Hari demi hari berlalu, ternyata cukup lama blog ini tak memuat tulisan receh. Kalau boleh saya beralasan, kemandekan ini akibat sibuknya saya persiapan tes CPNS, hehe. Selepas tes SKD, barulah saya bisa sedikit bernafas lega. Meski nilai belum memenuhi target, setidaknya sudah saya lalui dengan usaha yang cukup keras. Tinggal menunggu pengumuman apakah lolos ke tahap SKB atau tidak.
Selepas masuk di kelas mengisi Mata Kuliah Kimia Medisinal di Semester VII tadi. Pikiran saya serasa melayang terus menerus. Saya merasa ada insight menarik yang perlu ditulis. Dalam materi yang saya sampaikan tadi sore, ada konsep yang cukup menarik pada kimed, yaitu tentang Isosterisme.
Isosterisme adalah konsep yang terus berkembang sejak diusulkan oleh Langmuir (1919), Hukum pergeseran hidrida Grimm (1925) hingga menjadi konsep Bioisosterisme yang dikenalkan Friedman (1951). Singkatnya, konsep ini menceritakan bahwa dalam pengembangan atau modifikasi struktur obat, bisa dilakukan penggantian gugus fungsi tertentu. Gugus fungsi yang menggantikan haruslah gugus yang isosterik, artinya gugus yang memiliki distribusi elektron dan karakter sterik yang relatif sama.
Sebagai contoh, misal dalam suatu molekul obat, ada gugus -NH2, maka kita bisa substitusi gugus -NH2 itu dengan gugus -OH. -NH2 dan -OH adalah pasangan isoster karena punya distribusi elektron yang sama, yakni 9. Ini harus diikuti agar modifikasi struktur yang dilakukan tidak terlalu mengubah sifat kimia dan fisika molekul obat yang (misal) pada awalnya sudah baik sebagai obat. Tetapi harapannya, ketika berinteraksi dengan reseptor untuk menimbulkan efek terapi terhadap tubuh kita, ia bisa memberikan efek yang lebih baik pasca modifikasi struktur.
Reseptor protein didalam tubuh kita ternyata memang cukup unik. Ia punya sifat yang inklusif. Ia tak mempermasalahkan adanya pergantian gugus selama sifat dan karakteristik gugusnya relatif sama. Tak masalah atomnya apa, yang penting sesuai dengan kriteria yang diharapkan. Ia tak perlu nanya ke molekul, asal gugusnya darimana, atau punya orang dalam atau tidak, hehe. Barulah kemudian saat gugus itu berikatan dengan reseptor, ada kebolehjadian bahwa gugus itu bisa menjadi lebih baik dari yang digantikan atau sebaliknya.
Dari sini, kita perlu belajar nilai inklusivitas dari reseptor protein-protein di dalam tubuh kita dalam berbagai aspek kehidupan kita. Contohnya, dalam berbagai lini kehidupan kita, selayaknya kita memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang yang dianggap mampu. Tak masalah ia dari suku apa, kelompok apa, kelas masyarakat apa, yang penting sesuai dengan kualifikasi yang dipersyaratkan. Tak perlu kita membeda-bedakan asal usulnya, yang penting ia bisa berkontribusi. Saya jadi teringat kutipan dari Gus Dur, “Tidak penting apapun agamamu atau sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan tanya apa agamamu.”.
Perilaku reseptor protein juga seolah menjunjung tinggi budaya meritokrasi. Dalam konteks ini, ia memilih molekul berdasarkan atas asas kemampuan, kompetensi dan fungsi paling efektif dalam kinerjanya, sehingga tercipta afinitas terbaik molekul-reseptor yang (misalkan) “meningkatkan aktivitas biologisnya”. Dalam keseharian kita, budaya meritokrasi pun harus dijunjung tinggi. Dalam isu kepemimpinan, ada kaidah populer dalam bahasa arab yang berbunyi “Tasharruful imam ala roiyah, manutun bil maslahah”, artinya keabsahan seorang pemimpin bergantung pada bagaimana ia mampu menciptakan sebanyak-banyaknya kemaslahatan.
Maka, dalam kita memilih pemimpin, selayaknya kita memilih seperti reseptor protein dengan pertimbangan bioisosterisme yang meritokratis. “Tidak penting ia anak siapa”, yang terpenting adalah pemimpin dipilih harus berdasarkan atas kompetensi, kapabilitas dan track record kinerjanya sehingga antara pemimpin dan kita selaku rakyatnya, tercipta “afinitas” terbaik, dan harapannya adalah “meningkatkan aktivitas pembangunan negara” yang sesuai dengan rel yang telah ditetapkan seperti yang dicita-citakan para founding fathers.
Di era yang serba digital ini, ilmu sudah bukan menjadi barang langka. Kita bisa dengan mudah search di google untuk apapun yang ingin kita ketahui. Terlebih, fitur artificial intelegence (AI) macam chatgpt yang luar biasa canggih. Meski tak sepenuhnya akurat, ia bisa menjadi alat bantu yang baik untuk pengetahuan.
Saya adalah bagian dari pengguna yang merasa terbantu dengan kehadiran teknologi yang semakin berkembang. Dengan prompt atau keywords yang tepat, apapun yang kita ingin kita tanyakan akan dijawab oleh teknologi, entah melalui google, chatgpt, youtube, fyp tiktok, dll. Algoritma mengaturnya secara epik.
Jika ada yang bilang kepada saya, “Jangan belajar dari google, youtube, dsj karena belajar itu harus ada gurunya, belajar dengan google akan menyebabkan kita digurui oleh setan, kita akan tersesat.”. Saya tak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ini. Disatu sisi ada benarnya, namun dengan panduan dan cara penggunaan yang tepat, teknologi informasi adalah alat bantu yang luar biasa. Tak semerta-merta kita belajar ke setan. Asal kita paham, informasi yang diunggah ke internet banyak mengandung kebenaran, tergantung dari bagaimana kita menverifikasi, memvalidasi dan memprofiling sumbernya, dan tentu saja jangan menjadikannya sebagai rujukan primer. Jika anda menjadikan info di grup WA keluarga sebagai rujukan utama, falyatabawwa’ maq’adahu minannar, hahaha.
Dibalik kemudahan-kemudahan mengakses ilmu pengetahuan, ada aspek negatif yang lebih saya khawatirkan daripada mengenai sumber kredibel yang diperdebatkan,ย yaitu tentang atensi manusia terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan di generasi mendatang. Saya melihat, generasi saat ini, paling tidak di circle pergaulan saya sehari-hari, terdapat indikasi dimana mereka seperti tidak lagi menghargai ilmu pengetahuan, bahkan cenderung meremehkan.
Saking mudahnya sehari-hari kita mengakses sumber pengetahuan, kita seolah-olah meremehkan proses belajar yang harus ditempuh. Kita cenderung menggampangkan segala hal. Semuanya hanya tinggal browsing dan ketemulah jawabannya. Contoh pertama, di suatu kelas mahasiswa saya, ada sesi presentasi, sudah mah makalah dan ppt dibuat dengan asal-asalan tanpa rujukan buku-buku dan sumber yang baik karena hasil chatgpt atau downloadan scribd, saat tanya jawab, mereka mendadak browsing jawabannya saat kelas berlangsung lalu membacakannya tanpa pemahaman. Saya rasa ini adalah salah satu sikap yang mendegradasi marwah keilmuan.
Contoh kedua, saat mengobrol dengan seseorang, saya cukup kesal jika ditanya adakah perkuliahan (S1 atau S2) yang tidak perlu masuk kelas, tidak perlu skripsi, tinggal menunggu dan langsung lulus dapat ijazah? Toh, semua yang diajarkan di kuliah sudah ada di internet. Ini adalah pertanyaan yang cukup sering ditanyakan kepada saya oleh sebagian orang. Kita tau bahwa pendidikan di Indonesia memang punya segudang persoalan kronis. Tapi jangan kita perparah dengan kita ikut serta dengan praktek demikian. Memang, seperti dalam teori ekonomi, supply praktek jual beli gelar itu ada akibat dari adanya demand di masyarakat. Namun, kita harus hentikan ini paling tidak dimulai dari diri kita sendiri.
Gelar bagi saya juga memang tak penting. Tak penting dari sisi penyebutan oleh orang lain atau bangga-banggaan. Namun jika untuk diri kita sendiri, kita yang menyandang gelar ini harus punya refleksi mendalam pada diri kita masing-masing. Sudahkan kita menguasai keilmuan sesuai dengan tuntutan gelar yang kita miliki? Kita punya tanggungjawab moral untuk terus memantaskan diri kita memiliki gelar tersebut. Memiliki gelar akademik berarti menginformasikan kepada masyarakat bahwa kita punya kompetensi dalam bidang tersebut. Jika kita ternyata tak punya kompetensinya, bukankah kita dzolim dan tak menghargai pendidikan?
Contoh ketiga, joki skripsi. Contoh keempat, Gaji honorer. Contoh kelima, keenam, dan masih banyak lagi. Persoalan pendidikan di Indonesia memang multi multi. Tentu saja tak bisa kita selesaikan sendiri. Selemah-lemahnya usaha, paling tidak jangan biarkan kita ikut-ikutan menjadi pihak yang meremehkan ilmu dan pendidikan, dengan tidak menggampang-gampangkan.
Saya tau di era teknologi informasi ini semua serba gampang. Mari jadikan kemajuan teknologi dan kemudahan yang diberikannya ini sebagai media bagi kita untuk terus berkembang. Bukan kemudian kita bersembunyi dibalik kemajuan teknologi dan menyombongkan diri, padahal kita kosong dan tak berisi. Menggampangkan adalah sifat sombong terhadap ilmu. Bukankah Syekh Azzarnuji dalam Ta’limul Muta’allim mensyaratkan bahwa salah satu cara mengagungkan ilmu adalah dengan cara menghindari kita bersikap sombong terhadap ilmu?
Sering kali dalam obrolan ringan di warung kopi, saya mendengar banyak orang meremehkan gelar akademik. Mereka berpandangan, kultur pendidikan formal dari SD hingga SMA, bahkan hingga perguruan tinggi, tidak punya kemampuan untuk mencetak lulusan yang sesuai dengan kompetensinya.
Lho, sejak SMP belajar Bahasa Inggris, tapi hingga keluar SMA masih belum juga bisa bahasa inggris, begitupun lulusan Perguruan tinggi, masih nihil. Itu paling tidak adalah salah satu argumentasi untuk “mendelegitimasi” sistem pendidikan formal.
Pada akhirnya, mereka berpikir, intinya sekolah itu bukan mencari ilmu, tapi cukup orientasikan saja untuk mencari gelar dan mendapatkan ijazah, dimana ijazah bisa digunakan sebagai prasyarat untuk melamar pekerjaan. Semua pembelajaran sekolah “tidak penting”, yang penting ijazahnya.
Maka belakangan, banyak fenomena orang mencari tempat kuliah gratis, atau bahkan kuliah berbayar, tapi langsung skripsian, parahnya lagi, skripsinya dikerjakan oleh seorang joki, kita tinggal duduk manis dan menikmati hasilnya. Mirisnya, hal ini banyak dinormalisasi, paling tidak dalam obrolan-obrolan kecil sirkel warung kopi atau masyarakat kecil. Saya tidak bisa berword-word jika menemukan hal seperti ini.
Sebenarnya, ini semua tidak sepenuhnya salah dari masyarakat. Sistem pendidikan di Indonesia yang masih carut marut, kesejahteraan pendidik, mahalnya biaya pendidikan, conflict of interest, politisasi, perubahan aturan yang sporadis, melengkapi mendungnya masa depan pendidikan di Indonesia. Namun, meski dengan banyak kekurangan, seperti dalam adagium populer santri, “ma la yudraku kulluh, la yutraku kulluh,”, sesuatu yang tidak dapat kita raih sepenuhnya, jangan kita tinggalkan sepenuhnya pula.
Artinya, meski pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata ideal, kita tak boleh menggeneralisir bahwa semua tahapan pendidikan yang ada itu tidak berguna, sehingga kita menganggap semuanya tidak penting dan tidak berharga, gelar akademik hanya berguna untuk melamar kerja, bodo amat dengan beban pengetahuan yang diemban.
Kita harus paham, bahwa gelar yang kita punya mengandung beban moral dan beban pengetahuan. Orang dengan gelar dr. didepan namanya tentu akan dianggap cakap dan kompeten untuk mendiagnosis penyakit dan mengobati orang, terlepas ia tak serius saat kuliah. Orang dengan gelar S.Pd akan dianggap cakap dan kompeten dalam mengajar dan mendidik, terlepas ijazahnya hasil beli jutaan maupun skripsinya hasil jokian.
Maka ketika kita memiliki gelar, namun tak punya kompetensi yang sepadan, kita telah membohongi publik dan masyarakat, kita telah dzolim kepada diri sendiri dan orang lain. Kita tidak bersikap adil (menempatkan sesuatu pada tempatnya), dan bisa dikatakan, standar moral kita sangatlah rendah dan tak tahu malu. Eh, bukankah ini memang lumrah ada di konoha?
Terlepas dari ketidaksempurnaan sistem pendidikan nasional kita, mari kita tingkatkan kompetensi keilmuan, mari kita pantaskan diri kita atas gelar yang kita punya, mari kita hargai ilmu pengetahuan, mari kita muliakan kedudukan ilmu, terlepas dari carut marut yang ada. Dan, untuk kaum santri, berhenti untuk mendikotomi ilmu agama dan ilmu umum, mergo wes ora usum. Semua harus sama-sama serius dipelajari dan dipahami, karena pada dasarnya, semua ilmu adalah ilmu Allah, memiliki nilai kemanfaatan untuk masing-masing bidangnya. Jangan mendiskreditkan satu sama lain.
Jangan biarkan Indonesia menjadi krisis kompetensi. Banyak orang memiliki gelar akademik, namun nihil kompetensi. Sudah mah orang indonesia yang mampu menyelesaikaย pendidikan tinggi hanya 10%, misal 30% diantaranya inkompeten, ini akan jadi kiamat akademik dan krisis kompetensi. Serius masih yakin Indonesia Emas 2045?
Saya sudah dua kali di Wisuda, tentu yang saya hitung adalah wisuda sarjana dan magister. Wisuda TK, meski dulu saya juga pakai toga, tidak saya masukkan hitungan. Konon, wisuda ini berasal dari bahasa Sanskerta, ‘visuddha’ yang berarti selesai. Lulus dari TK masa iya sekolahnya udahan, hahaha.
Perbedaan dari dua wisuda yang saya ikuti, seperti yang saya tulis di tulisan lama, wisuda sarjana terkesan biasa saja, namun saat magister, rasanya memang emosional! Terlepas dari itu, ada satu kesamaan dari kedua wisuda yang pernah saya ikuti, saya tak benar-benar mengikuti dan memahami rangkaian prosesinya! Yang penting saya duduk manis, lalu hape-an, dan tentu saja, nundutan, wkwkwk. Apalagi saat wisuda S2, beuuuh, daring bosss, atasan toga, bawahan kolor, ngenes!
Sialnya, kira-kira dua bulan yang lalu, di Kampus tempat saya mengajar, saya didapuk menjadi Ketua Panitia Wisuda, dan rumitnya lagi, itu adalah Wisuda Perdana untuk lulusan angkatan pertama dimana kampus belum pernah sekalipun menyelenggarakan wisuda. Tentu saja saya tak punya modal legacy, misal draft-draft atau pedoman wisuda yang bisa saya pegang. Saya dan tim panitia harus berupaya keras merancang konsep dan atribut wisuda dari nol, bahkan kami mendadak merancang Mars dan Hympe Kampus! Bagaimana susunan acaranya, bagaimana toga wisudanya, untuk mahasiswa, pimpinan, siapa saja yang diundang, dan tetek bengek lainnya.
Syukurlah, panitia bentukan kami bermental baja. Dengan semangat “Kami adalah perintis, bukan pewaris” seperti sabda bokong truk, kami jalan terus, segala aral merintang kita hadapi. Persiapan demi persiapan kita jalani. Dan alhamdulillah, tepat pada hari kamis, 18 Juli 2024 lalu, kegiatan wisuda itu rampung terlaksana, sukses, meriah dan menggelegar! Beruntunglah saya dikelilingi tim yang kompak dan keren. Tim kesekretariatan yang gercep, tim media yang professional, tim protokoler yang sigap, dan tim keamanan, konsumsi dan lainnya yang siaga dan rela ngelembur-ngelembur demi kesuksesan acara perdana ini.
Wisuda perdana yang diselenggarakan di Sapphire Grand Ballroom, Aston Hotel Cirebon itu menjadi catatan sejarah epik, dimana wisuda perdana kampus kami berjalan dengan lancar dan meriah. InsyaAllah tidak memalukan untuk dijadikan barometer pada pelaksanaan wisuda berikutnya. Legacy yang cukup layak! Terimakasih kepada seluruh panitia, dosen, petugas acara, wisudawan, dzurriyah KHAS Kempek yang senantiasa kompak bekerja bersama. Karena tentu saja, ketua panitia tanpa anggota yang solid tak akan bisa mensukseskan suatu acara. Dan yang paling penting, terimakasih untuk inisiatif penyewaan Handy-Talky di H-1 yang sangat-sangat berguna. Hahaha.
Selamat untuk 70 wisudawan wisudawati Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan KHAS Kempek dari Program Studi Farmasi dan Gizi. Seperti kata banyak orang, wisuda itu bukan akhir, justru awal untuk anda semua memulai langkah hidup dengan gelar yang menempel dibelakang nama. Gelar itu menyimpan beban moral yang berat. Semoga anda semua dapat menjadi orang yang adil, dapat mengaplikasikan dan mempertanggungjawabkan gelar yang anda miliki dengan keterampilan dan pengetahuan yang sepadan. See all of you on top! Semoga Allah senantiasa merahmati dan membimbing kita semua. Amin ya robb.
Seringkali saya katakan, bahwa bisnis online shop bukanlah bisnis tanpa modal seperti yang diduga banyak orang. Mereka mengira, kita cukup duduk santai menunggu orderan tiba, kita cukup ngopi sembari membuka toko online kita yang dibuka secara gratis, tak perlu sewa toko seperti halnya jualan klasik. Ini tentu anggapan yang tidak tepat. Disinilah disrupsi terjadi. Kami-kami yang berjualan ini tentu perlu modal. Perangkat Handphone, Koneksi Internet, Laptop/PC, Biaya Admin, Biaya Iklan, yang kira-kira jika dikalkulasi tahunan, angkanya hampir setara dengan sewa toko tahunan pula, setidaknya jika dibandingkan dengan harga pasaran sewa toko di daerah tempat saya tinggal.
Sebagai contoh, koneksi internet untuk live shopping(Tiktok) itu perlu stabil. Jika tak stabil, live akan ngelag dan konsekuensinya, calon konsumen akan dengan mudah scroll up live kami ke live toko lainnya. Maka saya spending uang yang cukup besar untuk biaya langganan internet 100 Mbps di angka 850 ribuan perbulan. Angka itu setara dengan sewa toko bulanan di tempat saya. Ini baru wifi, belum biaya admin marketplace, biaya iklan mingguan, dan lain-lain.
Salah satu modal yang dibutuhkan adalah belanja sarana prasarana. Beberapa minggu yang lalu, CEO perusahaan sekaligus istri saya mengeluh perihal laptop. Ya, laptop yang biasa dia gunakan untuk bekerja di rumah, kini digunakan oleh karyawan untuk proses orderan dan tersimpan di gudang toko. Sedangkan malam-malam selepas menidurkan ummat, sang CEO ingin membuka-buka akun marketplace, tapi laptop seringkali terlupa dan tertinggal di gudang toko. Ini menyebabkan CEO tak bisa produktif untuk mengoptimasi toko online.
Laptop yang digunakan karyawan sebelumnya sudah super lemot dan terpaksa saya jual. Ya karena memang, speknya saja cuma AMD A4 dengan RAM 4GB, meski sudah upgrade RAM ke SSD SATA, tak merubah kecepatannya secara signifikan. Maka, kita berdua berdiskusi untuk menjajaki kans untuk menghadirkan Laptop baru. Setelah menimbang-nimbang, melakukan kalkulasi mendang mending, alih-alih laptop, kita putuskan untuk membeli PC saja. Selain untuk bekerja, PC diharapkan bisa menjadi jangkar semua gadget yang kita punya. Menjadi pusat backup semua data, seperti yang telah disabdakan Jagat Review. Dimana, opsi ugrade storage dan tetek bengeknya dengan mudah dapat diatur sendiri, tak seperti laptop yang punya banyak keterbatasan.
Jika yang menjadi interest adalah “opsi upgrade”, maka PC yang dibeli tentu bukan all in one atau built up, melainkan PC rakitan, karena sekali lagi, kita butuh fleksibilitas upgrade yang futureproof. Masalahnya, meski saya cukup punya antusiasme dengan teknologi, saya tak pernah punya pengalaman rakit PC. Disinilah keyakinan diuji, karena budget pas-pasan, saya putuskan untuk memberanikan diri saja mengambil opsi ini, setidaknya tak perlu bayar biaya merakit jika bisa rakit sendiri, lebih hemat. Mulailah saya melakukan tirakat. Mencari ilmu tentang rakit PC, mencari pengetahuan tentang komponen-komponen PC, mencari tempat untuk yang cocok untuk membeli komponen PC dengan interest utama khas kaum mendang-mending, harus Value for Money, Worth it & Affordable.
Hidup di era teknologi yang berkembang pesat tentulah menjadi keuntungan tersendiri. Singkat cerita, saya akhirnya putuskan untuk membeli komponen PC secara online melalui website EnterKomputer. Alasannya adalah toko ini sudah direkomendasikan banyak orang, dan yang paling menyenangkan adalah fasilitas di websitenya yang membuat kita dapat mensimulasikan komponen yang pas untuk PC rakitan kita sekaligus mengecek kompatibilitasnya. Saya memilih AMD Ryzen 5 7600x sebagai otak PC, Asrock B650M Pro RS sebagai Mobonya, RAM 32GB dan SSD NVME 512GB dari ADATA, dan beberapa komponen lainnya dibawah ini.
Tak perlu waktu lama, dalam waktu 2 hari yang mendebarkan, akhirnya paket dari EnterKomputer tiba. 2 hari berselang saya memulai merakitnya. Dengan bermodalkan belajar via Youtube, saya rakit mulai dari pemasangan processor, pasang RAM, SSD, cooler, dan yang tersulit adalah memasang kabel-kabel dari PSU ke Mobo. Bagian itu cukup melelahkan, namun akhirnya PC saya bisa hidup dan bisa masuk laman BIOS-nya. Disitu alhamdulillah semua komponen yang terpasang dapat terdeteksi dengan baik. Selanjutnya tentu install Windows 11 Home, bagian ini adalah bagian yang menyenangkan dan bikin saya mesam mesem sendiri. Akhirnya sejak saya punya ketertarikan rakit PC sejak SMA, baru saat ini bisa kesampaian, hehehe.
Setelah 2 hari ini, PC berjalan dengan baik, hidup dengan aman dan nyaman, dan kecepatannya tentu tak diragukan lagi, cukup untuk penggunaan sang CEO sehari-hari, daaan yaah, kedepan pastinya cukup kuat untuk sekedar editing foto dan grafis macam Photoshop dan CorelDraw, bahkan editing video dengan Premiere tipis-tipis, dan yang paling utama sih, bisa menjadi pusat penyimpanan semua data dari semua gadget keluarga saya, tinggal nambahin HDD boskuh.
Begitulah cerita rakit PC perdana saya. Tentu saya tertolong oleh banyaknya konten-konten keren dari banyak kreator yang ada di Youtube, sehingga jika merakit PC zaman dulu adalah momok yang menakutkan bagi saya, saat ini jika saya harus rakit PC lagi, saya tentu akan dengan sombongnya berujar, “Rakit PC sendiri? Gaskeun dong! Hahahaha.”. Yah, semoga PC keluarga saya ini bisa awet dan bertahan lama, dan tentu berfungsi sesuai dengan yang diharapkan saat membelinya, mengakselerasi kinerja dari CEO Perusahaan kami untuk bisa lebih produktif dan maju dalam menghasilkan cuan-cuan merah bergambar Sang Proklamator. Amin amin ya robbal alamin.
Memilah dan memilih perangkat gadget bagi sebagian orang adalah hal yang cukup membingungkan. Apalagi jika orang tersebut tak punya interest dalam perihal teknologi. Tentu itu bukan kesalahan, karena setiap orang punya interest tersendiri dalam kehidupannya.
Saya sendiri adalah pribadi yang cukup antusias dengan perkembangan teknologi. Entah itu laptop, hape, atau beberapa gadget lainnya. Maka, saat saya ingin membeli suatu perangkat untuk daily driver, banyak channel youtube saya tonton, macam gadgetin, jagatreview, dll. Tentu saya bukan expert, melainkan hanya kaum mendang-mending yang tak ingin budget minimnya menghasilkan pembelian yang tidak “value for money” atau “worth it”, hehehe.
Urusan hape, daily driver saya adalah Samsung A52 dengan chipset Snapdragon 720G. Sudah hampir 3 tahunan ini saya gunakan dan belum ada keluhan berarti, masih nyaman-nyaman saja. Sebelumnya saya sudah menjajal brand lain seperti xiaomi & oppo, dan menurut saya, samsung yang saya pakai ini masih juaranya. Kalo di kelompokkan, hape yang jadi daily driver saya ini termasuk kelompok mid-range lah, tentu yang sesuai dengan budget saya saat membelinya. Pengen sih suatu saat punya gadget macam iPhone, namun sayang seribu sayang, duite ra nututi, wkwkwk. Masih banyak alokasi dana yang lebih penting daripada beli gadget seharga motor. Hahaha.
Untuk laptop juga masih menengah kebawah lah, Lenovo IP Slim 3 jadi pilihan. Ryzen 5, RAM 8GB dan memori sudah SSD sudah cukup untuk daily driver. Cukup untuk office harian dan editing grafis macam Corel dan Photoshop. Yang penting gak celeron-celeron amat. Yang baru dinyalakan sudah bikin emosi. Perdebatan Intel & AMD? Saya tim AMD! Alasannya, tentu juga selisih harga, hahahaha.
Track record begitu-begitu itu rupanya membuat beberapa keluarga yang berminat untuk membeli perangkat semi-semi konsultasi ke saya. Di bulan ini sudah ada 2 anggota keluarga yang minta rekomendasi seputar laptop. Sebenernya, saya gak terlalu pede memberi rekom laptop ke belio-belio. Tapi karena gak enak, saya carikan beberapa rekoman, tapi juga saya kasih disclaimer sebelum mereka memutuskan untuk meminang, “Resiko ditanggung perusahaan masing-masing ya, saya hanya memberi masukan, wkwkwk.”.
Ya memang begitu, pada dasarnya, pembelian perangkat harus didasarkan kebutuhan penggunaan dan budgetnya. Titik tumpu perekomendasi berangkat dari sana, dengan budget yang ada, sesuaikan dengan kebutuhan, dan kita dapat apa. Dan satu hal yang penting dalam masukan saya, saya hampir tak pernah memberi rekomendasi perangkat bekas. Kenapa? Karena track record terbaik saya beli perangkat bekas hanya membeli iPhone 11 untuk istri saya dari PS Store, selebihnya gatot, wkwkwk.
Udah itu aja cerita hari ini. Semoga kita semua diberi kelancaran dalam mengais rezeki, dan suatu saat mampu membeli gadget-gadget impian. Amin. Dan tentunya, jangan memaksakan diri untuk membeli gadget yang berada di luar jangkauan keuangan kita, apalagi jika sampai harus kredit, atau bahkan jual ginjal. Tapi, lagi-lagi disclaimer, semua tergantung financial planning anda.
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi. Saya berasal dari Majalengka, Jawa Barat. Jualan daring adalah profesi saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.