Menyelenggarakan Kaderisasi Ansor

Menyelenggarakan Kaderisasi Ansor

Kaderisasi adalah hal yang wajib dilakukan oleh sebuah organisasi. Tentu saja untuk pengembangan SDM dan regenerasi organisasi. Kader (Cadre) berasal dari bahasa Yunani berarti Bingkai. Artinya perkumpulan orang yang dibingkai untuk dibina demi tujuan tertentu.

Maka, demi mencapai apa yang dituju oleh GP Ansor, GP Ansor punya mekanisme kaderisasi bagi anggota yang dapat diikuti, dari mulai PKD (Pelatihan Kepemimpinan Dasar), PKL (Lanjut), hingga PKN (Nasional) bahkan LI (Latihan Instruktur). Dan, alhamdulillah, PAC GP Ansor Rajagaluh yang saya pimpin telah berhasil menyelenggarakan PKD yang diikuti total 70 peserta pada tanggal 31 agustus-1 september lalu di PP. Mansyaut thullab, Rajagaluhlor asuhan KH. Jazaul Ihsan.

Saat mahasiswa, saya diberi pemahaman bahwa jenis kaderisasi ada 3, yaitu formal, informal dan non formal. Formal seperti agenda PKD, PKL, dan sejenisnya, informal seperti pelatihan softskill, dan non-formal macam ngopi-ngopi dan ngaliwet. Artinya, PKD Ansor ini bukan hal aneh. Sudah kewajiban yang harus dilakukan, dan merupakan agenda rutinan.

Meski sudah rutinan, konsolidasi organisasi menjadi kunci untuk penyelenggaraan PKD. Karena tanpa ada tim atau kepanitiaan yang kompak, agenda kaderisasi tak akan bisa berjalan dengan baik. Hal yang paling penting adalah terkait dengan rekrutmen peserta dan strateginya. Ini sangatlah rumit, karena untuk mengajak orang untuk bergabung di organisasi bukan hal mudah, apalagi organisasi macam Ansor ini bersifat non-profit.

3 bulan kita lakukan serangkaian strategi untuk bagaimana dapat merekrut calon-calon kader yang diharapkan dapat membersamai bahkan melanjutkan estafet organisasi. Alhamdulillah, serangkaian strategi rekrutmen yang kami laksanakan membuahkan hasil 71 kader baru GP Ansor, dimana 80% diantaranya adalah putra daerah asli Rajagaluh, yang tentunya ke depan akan mewarnai pergerakan GP Ansor di wilayah Kecamatan Rajagaluh.

Tugas yang sebenarnya baru saja akan dimulai. Pengalaman berbicara, fase pasca pelatihan adalah fase krusial dimana kader baru itu akan tetap aktif atau menghilang. Mengapa demikian? Fakta di beberapa organisasi menunjukkan bahwa justru setelah pelatihan, banyak kader yang awalnya semangat, kemudian menghilang. Padahal seharusnya, setelah diberikan materi ideologisasi dan pengembangan diri, kader bisa lebih ideologis dan skillfull. Seharusnya. Tapi fakta ternyata berkata lain. Ini sebetulnya perlu dilakukan studi terkait mengapa itu bisa terjadi, yang menyebabkan rasa-rasanya kok agenda kaderisasi yang menghabiskan banyak waktu, tenaga, pikiran, bahkan cuan yang tidak sedikit tidak berefek signifikan terhadap militansi kader.

Terkait studi, itu soal lain. Tapi yang perlu kita lakukan adalah bagaimana kita memastikan gejala ini tak berulang di GP Ansor Rajagaluh. Maka kita akan siapkan pendampingan-pendampingan di fase pasca kaderisasi, melalui kaderisasi informal macam penambahan pengetahuan dan soft skill, atau kaderisasi non-formal macam ngopi-ngopi dan ngaliwet. Karena untuk kebutuhan saat ini, meski organisasi macam Ansor dan NU ini kita yakini penuh dengan barokah, itu saja tidak cukup. Kita perlu siapkan Ansor menjadi ruangan yang nyaman untuk pengembangan diri, media yang tepat untuk membangun jejaring, tempat yang indah untuk menjalin persaudaraan dalam perjuangan.

Maka saya sepakat dengan agenda ketum Addin Jauharudin dengan platform ASTA BISA, Bisnis, Inovasi Teknologi Media, SDM dan Anak Muda, itu harus diwujudkan dan direalisasikan hingga akar rumput. Terlebih, terdapat planning program bernama ANSOR UNIVERSITY dibawah komando Sahabat Dwi Winarno, saya cukup optimis meski ada pesimis-pesimisnya, hahaha. PR masih banyak, seperti pembentukan ranting dan rekrutmen anggota Banser. Mohon doa, semoga Sahabat Ansor di Rajagaluh dapat tetap kompak dan berkembang menuju Ansor Masa Depan BISA!

Memegang Tongkat Komando Wisuda

Memegang Tongkat Komando Wisuda

Saya sudah dua kali di Wisuda, tentu yang saya hitung adalah wisuda sarjana dan magister. Wisuda TK, meski dulu saya juga pakai toga, tidak saya masukkan hitungan. Konon, wisuda ini berasal dari bahasa Sanskerta, ‘visuddha’ yang berarti selesai. Lulus dari TK masa iya sekolahnya udahan, hahaha.

Perbedaan dari dua wisuda yang saya ikuti, seperti yang saya tulis di tulisan lama, wisuda sarjana terkesan biasa saja, namun saat magister, rasanya memang emosional! Terlepas dari itu, ada satu kesamaan dari kedua wisuda yang pernah saya ikuti, saya tak benar-benar mengikuti dan memahami rangkaian prosesinya! Yang penting saya duduk manis, lalu hape-an, dan tentu saja, nundutan, wkwkwk. Apalagi saat wisuda S2, beuuuh, daring bosss, atasan toga, bawahan kolor, ngenes!

Sialnya, kira-kira dua bulan yang lalu, di Kampus tempat saya mengajar, saya didapuk menjadi Ketua Panitia Wisuda, dan rumitnya lagi, itu adalah Wisuda Perdana untuk lulusan angkatan pertama dimana kampus belum pernah sekalipun menyelenggarakan wisuda. Tentu saja saya tak punya modal legacy, misal draft-draft atau pedoman wisuda yang bisa saya pegang. Saya dan tim panitia harus berupaya keras merancang konsep dan atribut wisuda dari nol, bahkan kami mendadak merancang Mars dan Hympe Kampus! Bagaimana susunan acaranya, bagaimana toga wisudanya, untuk mahasiswa, pimpinan, siapa saja yang diundang, dan tetek bengek lainnya.



Syukurlah, panitia bentukan kami bermental baja. Dengan semangat “Kami adalah perintis, bukan pewaris” seperti sabda bokong truk, kami jalan terus, segala aral merintang kita hadapi. Persiapan demi persiapan kita jalani. Dan alhamdulillah, tepat pada hari kamis, 18 Juli 2024 lalu, kegiatan wisuda itu rampung terlaksana, sukses, meriah dan menggelegar! Beruntunglah saya dikelilingi tim yang kompak dan keren. Tim kesekretariatan yang gercep, tim media yang professional, tim protokoler yang sigap, dan tim keamanan, konsumsi dan lainnya yang siaga dan rela ngelembur-ngelembur demi kesuksesan acara perdana ini.

Wisuda perdana yang diselenggarakan di Sapphire Grand Ballroom, Aston Hotel Cirebon itu menjadi catatan sejarah epik, dimana wisuda perdana kampus kami berjalan dengan lancar dan meriah. InsyaAllah tidak memalukan untuk dijadikan barometer pada pelaksanaan wisuda berikutnya. Legacy yang cukup layak! Terimakasih kepada seluruh panitia, dosen, petugas acara, wisudawan, dzurriyah KHAS Kempek yang senantiasa kompak bekerja bersama. Karena tentu saja, ketua panitia tanpa anggota yang solid tak akan bisa mensukseskan suatu acara. Dan yang paling penting, terimakasih untuk inisiatif penyewaan Handy-Talky di H-1 yang sangat-sangat berguna. Hahaha.



Selamat untuk 70 wisudawan wisudawati Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan KHAS Kempek dari Program Studi Farmasi dan Gizi. Seperti kata banyak orang, wisuda itu bukan akhir, justru awal untuk anda semua memulai langkah hidup dengan gelar yang menempel dibelakang nama. Gelar itu menyimpan beban moral yang berat. Semoga anda semua dapat menjadi orang yang adil, dapat mengaplikasikan dan mempertanggungjawabkan gelar yang anda miliki dengan keterampilan dan pengetahuan yang sepadan. See all of you on top! Semoga Allah senantiasa merahmati dan membimbing kita semua. Amin ya robb.

Skeptis dengan Perekonomian Organisasi

Skeptis dengan Perekonomian Organisasi

Organisasi mahasiswa, organisasi kemasyarakatan, LSM dan sejenisnya kebanyakan adalah organisasi non-profit, alias tidak berorientasi pada keuntungan materiil. Kerja-kerja organisasi tersebut biasanya didanai oleh swadaya atau iuran anggota, sumbangan dari loyalis atau simpatisan, hingga pengajuan proposal pada instansi tertentu. Terminologi wajib dalam sumbang menyumbang di organisasi ini adalah “Halal dan Tidak Mengikat”.

Sialnya, iuran anggota tak selalu efektif. Banyak anggota enggan menyumbang karena berbagai faktor, entah memang kurang percaya pada pengurus organisasi, atau memang kere. Sumbangan dari simpatisan, ini paling menarik, sayangnya zaman sekarang orang tak lagi seideologis dulu, loyalis yang militan menjadi semakin berkurang. Proposal? Selain pengurus organisasi wajib bermuka tebal, biasanya mengandung klausul-klausul. Jika ada klausul, tentu itu melanggar term “Tidak Mengikat”, hehe. Selain itu, tentu ada segudang alasan yang akhirnya berkesimpulan bahwa mencari dana untuk menghidupi organisasi bukan hal yang mudah.

Saat aktivitas organisasi terkendala operasional, muncullah berbagai macam ide, seperti mendirikan badan usaha milik organisasi, atau usaha kecil-kecilan, tiada lain tiada bukan adalah untuk membiayai kegiatan-kegiatan organisasi. Dicetuskanlah dalam rapat kerja atau sejenisnya, program kerja kewirausahaan, dengan semangat kemandirian ekonomi organisasi, agar tidak bergantung pada proposal, jamaah atau loyalis, bahkan iuran pengurus.

Lagi-lagi, sayangnya, tak banyak wirausaha organisasi itu yang bisa berhasil, bertumbuh dan berkembang. Paling baik ya stagnan, buruknya, lebih banyak yang “laa yamutu walaa yahya”. Kegagalan ini juga banyak faktor, namun ada dua penyebab kegagalan yang menurut saya cukup fundamental. Pertama, Kepemilikan usaha dan hilangnya semangat. Usaha itu milik organisasi, sehingga pengurus organisasi itu enggan totalitas untuk pengembangannya karena itu bukan miliknya, meski jika ditarik secara ideologis, harusnya dengan keyakinannya itu kita mau totalitas, tapi misal melihat rekan sesama pengurus yang tidak punya semangat yang sama, akhirnya semangat kita pun ikut luntur.

Mengapa tak punya semangat? Tentu karena profitnya tak 100% mengalir untuk dirinya, sekian persen harus direlakan untuk organisasi. Selain itu, tentu ia pun punya usaha sendiri yang butuh perhatian lebih, karena itu adalah jantung perekonomian keluarga, sehingga usaha organisasi ala kadarnya saja.

Kedua, Penyelewengan. Katakanlah poin pertama itu tidak ada, usaha organisasi maju dan berkembang. Ada tangan-tangan iseng yang mencoba bermain-main dengan uang organisasi. Meski awalnya karena kepepet kebutuhan, pinjem bentar misal, lama-lama keenakan dan terjadilah penyelewengan. Penyelewengan ini macam-macam bentuknya, ada korupsi, ada juga yang cuma gak mbayar, dan ini banyak.

Misal, sebuah organisasi memutuskan untuk berjualan kaos atau merchandise. Kemudian ada beberapa anggota bahkan pengurus organisasi memesan, setelah beres, mereka ambil kaosnya, tapi tak mau membayar dengan seribu alasan. Masak ada yang begitu? Banyak, hahaha. Ada yang merasa begitu disini?

Dengan adanya fakta-fakta demikian, saat ada proker wirausaha dicanangkan kepengurusan organisasi, saya lebih sering skeptis dan optimis jika proker itu akan gagal, hahaha. Paling tidak dengan model peristiwa diatas, entah hilang ghiroh atau adanya penyelewengan.

Lalu bagaimana baiknya organisasi agar punya kemandirian? Saya pun belum punya pengalaman yang memuaskan, tentu ada yang berhasil, tapi tak sampai sesuai harapan. Apakah saya akan terus pesimis? Tentu tidak. Saya menulis ini karena saya ingin tercerahkan, siapa tau ada yang membaca tulisan ini, lalu menginformasikan ke saya beberapa contoh wirausaha organisasi yang berhasil dan berkelanjutan. 

Jika harus dicari teladan wirausaha organisasi, saya bisa sebut organisasi Persyarikatan Muhammadiyah. Melalui amal usahanya, Muhammadiyah terlihat mampu menjalankan aktivitas organisasinya dengan pendanaan mandiri. Tak terhitung sekolah dan kampus yang terkelola secara profesional, profit dan tentu berdampak. Tentu saya melihat Muhammadiyah dari sudut pandang orang luar, saya belum paham dalam-dalamnya, seperti kata pepatah, rumput tetangga biasanya terlihat lebih hijau. Aslinya saya tidak tahu, bisa saja terdapat penyelewengan atau hilangnya ghiroh, sama seperti organisasi lainnya. Tapi sejauh pengamatan saya, saya melihat Muhammadiyah adalah teladan kemandirian ekonomi organisasi. Ya, tentu saja saya bisa salah menyimpulkan, mungkin saya kurang membaca atau ngopinya kurang jauh dengan sahabat-sahabat di Muhammadiyah.

Wallahu a’lam.

Menikmati Masa Awal Menjadi Dosen

Menikmati Masa Awal Menjadi Dosen

Belakangan, tagar JanganJadiDosen mengemuka dan viral di jagat maya. Tagar itu menggema disertai dengan banyak skrinsutan slip gaji dosen yang jauh dari kata kategori sejahtera. Untuk dikategorikan sejahtera, slip gaji yang ditunjukkan pada cuitan di tagar JanganJadiDosen itu memang sangat miris. Sudah gaji kecil, ada yang dirapel pula, dan lain-lain. Padahal, menjadi dosen memiliki kualifikasi yang tak main-main. Sejak beberapa tahun yang lalu, untuk menjadi dosen, seseorang diharuskan memiliki minimal strata pendidikan magister (S-2), dan jika ingin berkarir serius di dunia perdosenan, mengejar gelar doktor adalah kewajiban.

Dan, seperti yang anda tahu, biaya studi sarjana di negeri kita ini masih jauh dari kata “terjangkau”, apalagi untuk S-2 dan S-3. Memang ada banyak pilihan beasiswa, itu bisa menjadi topik lain yang tak perlu dibahas pada tulisan ini. Hal ini sangat memprihatinkan saat kita mengetahui satu fakta bahwa persentase warga Indonesia yang berpendidikan tinggi masih dibawah 10%.

Saya sudah berprofesi menjadi dosen selama kurang lebih satu tahun di salah satu kampus swasta di Cirebon. Menjadi dosen atau paling tidak berkecimpung di dunia pendidikan adalah salah satu cita-cita saya. Entah mengapa saat SMA tiba-tiba cita-cita itu muncul, mungkin sistem pembelajaran pesantren tempat saya belajar adalah salah satu yang mempengaruhi diri saya.

Semakin kuat harapan itu saat saya kuliah di Malang. Dunia aktivis mahasiswa adalah salah satu yang memperkuat itu. Dipertemukan dengan orang-orang yang hebat dalam fasilitasi forum, firm saat berbagi cerita, pemikiran, semangat dan keilmuan. Sedikit demi sedikit, ada satu dua forum yang bisa saya coba isi, saya fasilitasi. Meski tak sebaik senior-senior saya, saya merasa berbagi cerita, semangat, pemikiran dan sudut pandang dengan orang lain, berdiskusi, bertukar pikiran itu terasa menyenangkan.

Disamping dari aspek transfer keilmuan yang sesuai dengan disiplin ilmu saya, dari aspek moril, banyak hal yang saya rasa ingin saya bagikan dan ceritakan dengan orang lain, tentang banyak hal dari sisi ideologis, keyakinan, semangat dan sudut pandang yang ingin saya sebarkan kepada sebanyak mungkin orang, meski entah sebetulnya sekuat dan sebaik apa pikiran saya itu. Tapi setidaknya itulah yang saya yakini baik dan perlu disebarkan.

Selepas S-2, saya tentu mencoba mencari lowongan kerja dosen. Singkat cerita, akhirnya saya diterima di salah satu kampus swasta. Awalnya saya cukup idealis, menjadi dosen saya hanya ingin mengajar saja, jadi dosen non tetap. Namun saat saya terjun lebih dalam lagi, saya akhirnya memutuskan untuk menjadi dosen tetap, menikmati tahap demi tahap menjalankan tri dharma perguruan tinggi.

Kelas pertama tentu tak semudah yang dibayangkan, apalagi saat S-1, saya bukan tergolong mahasiswa yang rajin-rajin amat, perlu mutholaah yang sangat mendalam, karena untuk menyampaikan ilmu, tak cukup hanya paham untuk diri sendiri, tapi juga harus mampu memahamkan anak didik kita. Setelah satu tahun lebih, saya cukup menikmati masa-masa awal ini. Penelitian pertama, membimbing mahasiswa pertama, pengabdian pertama, isi BKD pertama, ritme perdosenan pertama, meski masih terbata-bata, saya menikmatinya.

Meski menjadi dosen ini tak menjanjikan secara finansial seperti yang beredar belakangan, saya menikmatinya. Saya berupaya mengisi kebutuhan cuan dari bisnis yang saya jalani bersama istri, dan tak bergantung dari penghasilan saya sebagai dosen. Terdengar ideal bukan? sebenarnya tak seideal itu. Apalagi saat kedua sisi itu menuntut fokus yang sama. Pekerjaan administratif dosen yang seabrek, dan kompetisi jualan onlen yang semakin tak masuk akal terkadang membuat saya cukup pusing. Tapi, bukankah pusing itu tandanya kita berpikir? intinya, saya menikmati semua kepusingan dalam hidup ini, hehehe.

Catatan untuk Konfercab VIII PCNU Majalengka

Catatan untuk Konfercab VIII PCNU Majalengka

Kemarin adalah pertama kali saya mengikuti agenda musyawarah tertinggi di tingkatan PCNU, Konferensi Cabang VIII Nahdlatul Ulama Kabupaten Majalengka. Seperti tertuang pada AD ART, agenda Konferensi digelar untuk suksesi pergantian kepemimpinan NU di berbagai tingkatan, memilih Rais Syuriyah & Ketua Tanfidziyah.

Saya datang bukan sebagai peninjau, tetapi sebagai delegasi MWCNU Rajagaluh yang diberi mandat melalui Surat Mandat yang dikeluarkan Pengurus MWCNU Rajagaluh, artinya saya punya hak suara dan hak bicara dalam forum tersebut. Saya memang tercatat di SK sebagai pengurus harian MWC. Sebagai bocil atau newbie dalam forum tersebut, tentu saya lebih banyak memperhatikan dinamika yang terjadi dalam forum tersebut, tak ikut berkomentar, disitu forum kyai-kyai bos, isin aku, wkwkwk.

Saat mahasiswa, saya cukup akrab dengan forum seperti ini, misal saat dulu di PMII Kota Malang, ditingkatan paling bawah level rayon, saya mengikuti beberapa kali RTAR (Rapat Tahunan Anggota Rayon), RTK (Rapat Tahunan Komisariat), bahkan Konfercab (Konferensi Cabang) PMII Cabang Kota Malang. Terbaru di akhir 2020, saya ikut menjadi panitia Konferensi MWCNU Kec. Rajagaluh. Artinya secara mekanisme, saya sudah cukup paham, ada beberapa sidang pleno dan komisi, dan diakhiri sidang pleno terpanas, tentu saja pemilihan nahkoda baru organisasi.

Forum tertinggi seperti ini biasanya sarat kepentingan, panas, penuh gengsi, adu tensi, dan bahkan bisa jadi menentukan kedewasaan berorganisasi masing-masing insan organisasi. Posisi ketua, atau bahkan rois adalah posisi yang biasanya diperebutkan dan diinginkan oleh beberapa orang. Dalam kasus tertentu, isu money politics berhembus, biasanya mentarget pemilik hak suara dalam forum. Siapa yang punya hak suara memilih ketua, akan diincar dan digoda oleh mereka yang punya ambisi menjadi ketua. Janjinya macam-macam, nominalnya pun macam-macam. Tentu ini bukan tuduhan, karena sampai saat inipun saya hanya tau isu ini sekedar kabar burung saja, saya tak pernah investigasi sendiri, kebenarannya hanya diketahui oleh pemainnya saja, hehe.

Mencermati Konfercab VIII PCNU Majalengka, satu per satu mekanisme saya coba pahami, adakah yang menurut saya tidak ideal? Adakah yang melenceng? Adakah yang kurang tepat? Daaaan, saya menemukan bahwa agenda konfercab di NU cukup rapi dan tertib. Terlebih, saya melihat ada political will dari PBNU untuk berbenah dan mengawal secara aktif prosesi konfercab ini, agar sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku di lingkungan NU. Reformasi struktural dan peningkatan peofessionalitas organisasi coba ditegakkan PBNU. Dibuktikan dengan diharuskannya sidang langsung dipimpin oleh delegasi dari PBNU, khususnya pada pleno terakhir yang biasanya panas.

Agenda pleno I tentang Tata Tertib berlangsung dinamis, namun tetap santun dan santuy. Tidak ada gontok-gontokan karena tarik ulur kepentingan yang biasanya kentara kalo di forum mahasiswa, hehe. Artinya forum berjalan cukup konstruktif dan tentu saja, cepat. Hahaha.

Yang cukup saya sayangkan adalah di pleno komisi. Poin yang cukup saya kritisi adalah ruangan pleno komisi yang tidak representatif untuk sidang komisi. Sidang dilakukan di aula yang besar dan bersebelahan dengan sidang komisi lain. Tentu suara dari para peserta menggema dan bersahutan tidak jelas. Akibatnya, forum menjadi tidak kondusif dan tidak dinamis. Hasilnya saat dilaporkan, tak banyak perubahan dari rancangan draft yang telah dibuat. Hanya dilaporkan bahwa draft yang dibuat sudah cukup bagus, dan tinggal bagaimana pemimpin NU kedepan bisa benar-benar merealisasikannya. Ini cukup disayangkan karena saya kira, salah satu agenda penting dari konfercab ada disini. Kita bertukar pikiran, gagasan hingga strategi bagaimana untuk menjalankan NU ke depan sesuai dengan tantangan zaman. Memang draft yang ada sudah bagus, tapi jika kita lebih niat lagi untuk membahas, itu bisa lebih maksimal. Saya cukup paham juga sih, kadangkala kita sudah maksimal menggagas ide yang dituangkan di pleno komisi, pada akhirnya, hasil-hasil sidang itu berakhir dalam tumpukan draft yang tidak pernah dibuka lagi, atau bahkan dikilokan hingga menjadi bungkus nasi uduk. Soft file nya hanya ada di laptop operator saat sidang, atau bahkan hilang. Tak ada mekanisme bagaimana mempublikasi draft hasil konfercab tersebut.

Selanjutnya dalam LPJ, pleno nya terkesan buru-buru, komentar dari peserta sidang dibatasi dan sudah diatur untuk orang-orang yang akan mengomentari hasil LPJ. Dan semuanya berakhir mengafirmasi dan mengapresiasi saja. Ada yang mengkritisi, hanya mengkritisi terkait draft LPJ yang disebar soft file nya saja tanpa versi cetak. Bagi saya itu tak substansial. Seharusnya forum LPJ bisa lebih banyak mengkritisi kinerja kepengurusan, dan dalam jawaban ketua PCNU demisioner, ia pun berharap kritik demikian.

Di sidang pleno IV yang merupakan bagian terpanas, justru terlihat sangat elegan. Mekanisme pemilihan di NU memang memilih 2 pimpinan, rois syuriyah dan ketua tanfidziyah. Pemilihan rois dilangsungkan melalui mekanisme sidang ahlul halli wal aqdi, semacam sidang 5 ulama sepuh yang dipilih dari suara yang diusulkan MWC-MWC, yang akan bermusyawarah menentukan siapa yang layak menjadi rois syuriyah. Hasilnya terpilih 5 kyai sepuh yaitu KH. Anwar Sulaeman, KH. Harun Bajuri, KH. Aliyudin, K. Yusuf Karim, dan KH. Abdurrosyid, dimana melahirkan keputusan yang memilih KH. Anwar Sulaeman sebagai Rois syuriyah terpilih PCNU Kabupaten Majalengka masa khidmat 2023-2028. Pemilihan dengan mekanisme ahwa ini saya sangat menyukainya dibanding mekanisme voting seperti pada pemilihan ketua tanfidziyah, dengan beberapa alasan pribadi, hehe.

Sampailah kepada agenda terakhir dalam pleno terakhir, yakni pemilihan ketua tanfidziyah, dengan 1 hak suara dari masing-masing MWC. Mekanisme nya dengan penjaringan bakal calon, kemudian yang memiliki 30% suara akan lanjut ke putaran kedua. Syahdan, dalam pemungutan suara pertama, KH. Muhammad Umar Sobur mendapatkan 19 suara mengungguli KH. Dedi Mulyadi (incumbent) yang mendapatkan 5 suara dari 25 suara, 1 suara tidak sah. Dengan hasil tersebut secara otomatis Kyai Umar terpilih menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Majalengka karena Kyai Umar mendapatkan lebih dari 50%+1 suara dan suara Kyai Dedi tidak mencapai 30% suara.

Sesaat setelah penghitungan suara berakhir, Kyai Dedi menghampiri langsung Kyai umar, mengucapkan selamat dan berpelukan. Sebuah sikap keteladanan yang harus kita tiru sebagai generasi muda. Selanjutnya, berkumpul pula disitu kader-kader PMII Majalengka berfoto. Dibrowsing-browsing, lha ternyata Kyai Umar ini Ketua Mabincab PC PMII Kab. Majalengka. Ealaaaaah. Saya baru tau. Pantes pengkondisian suaranya mantap, wkwkwkwk. Overall, selamat mengemban amanah untuk KH. Anwar Sulaeman dan K. Muhammad Umar Sobur sebagai nahkoda baru PCNU Kabupaten Majalengka 5 tahun kedepan. Doa terbaik untuk panjenengan berdua. Semoga NU di Majalengka semakin maju. Ami ya robbal alamin. Dan, terimakasih untuk kesempatan yang diberikan kepada newbie seperti saya untuk mengikuti dengan seksama agenda Konfercab ini, sok sokan ngasih catatan pula. Songong.

Perspektif Baru Kang Iip

Perspektif Baru Kang Iip

Hari ini adalah hari dimana seharusnya saya menghadiri pengajian alumni Pondok Pesantren Baitul Hikmah Haurkuning, Tasikmalaya atau yang dikenal dengan sebutan PESANHIKMAH zona Ciayumajakuning & Jateng. Dorongan kuat untuk hadir sebetulnya sangat tinggi, terlebih yang akan hadir adalah salah satu dewan kyai yang paling saya idolakan sejak masih di pondok dahulu, beliau adalah KH. Iip Miftahul Faoz, atau yang akrab disapa Kang Iip.

Namun, terkait dengan realitas kehidupan dan sekelumitnya, saya harus mengerem hasrat untuk menghadiri agenda tersebut. Ya Allah, ingin sekali rasanya hadir bertemu Guru yang selalu menggetarkan hati dengan motivasinya selepas shubuh, tapi tangan tak sampai, semoga dilain waktu silaturahmi bisa tetap bisa saya haturkan kepada beliau.

Sebagai obat kesedihan karena tidak bisa hadir di acara tersebut, mungkin akan sedikit akan saya luapkan melalui tulisan ini, satu dua hal dari sekian banyak pengalaman yang saya dapatkan saat belajar kepada beliau. Saya masih ingat betul cara bicaranya, cara beliau memegang kitabnya, memaknai dan menjelaskan dengan gamblang hadits demi hadits dalam kitab mukhtarul ahadits, sembari mengkorelasikannya dengan konteks global. Sekali-kali beliau lontarkan ide-ide bagaimana harusnya santri hidup dan berkontribusi di masa depan nanti.

Hal yang paling saya ingat betul adalah beliau beberapa kali pernah kurang lebihngendika begini, “Santri teh ulah caricing disisi wae, ulah nyararisi wae. Ayeuna mah kudu wani katarengah, asup ka perkotaan, asup ka pamarentahan, asup ka perusahaan. Da kaluar tidieu maraneh teh moal jadi kyai kabeh, aya nu bakal jadi PNS, supir, karyawan, menteri, presiden saha nu apal. Matak tingkatkan kapasitas diri ulah ngan saukur nalar jurumiyah imrithi alfiyah, nu kitu mah geus loba. Tapi santri nu nalar wawasan kontemporer, nalar hukum, nalar sains, nalar ekonomi, can aya, can loba. Matak sok sing rarajin diajarna, cita-cita sing luhur, udag sebisa mungkin, tantangan kahareup geus leuwih beurat.”.

Bagi saya, kata-kata itu terasa seperti suatu pelecut semangat untuk kembali berpikir. Apa benar begini, apa benar begitu, berkontemplasi dan berefleksi. Dan disitulah titik balik dimana saya sedikit memutarkan kemudi, “Oke, setelah ini, saya harus berkuliah pada bidang Sains, bidang yang bisa dibilang belum banyak digandrungi dan disukai oleh para santri dan orang-orang NU pada umumnya.”. Setidaknya itulah motivasi saya hingga bisa lulus S2 Kimia saat ini. Tentunya kedepan saya masih punya harapan untuk lanjut lagi S3 dan seterusnya. Mohon doanya.

Sebetulnya, saat ini santri dengan gelar pendidikan umum sudah mulai banyak bermunculan. Dari periode 2000 an sampai sekarang ini, jumlah santri yang menimba multidisplin keilmuan semakin banyak, sehingga harapan positif ke depan, bahwa diaspora santri diberbagai sektor kehidupan bisa benar-benar mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita, menebarkan benih-benih positif, membela agama dan mencintai negara.

Dalam pandangan saya, pemangku kepentingan lebih baiknya dipegang oleh seorang santri. Karena santri ini digembleng dan diajarkan moralitas setiap hari oleh guru-gurunya di pesantren. Boleh dibilang, praktik pendidikan di pesantren lah yang benar-benar mengimplementasikan transfer of knowledges and transfer of values. Sehingga mudah-mudahan, saat pengambilan kebijakan, ia tidak berpaling akibat tarikan duniawi, dan mengambil suatu putusan yang didasarkan pada kaidah yang mereka pelajari, yaitu “tasharruful imam ala roiyyah manutun bil maslahah.”. Namun syaratnya, santri yang ingin menggenggam amanah itu haruslah MASAGI, atau dalam bahasa kerennya, intelektual yang ulama, ulama yang intelek. Jangan sampai ia hafal dan faham kitab-kitab klasikal, namun gagap dalam memimpin.

Untuk membentuk SDM yang “MASAGI” itu, paling tidak para santri harus diberi Perspektif baru, seperti perspektif baru yang diungkapkan Kang Iip di kelas saya dan teman-teman dulu, yang membuka cakrawala berpikir saya, untuk mau mengambil pilihan-pilihan tidak populer dari para santri. Karena bagaimanapun, hal yang paling mempengaruhi seseorang untuk sukses, untuk kaya, untuk berhasil, untuk bermanfaat, adalah berangkat dari mindset, atau perspektif yang dia ambil dalam melihat kehidupan.

Terimakasih Kang Iip, terimakasih semua guruku, laula al murabbi, ma araftu robbi.