan sebagai “penugasan Allah kepada manusia untuk memakmurkan bumi.”. Singkatnya, abdillah mewakili hablumminallah (dimensi peribadatan), khalifatullah mewakili habluminannas dan hablumminal alam (dimensi sosial-lingkungan).
Sebagai abdullah, ini sudah non-debatable, paling tidak laksanakan sebaik-baiknya 5 rukun islam, yakini sepenuh hati akan 6 rukun iman, maka kita sudah dianggap sebagai abdullah ya baik. Namun khalifatullah ada aspek yang cukup rumit dan dapat menjadi diskursus yang sangat menarik untuk dibahas.
Menjadi khalifatullah, memakmurkan bumi, bisa dibilang bagaimana kita sebagai manusia bersosial, berinteraksi dengan sesama manusia. Selain itu juga bagaimana kita mengelola anugerah alam dengan sebaik-baiknya. Dari sini kita dapat mengambil benang merah bahwa menjadi khalifatullah berarti kita harus mengambil peran dalam kehidupan dimuka bumi ini. Kita masing-masing pribadi harus memiliki profesi sebagai pengejawantahan dari tugas manusia sebagai khalifatullah fil ardl.
Profesi dalam kehidupan manusia ini kita tahu bermacam-macam dan dinamis mengikuti perkembangan zaman. Salah satu profesi yang masih eksis hari ini adalah menjadi seorang enterpreneur, pebisnis, pedagang, dan sejenisnya. Dalam islam, bisnis adalah sesuatu yang tergolong mu’amalah dan hukumnya boleh dengan kaidah-kaidah tertentu. Profesi berdagang jika sukses, maka kita akan memiliki jumlah kekayaan materiil atau uang yang berlimpah, sehingga kita akan dikenal sebagai konglomerat, OKB, atau bahkan istilah saat ini, Crazy Rich.
Disisi lain, dalam pembahasan dibanyak pesantren bahkan madrasah, seringkali kita diberi tahu untuk tidak perlu mengejar kekayaan materiil yang “sifatnya duniawi”, lebih baik kejarlah hal-hal yang “sifatnya akhirat.”. Pada prinsipnya, pernyataan seorang ustadz (misal) demikian itu tak dapat disalahkan. Namun terkadang, statemen itu malah dijadikan dalih dan tameng akan ketidakmampuan kita dalam mencapai kekayaan materiil. “Sudahlah, dalam hidup kita tidak perlu menjadi kaya, banyak uang, yang penting barokah, perbanyak ibadah, mati husnul khotimah, toh, harta gak dibawa mati!”, tegas seorang ustadz di Kampung.
Bagi saya, dari statemen ini kita dapat menggarisbawahi dua hal. Pertama adalah kita tidak perlu menjadi kaya. Kedua, harga tidak dibawa mati. Temuan saya akan mencoba memunculkan diskursus akan kedua hal tersebut, karena ternyata, Islam menganjurkan kita untuk menjadi orang kaya, dan Islam juga menyatakan bahwa harta itu dibawa mati!
Kita Harus Jadi Orang Kaya
Pertama, kita dianjurkan menjadi kaya secara finansial, paling tidak, seorang Muslim harus mandiri secara finansial. Kita dapat mencontoh Rasulullah soal kemandirian, sudah yatim sejak kecil, Rasulullah muda berjualan hingga ke syam (suriah), hingga akibat dari aktivitas niaganya, bertemu dengan Siti Khadijah yang kemudian menjadi istrinya. Mahal Rasulullah kepada Khadijah juga tidak main-main, 20 ekor unta betina dan 350 gram emas, yang jika dirupiahkan nominalnya setara 1,4 Miliar! Apakah mahar demikian bisa kita kategorikan sebagai mahar dari seorang mempelai miskin? Tentu tidak! Maka Rasulullah adalah juga seorang yang kaya dan mandiri secara finansial.
Ada satu ayat menyatakan, “waidza qudhiyati sholatu, fantasyiru fil ardl, wabtaghu min fadlillah”, artinya silahkan manusia bertebaran di muka bumi untuk mencari rezeki. Disamping itu, dengan kita memiliki harta yang melimpah, kita dapat bersedekah di jalan dakwah, berkontribusi dalam banyak hal untuk kebaikan agama, misal memberikan sumbangsih pengembangan pesantren, beasiswa pendidikan, santunan yatim dan dhuafa, dan lain-lain. Tanpa kekayaan, dapatkah kita melakukan itu semua? Sahabat Rasulullah saja, macam Utsman bin Affan, Abdurrohman bin auf dan yang lainnya adalah konglomerat, sultan, alias crazy rich, sehingga beliau-beliau ini dapat banyak membantu dakwah Rasulullah, khususnya yang terkait dengan sokongan finansial.
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj menyatakan, nafsu ghodobiyah itu jangan dibuang, tapi harus dikelola hingga menjadi Himmah. Nafsu ghodobiyyah, jika di manage, diganti niatnya menjadi niat-niat kebaikan, motivasi-motivasi kebajikan, maka itu bisa menjadi Himmah atau Cita-cita. Himmah untuk kita menjadi Kaya, Himmah untuk menjadi Sukses. “SAYA HARUS KAYA, SAYA HARUS NOMOR 1, dll.”
Harta Ternyata Dibawa Mati
Kedua, harta itu ternyata dibawa mati! Dari mana saya simpulkan itu? Dari hadits “Idza matabnu adama, inqothoa amaluhum, illa tsalatah, shodaqotun jariyatun, wailmu ….. dst.”. Menurut hadits yang diriwayatkan Imam Muslim ini, jika seorang manusia mati, maka terputuslah semua amalnya. Ia sepenuhnya akan mempertanggungjawabkan segala amal perbuatannya di dunia. Jika sering berlaku buruk, maka amal buruk dominan, siksa kubur menanti. Begitupun sebaliknya. Manusia tersebut tidak bisa lagi menambah amalnya untuk menutupi kekurangan-kekurangan amal baik di dunia agar dapat meringankan hukuman yang di terimanya.
Untungnya, kita adalah ummat kanjeng Nabi Muhammad SAW, dimana banyak diskresi yang diberikan, termasuk dalam perihal ini. Jika kita sudah tidak punya opsi memperbanyak amal. Kita harus pandai melakukan cheating, yaitu berinvestasi dengan portofolio keuntungan 100%. Bentuk investasinya ada 3, yakni shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat secara kontinyu, dan anak sholih yang senantiasa mendoakan.
Dari ketiga profil investasi tersebut, yang mungkin kinerjanya berada dalam kontrol kita adalah shodaqoh jariyah. Mengapa? Ilmu yang bermanfaat dan doa anak sholeh itu lebih dominan berada di luar kontrol kita. Kita mengajarkan ilmu agar bermanfaat, belum tentu murid kita memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan sehari-hari. Seperti saya contohnya, tidak semua murid saya mengamalkan ilmu kimianya dalam kehidupan sehari-hari bukan? Yang mungkin manfaat adalah mengajarkan ilmu agama untuk ibadah praktis. Sayangnya tak semua orang punya waktu dan kapasitas mengajarkan ilmu agama.
Doa anak sholeh yang mendoakan. Yakinkah kita bahwa anak kita tak akan lupa untuk senantiasa mendoakan? Tentu harapan kita begitu. Tapi lagi-lagi, itu diluar kontrol kita. Kita boleh mendidik dan mengajarkan anak kita sebagai birrul walidain, tetapi lagi-lagi, itu bergantung kepada anak kita, di luar kontrol kita.
Maka, satu-satunya investasi amal dengan return yang dapat terprediksi dengan baik adalah shodaqoh jariyah, alias shodaqoh yang memberikan kemanfaatan berkelanjutan bahkan hingga kita telah meninggal dunia. Membantu pembangunan masjid, pengembangan lembaga pendidikan pesantren, mensupport kegiatan keagamaan adalah bentuk jariyah yang tepat selama anda memilih profil masjid, sekolah, pesantren dan organisasi keagamaan yang tepat. Ya tentu anda harus lihat, siapa pemimpinnya, siapa pelaku-pelakunya, siapa yang mendapat manfaatnya, dan bagaimana portofolionya, serta “return per year” nya.
Sepanjang dan sejauh saya memperhatikan, belum pernah saya temui masjid bangkrut. Dari 500 lembaga pendidikan, paling hanya 1-2 saja yang tak berlanjut, karena banyak sekali ustadz-ustadz kampung yang ikhlas mengajar tanpa meminta kontribusi dalam bentuk uang kepada orang tua muridnya. Organisasi keagamaan? Jika ia telah eksis hingga puluhan tahun bahkan satu abad macam NU dan Muhammadiyah, anda tak perlu ragu untuk jariyah melalui mereka. Maka, investasi jariyah demikian adalah pilihan tepat.
Sayangnya untuk bershodaqoh jariyah, kita harus menjadi seorang yang mapan secara finansial. Bagaimana anda bisa jariyah dengan nyaman jika untuk menyambung hidup saja anda kesulitan. Yang ada anda tervonis hadits “Kaadal faqru an yakuna kufron”, kefakiran mendekatkan diri kepada kekafiran. Entah faqir disini mau dianggap faqir harta maupun faqir hati. Saya sulit melepaskan keyakinan bahwa yang faqir harta akan lebih banyak yang faqir hati. Maka, menjadi kaya seperti pada poin pertama adalah salah satu prasyarat penting sebelum kita bisa shodaqoh jariyah.
Dengan manajemen nafsu ghodobiyah menjadi himmah, ambisi dan keinginan untuk meraih kemapanan finansial untuk mendukung aktivitas dakwah islam adalah hal yang dianjurkan. Maka silahkan anda-anda semua “fantasyiru fil ardl”, jangan termakan dawuh bahwa harta tidak penting. Karena jika kita orang yang kaya secara finansial, kita akan lebih leluasa untuk shodaqoh jariyah, untuk pesantren A 10 M, untuk masjid 20 M, untuk NU 10 M. Dimana shodaqoh jariyah pahalanya mengalir hingga kita mati. Dengan beginilah, dapat kita asumsikan bahwa harta yang kita investasikan sebagai shodaqoh jariyah, pahala jariyahnya akan dibawa mati, dan senantiasa menemani kita selama kemanfaatan dari jariyah itu masih terus berlanjut dari generasi ke generasi. Sebaliknya, harta yang anda investasikan dalam perbuatan-perbuatan buruk juga akan dimintai pertanggungjawaban. Pada intinya, semua harta akan dibawa mati, dipertanyakan oleh Sang Maha Kaya.
Maka, mari kita berlomba-lomba menjadi pribadi yang memiliki kekayaan finansial, tentu dengan motivasi dan tujuan yang baik, dengan sebuah himmah. Kita jangan terjebak dalam pengkotak-kotakan duniawi dan ukhrowi yang rigid. Bahwa harta adalah duniawi, sholat adalah ukhrowi. “Kam min amalin yatashowwaru bisuroti a’amaliddunya, fashoro min a’malil akhiroh bihusninniyyat, wakam Kam min amalin yatashowwaru bisuroti a’amalil akhiroh, fashoro min a’maliddunya bisu’inniyyat.”
Beberapa bulan terakhir memang sedang ramai-ramainya problematika persoalan nasab. Keabsahan nasab Baalawi dipertanyakan oleh beberapa kalangan. Meski menurut beberapa sumber memang pertanyaan keabsahan itu sudah ada sejak dulu, tapi KH. Imaduddin Utsman adalah orang yang “memviralkan” polemik keabsahan nasab Baalawi ini.
Tak ada api jika tak ada yang menyulutnya, konon yang saya dengar, di beberapa kesempatan, ada oknum habib yang berstatemen kontroversial. Tak perlu saya jelaskan apa-apa yang menjadi kontroversi itu, sepertinya banyak yang sudah menyimak. Hal itulah yang menyulut kubu sebelah yang konon adalah keturunan walisongo. Mereka geram dan kemudian meng-counternya, salah satunya dengan menggulirkan isu terkait keabsahan nasab Baalawi.
Seingat saya, isu ini sudah bergulir sejak tahun lalu. Meski di level nasional sudah mulai mereda, tapi dibeberapa kalangan yang saya temui, ini masih tetap masuk ke dalam pembahasan obrolan. Saya tak terlalu ambil pusing dengan isu ini. Jujur saya cenderung menghindari dialog seputar nasab ini. Tentu karena ketidaktahuan saya dalam keilmuan nasab. Adalah hal yang membagongkan ketika seorang yang tidak punya kapasitas dalam suatu bidang kemudian berani berbicara seolah-olah ia punya kapasitas. Eh, tapi bukankah di Indonesia itu lumrah? Wkwkwk.
Terlepas dari semua yang diperdebatkan. Saya tentu pernah menyimak beberapa podcast dan dialog yang terjadi. Tentu menyenangkan menyimaknya karena ada poin-poin dalam perdebatan yang kemudian menjadi ilmu baru bagi saya yang faqir ilmu ini. Beberapa hal maupun anggapan yang salah kaprah kemudian bisa terklarifikasi, misal beberapa poin dibawah ini.
Pertama, ternyata Dzurriyah Nabi SAW bukan cuma dari klan baalawi. Asli, sebelumnya saya yang goblok ini taunya satu-satunya dzurriyah Nabi SAW di dunia ini adalah beliau-beliau yang bermarga Al Haddad, Alaydrus, bin Yahya, Baharun, Barakwan, dll. Selain itu tidak ada. Eh, ternyata ba alawi ini hanya salah satunya, masih banyak juga keturunan Nabi dari jalur lain. Ada yang jalur Maroko, Irak, dll. Saya juga baru tau ada panggilan lain untuk keturunan Nabi SAW lainnya seperti Sayyid dan Syarif. Masalahnya, term yang digunakan itu Baalawi, saya kira keturunan Sayyidina Ali bin Abi Thalib, dimana istri beliau adalah Siti Fatimah. Heleh heleh.
Dan fakta lanjutannya, ternyata Walisongo pun disinyalir merupakan dzurriyah Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Yang paling mudah tentu melihat dari nama Sunan Gunung Jati yang dipanggilnya Syeikh Syarif Hidayatullah, “Syarif” ini konon merupakan panggilan untuk dzuriyah Nabi SAW yang menduduki posisi strategis tertentu di dalam masyarakat, misal raja, gubernur, dll. Meski “keabsahannya” pun juga dipertanyakan oleh pihak baalawi, terlepas dari itu, anggaplah semua ini adalah temuan baru saya pribadi dalam memahami fenomena ini.
Kedua, ternyata keyakinan bahwa nasab yang diakui dari jalur laki-laki ini juga bagian dari tradisi arab, atau mungkin tradisi trah baalawi. Sedangkan di negara-negara lainnya, nasab dari jalur perempuan pun tetap dapat diakui. Ya memang saya yang agak “liar berpikir” ini mencoba mencari landasan argumentatif kenapa yang diakui hanya dari jalur laki-laki ini belum ketemu yang bener-bener mengena. Bagi saya legitimasi laki-laki ini bisa dibilang terlalu patriarkis. Akhirnya saya bisa memahami ya bahwa mau jalur laki-laki ataupun jalur perempuan, semua sama-sama diakui, setara dan lebih rasional.
Gak mungkin juga kan, laki-laki dengan spermanya, tanpa ada sel telur, tiba-tiba sel sperma berkembang menjadi si Udin, begitupun sebaliknya. Artinya, pekerjaan menghasilkan keturunan adalah aktivitas yang melibatkan pertemuan biologis antara dua sel, yaitu sel sperma dan sel telur. Gak mungkin fertilisasi terjadi kalo mereka gak ketemuan. Ini saya gak bicara mukjizat, kuasa Allah semisal cerita Siti Maryam ya, ini kapasitas logika untuk kita-kita ini yang levelnya tentu berbeda dari Siti Maryam dan Nabi Isa. Sunnatullahnya ya dua barang itu harus bertemu.
Artinya, sel telur dan sel sperma itu saling membutuhkan. Keduanya dalam posisi yang setara. Tidak bisa kita agung-agungkan salah satu. Bahwa sperma lebih superior dibanding sel telur, ataupun sebaliknya. Artinya saat sudah brojol itu jabang bayi, dianggap anak dari kedua orang tuanya, bin nya bisa ke ibu atau ke bapak, sama-sama mulia dan diakui secara nasab. Itu juga yang dilegitimasikan oleh KH. Asrori Surabaya dengan Al Ishaqi itu dinisbatkan kepada Maulana Ishaq yang jika diruntut hingga ke KH. Asrori, ada jalur nasab perempuan. Tapi beliau tetap mengabsahkannya untuk penisbatan. Paten!
Sebetulnya ada poin ketiga keempat kelima yang perlu saya tulis juga, tapi biar gak terlalu panjang, kalo kepanjangan jadi malas untuk baca bukan? Mungkin saya akan tulis kemudian, itupun kalau gak lupa.
Nasab bagi saya, perlu masing,masing kita tau, namun bukan untuk digembar-gemborkan ke orang lain, bahwa kita keturunan si a, si B, dan kita secara tidak langsung minta dihargai dan dihormati, pengen dipanggil habib, syarif, sayyid, kyai, gus waakhwatuha. Kita perlu mengetahui nasab kita untuk refleksi intrapersonal, sejauh mana kita dapat meneladani datuk kita apabila mereka adalah orang-orang yang sholih. Terkadang saya malu, mendengar cerita sosok kakek yang hidupnya ikhlas mengayomi masyarakat, sedang saya ini masing setengah-setengah, alias jejengkean. Tak mampu sepenuhnya meneladani.
Akhiron, terlepas kita dari kita keturunan siapa, anak siapa, cucu siapa, cicit siapa, yang membedakan antara kita semua ini adalah ketaqwaannya saja. Kalaulah ada seorang habib, ia ahli maksiat, ya masuk neraka juga, tak perlu kita ikuti. Kalaulah ada yang bukan habib, namun sholeh dan berilmu, ya kita ikuti. Begitupun sebaliknya. Mari ciptakan sejarah kita sendiri, tak perlu mengekor dan sembunyi dibalik kebesaran nasab dan keluarga.
Dalam tradisi keislaman di Indonesia, kata barokah sangatlah tidak asing di telinga. Seringkali itu diucapkan sebagai bagian dari doa-doa kebaikan untuk kita sendiri maupun orang lain. Bahkan, tak terhitung berapa toko-toko, warung-warung, perusahaan-perusahaan, dari berbagai segmen, berbagai level, menggunakan kata “barokah”, atau “berkah” sebagai identitasnya. Jika ada orang atau instansi yang mau melakukan sensus penduduk Indonesia yang menggunakan kata barokah untuk nama bisnisnya, saya jamin angkanya akan lebih dari 1 juta.
Tak terhitung pula berapa redaksi doa-doa sehari-hari yang dilantunkan mengandung kata barokah, bahkan doa mau makan pun ada kata barokahnya, doa minta rezeki, doa menyambut bulan ramadhan, doa saat khutbah Jumat, hingga doa untuk pernikahan. Semuanya berkah. Apalagi di kalangan santri, meminum kopi atau teh bekas kyai, mencium tangan kyai, orang tua guru, maupun ustad, dan mungkin akhir-akhir ini, berfoto dengan kyai dan tokoh besar, biasanya kita dimotivasi karena ingin mendapatkan barokahnya.
Namun, apa arti sesungguhnya dari kata barokah? Apakah sesuatu yang bersifat klenik? Dorongan spiritual? Hal Gaib? Aura positif? Atau mungkin laduni? Seperti yang seringkali disampaikan oleh para pendakwah, ketika kita sering berkumpul dengan orang-orang sholeh, orang-orang yang berilmu, maka nantinya kita akan mendapatkan barokahnya. Ketika kita mencium tangan kyai, lalu bibir kita akan fasih dalam berbicara dan presentasi? Atay ketika kita tempelkan kening kita pada tangan guru kita, maka pikiran kita menjadi terbuka menerima ilmu?
Ya, semua itu tak perlu dipertentangkan dengan rasionalitas. Kebanyakan dari keyakinan-keyakinan itu ada dalilnya, ada riwayatnya. Namun, jika kita ingin lebih mengenal kata “barokah” dengan lebih progresif dan “rasional”, maka tradisi intelektual islam juga telah memiliki penjelasannya. Siapa tau anda-anda yang membaca tulisan ini berprofil lebih rational oriented yang “kurang” percaya dengan penafsiran klenik dari kata barokah.
Imam Ghazali menafsirkan “Barokah” sebagai “زيادة الخير” yang berarti bertambahnya kebaikan. Adapula ulama lain yang menyebutkan bahwa البركة هي الزيادة والنماء في الخير yang berarti “Bertambah dan bertumbuhnya kebaikan”. Dari kedua definisi ini, saya kira cukup clear bahwa barokah harus punya implikasi atau dampak, yakni kebaikan yang bertambah, dan kebaikan yang terus bertumbuh dan seterusnya. Maka, semisal beberapa waktu lalu kita baru bertemu seorang ulama, mengharap berkahnya, kita cium tangannya, berfoto dengannya, tetapi setelah itu kita masih malas untuk belajar, malas untuk bekerja, malas untuk berbuat baik, maka sejatinya kita belum mendapatkan berkah dari pertemuan itu.
Sehingga, untuk mendapatkan semangat meraih barokah dari seorang tokoh/kyai, kita harus punya konstruksi dalam pikiran untuk menghadirkan motivasi meniru dan meneladani keberhasilan dan keilmuan kyai/tokoh tersebut. Pelajari profilnya, bagaimana upayanya hingga mendapatkan kedudukan seperti saat ini, lalu motivasi diri kita, lakukan kebaikan-kebaikan yang paling tidak sama dengan yang telah diteladankan. Tidak bisa anda dapatkan barokah hanya dari sekedar mengaji sembari ketiduran atau main hape, lalu anda kebagian nyeruput kopi kyai, lalu anda tidur/main hape lagi. Artinya, barokah bukanlah sesuatu yang mudah dicapai, barokah bukan barang murahan, dan barokah tidaklah “GRATIS”.
Meminjam istilah Ketua PW GP Ansor Jawa Barat, Kang Deni Ahmad Haedari dalam suatu kesempatan, barokah ini ibarat “Laba” didalam bisnis. Jika kita ingin mendapatkan laba, ya kita harus jualan dulu. Dan kita tau, mendapatkan laba besar dari berjualan bukanlah sesuatu yang mudah, perlu usaha ekstra, perlu upaya yang cerdas dan cermat. Mana mungkin anda tidak berjualan lalu anda berharap langsung dapat laba. Begitupun untuk mendapatkan keberkahan atau barokah yang hakiki, tak bisa anda dapatkan dengan hanya kita mencium tangan kyai, lalu kita berlalu seolah tak termotivasi apapun. Barokah bisa kita dapatkan ketika setelah mencium tangan kyai, kemudian muncul semangat dan motivasi untuk meneladani, lalu kita melakukan upaya-upaya yang sudah diteladankan oleh beliau-beliau. Itulah hakikat barokah yang “paling tidak” saya yakini.
Maka, dalam setiap doa-doa barokah yang dipanjatkan, sejatinya ada makna yang sangat mendalam. Memohon ilmu yang barokah, berarti mengharap ilmu yang didapatkan dapat berdampak dan bermanfaat secara luas. Rizki yang barokah, maka rezeki yang didapatkan bisa dialokasikan untuk kerja-kerja kebaikan yang meluas. Rumah tangga yang barokah, berarti suami istri, anak, cucu mampu berperilaku baik dan meneladani kebaikan-kebaikan rumah tangga pendahulu, dan seterusnya. Dan saya kira, untuk mencapai ilmu, rizki, rumah tangga yang barokah semacam itu bukan hal yang mudah, banyak godaan, cobaan, ujian yang merintangi. Begitulah barokah, mudah diucapkan bahkan menjadi nama bagi jutaan warung di Indonesia, akan tetapi untuk mendapatkannya, butuh upaya yang tak mudah, kita harus konsisten melakukan kerja-kerja kebaikan, menambah perbuatan baik, menumbuhkan perilaku baik, layaknya pohon yang terus menerus menumbuhkan cabang dan rantingnya.
Akhiron, hemat saya baiknya kita mencoba tak mendangkalkan makna barokah dengan menafsirkannya sekedar mencium tangan kyai kemudian berlalu begitu saja. Barokah lebih progresif dari itu. Cium tangannya, ambil motivasinya, tiru semangatnya, raih dan tumbuhkan kebaikannya. Sekali lagi saya tegaskan, tak ada salahnya berkeyakinan “barokah cium tangan wolak walik”, tapi lebih dari itu, karena kita tasawwufnya imam ghazali, bukankah antara hakikat dan syariat harus proporsional? Yuk, makan siang di Warung Barokah depan Rumah, hehe.
Idul Fitri adalah momentum kemenangan. Ada yang mengartikannya sebagai “Kembali Suci”, ada juga yang mengartikannya “Kembali makan”. Keduanya bagi saya benar, satu secara etimologi, satunya secara terminologi dan filosofis.Sesuai judul, saya ingin menguraikan beberapa keistimewaan Idul Fitri tahun ini dibanding idul fitri sebelumnya versi saya. Dan tentu, tulisan ini tak bermutu, karena bisa jadi ada poin yang bagi anda sangat receh, salah siapa juga anda baca, hehe.
1. Perut saya
Transformasi fisik saya yang tidak lagi buncit tentu membuat saya menjadi lebih percaya diri untuk berfoto bersama keluarga. Tak perlu lagi menkempis-kempiskan perut, tak perlu lagi menyimpan senyum lebar. Karena saya tak perlu khawatir wajah saya yang bulat menjadi gepeng saat senyum lebar akibat daging di pipi, wkwkwk. Tentu dibalik itu, ada transformasi mental, saat berpuasa, saya lebih semangat dan lebih energik. Ibadah semakin khusyu, koyok iyo iyo o, wkwkwk.
2. Anak ketiga
Tentu itu jadi poin pembeda, kalo tahun kemarin baru dua. Sekarang sudah ada 3 ummat yang senantiasa ngintil kemana-mana. Terimakasih untuk istriku. Terimakasih kepada Allah atas karunia dan kepercayaan-Nya kepada kami berdua.
3. Silaturrahmi dg Keluarga Bani Syathori, Arjawinangun
Sebenarnya, keluarga Bani Syathori Arjawinangun setiap tahun selalu berkunjung ke kediaman alm kakek saya pada tanggal 2 syawwal. Akan tetapi entah mengapa 2 tahun ini terasa lebih spesial saja. Apalagi ketika berkesempatan bersalaman dan sedikit bercengkrama dengan Walid Ahsin Sakho Muhammad & Buya Husein Muhammad. Konon, secara silsilah, keluarga besar saya dengan keluarga besar beliau masih nyambung, sama-sama keturunan Mbah Nursalim alias Pangeran Suralaja bin Sultan Muhammad Arif Zainal Asyiqin Banten. Semoga silaturrahmi kedua keluarga ini terus terjalin sehingga saya kecipratan barokah dari beliau-beliau.
4. Mudik Lancar tanpa Hambatan
Karena istri asli Malang, Jawa Timur, tiap lebaran pasti kami mudik. Tahun-tahun sebelumnya, kami biasa atur waktu mudik H+10 lebih setelah lebaran, tentu agar tak terjebak macet. Berhubung saya tahun ini sudah aktif mengajar dan terikat dengan pekerjaan, saya tak bisa terlalu santuy menunda mudik, nanti malah bentrok dengan pekerjaan. Maka saya beranikan mudik H+3, dan alhamdulillah sepanjang jalan saya tak menemukan kemacetan, anak-anak pun tak ada yang rewel. Kalo sudah rewel, bahaya, karena saya nyupir sendiri, otomatis istri pegang 3 ummat yang harus dijinakkan.
Yah, sebetulnya banyak keistimewaan lain yang mungkin belum tertulis, karena memang tulisan ini ditulis biar blog saya gak kosong-kosong amat. Maka poin 1 adalah poin yang sangat tidak penting untuk diceritakan hehe.
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 H semuanya, semoga ibadah kita dan puasa kita diterima sebagai amal ibadah, semoga kita semua termasuk dari orang-orang yang kembali kepada kesucian dan meraih kemenangan, Mohon maaf lahir dan batin.
To the point saja, dalam suatu acara, Zulkifli Hasan, Ketua umum PAN guyon tentang keengganan pendukung paslon nomor 2 menjawab “Amin” setelah membaca surat al faatihah. Juga saat tasyahud biasanya mengangkat 1 telunjuk, katanya, pendukung Prabowo Gibran, tasyahudnya jadi 2 jari hahahaha. Peristiwa detailnya bisa anda googling sendiri.
Bagaimana saya menanggapi itu? Dan bagaimana seharusnya menanggapi itu? Tentu dalam sudut pandang saya. Apakah termasuk penistaan agama? Atau bisa dianggap guyonan biasa saja? Sebelum menjawab itu, saya tegaskan dulu disini kalau saya bukan pendukung Prabowo-Gibran ya, dan bisa dibilang, probabilitas saya memilih paslon No. 2 adalah yang paling kecil dibanding 2 paslon lainnya. Tentu saya punya alasan, seperti jengkelnya saya dengan tragedi Mahkamah Keluarga.
Bagi saya, statemen Zulhas ini saya pikir bisa dianggap sebagai guyonan biasa saja, bukan penistaan agama, bukan politisasi agama, jadi santai saja. Saya kebetulan adalah warga nahdliyyin yang akrab dengan guyonan-guyonan demikian, tentu tak mudah mengafiliasikan guyonan demikian menjadi persoalan serius. Seperti kata Gus Dur, “Dipesantren , humor itu jadi kegiatan sehari-hari. Dengan lelucon, kita bisa sejenak melupakan kesulitan hidup dan pikiran kita menjadi lebih sehat.”.
Ada beberapa guyon agama yang seolah-olah menista, tapi sebenarnya humor yang menyehatkan, wkwkk. Seperti statemen Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj yang menyatakan bahwa sampai saat ini, malaikat mungkar nakir belum sempat menanyai gusdur, “man robbuka, dst”. Kenapa begitu? Seperti pada riwayat, malaikat akan bertanya kepada seorang mayit dalam kubur saat pengantar mayit terakhir telah 7 langkah meninggalkan lokasi pemakaman. Lha makam gusdur ini peziarah terakhir belum sampai 7 langkah, sudah ada yang ziarah lagi, sehingga sampai sekarang, malaikat munkar nakir belum bisa melaksanakan tugasnya, wkwkwk.
Ada juga kisah abu nawas yang berpesan agar ketika meninggal dipakaikan kain kafan dari kain yang sudah lusuh dan kotor. Kenapa demikian? Abu nawas berkelakar, biar malaikat munkar nakir mengira abu nawas ini penghuni lawas atau senior, kalo yang senior kan ospeknya sudah lewat, hahaha. Luar biasa progresif abu nawas berfikir ia mengelabui munkar nakir. Patut kita tiru. Hahaha.
Selain itu masih banyak lagi guyon-guyon berbau agama yang saya kira tidak perlu digiring dan diopinikan terlalu serius hingga dibawa menjadi penistaan agama. Yuk, kita fokuskan energi kita ini untuk memilih paslon berdasarkan gagasan dan tawaran programnya saja, guyon-guyon ini hanya pemanis saja, santuy.
Jadi, bagi saya kelakar Zulhas tentang tasyahud dua jari dan keengganan jawab amin setelah imam baca fatihah itu ya anggap guyon saja. Jika memang dilapangan ada yang benar-benar sesensitif itu terhadap perbedaan pilihan, misal memang dia tidak menjawab amin setelah fatihah, atau tasyahudnya 2 jari atau tiga jari, itu memang bego aja orangnya. Kalo kalian memang saat sholat di masjid satu shaf dengan orang yang tasyahudnya dua jari saat sholat, tinggal tempeleng aja, paling juga yang nempeleng sholatnya batal dan harus mengulang, hahahaha. Udah gitu aja.
Setiap pulang kampung ke Malang, saya pasti menyempatkan untuk selalu bersilaturahmi ke rumah beberapa sahabat saat kuliah dulu, khususnya satu konco kentel yang rumahnya tak begitu jauh ke rumah mertua saya, Fikri. Obrolan akrab menghiasi perjumpaan saya dengannya. Termasuk menyoal hidup dan kehidupan yang kita jalani saat ini.
Dalam satu topik, kami berbicara tentang beberapa kawan yang dianggap memiliki karir yang “lebih sukses”, kawan yang dianggap lebih bisa menikmati hidup, dan lain-lain. Semakin dalam obrolan, kami bicara semakin sok bijak, “Wes wes, pokok ngene lho, ancen urip iku sawang sinawang, kene ndelok urip e konco seng ketok luweh sukses, durung tentu arek e ngeroso luweh sukses, sopo ngerti seng mbok arani sukses iku malah ngeroso urip e kene iki seng luweh bahagia, fokus ae nang urip e dewe, ngelakoni seng isok dilakoni, nikmati seng mbok nduweni, ojok ndelok seng nduwur2, maleh stress dewe ngko, hahaha.”.
Sepenggal obrolan kami menyoroti apa yang dipahami untuk bagaimana menikmati hidup. Bahwa dalam menjalani hidup, kita jangan terlalu melihat kehidupan yang dijalani orang lain, menganggap dan mempersepsikan diri bahwa mereka yang kita anggap lebih sukses itu lebih bahagia dari kita, atau sederhananya, rumput tetangga lebih hijau. Siapa tau kehidupan yang seringkali kita keluhkan ini adalah kehidupan yang mereka harapkan. Maka dalam pepatah jawa ada yang disebut, “Urip iku mung sawang sinawang”, atau dalam bahasa yang sederhana, hidup itu tak lebih dari sekedar permainan persepsi dan cara pandang.Melihat apa yang disebut “kesuksesan” orang lain dan membandingkannya dengan pencapaian kita sah sah saja. Namun, jika tak pandai mempersepsikannya, maka yang terjadi adalah negative effect, seperti rasa iri, dengki, stress, menyalahkan kondisi kehidupan hingga menganggap Tuhan tak adil kepada kita. Sayangnya, impact dari “nyawang lan mbanding-mbandingke urip” ini seringkali dominan mengarah kepada efek negatif terhadap mental kita.
Terlebih, kita hidup di zaman keterbukaan informasi, dimana setiap hari kebanyakan dari kita menghabiskan waktu untuk melihat feed instagram dan status whatsapp orang lain yang “menunjukkan kesuksesannya”. Si A di umur sangat muda bisa menghasilkan 1M pertamanya, si B bisa bertengger di posisi-posisi penting dalam pekerjaannya, si C dianggap sudah mencapai financial freedom dan sering plesiran ke banyak negara, dan seterusnya. Dari situ, kita terkadang merasa, “Kenapa dia bisa begitu, sedangkan saya begini-begini aja, padahal kita sama-sama bekerja keras, padahal kita sama-sama pintar, sama-sama makan nasi, sama-sama berupa manusia “ahsan taqwim”.
Melihat fenomena ini, pada dasarnya, pembelajaran hidup di pesantren bisa dibilang bisa memitigasi bagaimana cara untuk keluar dari permainan persepsi itu agar selamat. Nilai-nilai akhlak dalam islam banyak menjelaskan bagaimana kita harus bisa menginternalisasikan rasa syukur kedalam diri kita agar tak mudah terombang ambing. Sifat qonaah, tawakkal, menerima qodlo dan qodar adalah rentetan teori yang diajarkan untuk menjinakkan rasa kesal kita dalam menangani “ketidakbahagiaan”. Misal, dawuh syaikh Ibnu Athoillah dalam kitab hikam, “Liyaqilla ma tafrohu bihi, yaqilla ma tahzanu alaihi”, Standar kebahagiaan itu jangan tinggi-tinggi, agar kekecewaannya juga gak tinggi-tinggi. Meski secara teori anggaplah sudah mapan, memang dalam prakteknya, perlu belajar yang lebih atas apa yang disebut dengan rasa “nriman” ini.
Beberapa hari yang lalu, saya tak sengaja mendengarkan podcast buku kutu melalui youtube saat perjalanan dinas. Peresensi pada saat mengulas buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, yang menjelaskan mengenai Filosofi Stoa. Mendengar aliran filsafat ini, membuat saya penasaran untuk menggali lebih lanjut, membuka tulisan demi tulisan di internet, video demi video di youtube yang menjelaskan tentang filosofi stoa ini. Memahami filsafat ini rasa-rasanya kok cukup banyak hal yang relate dengan berbagai keputusan yang saya ambil dalam hidup, juga dengan beberapa sikap saya dalam menghadapi beberapa persoalan.
Dari sinilah saya baru ngeuh bahwa beberapa prinsip decisionmaking dalam hidup saya ini beriringan dengan apa yang disebut filosofi stoa. Bahwa dalam hidup ini ada yang disebut dikotomi kendali, yakni ada hal-hal yang bersifat internal yang berada dalam kendali kita, ada juga yang bersifat eksternal di luar kendali kita. Nah, agar hidup kita lebih bahagia, pilihan terbaiknya adalah memfokuskan diri untuk menggantungkan kebahagiaan kita pada kendali internal. Jika kita menyandarkan kebahagiaan pada sesuatu yang di luar kendali kita, kecemasan, stress hingga depresi akan terus menghantui kita hingga kita tak pernah merasa bahagia. Intinya, dalam hidup kita, kita jangan terlalu menaruh ekspektasi yang terlalu tinggi, agar saat ekspektasi tidak senada dengan realitanya, kita tak terlalu kecewa akan itu. Ini selaras juga dengan konsep kebahagiaan yang diajarkan dalam kitab hikam yang sudah saya sebutkan diatas.
Saat kuliah dahulu, atau bahkan sejak kecil, kita selalu diajarkan untuk menjadi seorang yang harus bekerja keras, tak kenal lelah meraih mimpi, ambisius demi meraih kesuksesan-kesuksesan. Ide-ide besar untuk merubah dunia diajarkan, mencoba memposisikan diri sebagai poros perubahan untuk dunia yang lebih baik, menjadi orang yang dalam setiap gerak langkahnya harus memberikan impact yang signifikan dalam masyarakat, dan segenap teori besar lainnya. Ndilalah, kita malah terjebak dalam peran yang sama sekali tak strategis macam menjadi “figuran” dalam suatu film. Peran kita sama sekali tak signifikan, kita tak sebesar apa yang kita kira. Kondisi ini sangat kontras, terlebih beberapa teman kita misal punya karir dan pekerjaan yang lebih cemerlang. Jika tak memahami treatment mental yang tepat, maka distraksi itu akan cukup mengganggu mentalitas kita.
Saya setuju dengan Fery Irwandi bahwa stoikisme ini bisa menjadi obat mental yang ampuh di era keterbukaan informasi ini. Seperti yang diulas pada Homo Deus-nya Yuval Noah Harari, bahwa saat ini manusia rata-rata sudah lepas dari problem kelaparan, wabah dan perang. Tapi akhir-akhir ini, dibanyak negara, angka bunuh diri cukup tinggi dan diindikasikan bukan karena mereka tak berkecukupan, kemungkinan mereka memiliki tekanan batin, tidak bahagia karena terlalu ambisius, kurang mengapresiasi pencapaiannya sendiri, bahkan terlalu besar mengharap validasi orang lain. Ada kutipan menarik dari Salah satu imam besar kaum Stoa, Syeikh Seneca, “Kita lebih sering takut daripada terluka, dan kita lebih menderita dalam imajinasi daripada dalam kenyataan.”, begitulah adanya manusia.
Prinsip “Sawang sinawang” bisa dianggap tahap identifikasi/skrining awal dalam melihat realitas, sedangkan stoikisme mengekstraksi dan mempartisi antara kendali internal dan eksternal. Kedua filosofi ini saling melengkapi, sehingga menjadi instrumen yang baik dalam mengatasi kekhawatiran berlebihan dalam hidup. Maaf, saya tahu yang bahwa dalam alQur’an,ketenangan hidup bisa didapatkan dengan berdzikir dan mengingat Allah. Nah, dzikir ini jika tarik spektrum luasnya, salah satu rentang gelombangnya bisa didapat melalui implementasi stoikisme. Melalui filosofi ini, dzikir lisan maupun hati jika dibarengi dengan perenungan-perenungan rasional akan hal-hal baik dan positif, akan membuat kita semakin yakian akan keagungan Tuhan, bahwa Tuhan telah mendesain kehidupan ini dengan keselerasan dan keseimbangan, atau yang biasa kita sebut dengan sunnatullah.
Saya masih sangat awam juga terkait stoikisme ini. Masih banyak yang perlu dipelajari. Mendengar ngaji Dr. Fahrudin Faiz dan lebih lanjut membaca (membeli) buku Filosofi Teras dan buku lainnya yang terkait dengan Stoa ini. Sejauh yang saya ketahui tentang filosofi ini, karena memang secara prinsip filsafat ini sangat islami dengan beberapa aspek selaras terhadap pembelajaran sufistik di pesantren, bisa dibilang saya sudah melakukannya. Untuk saat ini, setidaknya ada istilah keren untuk apa yang saya amalkan, Saya adalah seorang Stoik, hahaha. Oke, saya tutup dengan dawuh Sayyidina Ali Kw, “Jika ada kata-kata yang menyakitimu, menunduklah dan biarkanlah ia berlalu, agar hatimu tak merasa lelah.”.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi. Saya berasal dari Majalengka, Jawa Barat. Jualan daring adalah profesi saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.