Selepas lulus S1 di Malang nanti, memang ibu saya (baca:mamah) sangat menginginkan anak sulungnya ini tak lagi melanjutkan studi di Kota yang terlalu jauh dari rumah. Bagaimana tidak berharap, sejak SD sampe sekarang ini, saya terus-terusan merantau. Maka dari itu, saya mencoba mencari-cari info untuk peluang melanjutkan studi di Universitas Padjadjaran. Satu-satunya cara agar mudah mendapat info, ya langsung berangkat saja ke Kota Kembang. Dan siapa lagi yang saya mintai tolong selain teman saya saat mesantren di Tasikmalaya. Namanya Rizka, ia berkuliah di UIN Bandung dan juga sama-sama berorganisasi di PMII, terlebih ia adalah eks Ketua Rayon Dakwah PMII UIN Bandung.
Bukan tanpa sebab menghubungi teman pondok yang juga kader PMII. Saya memang berharap nantinya dikoneksikan ke sahabat-sahabat PMII di UNPAD, biar lebih mudah cari info, pikir saya. Beginilah keuntungannya berorganisasi, dimanapun kita singgah, karena sama-sama anggota PMII, minimal kita bisa numpang tidur di sekretariatnya, maksimal bisa mendapat jejaring sahabat baru. Melalui rizka, saya dikenalkan ke Haris, eks Ketua PMII Komisariat UNPAD. Ia berkuliah di jurusan sejarah. Saya disambut dengan baik saat ngopi-ngopi di kampus UNPAD Jatinangor bersama dan saya cukup banyak mendapat info yang dibutuhkan
Di waktu maghrib, saya janji bertemu dengan Mas Muwafiq, salah satu senior PMII Kota Malang yang sekarang melanjutkan studi di ITB. Wah, dalam prosesnya ada peristiwa yang cukup tidak mengenakkan. Saya tak perlu ceritakan. Yang pasti saya harus memohon maaf sebesar-besarnya sama mas Muwafiq dan istri. Akibat kesalahan saya, njenengan harus bolak balik Cibiru-Jatinangor dua kali. Sekali lagi, nyuwun pangapunten mas.
Besoknya, saya diantar oleh rizka ke makam Mahbub Junaidi, ya, Ketua Umum PB PMII pertama, yang juga dikenal sebagai wartawan, kolomnis, sastrawan dan juga aktivis yang sangat kritis. Anda bisa dapatkan info tentang sepak terjang Mahbub Junaidi melalui mbah gugel. Sukur-sukur bisa baca bukunya, seperti Dari Hari ke Hari, Kolom demi Kolom, Politik Tingkat Tinggi Kampus, Asal Usul, dan lain-lain. Makamnya terletak di gang kecil di Jl. Sukarno-Hatta, Bandung. Tepatnya di TPU Assalaam. Selesai membaca Yaasiin dan Tahlil, saya merenung sejenak dan tiba-tiba teringat salah satu kutipannya.
“Aku akan menulis dan akan terus menulis. Sampai tak mampu lagi menulis.”
Semoga kita dapat mengambil keteladanan dari seorang Mahbub Djunaidi. Keteladanan dalam kepemimpinan, idealisme, dan perjuangannya. Amin. Semoga dilain waktu, saya bisa kembali berziarah ke makam beliau. Terkhusus untuk H. Mahbub dan seluruh pendiri PMII. Lahumul Faatihah.
“Pengajaran yang diberikan oleh pemerintah kolonial hanya untuk dapat menjadi buruh, karena adanya ijazah itu tidak untuk mengisi pendidikan yang sesungguhnya, dan tidak untuk mencari pengetahuan guna kemajuan jiwa raga.”
-Ki Hajar Dewantara (@sabdaperubahan)-
sumber : teroponggambong.blogspot.com
Kita sama-sama tau bahwa hari ini (22/05/2017) merupakan peringatan hari pendidikan nasional. Hardiknas ini ditetapkan sebagai apresiasi terhadap kiprah sosok Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional. Ki Hajar memang dikenal sebagai tokoh yang getol menggelorakan semangat pendidikan di Indonesia. Semboyan Ki Hajar yang paling dikenal adalah “Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Ngadyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”.
Ing Ngarso sung Tulodho, bahwa guru harus menjadi teladan bagi siswanya. Ing Ngadyo Mangun Karso, bahwa guru harus pula punya asas kebersamaan dengan siswanya, sehingga guru dan siswa memiliki ikatan emosional yang baik. Tut Wuri Handayani, bahwa dari belakang, guru harus mampu memotivasi dan mengarahkan kepada hal-hal yg mampu meningkatkan kapasitas intelektual, spiritual dan emosionalnya.
Seperti dalam kutipan diatas, Ki Hajar juga mengajarkan bahwa pendidikan harus benar-benar menyentuh esensi pendidikan itu sendiri, yakni meningkatkan kapasitas intelektual, spiritual, dan emosional yang membangun bagi peserta didik. Selain itu, Ki Hajar juga menegaskan bahwa sistem pendidikan nasional harus kemudian benar-benar diselaraskan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa dalam arti seluas-luasnya.
Namun, dibalik gagasan-gagasan emas Ki Hajar ini, kita patutnya berduka dengan apa yang terjadi dalam sistem pendidikan di negara kita. Bahkan, sahabat saya berseloroh bahwa pendidikan kita lebih butuh diselamatkan daripada diberi ucapan selamat. Alih alih merealisasikan tujuan pendidikan nasional seperti yang termaktub dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 3, pendidikan nasional hari ini malah membawa kita kepada masa-masa pemerintahan kolonial, dimana pendidikan kita hanya mencetak lulusan-lulusan yang tidak berorientasi global, hanya berorientasi pada kemunduran yang dianggapnya lumrah.
Ada beberapa aspek yang menyebabkan mengapa saya menyimpulkan bahwa pendidikan kita telah gagal mencetak lulusan-lulusan yang memiliki wawasan kebangsaan yang luas. Pertama, aspek ke-bhinneka-an, aspek ini sangatlah penting untuk diperhatikan pendidik kita. Meningkatnya angka radikalisme, intoleransi, dan menyeruaknya isu SARA telah mengancam keindonesiaan kita. Pendidik harus kemudian menjadikan pendidikan kebhinnekaan sebagai fokus utama dalam garapan pendidikan, dimana setiap warga negara harus memahami bahwa kemajumukan bangsa Indonesia adalah sesuatu yang harus diterima oleh setiap warga negara. Dimana suku, ras, dan agama yang berbeda-beda harus mampu hidup berdampingan, menerima perbedaan, bersama-sama bekerjasama membangun bangsa ini ke arah yang lebih baik.
Kedua, aspek komersil. Seperti yang pernah diungkapkan Almarhum Gusdur, bahwa “Pendidikan hari ini sudah seperti industri komersil, sehingga orang tidak mampu lagi membedakan mana kerja mendidik, mana kerja mengembangkan keterampilan. Dunia pendidikan akhirnya lebih diurusi para birokrat dan manajer pendidikan, ketimbang pemikir yang berperspektif luas dan berpandangan ke depan”. Sudah menjadi pandangan umum, bahwa pendidikan hari ini semakin tidak terjangkau oleh rakyat, mulai sistem UKT dan beasiswa yang seringkali tidak tepat sasaran, fasilitas pendidikan yang tidak selaras dengan iuran yang dibayarkan, ijazah ilegal, hingga monopoli penerimaan peserta didik yang terkesan transaksional.
Hal diatas menyebabkan pendidikan hanya mampu diakses oleh kalangan elit dan menyingkirkan rakyat miskin. Padahal seharusnya, pendidikan harus terbuka aksesnya untuk seluruh warga negara seperti bunyi UUD 1945. Tidak boleh ada beda! Seringkali pengelola instansi pendidikan berdalih bahwa mahalnya biaya sekolah dikarenakan mahalnya fasilitas-fasilitas pendidikan yang ada. Pradigma kapitalistik seperti ini tidak diperbolehkan hidup di dunia pendidikan. Pemerintah melalui APBN ataupun sekolah-sekolah dalam upaya mandirinya harus kemudian mencari solusi pendanaan untuk pendidikan tanpa harus mencederai esensi penyelenggaraan pendidikan yang harus jauh dari paradigma kapitalistik.
Ketiga, aspek kebebasan. Aspek kebebasan menjadi penting dalam pendidikan kita. Karena melalui kebebasan, seorang siswa akan mampu mengoptimalkan potensi dan kreativitasnya. Ki Hajar juga menyatakan bahwa, “Anak-anak tumbuh sesuai dengan kodratnya sendiri. Pendidik hanya dapat merawat dan menuntun kodratnya itu.”. Disini ki Hajar sangat menekankan bahwa pendidikan tidak boleh memaksa kepada siswa. Setiap siswa/mahasiswa tidak lahir untuk potensi dan peran yang sama, sehingga pendidik harus memahami bahwa pemaksaan terhadap peserta didik akan membunuh karakter dan potensi mereka.
Pailo Freire dalam bukunya menyebutkan bahwa pendidikan haruslah membebaskan. Dalam artian, pendidikan tidak kemudian dipraktikkan seperti praktik perbankan, dimana murid hanya menjadi celengan guru yang diibaratkan seperti penabung. Bagaimanapun, guru harus pula terbuka dalam kaitannya menerima pendapat siswa. Sehingga, pendidikan menjadi bersifat dialogis, dimana guru harus siap disalahkan oleh siswa ketika guru itu memang salah, begitupun sebaliknya. Jika dikorelasikan dengan prinsip Ki Hajar, bisa diasumsikan bahwa prinsip freire ini selaras dengan prinsip “Ing Ngadyo Mangun Karso”.
Dalam praktik pendidikan kita, kita seringkali melihat guru/dosen yang sewenang-wenang memaksakan kehendaknya, hingga terkadang ia berani untuk menabrak prinsip-prinsip pendidikan yang ada, misal dengan melakukan pengurangan nilai atas sesuatu yang sebetulnya tidak berkaitan dengan pembelajaran tersebut. Hal ini cukup efektif membuat peserta didik untuk selalu tunduk pada kehendak pendidik, dan hal ini sangat jelas membunuh potensi peserta didik. Di level mahasiswa, adapula berbagai kebijakan nasional yang membatasi aktivitas organisasi mahasiswa, semacam NKK/BKK baru yang jelas-jelas mencederai proses perkembangan mahasiswa di level organisasi.
Keempat, aspek kepedulian. Aspek kepedulian ini sangat penting sebagai hasil dari tempaan pendidikan. Pendidikan harus kemudian memupuk kepedulian terhadap realitas sosial. Kelanjutan dari gagasan Freire, bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang netral dan bebas nilai, pendidikan harus berpihak. Sedangkan keberpihakan harus ditimbulkan melalui kepedulian.
Melihat realitas sosial kita yang timpang, kita harus menjadi peduli untuk mencoba mengubahnya. Sehingga, dalam praktiknya, pendidik harus menjadikan aspek kepedulian sebagai salahsatu fokus garapan. Tan Malaka mengingatkan kita bahwa sebagai seorang yang terdidik, kita harus mau melebur bersama rakyat miskin, untuk mengurangi ketimpangan sosial yang ada, jika tidak, maka pendidikan itu tidak pantas untuk dirinya.
Ketimpangan kondisi sosial di Indonesia bukan sesuatu yang bisa diabaikan. Lulusan-lulusan instansi pendidikan harus kemudian berakselerasi dalam mengurangi ketimpangan sosial yang ada disekitarnya. Mereka tidak boleh menjadi lulusan yang seperti ditakutkan Romo Mangun, dimana mereka kaum sekolah akan menjadi penindas-penindas baru dengan kepintaran mereka. Atau dalam konteks budaya jawa, “minteri” rakyat dengan kepintarannya.
Kita harus segera move on dari ketidakpedulian sosial. Sudah cukup para pejabat di era sekarang yang hanya peduli pada diri sendiri dan familinya. Sudah cukup perilaku koruptif dipertontonkan. Pendidikan merupakan jalan efektif memupuk kepedulian generasi kita, bahwa masih banyak kaum tertindas yang perlu diperjuangkan! Bahwa masih panjang perjuangan bangsa kita untuk menjadi bangsa yang bermartabat dan sejahtera!
Menilik keempat aspek diatas. Agaknya kita memang harus sekuat tenaga berjuang untuk terus berjuang memperbaiki pendidikan kita bersama-sama. Karena bagi saya, pendidikan adalah jalan efektif yang dapat digunakan sebagai alat penyadaran bersama, baik melalui pendidikan formal, informal, maupun non-formal. Dengan pendidikan yang baik, saya berkeyakinan bahwa Indonesia akan mampu mencapai cita-cita kemerdekaannya.
Ditahun 2020-2030, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, dimana angka usia produktif mencapai angka 70%. Angka ini bagai dua sisi mata uang, bisa menjadi berkah, bisa juga menjadi bencana. Berkah dalam artian tingginya usia produktif diiringi dengan kualitas SDM mumpuni yang mampu mengisi ruang-ruang produktif dalam berbangsa dan bernegara. Bencana dalam artian tingginya usia produktif tidak diiringi dengan kualitas SDM yang baik yang tidak mampu bersaing di era global. Instansi pendidikan merupakan instrumen utama yang seharusnya mampu mengelola bonus demografi ini menjadi sebuah berkah bagia kemajuan bangsa.
“Memayu Hayuning Sariro, Memayu Hayuning Bangsa, Memayu hayuning Bawana, (Apapun Yang Di Perbuat Oleh Seseorang Itu, Hendaknya Dapat Bermanfaat Bagi Dirinya Sendiri, Bermanfaat Bagi Bangsanya, Dan Bermanfaat Bagi Manusia Di Dunia Pada Umumnya)” – Ki Hajar Dewantara
Kemarin, baru saja saya membaca pesan di grup WA Ngaji Aswaja NU mengenai perilaku kehidupan dan saat kematian Mustafa Kemal Attaturk, Revolusioner dan Bapak Bangsa Turki.
Pesan itu menceritakan Attaturk yg sangat an ti-Arab dengan gagasan sekuler-radikal nya. Mengganti Adzan dengan bahasa turki, melarang pakaian ‘kearab-araban, hingga membunuh ulama-ulama yg tidak sepaham dengannya. Kemudian diceritakan bahwa “SI ANTI ARAB” ini diakhir hayatnya menderita berbagai macam penyakit, kemudian disebut bahwa bumi tidak menerima jasad Attaturk, sehingga Attaturk tidak dikebumikan, melainkan jasadnya hanya ditanam di celah-celah batu marmer.
Diakhir pesan grup itu, si penyebar menulis : ” Begitulah kematian si Anti Arab, ada yang mau mengikutinya?”
Saya memandang pesan ini sangat tendensius. Mencoba mendogmatisasi umat muslim, khususnya Nahdliyyin untuk menjauhi NU dan Kyainya secara perlahan.
Pesan itu mencoba menipu pemahaman kita akan apa yang diperjuangkan NU. Harus kita pahami, bahwa apa yang dikampanyekan NU bukanlah kampanye anti-Arab atau bahkan program sekularisme seperti yg dilakukan Kamal Atatturk di Turki. Yang dilakukan NU dalam melindungi tradisi Nusantara dan mengintegrasikannya dengan praktik keagamaan islam adalah bahwa NU sangat memahami akan pentingnya budaya sebagai pondasi kemajuan suatu bangsa. Sehingga budaya hari ini, termasuk dalam praktik asimilasi kebudayaan dan religiusitas harus dilindungi sebagai identitas dan local wisdom.
Sedangkan apa yang dilakukan Attaturk terhadap Turki adalah dengan tidak mengakui islam sebagai agama yang memiliki nilai progresivitas dalam membangun bangsa. Ia meminggirkan islam ke pojokan dan memandang islam sebagai agama yang tidak bisa mendukung kemajuan dalam praktik bernegara. Hal ini jelas jauh berbeda dengan pemahaman NU dimana NU mengimani bahwa nilai-nilai keislaman memiliki ruh yang berkemajuan sebagai modal bagi bangsa kita untuk tetap kokoh bersatu dan terus melaju. Terbukti dengan diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara dan meyakini bahwa didalam Pancasila mengandung nilai-nilai inklusif islam yang layak diperjuangkan oleh seluruh elemen Nahdliyyin Nusantara.
Selain itu, mengenai klaim anti-Arab secara tidak langsung pada NU, tuan-tuan dan puan-puan bisa cek di pesantren-pesantren NU, bahwa pembelajaran awal yang dilakukan adalah pembelajaran bahasa arab melalui kitab-kitab klasik macam Jurumiyah, Imrithi, Al Maqshud, Alfiyyah Ibn Malik, dan Amtsilah Tasrifiyyah. Termasuk pesantren almamater saya sendiri yang memiliki kekhasan takhossus Ilmu Bahasa Arab.
Bagaimana bisa NU anti-Arab dengan mempelajarinya. Sama dengan tuan tidak menyukai kopi, tetapi tetap meminumnya. 😁
Mengenai relasi Arab dan Islam, bahwa islam memiliki kaitan dengan arab, tapi tidak selalu yang berbau arab itu islam.
“Kelapa memang bulat, tapi tidak setiap yg bulat itu kelapa.”
Jadi, sudahlah, jangan sampai kita mau dijauhkan dari NU dan para kyai dengan asumsi dangkal dan penggiringan opini kaum sumbu pendek, bahwa NU sedang melakukan kampanye anti-Arab. NU hanya sedang mengajak kita untuk bangga menjadi umat islam dan bangsa indonesia yang berkepribadian.
Anti Arab memang salah, karena seharusnya Huwa Arab atau Anti Arabti, hehe
Hari Pahlawan memang sudah lewat 2 hari yang lalu. Tapi berbicara pahlawan, saya punya pengalaman menarik sewaktu kecil. Saat masih duduk di Sekolah Dasar (SD), kita akan akrab sekali dengan ejekan sesama kawan. Ejekan yg paling populer adalah nama si bapak, turun ke ejekan-ejekan nama binatang, terakhir barulah ejekan-ejekan Abdul (love) Siti. Kawan-kawan saya, termasuk saya biasa menuliskannya di papan tulis, di meja dengan tipe x, bahkan diucapkan dengan bahasa tubuh yang ngece. Dari ejekan-ejekan itu, ada yang menanggapi dengan balas ngece dan ngamuk, ada juga yang diam tak berani, adapula yang tak berpengaruh dan acuh akan ejekan yang dilontarkan. Ah, masa kecil memang menyimpan sejuta kenangan yang komplit. Dari ejekan teman semasa kecil, setidaknya kita sudah belajar untuk bermental baja dan tak mudah tersinggung dengan statemen orang lain. Dan salahsatu dari sekian banyak ejekan yang disematkan oleh kawan-kawan masa kecil saya kepada saya adalah PAHLAWAN.
Saat diejek pahlawan, saya marah di dalam hati. Bukan karena saya tak pantas menyandang gelar pahlawan karena belum ada keputusan presiden atau pengakuan dari negara, tapi karena hal yang melatarbelakangi penyematanpahlawan kepada saya. Begini ceritanya, saat diajak orang tua sahabat saya ke Pantai Pangandaran, saya bersama sahabat-sahabat masa kecil berangkat menggunakan truk. Saya sangat senang karena mendapatkan tempat duduk diatas tempat supir bersama karyawan ortu sahabat saya dan salahsatu sahabat saya. Angin semilir saat truk berjalan itu sangat menyejukkan. Sahabat saya yang lain yang kebagian tempat duduk di dalam box truk ingin gantian duduk dengan saya diatas. Saya jelas tidak mau karena masih baru beberapa menit. “Bentar lagi lah”, sahutku. Diam-diam sahabat-sahabat saya itu menggunjing saya di box truk dan tiba-tiba berteriak, “Hoy, Pahlawan!”, aku menoleh diiringi tawa sahabat-sahabat saya dibawah. Sejak saat itulah ejekan PAHLAWAN disematkan kepada saya. Saya kesal sekali waktu itu.
Katanya, menggunjing saya di sepanjang perjalananan gak ada habisnya. Selalu ada saja yang bisa diungkit dari diri saya yang membuat sahabat-sahabat saya tertawa. Karena banyaknya kisah yang bisa digunjingkan dari saya, maka saya disebut PAHLAWAN. Seperti cerita pahlawan-pahlawan Indonesia yang tak pernah habis diceritakan guru-guru di sekolah. Tentunya, gelar ke-PAHLAWAN-an saya tak seperti pahlawan-pahlawan dulu yang mati mulia membela tanah air, tapi berkonotasi negatif dan ejekan. Ah, tapi seiring berjalannya waktu, ejekan familiar itu jadi tak mengganggu, malah menambah keakraban saya dan sahabat-sahabat satu sama lain.
Dari kisah tersebut, ada hal penting yang bisa kita ambil benang merahnya, bahwa anak kecil pun sudah tahu apa arti pahlawan. Mereka pahlawan bangsa ini adalah orang yang memiliki kisah-kisah heroik dalam membela kebenaran. Pahlawan yang diambil dari bahasa Sanskerta berarti buah/hasil. Sehingga, pahlawan adalah mereka yang mampu menghasilkan perubahan-perubahan yang memiliki kebermanfaatan bagi sesama, merubah yang salah menjadi benar. Nah, jika demikian, saya kira dari bobroknya sistem pendidikan nasional kita, masih ada nilai-nilai yang bisa dipahami anak-anak SD. Pendidikan inklusif berbasis nilai masih ada yang mancep, meski banyak aspek yang perlu dibenahi dari sistem pendidikan kita, dari mulai pelajaran sejarah yang banyak tipu-tipu, dikotomi sekolah unggulan dan non-unggulan, pragmatisme fungsi perguruan tinggi, dll.
Kembali ke konteks pahlawan. Apa sih pahlawan itu? Setelah membaca tulisan Sahabat Fathul berjudul “Sudahlah, Pahlawan itu Paradoks!”1. Saya diajak berfikir mengenaik esensi kepahlawanan itu sendiri. Bagaimana seharusnya kita menginternalisasi nilai-nilai kepahlawanan? Apakah dimaknai dengan mereka yang dulu berjuang untuk memproklamasikan kemerdekaan? Atau dimaknai dengan mereka yang mendapat gelar kepahlawanan dari pemerintah? Atau bahkan dimaknai dengan superhero ala marvel yang sukses besar menjadi box office? Power rangers? Satria Baja Hitam? Kesatria Bima X? Ah, semua itu terlalu dangkal untuk mendeskripsikan arti sebuah kata “PAHLAWAN”, kurang dalam. Terlalu pendek, kurang PANJANG.
Sedikit melihat kondisi bangsa ini. Indonesia dengan Sumber Daya Alam (SDA) bahkan Sumber Daya Produksi Anak (SDPA) yang besar dan tinggi ini belum juga mampu membawa rakyatnya menuju kesejahteraan dan keadilan sosial. Terlebih sejak banyaknya pengelolaan-pengelolaan SDA dan SDPA yang di monopoli rezim “Calon Pahlawan Golongan K” yang gak jadi itu. Dia alihkan penguasaan SDA ke tangan-tangan asing, SDPA juga tak kalah, KB diluncurkan untuk mengontrol SDPA ini. Kalo mau tau datanya, coba aja sahabat googling sendiri, tapi hati-hati, cari sumber yang kredibel. Coba search bagaimana penguasaan asing atas kekayaan SDA milik kita. Luar Biasa! Hampir 100% dikuasai asing. Kalo sekedar mengelola sih gak masalah, tapi bagi hasilnya itu lho gak asik. Selain itu, mereka merusak lingkungan! Lihat saja Banyuwangi itu. Ada juga data dari WALHI Jatim tentang Kerusakan Alam di Jawa Timur yang menyebutkan kerusakan hutan di Jatim sudah sampai angka 700.000 Ha. Kerusakan itu jelas mengundang banyak bencana, macam longsor, banjir, dll. Menilik sedikit ke Kota Sebelah yang Metropolitan itu, Kota Surabaya. Bahkan WALHI berani mengklaim bahwa Warga Surabaya Minum Racun setiap Hari! Bagaimana tidak? 33,5 ton limbah dibuang ke Kali Surabaya setiap harinya. 33,5 ton itu segimana? Konversi sendiri aja, phone–nya kan sudah smart semua. Ada lagi kejadian unik, 2014 lalu, petani di kriminalisasi gara-gara menemukan benih baru! Katanya, salah prosedur sertifikasi dan penjualan benih. Ternyata pemerintah bukan hanya apatis terhadap rakyat, namun sampai mengkriminalisasi! Belum konflik tambang, migas, paten, dll. Ah, terlalu banyak jika harus dipaparkan semua. Nyatanya kita tahu, bahwa birokrat saat ini berdiri bersama korporat dan ironisnyamembelakangi rakyat. Aduh mak!
Dengan kondisi ini, apakah kita masih harus ribut siapa pahlawan kita? Masihkan kita mau meributkan siapa yang layak ditetapkan Presiden menjadi Pahlawan Nasional yang saya tidak hafal semuanya itu? Atau bahkan masih mau searching kapan film pahlawan IRON MAN terbaru diluncurkan di Bioskop kesayangan anda? Ah, nurani kita sepertinya sama-sama berpenyakit. Penyakit itu sudah akut. Penyakit apatis terhadap kondisi bangsa ini. Penyakit dimana kita lebih peduli bela eksistensi daripada bela substansi. DPR sibuk cari popularitas untuk nyalon lagi beberapa tahun ke depan, bahkan dengan mengorbankan rakyatnya yang terus gontok-gontokan secara horizontal.
Mari kita bergerak bersama, menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa ini, membela kebenaran. Kita harus bangkit memantik kesadaran rakyat bersama-sama. Kita harus membangun kesadaran kritis dan harus menghindari sikap apatis dan sikap pragmatisme, seperti yang diungkapkan Paulo Freire. Sehingga kita mampu menjadi pahlawan-pahlawan bagi generasi penerus bangsa ini. Bukan untuk diakui dan ditetapkan pemerintah sebagai pahlawan nasional, atau di filmkan oleh para produser, atau bahkan demi pundi-pundi warisan kehormatanyang primordialis dalam sekte organisasi, tapi demi keberlanjutan bangsa ini, menuju bangsa yang berdikari dan sejahtera. Dimana tidak ada sekat antar si kaya dan si miskin.
Nyatanya, kita masih butuh banyak pahlawan. Pahlawan yang membela kebenaran, pahlawan yang mampu melepaskan rakyat dari belenggu kemiskinan dan ketidak adilan, dan pahlawan yang mampu membawa bangsa ini menuju kejayaan, yang senada dengan esensi kepahlawanan yang dipahami oleh sahabat-sahabat semasa kecil saya dulu. Salam setengah Merdeka!
“Saya tak mengharapkan pahlawan. Orang tak selalu baik, benar, berani. Tapi saya mengagumi tindakan yang baik, benar, berani, biarpun sebentar.”– Goenawan Muhammad
Kopi Lanang, 12 November 2016
23.33 WIB
1 “Sudahlah, Pahlawan itu Paradoks” oleh Fathul Hasan, Esai yang meraih Juara I Lomba Menulis Hari Pahlawan oleh PMII Rayon “Pencerahan” Galileo 2016.
Setelah melalui proses RTK yang diakhiri dengan dipilihnya Ketua Komisariat PMII Sunan Ampel Malang yang baru, yaitu Sahabat Makmun Satriyono. Seperti yang sudah-sudah, pastilah tim formatur memainkan perannya dalam rekrutmen calon kepengurusan. Seperti yang sudah-sudah juga, formatur terdiri dari ketua-ketua rayon, ketua komisariat terpilih dan demisioner. Singkat cerita, saya masuk ke jajaran kepengurusan LSO Jurnalistik & Penelitian. Di LSO tersebut, saya bertemu dengan orang-orang hebat dari lintas rayon/fakultas.
Ketua lembaganya berasal dari Rayon “Kawah” Condrodimuko (Tarbiyah), Sahabat Rouf. Dia ini orang hebat dalam dunia kepenulisan. Saat berkunjung ke kosannya, koleksi bukunya luar biasa. Wajar jika tulisan-tulisannya juga berbobot. Sekretarisnya berasal dari Rayon “Radikal” Alfaruq (Syariah), Sahabat Toha. Dia juga gak kalah hebat di dunia kepenulisan. Begitupun anggota-anggota lainnya, Sahabat Rosyid yang mahir dalam kepenulisan fiksi. Sahabat Verdi yang sudah punya penerbitan sendiri bernama Madza Publishing. Dibanding mereka, saya bukan apa-apanya. Keunggulan saya ya cuma di dunia perwebsite an yang sebetulnya pas-pasan. Biasalah, saya cuma modal coreldraw buat desain-desain grafis di setiap kegiatan, dan ngelola website komisariat di pmiiuinmalang.or.id.
Yang jelas, beruntunglah saya dikelilingi orang-orang hebat dibidangnya. Semoga dalam prosesnya, saya bisa belajar banyak dari para suhu nya jurnalistik ini. Minimal, bisa memotivasi saya sedikit-sedikit biar lebih rajin menulis. Meskipun secara kualitas, ya gak akan sebagus mereka.
Hampir setiap hari, Kota Malang dilanda kemacetan. Kalau sudah macet, waktu banyak yg terkorbankan, jadwal ketemu sama si pacar jadi lebih sebentar karena lebih lama dijalan. Waktu kuliah pun sama. Bahkan, meski dari kos sudah berniat kuliah, kadang gara-gara macet, kita gak jadi kuliah dan malah belok ke warung kopi. hahaha. Saya berujar, ini masih Kota Malang, bukan kota besar macam Jakarta, Medan, Bandung dan Surabaya. Bagaimana macetnya kota-kota besar itu, tak bisa dibayangkan. Eh, sepertinya bisa, saya pernah suatu waktu jalan-jalan ke surabaya, bihhhh, jalanan begitu macet. Jalan masuk utama dari Kota Sidoarjo ini mantap sekali, kalo pake mobil, bisa berjam jam, tapi berhubung saya pake sepeda motor, yah, trotoar banyak yang kosong untuk dijadikan rute alternatif, hahaha (lagi).
Saat saya liburan pun begitu. Ayah saya seringkali mengeluh, “Dulu itu kalo ke Cirebon cukup 30-45 menit, sekarang 1 jam lebih, jalannya padat.”, ujarnya sambil menyalip kendaraan di depan. Daerah saya itu lho, ya kota kecil, jarang dikenal, tapi sudah macet, mau tau nama daerah saya itu? Kabupaten Majalengka, kenal? Yang tau mungkin yang asli Jawa Barat, selain asli sunda, pasti dia akan memberikan pertanyaan susulan, “Majalengka itu dimana ya?”. Saya sudah tau gelagat orang seperti ini, nilai Mata Pelajaran Geografi di SMA paling dapet 60, maka langsung saya jawab, “Tetangganya Cirebon mas.”. Biasanya, orang lebih mudah mengenal Cirebon, kotanya cukup terkenal. Cirebon merupakan rumah asal dari Kang Said, Ketua Umum PBNU dan terdapat makam salahsatu walisongo, yakni Sunan Gunung Jati. Saya pikir, jawaban tambahan itu sudah membuat si penanya mengerti, namun tak dikira-kira, ternyata teman saya itu masih juga melayangkan pertanyaan lain, “Cirebon iku Jawa Tengah yo mas? Endi ne pekalongan mas?”. Jancuk a, gumamku. “Iyo, jateng. Tonggone Pekalongan pas bro.”, jawabku mantap. Nilai geografi ne arek iki piro to? Masak harus menunggu saya jadi Bupati Majalengka untuk Majalengka bisa dikenal, eh. Yah, beginilah hasil dari sistem pendidikan di Indonesia, seperti yang dikatakan oleh Eistein, bahwa semua orang itu cerdas, namun adalah hal bodoh bila kau menyuruh ikan untuk memanjat pohon seperti monyet. Namun, disini saya tidak ingin bercerita pendidikan, saya sekarang sedang galau tentang kemacetan yang tiada tara.
Siapa yang tidak tahu, di Indonesia ini, khususnya pulau jawa, hampir setiap rumah memiliki kendaraan pribadi, mulai mobil, motor, bahkan sepeda pancal ataupun sepeda goes milik balita. Penduduk pulau jawa juga sangat padat. Menurut BPS, 54,7% (sekitar 141 juta jiwa) penduduk Indonesia berada di pulau jawa. Jadi, lebih dari setengah penduduk Indonesia ini menetap pulau jawa. Contoh kecil deh, berapa mahasiswa di Malang yang tidak menggondol sepeda motor dari rumahnya? jangan dulu lingkup Malang deh, kampus saya, UIN, berapa yang tidak bawa sepeda motor untuk pergi ke kampus? Parkiran kampus sekelas WCU (World Class University) saja sudah tidak muat, apalagi kampus UB yang kampusnya cuma akreditasi institusi B. Eh, kok malah ngomongin kampus. kembali ke parkir, eh macet.
Nah, trus bagaimana nih? menurut saya, kemacetan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kalo tidak boleh dibiarkan, berarti hal tersebut adalah masalah, kalo masalah itu harus diatasi, kalo perlu diatasi, berarti harus memikirkan SOLASI, eh SOLUSI. Bagaimana solasinya? Saya juga belum tau betul bagaimana solusinya, saya kurang pengalaman, gak ada sama sekali pengalaman kerja di Dishub ataupun yang lainnya. Tapi kata Gus Dur, bukankah untuk jadi presiden gak harus pengalaman jadi presiden dulu? Saya ingin mencoba meraba dan menerka solusi itu. Menurut saya, kunci untuk mengatasi kemacetan adalah dengan menekan kepemilikan kendaraan, memperketat realisasi regulasi lalu lintas, dan meningkatkan kualitas fasilitas dan transportasi umum.
Pertama, menekan jumlah kepemilikan kendaraan. Ya, kepemilikan kendaraan harus dibatasi. Lha, bagaimana volume kendaraan mau berkurang kalo mobil sekarang bisa sangat murah dengan sistem kredit yang memudahkan. Maka harus dimahalkan. Selain itu, kepemilikan kendaraan di Indonesia tidak dibatasi waktu. Harusnya, kepemilikan kendaraan dibatasi waktu. Misal setiap 5 tahun harus masuk rongsok dan di kilo, hahaha. Dengan begitu, orang akan enggan membeli kendaraan. Kalo bicara statistik, lagi-lagi, silahkan tanya mbah google. Kalo saya main logika sederhana aja. Kalo kata mbah Jiwo, IQ? IQ? IQ?
Kedua, memperketat realisasi regulasi. Nah, ini yang sulit, budaya suap, pungli, dll yang masih sangat akrab dengan sendi-sendi kehidupan kita. Kalo ini saya tak mau banyak bicara, ayo kita sadar bersama-sama, stop praktik pungli dan suap. Sudah cukup saat balita kita disuapi, masak sudah jadi PNS dan Polisi masih pengen disuapi. Kitanya juga nih, mau aja nyuapin yang bukan anak kita. Kalo masih seperti ini, yaaaa terserah, mau makan dimana, di warung sana juga boleh, di warung sini juga boleh, terserah kamu, asal jangan lalapan, bosen.
Ketiga, meningkatkan kualitas transportasi dan fadilitas umum. Ini yang menjadi konsekuensi yang harus benar-benar diupayakan guna mendukung opsi pertama dalam membatasi kepemilikan kendaraan. Sehingga, rakyat semakin aman dan nyaman menggunakan transportasi umum. Yah, mau gimana aman dan nyaman, kadangkala masih ada yang ribut tarif angkot antara supir dan penumpang. Adapula ORGANDA dan PPAD yang naikkan tarif ketika ada kenaikan BBM. Semakin tinggi lah jurang pemisah antara ongkos transportasi umum dan kendaraan pribadi. Ini sangat berpengaruh. Contohnya begini, saya kalo harus pulang dari malang ke jawa barat menggunakan mobil pribadi, bisa sampai menghabiskan 500 ribu, untuk bensin dan makan, belum lagi mesin mobil yang panas dan perlu servis serta lelahnya menyetir dengan perjalanan ratusan kilometer saking jauhnya. Saya lebih memilih naik kereta api, cukup uang 100-150 ribu, saya sudah bisa sampai rumah. Lah, berbeda dengan ANGKOT, jauh dekat 4 ribu, sedangkan untuk ke lokasi yang saya tuju harus naik angkot 3 kali, berarti butuh dana 12 ribu, PP 24 ribu. Berbeda dengan menggunakan sepeda motor pribadi, cukup 8 ribu/liter, PP masih sisa banyak. Maka harus dipikirkan kemudian formulasi dan konsepsi transportasi jarak dekat yang terjangkau oleh rakyat jelata, kopi lanang dan unyil coffee, dimana ongkos transportasi umum bisa lebih murah daripada menggunakan kendaraan pribadi. Kalaupun tidak bisa lebih murah, fasilitasnya ditingkatkan, sehingga lebih nyaman.
Yah, mau bagaimanapun, ini cuma tulisan dan harapan saya ke depan. Mengkonsep dan menulisnya memang mudah, tapi merealisasikannya tak semudah menulisnya, bukan? Butuh kerja ekstra, keterlibatan dan dukungan berbagai pihak untuk merealisasikannya. Oh iya, selaku pemuda (untuk yang masih muda2 lho), cobalah untuk mengendalikan budaya konsumtif kita, cobalah berfikir untuk mengarah ke pola pikir produktif. Kita semua pasti lelah, semua teknologi yang kita gunakan, gak ada yang MADE IN INDONESIA. Ayo bergerak bersama! Masa depan bangsa ini ditangan kita. Masih dengan semangat sumpah pemuda. Salam Pemuda! Salam Pergerakan! Selamat mengopi! Srupuuuut…
Hai, Saya Fawwaz Muhammad Fauzi, suatu produk hasil persilangan genetik Garut-Majalengka. Menjadi Dosen Kimia adalah profesi utama saya saat ini. Selain itu, ya membahagiakan istri, anak dan orang tua. Melalui blog ini, saya ingin menuliskan kisah-kisah keseharian saya yang pasti receh. Mungkin sedikit esai-esai yang sok serius tapi gak mutu. Jadi, tolong jangan berharap ada naskah akademik atau tulisan ilmiah disini ya, hehe.
Kalau ada yang mau kontak, silahkan email ke [email protected]. Udah itu aja.